Kabah di Mekah, 1885. (Foto: Al-Sayyid Abd al-Ghaffar/theculturist.com)
DAYA tarik Mekah begitu kuat bagi setiap Muslim, karena kota ini memiliki sejarah panjang. Mekah disebut “kota para nabi.” Adam ialah nabi pertama yang menapakkan kakinya di Mekah. “Ia menunaikan haji di kota itu dan mendoakan keturunannya agar dosa-dosanya diampuni,” kata Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama dan penulis buku soal Mekah. Beberapa nabi yang meninggal di Mekah di antaranya Nuh, Hud, Syua’ib, dan Shaleh.
Nabi yang memiliki jasa dan sejarah monumental pada Mekah adalah Ibrahim. Dia dan anaknya, Ismail, membangun Kabah atau rumah Allah (Baitullah). Pasca-Ibrahim, Mekah dikuasai kabilah Jurhum dari Yaman, lalu digantikan kabilah Khuza’a. Penggantinya yang berkuasa paling lama adalah kabilah Quraisy yang dipimpin Qushay, leluhur Nabi Muhammad. “Nabi yang meneruskan jejak juang Ibrahim adalah Muhammad,” kata Zuhairi.
Di Mekah, Muhammad lahir, menerima wahyu, membebaskan Mekah, dan menunaikah haji wada’ (haji perpisahan), yang tak lama kemudian meninggal di Madinah. Pasca-Nabi, Mekah tetap di bawah kendali pemuka Quraisy. “Secara tak tertulis ada semacam kesepakatan bahwa pemimpin Mekah harus mempunyai garis darah dari klan Quraish,” ujar Zuhairi.
Tragisnya, Mekah kemudian diperebutkan dinasti-dinasti Islam hingga jatuh ke tangan Muhammad bin Saud, yang memimpin gerakan Wahabisme. Dan keluarga Saud-lah yang berkuasa atas Mekah hingga saat ini.
Mekah juga disebut Ummul Qura, ibu dari segala tempat di muka bumi. Berziarah ke Mekah berarti mengenang asal-muasal alam semesta.“Karena Mekah tempat pertama yang diciptakan untuk manusia, setiap orang akan tertarik untuk sampai ke kota itu. Ia menjadi kiblat bagi setiap manusia, terutama umat Islam,” ujar Zuhairi.
Selain itu, Mekah adalah sumbu bumi. Martin van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” Ulumul Qur’an Volume II No 5, 1990, menyebut Mekah sebagai pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dan alam supranatural. Di Jawa, masa pra-Islam, pusat-pusat kosmis memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu, serta tempat “angker” lainnya tak hanya diziarahi tapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias kesaktian dan wahyu (legitimasi kekuasaan).
“Setelah orang Jawa mulai masuk Islam,” tulis Martin van Bruinessen, “Mekahlah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama.”
Ludovico di Varthema, orang Roma pertama yang mengunjungi Mekah pada 1503, melihat jamaah haji dari kepulauan Nusantara, yang dia sebut “India Timur Kecil”. Jemaah haji yang dijumpai Varthem itu, menurut M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia, barangkali orang-orang Nusantara yang pertama menunaikan ibadah haji.
“Tetapi, mereka bukan jemaah haji yang sengaja berangkat dari Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka adalah pedagang, utusan sultan, dan pelayar yang berlabuh di Jedah dan berkesempatan untuk berkunjung ke Mekah,” tulis Shaleh.
Umat Islam Nusantara yang pertama datang ke Mekah itu bertujuan mencari legitimasi politik, berniaga, menimba ilmu, sekaligus menunaikan ibadah haji.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email