Pesan Rahbar

Home » » Palestina, sebuah negara khayalan. Negara Palestina bisa berdiri jika mereka tidak ngotot menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota atau Israel bersedia membagi kota itu

Palestina, sebuah negara khayalan. Negara Palestina bisa berdiri jika mereka tidak ngotot menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota atau Israel bersedia membagi kota itu

Written By Unknown on Monday, 21 March 2016 | 17:43:00


Keraguan muncul sejak awal akhirnya terbukti. Proses perundingan kembali digelar pasca konferensi perdamaian di Annapolis, Maryland, Amerika Serikat, pada 27 November tahun lalu mandek.

Sejatinya komitmen dibuat oleh Presiden Otoritas Palestina Mahmud Rida Abbas dan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert pada pertemuan itu memang dipaksakan. Konferensi itu hanya muslihat Presiden Amerika George Walker Bush berniat mencuci dosanya akibat perang di Irak dan Afganistan.

Kegagalan ini sekaligus membuktikan betapa sulitnya mendirikan negara Palestina. Bahkan dapat dibilang sebuah khayalan. Padahal hanya ada dua konsep penyelesaian konflik di antara kedua bangsa itu, yakni melebur menjadi satu negara atau dua negara hidup berdampingan secara aman dan damai.

Dua konsep itu muncul bersamaan dalam konferensi tingkat tinggi Liga Arab di Ibu Kota Beirut, Libanon, pada 2002. Konsep satu negara dengan nama Isratina diusulkan oleh pemimpin Libya Muammar Qaddafi, sedangkan Raja Abdullah dari Arab Saudi ketika itu masih menjabat Putera Mahkota memprakarsai penyelesaian dua negara. Hasilnya 22 anggota organisasi itu menerima gagasan Abdullah.

Konsep satu negara hanya akan melanggengkan penjajahan Israel terhadap rakyat Palestina sudah berlangsung 60 tahun. Bayangkan saja, bagaimana mungkin warga Yahudi rela berbagi kekuasaan dengan penduduk Arab Palestina dalam menjalankan pemerintahan bersama. Yang terjadi, orang-orang Palestina tidak akan memperoleh hak sama dan hanya bakal menjadi warga kelas dua dalam negara Isratina.

Israel bahkan sangat mungkin mengadu domba warga Palestina dengan tetap membiarkan Tepi Barat terpisah dari Jalur Gaza sejak pertengahan Juni tahun lalu. Selama ini saja, milisi Fatah disokong oleh negara Zionis itu menangkapi anggota Hamas dan Jihad Islam di Tepi Barat. Sedangkan Israel sendiri melaksanakan operasi militer di Gaza dengan cara serupa. Mereka bakal terus memperluas permukiman Yahudi di Tepi Barat. Artinya makin banyak tanah warga Palestina terampas.

Mobilitas penduduk Tepi Barat sudah sangat terganggu dengan berdirinya sekitar 590 pos pemeriksaan juga akan kian tersiksa. Sebab Israel masih melanjutkan pembangunan tembok pemisah raksasa dimulai sejak 16 Juni 2002.
Panjangnya akan mencapai 750 kilometer dengan tinggi delapan meter ketimbang Tembok Berlin mengular 155 kilometer dan tinggi 3,6 meter. Padahal batas Palestina dan Israel hanya 200 kilometer.

Tembok ini tidak mengikuti “Garis Hijau” membatasi wilayah kedua pihak saat gencatan senjata pada 1949. Namun jalurnya masuk sepuluh kilometer ke dalam wilayah Palestina. Dinding apartheid ini hanya mempunyai satu pintu keluar-masuk di tiap kota dilewati. Tembok ini juga dilengkapi menara pengwas, sensor elektronik, kamera video dan pemantau panas, pesawat pengintai tak berawak, kawat beraliran listrik, menara penembak jitu, dan jalan untuk kendaraan patroli.

Alhasil jika proyek ini selesai, setengah dari jumlah warga Palestina di Tepi Barat akan serasa hidup di penjara karena dikungkung oleh tembok. Selain harus berjalan lebih jauh, untuk keluar pun mereka mesti memperoleh izin dari militer Israel.

Israel memang sudah menciptakan krisis kemanusiaan di Gaza dengan membuat sel raksasa. Mereka menutup semua pintu perbatasan di Erez dan Sofia (Gaza-Israel), Rafah (Gaza-Mesir), dan Karen Shalom (Gaza-Mesir-Israel). Akibatnya pasokan bahan makanan, air, listrik, obat-obatan, dan material lainnya menipis. Negara Yahudi itu juga amat membatasi lalu-lintas orang dan jasa.

Konsep dua negara juga sulit menjadi penyelesaian. Selama ini, perundingan antara Abbas dan Olmert mentok di tiga isu utama: status Yerusalem, batas wilayah sebelum Perang Enam Hari 1967, dan pemulangan pengungsi Palestina. Israel selalu beralasan berdirinya negara Palestina akan membuat mereka tidak aman lantaran Fatah yang moderat tidak dapat merangkul Hamas tidak mau mengakui negara itu.

Dua isu terakhir masih mungkin dirundingkan, namun status Yerusalem adalah harga mati bagi Israel. Mereka telah menetapkan kota suci tiga agama: Islam, Yahudi, dan Nasrani, itu sebagai ibu kota abadi dan tidak dapat dibagi dua dengan bangsa Palestina. Yerusalem juga sangat menguntungkan secara ekonomi. Saban tahun, 2,24 juta wisatawan asing melancong ke sana. Persis seperti Makkah dan Madinah di Arab Saudi, Israel tidak perlu membuang uang untuk promosi.

Sulitnya melepas Yerusalem Timur tampak dari pergulatan politik dalam negeri Israel. Menteri Luar Negeri Tzipi Livni sebenarnya berpeluang menjadi perdana menteri peremppuan kedua setelah Golda Meir gagal membentuk pemerintahan koalisi. Partai Shas berhaluan ultra-ortodoks, menolak bergabung lantaran Livni menolak syarat untuk tidak mengutak-atik status Yerusalem. Bahkan Nir Barakat yang ultra-sekuler, juga berpendapat sama. Ia baru saja memenangkan pemilihan wali kota Yerusalem setelah mengalahkan tiga calon dari kelompok religius.

Alhasil tidak berlebihan menyebut negara Palestina hanyalah sebuah mimpi. Kedua pihak harus berkorban amat sangat besar, yakni melepas Yerusalem. Artinya negara Palestina bisa berdiri jika mereka tidak ngotot menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota atau Israel bersedia membagi kota itu.

Meski sebatas angan, semoga saja khayalan rakyat Palestina untuk merdeka tidak hilang. Hanya mimpi itu terus membuat mereka dan pihak-pihak peduli tetap semangat berjuang.

Dimuat di Koran Tempo, 4 Desember 2008

(Tempo/Al-Balad/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: