Rasulullah saw bersabda:
إن الله يغضب لغضب فاطمة (عليها السلام) و يرضى لرضاها
“Sesungguhnya Allah marah karena marahnya Fatimah (sa) dan Allah ridha karena ridhanya.”
Hadis ini dan yang semakna terdapat dalam kitab:
1. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3 halaman 153.
2. Usdul Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 5 halaman 522, hadis ke 7175.
3. Tahdzib Adz-Tahdzib, jilid 12 halaman 441, hadis ke 2861.
4. Kanzul Ummal, jilid 6 halaman 219, hadis ke 27725.
5. Mizanul I’tidal, Adz-Dzahabi, jilid 2 halaman 72, hadis ke 4560.
6. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1 halaman 9, hadis ke 26.
7. Sunan Al-Baihaqi, jilid 6 halaman 300, hadis ke 12734.
8. Dzakhir Al-Uqba, halaman 39.
___________________________________________
Kemarahan sayidah Fatimah AS kepada khalifah pertama dan kedua adalah kemarahan syi’ah
10 indikasi bahwa kata MAWLA di Ghadir Kum merujuk pada arti “pemimpin” !! Wahabi patah arang hanya dengan 1 artikel ini..
Akidah Sunni sangat berbahaya karena mengi’tiqadkan juhud (pengingkaran) terhadap imamah Ali ! Kata “maula” jelas bermakna pemimpin karena Dalam kitab-kitab hadis, baik di kalangan Ahlusunnah maupun di kalangan Syiah, terdapat banyak riwayat dari Rasul SAW yang menuturkan dan mencatat bahwa Ali as merupakan Imam dan Khalifah setelah beliau.
Sekarang mari kita periksa lagi hadis ghadir kum :
”Barangsiapa saya mawlanya, maka Ali ini juga mawlanya. Ya Allah, jadilah teman siapa saja yang berteman dengan dia dan musuhilah siapa saja yang memusuhi dia. “
Kata “mawla” di sini menurut sunni tidak dapat merujuk pada arti “pemimpin”, tetapi terjemahan terbaik dari kata “mawla” tersebut adalah “seorang teman tercinta”. Versi sunni bahwa “mawla” di sini bermakna mencintai/ menyayangi dan hubungan dekat, bukan Khilafah dan Imamah. Muwalat (cinta) adalah lawan dari kata Mu`adat (permusuhan).
Bantahan :
Penafsiran sunni bertentangan dengan Al Quran.
Ghadir Khum: Sejarah Yang Mustahil Untuk Diingkari.
Allah Swt berfirman: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan risalah/agama-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 67).
Peristiwa pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Islam pasca Nabi saw, terjadi di tempat yang bernama Ghadir Khum, yang terletak di kawasan antara Mekkah dan Madinah di dekat Juhfah, sekitar 200 km dari Mekkah.
Peristiwa besar yang menggemparkan sejarah ini terjadi pada bulan terakhir tahun ke-10 Hijriah, setelah Rasul saw menjalankan Haji Perpisahan/Terakhir (Hajjatul Wada’). Semua sahabat sadar bahwa sebentar lagi wahyu akan terputus dari mereka. Ini adalah saat-saat terakhir kebersamaan mereka dengan Nabi Besar Muhammad saw.
Maka perdebatan berkaitan dengan Ghadir Khum bukan berkisar pada benar tidaknya Nabi saw mengangkat tangan Imam Ali tinggi-tinggi dan membacakan hadis: Man Kuntu Maula, namun perselisihan pendapat hanya mengacu pada makna dan pemahaman dari hadis tersebut. Syiah punya makna dan pemahaman tersendiri terhadap hadis tersohor tersebut, sedangkan Ahlu Sunah juga memiliki persepsi dan pemahaman tersendiri.
Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah dan Madinah). Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”. Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :Al Maaidah (QS5:67) “Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “.
Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh.Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”.
Penundaan penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
1. Nabi diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting.
2. Allah menjaga Rasulullah dari gangguan manusia.
3. Dampak dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah.
Beberapa Indikasi Yang Menunjukkan bahwa Maula berarti Pemimpin.
Indikasi Pertama: Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula di hadapan ribuan sahabat, tua-muda, laki-perempuan di musim panas yang menyengat, dan di gurun pasir yang tandus selepas manasik haji, dan memerintahkan mereka yang meninggalkan kafilah untuk kembali bergabung bersama beliau, dan mereka yang tertinggal di belakang, untuk segera mempercepat langkahnya untuk menyusul beliau hanya untuk mengatakan bahwa:
“siapa yang menjadikan beliau sebagai sahabatnya maka dia pun harus menjadikan Ali sebagai sahabatnya”
atau
“siapa yang menjadikan beliau sebagai kekasihnya maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai kekasihnya”?!
Bukankah mereka sudah tahu bahwa Ali adalah ahlul bait Rasul saw yang harus dicintai dan disayangi? Lalu mengapa Rasul saw perlu bersusah payah mengumpulkan mereka hanya untuk menyampaikan masalah ini menjelang akhir kehidupan beliau?!
Hadis Al-Ghadir disampaikan oleh Rasulullah saw di depan kurang-lebih 150.000 sahabat, sesudah haji wada’, dalam situasi yang sangat penting. Tentu missi ini bukan missi yang sederhana, tetapi missi yang paling besar, paling menentukan masa depan Risalah Nabi saw, dan nasib kaum muslimin dan mukminin pasca Rasulullah saw. Di sini jelas, tidak mungkin kata Mawla bermakna kekasih, penolong dan pelindung, tapi jelas bermakna pemimpin. Karena kepemimpinan adalah puncak segala persoalan dalam Islam. Gagalnya kepemimpinan adalah kegagalan segala aspek kehidupan:
Dengan demikian jelaslah bahwa kata Mawla dalam hadis Al-Ghadir bermakna pemimpin, bukan kekasih, penolong atau pelindung. Kondisi kaum muslimin dewasa ini menunjukkan adanya kegagalan kepemimpinan Islam pasca Rasulullah saw. Kegagalan kepemimpinan Islam akan berdampak pada segala aspek kehidupan: Idiologi, politik, sosial, ekonomi, pendidikan; penyimpangan makna ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw, perselisihan, permusuhan, kezaliman, kesengsaraan kaum muslimin.
Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.
Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir].
Indikasi Kedua:
Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”. Kata “Maula” sendiri bukanlah berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya, Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli, yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut.
“Allah tidak meninggalkan sedikit pun argumen (hujjah) dan bantahan bagi siapa pun setelah peristiwa Ghadir Khum.” (Sayyidah Fathimah AS, Dala’il al-Imamah, hlm. 38. Lihat juga, al-Khisal, Jil. 1, hlm. 173; Bihar al-Anwar, Jil. 30, hlm. 124.).
Sepanjang khotbah Rasulullah Saw di Ghadir Khum, beliau menekankan bahwa khotbahnya itu telah melengkapi hujjah (argumen) Allah atas seluruh manusia sampai Hari Kiamat. Itulah sebabnya Putri Tercinta Rasul, Sayyidah Fathimah As juga menekankan hal yang sama seperti yang saya kutip di atas.
Fatimah Az-Zahrâ’ Menuju ke Alam Baka akibat luka keguguran pasca Penyerangan ke Rumah Fatimah As
Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Fatimah Az-Zahrâ’ as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Nabisaw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekejaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya dan menyerang rumahnya.
Fatimah Az-Zahrâ’ telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.
Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusara-nya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa dan pengaduan kepada Nabi saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:
Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaring-kanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamkupun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekong-kolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh! Jika aku berpaling, itu bukan karena bosan. Jika aku diam, itu bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.[Nahjul Balâghah, Jil. 2/ 182.].
Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia menga-lami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialaminya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Nabi saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberi-kan keterangan tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.
Seusai menguburkan jenazah buah hati Nabi saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak terlibat di dalamnya.
Berdasarkan riwayat Ghadir Khum, telah jelas bagi kita bahwa hal penting yang diperintahkan Allah untuk disampaikan oleh Rasulullah adalah mengenai wilayah (kepemimpinan) Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila kita kembali kepada Al Qur’an, hal ini dijelaskan dalam surat Al Maaidah (5) : 55 sebagai berikut:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan salat dan membayar zakat dalam keadaan rukuk (rakiun) ”.
Ayat Wilâyah
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’”. (Al-Mâ`idah : 55).
Karena mengarti kan wali sebagai teman, akan muncul konsekuensi pelarangan untuk bersahabat dan berteman dengan selain Allah, Rasul, dan Ali as.
Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya (berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut syaitan.
Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri. Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”.
Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum) diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian (orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut, Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.
Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
1. Yanabiul Mawaddah.
2. Faraidus Shimtain.
3. Syawahidu Tanzil.
Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas. Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.
Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].
Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.
Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].
Indikasi Ketiga: perhatikan khutbah Abu Bakar ketika ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar.
Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].
Imam Ali As mengingatkan kaum Muhajirin dan kaum Anshar di Masjid Nabawi (setelah mereka berbaiat kepada Abu Bakar), akan hak eksklusif kepemimpinannya atas umat dan perjanjian mereka kepada Rasulullah Saw di Ghadir Khum. Beberapa orang Anshar berdalih kepada Imam Ali, “Wahai Abul Hasan! Andai saja kami, kaum Anshar, mendengar hujjah-hujjah Anda sebelum kami berbaiat kepada Abu Bakar, pastilah tak seorang pun dari kami yang tidak menyetujui perintah Anda.”.
Dengan tegas Imam Ali As menjawab, “Apakah kalian menginginkan saya meninggalkan jasad suci Rasulullah yang sudah dikafani dibiarkan tidak dikuburkan, kemudian saya mendatangi kalian untuk berselisih demi kekuasaan? Demi Allah! Saya tak dapat memercayai siapa pun yang mendambakan kekuasaaan lalu menyelisihi kami, Ahlul Bait, lalu membuat alasan untuk membenarkan apa yang telah mereka lakukan. Saya tidak melihat Rasulullah Saw meninggalkan sedikit pun ruang untuk pembicaraan kontroversial, atau satu bantahan pun untuk khotbah beliau di Ghadir Khum.”.
Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peris-tiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka sekaligus membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ‘idah pada hari Nabi saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekha-lifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Nabi saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Nabi saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Nabi saw. sedang mengigau sehing-ga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Indikasi Keempat: Khalifah Abu Bakar dan Umar, juga sahabat Usman, Thalhah dan Zubair dengan tanpa sungkan-sungkan mengucapkan selamat (tabrik) kepada Imam Ali atas terpilihnya ia sebagai pemimpin umat Islam pasca Nabi saw. Ucapan selamat dikatakan kepada seseorang bila seseorang mendapatkan maqam yang tinggi, bukan karena ia dikenal sebagai sahabat yang harus dicintai. (Perihal ucapan selamat sahabat-sahabat senior terhadap Imam Ali atas kedudukannya sebagai pemimpin umat pasca Nabi saw, dapat Anda temukan dalam tafsir at Tsa`labi berkaitan dengan ayat al Maidah 67, dimana Tsa`labi tegas-tegas menyatakan bahwa ayat tersebut terkait dengan Peristiwa Ghadir Khum. kita juga bisa lihat dalam Musnad Ibn Hanbal 6, hal. 401, al Bidayah wa an Nihayah juz 5 hal. 209).
Indikasi Kelima: Hasan bin Tsabit adalah penyair pertama Ghadir. Setelah Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula, ia memimta izin kepada Nabi saw untuk membacakan syair terkait peristiwa besar tersebut. Dalam salah satu baitnya, disebutkan: “Qum ya `alyyun fa innani radhitu min ba`di imaman wa hadiya” (bangkitlah wahai Ali, aku meridhai engkau sebagai imam dan pemberi petunjuk sesudahku). Maka sahabat Hasan bin Tsabit sebagai seorang yang hidup di zaman Nabi saw dan dekat dengan masa turunnya wahyu lebih mengetahui sastra Arab ketimbang mereka yang mengartikan kata “maula” dengan sahabat/penolong atau budak yang dibebaskan dll.
Indikasi keenam,
MAYORiTAS SAHABAT KHiANATi Ali PASCA NABi SAW WAFAT.
Qs. Al An’am ayat 65-67:
Qs. 6:65:
Katakanlah (Muhammad), “Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.” Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan berulang ulang tanda tanda (kekuasaan Kami) agar mereka memahami (nya).
Qs. 6:66. Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal (azab) itu benar adanya. Katakanlah (Muhammad), “Aku ini bukanlah penanggung jawab kamu”.
Qs. 6:67. Setiap berita (yang dibawa oleh Rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui
Dikutip dari “AL HiDAYAH ALQURAN TAFSiR PERKATA TAJWID KODE ANGKA PENERBIT KALiM” yang disahkan DEPAG, halaman 136 :
Asbabun Nuzul Qs.6 : 65-67 : Zaid bin Aslam mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat, “Setelah kepergianku, janganlah kalian kembali menjadi kafir dengan saling membunuh diantara kalian”. Mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Nya. “Sebagian yang lain berkata, “ini tidak akan pernah terjadi untuk selamanya, yaitu saling membunuh diantara kita, sementara kita semua adalah muslim.” Maka turunlah ketiga ayat ini (HR. Ibnu Abi Hatim).
Wahai para pembaca…
Qs. Asy Syu’ara; ayat 205-207:
Qs.26 : 205 : Maka bagaimana pendapatmu jika kepada mereka kami berikan kenikmatan hidup beberapa tahun,
Qs.26 : 206 : Kemudian datang kepada mereka azab yang diancamkan kepada mereka,
Qs.26 : 207 : Niscaya tidak berguna bagi mereka kenikmatan yang mereka rasakan.
Dikutip dari “AL HiDAYAH ALQURAN TAFSiR PERKATA TAJWID KODE ANGKA PENERBIT KALiM” yang disahkan DEPAG, halaman 376 :
Asbabun Nuzul Qs.26 : 205-207 : Menurut Abu Jahdham, ketiga ayat ini diturunkan berkenaan dengan Rasulullah yang suatu ketika terlihat bingung dan gelisah. Para sahabat menanyakan hal itu. “Aku bermimpi, setelah aku wafat kelak, aku melihat musuhku yang ternyata adalah berasal dari umatku sendiri,” jawab Rasulullah (HR.ibnu Abi Hatim).
Hadis dari sahabat Jarir bin ‘Abdillah Al Bajali dari Nabi SAW : “janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian kalian menebas leher yang lain” (HR. Bukhari no. 7080 dan HR. Muslim no.65)
Hadis Nabi SAW : “Mencaci seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekufuran” (Hr.Bukhari Muslim).
Kedudukan Hadis Umat Mengkhianati Ali Sepeninggal Nabi SAW
Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada Imam Ali bahwa sepeninggal Beliau SAW, umat akan mengkhianati Imam Ali. Hal ini telah dinyatakan dalam hadis-hadis shahih. Salah satunya dalam hadis berikut:
حدثنا أبو حفص عمر بن أحمد الجمحي بمكة ثنا علي بن عبد العزيز ثنا عمرو بن عون ثنا هشيم عن إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس الأودي عن علي رضى الله تعالى عنه قال إن مما عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي بعده
Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad Al Jumahi di Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Al Awdi dari Ali Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Diantara yang dijanjikan Nabi SAW kepadaku bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”. [Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/150 no 4676 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi dalam At Talkhis].
Hadis ini adalah hadis yang shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi. Selain itu hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Dulabi dalam Al Kuna Wal Asmaa’ 2/442 no 441:
حدثنا يحيى بن غيلان ، عن أبي عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، وحدثنا فهد بن عوف ، قال ، ثنا أبو عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، عن أبي إدريس إبراهيم بن أبي حديد الأودي أن علي بن أبي طالب ، قال : عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي من بعده
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ghailan dari Abu ‘Awanah dari Ismail bin Salim dan telah menceritakan kepada kami Fahd bin Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Ibrahim bin Abi Hadid Al Awdi bahwa Ali bin Abi Thalib berkata “telah dijanjikan oleh Nabi SAW bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”.
Hadis ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya yaitu sanad Yahya bin Ghailan dari Abu Awanah dari Ismail bin Salim dari Ibrahim bin Abi Hadid dari Ali. Ibrahim adalah seorang tabiin yang melihat atau bertemu dengan Ali.
1. Yahya bin Ghailan dia adalah perawi Muslim Nasa’i dan Tirmidzi. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 429 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Sahl, Al Khatib, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sa’ad. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/312 menyatakan ia tsiqat.
2. Abu ‘Awanah dia adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 204 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Abdil Bar. Dalam At Taqrib 2/283 ia dinyatakan tsiqat . Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6049 juga mengatakan ia tsiqah.
3. Ismail bin Salim adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 1 no 554 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Sa’ad, Ahmad, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Daruquthni, Yaqub Al Fasawi, Abu Ali Al Hafiz dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 1/94 ia dinyatakan tsiqat.
4. Ibrahim bin Abi Hadid dia adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 4 no 1613. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 908 menyebutkan keterangan tentangnya bahwa telah meriwayatkan darinya Ismail bin Salim tanpa menyebutkan jarh terhadapnya. Sehingga Ibrahim bin Abi Hadid adalah tabiin yang tsiqah dan Al Bukhari juga menyebutkan kalau ia bertemu atau melihat Ali bin Abi Thalib RA.
Jadi hadis riwayat Ad Dulabi dalam Al Kuna adalah hadis yang shahih. Sebelum mengakhiri tulisan ini kami akan membantah syubhat kalau Ibrahim bin Abi Hadid itu majhul dan hadisnya dari Ali mursal.
Indikasi ke tujuh, hadis tsaqalain yang berulangkali diucapkan Nabi SAW yang mengindikasikan Nabi SAW cemas akan nasib ahlul baitnya kelak:
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla dan ‘itrahku ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyaan Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah wat-Taariikh, 1/536].
Yahya, menurut pen-tahqiq kitab Al-Ma’rifah (Dr. Akram Dliyaa’ Al-‘Umariy hafidhahullah) adalah Ibnu Yahyaa bin Bakiir, seorang perawi tsiqah. Sedangkan menurut jalan sanad Al-Haakim, ia adalah Ibnul-Mughiirah As-Sa’diy Ar-Raaziy. Abu Haatim mengatakan ia perawi shaduuq [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/191 no. 798]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [9/no. 16357]. Adapun perawi lain adalah perawi Shahihain, kecuali Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, ia hanya dipakai oleh Muslim saja.
Al-Haakim (sebagaimana diisyaratkan sebelumnya) juga meriwayatkan dengan sanad dari Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain bin Mushlih Al-Faqiih, dari Muhammad bin Ayyub, dari Yahyaa bin Al-Mughiirah As-Sa’diy, dan seterusnya sama dengan sanad seperti di atas; akan tetapi dengan lafadh :
إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله وأهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض هذا حديث صحيح الإسناد على شرط الشيخين ولم يخرجاه
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain, (yaitu) : Kitabullah dan ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [Al-Mustadrak – bersama At-Tatabbu’ – 3/173-174 no. 4774. Al-Haakim berkata : “Hadits ini shahih sanadnya berdasarkan persyaratan Al-Bukhariy dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya/meriwayatkannya”].
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.”(H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533, juga terdapat di dalam kitab-kitab induk hadis yang lain).
ketika Rasul SAAW hendak meninggal dunia, Rasulullah memerintahkan pasukan Usamah bin Zaid untuk memerangi suatu kaum. Abu Bakar, Umar dan Usman diperintahkan menjadi prajurit dibawah komando Usamah. Apa tujuan Rasul SAAW melibatkan mereka (mengingat usia mereka tidak muda lagi)? Hal ini didasari kesadaran Rasulullah bahwa dirinya hendak meninggal dunia dan agar keberadaan ketiga orang tersebut akan mengganggu kelancaran peralihan kekhalifahan. Rasulullah kemudian juga meberikan ancaman, ”La’natullah orang yang keluar dari tentara Usamah.” Berangkatlah pasukan Usamah. Ketika dalam perjalanan, sampailah kabar bahwa Rasulullah meninggal dunia, dan Abu Bakar, Umar dan Usman keluar dari pasukan.
Indikasi kedelapan,
Bersabda Nabi SAWW: “Siapa yang ingin hidup seperti hidupku, mati seperti matiku,tinggal di surga A’dn yang telah ditanam oleh Tuhanku maka jadikanlah Ali sebagai Walinya sepeninggalku dan me-wila’ walinya, serta ikut Ahlul Baitku yang datang setelahku. Mereka adalah itrah keluargaku, diciptakan dari bagian tanahku dan dilimpahkan kepahaman serta ilmuku. Maka celakalah orang-orang yang telah mendustakan keutamaan mereka dari ummatku, dan yang telah memutuskan tali silaturrahimnya dengan mereka. Kelak Allah tidak akan memberi mereka syafaatku kepadanya.”
sumber :
-Mustadrak al-Hakim jil. 3hal. 128; Jami’ al-Kabir oleh Thabarani; Al-Isabah Oleh Ibnu Hajar al-Asqalini;Kanzul Ummal jil. 6 hal. 155; Al-Manaqib oleh khawarizmi hal. 34; Yanabi al-Mawaddah hal. 149; Haliyah al-Auliya’jil. 1 hal. 86; Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 95.Lihat seterusnya...
Indikasi kesembilan, hadis mutawatir tentang bahwa khalifah umat islam ada 12 khalifah, hadis ini disepakati sunni syi’ah.
“Akan ada 12 khalifah” Berkata Jabir bin samurah (perawi hadis): “Dan kemudian beliau bersabda dengan kalimat yang tidak aku fahami. Ayahku berkata: “Semuanya dari orang Quraisy.” (HR Bukhari 329 dan Muslim 4477).
Indikasi kesepuluh, hadis khalifah umat islam adalah ahlulbait.
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda“Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan olehAs Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.).
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam.Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan .
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang meninggal dan tidak mengenal (berbaiat) imam zamannya maka matinya , terhitung sebagai matinya orang yang dalam keadaan jahil(kafir).” {Syarkh Maqashid jilid 5 halaman 239, dan Syarkh fighi al-Akbar halaman 179 dan di kitab-kitab lain ahlu sunnah maupun syiah.}.
Rasulullah saw berkata kepada sayidah Fatimah (putrinya) : “sesungguhnya Allah swt tidak akan mengadzabmu dan tidak akan mengadzab satupun dari anak-anakmu”{al-Mu’jam al-Kubra jilid 11 halaman 210 dan al-Shawaiq al-Muhriqah halaman 160 dan 235 Serta banyak dari kitab-kitab syiah dan kitab-kitab sunni yang lain.}.
Rasulullah saw bersada : “Fatimah adalah bagian dariku siapa yang telah membuatnya marah maka telah membuatku marah” {shahih al-Bukhari hadis ke 3510 dan di seluruh kitab-kitab sunni dan syiah}
Disebutkan di dalam shahih al-Bukhari jilid 5 halaman 177 bahwa sayidah Fatimah setelah meminta warisan Nabi (yang merupakan haknya) dari khalifah pertama dan khalifah tidak memberikan warisan itu, sejak saat itu sayidah Fatimah tidak pernah lagi berbicara kepada Kalifah pertama (Abubakar) samapai akhir hayatnya. hal ini juga disebutkan di banyak dari buku-buku sejarah ulama’ syiah dan sunni. Juga disebutkan di kitab-kitab ahl sunnah/sunni dan syiah bahwa sayidah Fatimah meninggaldalam keadaan marah kepada khalifah pertama (Abubakar) dan khalifah kedua (Umar). Dan di kitab-kitab sunni dan syiah disebutkan bahwa sayidah Fatimah tidak mau makamnya di ketahui oleh masyarakat olehkarena itu beliau meminta suaminya(sayidina Ali ra) untuk memamkamkannya di malam hari supaya tidak ada yang mengetahui makamnya. dan sampai sekarang pun tidak ada satupun dari muslimin yang tahu diamana makamnya.
Point-point yang dapat diperhatikan:
* 1. Hadis diatas tentang keutamaan sayidah fatimah adalah shahih/benar karena diriwayatkan hampir di seluruh kitab-kitab syiah dan sunni,
* 2 .Tentang kemarahan sayidah Fatimah kepada khalifah pertama dan kedua juga benar karena perawinya tidak cuma satu atau sepuluh akan tetapi lebih dari itu,
* 3. Hadis tentang “orang yang tidak tahu imam zaman nya maka matinya mati jahiliyah” juga benar karena di sunni maupun syiah ada, dari 3point diatas kita mengetahui bahwa sayidah Fatimah pasti sebelum meninggal pasti berbaiat kepada Imam zamannya karena sayidah Fatimah orang yang pasti masuk sorga maka pasti melakukan perintah Rasulullah saw. dan dari 3point diatas kita dapat mengetahui bahwa sayidah Fatimah tidak menganggap bahwa Abubakar adalah Imam zamannya, dan pasti telah menganggap orang lain sebagai Imamnya. dan ini membuktikan bahwa kekhalifahan Abubakar tidak dibenarkan oleh sayidah Fatimah az-zahra.
Dan kalau kita perhatikan hadis-hadis dibawah ini kita ketahui bahwa siapa yang dianggap sebagai imam oleh sayidah Fatimah.:
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang tidak berkata bahwa Ali adalah sebaik-baik manusia maka telah kafir” {Tarikh al-Khatib al-Baghdadi jilid 3 halaman 192 , Kanz al-Ummal jilid 11 halaman 625}.
Rasulullah saw bersabda:”jika kalian menjadikan Ali sebagai pemimpin kalian-(dan aku melihat kalian tidak melaksanakannya)-maka kalian akan menemukan bahwa dia(Ali) adalah pemberi petunjuk yang akan menunjukkan kepada kalian jalan yang lurus dan benar.” {musnad ahmad jilid 1 halaman 108}.
Rasulullah saw bersabda : “siapa yang menaatiku maka telah menaati Allah swt, dan siapa yang melanggar perintahku maka telah melanggar perintah Allah,dan siapa yang menaati Ali maka telah menaatiku, dan siapa yang telah melanggar perintahnya maka telah melanggar perintahku.” {mustadrak Hakim jilid 3 halaman 121}.
Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Ali adalah kota hidayah, maka barangsiapa yang masuk ke dalam kota tersebut akan selamat dan siapa yang meninggalkannya akan celaka dan binasa.”{Yanabi’ al-Mawaddah jilid 1 halaman 220 hadis ke 39}.
Apakah Rasulullah saww memberi warisan kepada keluarganya atau tidak?
Ahlul sunnah tentang hal ini yakin bahwa seluruh Nabi tidak mewariskan suatu apapun, seluruh harta Nabi setelah Nabi Meninggal adalah sedekah. Dalil mereka adalah cuma satu hadis yang disebutkan oleh Abu bakar. Abu bakar berkata: “Nabi Muhammad saw bersabda : “Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”.
Dan berdasarkan hadis ini setelah meninggalnya Nabi saw mereka mengambil tanah fadak dan harta-harta Nabi saw yang lain.
Ketika sayidah Fatimah az-Zahra putrii Nabi saw meminta kembali tanah fadak yang merupakan haknya , Abubakar berkata : sesungguhnya Nabi saw telah bersabda : ” Kami para nabi tidak meninggal tidak meninggalkan warisan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.”.
Tanpa maksud untuk berat sebelah dengan madzhab tertentu tema ini kita teliti dan kita selidiki kebenaranya.
Point pertama: Dari seluruh sahabat Nabi saw hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis di atas. Suyuti di dalam bukunya Tadrib ar-Rawi menerangkan bahwa jumlah sahabat setelah meninggalnya Nabi saw adalah 114ribu orang dan hanya Abubakar yang menukil hadis ini, dan tidak satupun dari mereka yang menukilnya. Sampai-sampai istri-istri Nabi saw tidak tau sama sekali tentang hadis ini. Sayidina Ali yang kesehariannya selalu bersabda saw tidak pernah mendengar hadis ini, dan sayidah Fatimah az-Zahra putrid Nabi saw yang merupakan kebanggaan Nabi saw dan bagian dari Nabi saw juga sama sekali tidak menukil hadis ini.
Para pembesar ahlu sunnah juga mengakui bahwa hadis ini hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis ini.
Abul Qosim Bangwi yang meninggal tahun 317H, Abubakar Syafi’I yang meninggal tahun 354H, Ibn Asakir, Suyuti, Ibn Hajar Makki, Muttaqi Hindi, mereka semua menjelaskan bahwa selain Abubakar tidak seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi saw yang mendengar hadis diatas dan tidak seorang pun yang menukilnya atau meriwayatkannya.
Point Kedua: sebagian ulama’ besar ahlusunnah seperti Ibn Adi pemilik kitab al-Kamil fi at-Dhuafa’,
Riwayat-riwayat yang dari pandangan ahlusunnah dho’if , batil dan bohong serta buatan dinukil didalam kitabnya. Dia (Ibn Adi) tentang riwayat hadis ini berkata: “hadis ini batil, tidak benar.”.
Perkataan Ibn Adi ini adalah dari ulama’-ulama’ ahlu sunnah yang mengatakan bahwa :
” قلت لابن خراج حدیث ما ترکناه الصدقة قالوا باطل”
Tentang hal ini Dzahabi di dalam kitab Tadzkiratu al-Hifadh jilid 2 halaman 683 dan di dalam kitab Sair A’lami an-Nubala’ jilid 13 halaman 510 begitu juga Ibn Hajar As-Qolani di dalam kitab Lisan al-Mizan jilid 3 halaman 44 dan di dalam kitab al-Kamil fi al-Dhuafa’ menyebutkan bahwa hadis ini (yang tersebut diatas) adalah batil dan tidak benar.
Point ketiga: perdebatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abubakar.
Setelah perampasan tanah fadak sayidah Fatimah menemui Abubakar dan berkata kepada Abubakar mengapa engkau merampas tanah fadak dari kami? Kemudian Abubakar membaca hadis diatas .
Setelah itu sayidah Fatimah az-Zahra menetapkan satu perkara islami dan dengan 2 ayat al-Quran memberikan dalil bahwa perkataan Abubakar batil dan tidak benar. Sayidah Fatimah az-Zahra berkata :
“اترث اباک ولا ارث ابی”
Hai Abubakar, kau mewarisi warisan dari ayahmu dan aku Fatimah (putri Nabi saw) tidak mewarisi warisan ayahku (apakah ini bisa diterima akal)?
” تزعمون ان لا ارث لي افعلی عمد ترکتم کتاب الله ونبضتموه وراء ظهورکم”
Apakah kamu tidak membayangkan dengan pikiran ini kamu telah menentang kitab Allah dan perintah-perintah Allah telah kamu letakkan dibawah kakimu (kamu menentang perintah-perintah Allah ). Kamu berkata kalau para Nabi tidak meniggalkan warisan. Akan tetapi al-Quran tentang Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud berkata:
“وورث سلیمان داوود”
(dan Suleiman telah mewarisi warisan dari (ayahnya) Dawud as.).
Dan juga hubungan antara Nabi Yahya dan Zakaria, Nabi Zakaria berkata:
“فهب لي من لدنک وليا يرثني ويرث من آل يعقوب”
(Maka anugerahilah aku dari sisimu seorang putera,yang akin mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub).
Jika seluruh Nabi tidak memberikan warisan , kenapa Nabi Zakaria meminta kepada Allah swt seorang anak yang akna mewarisi semua miliknya, dan semua milik keluraga Ya’qub?
Al-Quran mengeluarkan satu hukum yang mutlak yang ditujukan untuk seluruh orang-orang yang islam. Al-Quran berkata :
“یصیکم الله فی اولادکم للذکر مثل حظ الانثببن”
surah an-Nisa ayat 11.
(Allah mensyariatkan Kepadamu tentang (pembagian pusaka/warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki adalah sama dengan 2bagian anak perempuan….).
(فزعمتم ان لا حظ لي ولا ارث لي من ابي) (ولا ارث من ابي افحکم الله بآیة اخرج ابي منها)
Apa kamu berfikir kalau ada ayat yang lain yang melarang aku untuk mendapatkan warisan dari ayahku?
“ام يقولون اهل ملتین لا یتوارثان”
Apakah kamu meliki keyakinan kalau aku bukan seorang muslim dan telah murtad sehingga aku tidak bias mewarisi warisan ayahku?
Ini adalah perdepatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abu-Bakr , kejadian ini dinukil / diriwayatkan oleh Jauhari salah seorang ulama besar Ahlu sunnah didalam kitab as-Saqifah wa Fadak halaman 144 dan juga dinukil / diriwayatkan oleh Ibn Abi Alhadid didalam kitabnya البلاغة نهج شرح Begitu juga Ahmad Ibn Abi Thahir Baqdadi yang tereknal dengan Ibn Thaifur dalam kitab بلاغات النساء halaman14 menukilnya.
Point keempat: mengapa mereka tidak memberikan tanah Fadak kepada sayidah Fatimah az-Zahra ?
Didalam kitab السیرة الحلبیه jilid 2 halaman 485 dan jilid 3 halaman 362 disebutkan bahwa:
جائت فاطمة بنت رسول الله(ص) الی ابي بکر وهو علی المنبر فقالت : یا ابا بکر افي کتاب الله ان ترث ابنتک ولا ارث ابي؟ فاستعبر ابوبکر باکیا. ثم قال: بابای ابوک. وبابای انت. ثم نزل فکتب لها بفدک . ودخل علیه عمر فقال:ما هذا فقال:کتاب کتبته لفطة میراثها من ابیها. قال: فماذا تنفق علی المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری
ثم اخذ عمرالکتاب فشقه
Ketika sayidah Fatimah az-Zahra datang menemui Abubakar yang ketika itu sedang berada di atas mimbar. Beliau ( sayidah Fatimah ) berkata : “wahai Abubakar Apakah didalam Al-Quran terdapat ayat yang menerangkan bahwa putrimu boleh mewarisi warisan darimu sedangkan aku tidak boleh mewarisi warisan dari ayahku ?” (setelah mendengar hal itu) maka Abubakar menyesal dan menangis kemudian turun dari mimbar dan menulis sebuah tulisan (yang menyatakan bahwa Abubakar mengembalikan tanah fadak terhadap putri Nabi saw ) untuk sayidah Fatimah, ketika selesai menulis Umar masuk menemui Abubakar dan berkata : ini apa (tulisan ini untuk siapa dan tentang apa)?
Abubakar Menjawab: ini tulisan yang aku tulis untuk Fatimah tentang warisan-warisan untuknya dari ayahnya. Umar berkata: Apa yang akan kau berikan kepada Muslimin(kalau bukan dengan tanah fadak) sedangkan semua orang arab telah melawan seperti yang telah kamu saksikan . Kemudian Umar mengambil surat/tulisan tersebut dan merobek-robeknya.
Disini terdapat point penting dan menarik.
“فماذا تنفق علی المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری”
Tulisan ini menerangkan bahwa (pada saat itu ) kabilah-kabilah arab telah bangkit melawan kita sedangkan tidak seorangpun yang membayar zakat dan pajak kepada kita. Dengan harta apa kamu ingin menjaga kekuasaan.
Kemudian pada kalimat terakhir “ثم اخذ عمر الکتاب فشقه” tulisan ini menyebutkan bahwa Umar mengambil tulisan Abubakar dan kemudian menyobeknya. Kalau Umar menghormati kekhalifahan Abubakar maka Umar tidak akin menyobek tulisan Abubakar yang merupakan pemimpinnya.
Setelah kaum muslimin menyalati jenazah Nabi saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah saudaranya itu.
Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: “Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesung-guhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudah-mu terdapat peristiwa besar.”[1]
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil meng-ubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri.
Muktamar Tsaqîfah
Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peris-tiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka sekaligus membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum “pemberontak” telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ‘idah pada hari Nabi saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekhalifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Nabi saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Nabi saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Nabi saw. sedang mengigau sehing-ga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Ala kulli hal, kaum Anshar telah berperan sebagai tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Nabi saw. dan mereka pernah mene-barkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.
Hubâb bin Munzdir berkata: “Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh.”[2]
Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha merendahkan dan menghinakan para khalifah itu. Mu‘âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu‘âwiyah memerintah, dia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.
Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar men-calonkan Sa‘d sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa‘d karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa‘d, Khazraj. Sudah sejak lama memang hubungan antara kedua suku ini tegang.
‘Uwaim bin Sâ‘idah bangkit bersama Ma‘n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada dua sahabat ini peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa‘d berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif di ajang perebutan kekuasaan itu. Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Nabi saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar
Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Nabi saw. Kedudukan Ali as. di sisi Nabi saw. seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam telah tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Ia pernah bersabda kepada kaum muslimin: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya.”.
Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memak-sanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Dia menakut-nakuti, mengancam, dan meng-gertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Nabi saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: “Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?” Umar menjawab dengan keras: “Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu.”[3]
Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap orang muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Fatimah Az-Zahrâ’ as., buah hati Nabi saw. Padahal Allah ridha karena keridhaan Az-Zahrâ’ dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Dengan pedang terhunus para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap. Mereka berkata dengan lantang: “Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!”
Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekuatan mereka. Ia berkata: “Aku lebih berhak atas perkara ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, sebaliknya kalianlah yang semestinya membaiatku. Kalian telah merampas hak ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian juga telah merampas kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kalian telah mendakwa di hadapan kaum Anshar bahwa kalian lebih berhak atas kekhilafahan ini daripada mereka dengan dalih Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Nabi saw., baik ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman! Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu menyadarinya.”
Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih kuat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan sepupu-sepupu atau pamannya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjalin dalam bentuk yang paling sempurna. Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.
Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. dan berkata: “Berbaiatlah!”
“Jika aku tidak melakukannya?”, tanya Imam Ali pendek.
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak mem-baiat, aku akan penggal lehermu”, jawab Umar sengit.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membe-lanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: “Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasu-lullah.”
Umar segera menimpali dengan berang: “Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak.”
Umar telah lupa dengan sabda Nabi saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.
Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?”
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya dia menentukan sikap: “Aku tidak akan memaksanya, selama Fatimah berada di sisinya.”
Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari menuju ke makam saudaranya, Nabi saw., untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: “Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku.”[4]
Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar, telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ….”(QS. Âli ‘Imrân [3]:144)
Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.
Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin as.
Disebutkan dalam shahih Bukhori dalam kitab Bada’ al-Khalq di bab Manaqib qarabatu Rasulillah saw bahwa Rasulullah saw bersabda : ” Fatimah adalah bagian dariku, maka barang siapa yang membikin marah dia maka telah membuatku marah” hadis seperti ini juga di riwayatkan dalam kitab Kanz Al-Ummal jilid 6 halaman 230. Disebutkan juga dalam kitab shahih Bukhori dalam kitab Al-Nikah disebutkan juga dalam kitab Musnad Ahmad jilid 4 halaman 328.
1. Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di dalam bab Fadhail as-Shahabah.
2. Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di al-Bab al-Mutaqadim.
3. Disebutkan juga dalam kitab shahih at-Tirmidzi jilid 2 halaman 319.
4. Disebutkan juga dalam kitab al-Mustadrak ala al-Shahihain jilid 3 halaman 158.
Disebutkan juga dalam kitab Hilah al-Auliya’ jilid 2 halaman 40 hadis diatas disebutkan dalam alur yang berbeda di dalam kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ” sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk Ridhanya Fatimah.” hadis-hadis tentang kemuliaan sayidah Fatimah as dimuat di seluruh buku-buku ulama’ sunni yang mu’tabar dan penting. Sayidah Fatimah adalah kecintaan Nabi saw, kecintaan Nabi saw adalah kecintaan Allah swt. disebutkan didalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt berfirman : “sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”.
Disebutkan dalam kitab الوافی بالوفیات jilid 2 halaman 17 bahwa ابراهیم ابن سیار النظام berkata bahwa sesungguhnya Umar ibn khattab (khalifah kedua) telah memukul perut sayidah Fatimah as (yang dalam keadaan hamil) di hari baiat (hari dimana masyarakat dipaksa untuk berbaiat kepada Abubakar) sampai Muhsin (anak yang dikandungnya) keluar dari perutnya jatuh ketanah.
Disebutkan juga dalam kitab الامامة و السیاسة jilid 1 halaman 12 bahwa IBn Qutaibah Ad-Dainuri berkata : sesungguhnya Abubakar mencari sekelompok orang untuk berbaiat kepadanya yang mana sekelompok tersebut berada di rumah sayidina Ali as maka Abu bakar mengirim Umar, datanglah Umar ke rumah sayidina Ali as dan dia memanggil mereka semua yang berada di dalam rumah sayidina Ali as, akan tetapi mereka semua tidak ada yang menjawab teriakan Umar, dan tidak ada satupun yang keluar, maka Umar untuk kedua kalinya dengan membawa kayu bakar yang ada di tangannya dia berteriak : “demi yang jiwaku berada di tangannya kalian semua akan keluar atau aku bakar rumah ini beserta yang berada didalamnya.” satu orang dari dalam rumah berkata kepada Umar : “wahai ayahnya Hafsah sesungguhnya Fatimah berada di dalam rumah ini.” Umar berakata :”walaupun dia ada” (aku akan tetap membakar rumah ini). kejadian ini juga dimuat di dalam kitab العقد الفرید jilid 4 halaman 259 cetakan mesir dengan alur yang sedikit berbeda.. di dalam kitab کنز العمال jilid 3 halaman 140 bahwa umar berkata keada sayidah Fatimah as: “tidak ada orang yang lebih dicintai oleh ayahmu lebih daripada cintanya kepadamu, akan tetapi ini tidak akan mencegahku, sebagaimana sekelompok orang ini yang telah berkumpul di dekatmu, aku akan memerintah mereka untuk membakar rumahmu.”.
Orang-orang yang menyerang rumah putri Nabi Saw
Orang-orang yang menyerang rumah putri Nabi saw itu disebutkan di dalam kitab تاریخ الطبری jilid 2 halaman 443-444. kejadian juga disebutkan dalam kitab تاریخ ابوالغداء jilid 1 halaman 156 dengan alur yang sedikit berbeda yaitu Abubakar menyuruh Umar untuk mengambil baiat dari orang-orang yang berada di dalam rumah sayidina Ali, dan jika mereka menolak maka perintah berikutnya adalah Umar harus menyerang mereka, dan Umar membakar rumah sayidah Fatimah as.
Disebutkan di kitab2 sejarah bahwa sayidah Fatimah mulai saat itu sampai meninggal tidak mau berbicara kepada Abubakar dan Umar dan juga tidak Ridha atas perbuatan mereka, serta marah atas apa yang mereka lakukan kepadanya dan sayidina Ali as.. disebutkan juga didalam kitab sejarah bahwa sayidah Fatimah setiap selesai sholat selalu mengadu kepada Allah swt atas perbuatan mereka….
Disebutkan juga dalam kitab-kitab sejarah bahwa Fatimah a.s berkata kepada Khalifah pertama dan kedua: “Jika aku membacakan hadis dari Rasulullah SAWW apakah kalian akan mengamalkannya?”
“Ya”, jawab mereka singkat.
Ia melanjutkan: “Demi Allah, apakah kalian tidak pernah mendengar Rasulullah SAWW bersabda: “Kerelaan Fathimah adalah kerelaanku dan kemurkaannya kemurkaanku. Barang siapa mencintai Fathimah putriku, maka ia telah mencintaiku, barang siapa yang membuatnya rela, maka ia telah membuatku rela, dan barang siapa membuatnya murka, maka ia telah membuatku murka”?
“Ya, kami pernah mendengarnya dari Rasulullah SAWW”, jawab mereka pendek.
“Kujadikan Allah dan malaikat sebagai saksiku bahwa kalian berdua telah membuatku murka. Jika aku kelak berjumpa dengan Rasulullah, niscaya aku akan mengadukan kalian kepadanya”, lanjutnya.
Di kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ” sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk Ridhanya Fatimah.”
Disebutkan di dalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”.
Fatimah Az-Zahrâ’ Menuju ke Alam Baka
Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Fatimah Az-Zahrâ’ as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Nabisaw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekejaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya dan menyerang rumahnya.
Fatimah Az-Zahrâ’ telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.
Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusara-nya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa dan pengaduan kepada Nabi saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:
Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaring-kanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamkupun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekong-kolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh! Jika aku berpaling, itu bukan karena bosan. Jika aku diam, itu bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.[5]
Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia menga-lami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialaminya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Nabi saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberi-kan keterangan tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.
Seusai menguburkan jenazah buah hati Nabi saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak terlibat di dalamnya.
Referensi:
1. Nahjul Balaghah, khotbah ke-409.
2. Hayâh Al-Imam Husain as., Jil. 1/ 235.
3. Ansâb Al-Asyrâf, karya Al-Balâdzurî. Para sejarahwan sepakat tentang adanya ancaman Umar terhadap Ali as. untuk membakar rumahnya itu. Silakan merujuk Târîkh Ath-Thabarî, Jil. 3/202, Târikh Abi Al-Fidâ’, Jil. 1/156, Târîkh Al-Ya‘qûbî, Jil. 2/105, Murûj Adz-Dzahab, Jil. 1/414, Al-Imâmah wa As-Siyâsah, Jil. 1/12, Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, Jil. 1/ 34, Al-Amwâl, karya Abu ‘Ubaidah, hal. 131, A‘lâm An-Nisâ’, Jil. 3/205, danAl-Imam Ali, karya Abul Fattâh Maqshûd, Jil. 1/213.
4. Al-Imâmah wa As-Siyâsah, hal. 28-31.
5. Nahjul Balâghah, Jil. 2/ 182.
___________________________________________
Muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ‘idah pada hari Nabi saw wafat siasat licik supaya kekhalifahan tidak keluar dari kalangan mereka, namun FAKTA pemakaman Fatiah AS membongkar pembohongan sejarah !
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang meninggal dan tidak mengenal (berbaiat) imam zamannya maka matinya , terhitung sebagai matinya orang yang dalam keadaan jahil(kafir).” {Syarkh Maqashid jilid 5 halaman 239, dan Syarkh fighi al-Akbar halaman 179 dan di kitab-kitab lain ahlu sunnah maupun syiah.}.
Rasulullah saw berkata kepada sayidah Fatimah (putrinya) : “sesungguhnya Allah swt tidak akan mengadzabmu dan tidak akan mengadzab satupun dari anak-anakmu”{al-Mu’jam al-Kubra jilid 11 halaman 210 dan al-Shawaiq al-Muhriqah halaman 160 dan 235 Serta banyak dari kitab-kitab syiah dan kitab-kitab sunni yang lain.}.
Rasulullah saw bersada : “Fatimah adalah bagian dariku siapa yang telah membuatnya marah maka telah membuatku marah” {shahih al-Bukhari hadis ke 3510 dan di seluruh kitab-kitab sunni dan syiah}
Disebutkan di dalam shahih al-Bukhari jilid 5 halaman 177 bahwa sayidah Fatimah setelah meminta warisan Nabi (yang merupakan haknya) dari khalifah pertama dan khalifah tidak memberikan warisan itu, sejak saat itu sayidah Fatimah tidak pernah lagi berbicara kepada Kalifah pertama (Abubakar) samapai akhir hayatnya. hal ini juga disebutkan di banyak dari buku-buku sejarah ulama’ syiah dan sunni. Juga disebutkan di kitab-kitab ahl sunnah/sunni dan syiah bahwa sayidah Fatimah meninggaldalam keadaan marah kepada khalifah pertama (Abubakar) dan khalifah kedua (Umar). Dan di kitab-kitab sunni dan syiah disebutkan bahwa sayidah Fatimah tidak mau makamnya di ketahui oleh masyarakat olehkarena itu beliau meminta suaminya(sayidina Ali ra) untuk memamkamkannya di malam hari supaya tidak ada yang mengetahui makamnya. dan sampai sekarang pun tidak ada satupun dari muslimin yang tahu diamana makamnya.
Point-point yang dapat diperhatikan:
* 1. Hadis diatas tentang keutamaan sayidah fatimah adalah shahih/benar karena diriwayatkan hampir di seluruh kitab-kitab syiah dan sunni,
* 2 .Tentang kemarahan sayidah Fatimah kepada khalifah pertama dan kedua juga benar karena perawinya tidak cuma satu atau sepuluh akan tetapi lebih dari itu,
* 3. Hadis tentang “orang yang tidak tahu imam zaman nya maka matinya mati jahiliyah” juga benar karena di sunni maupun syiah ada, dari 3point diatas kita mengetahui bahwa sayidah Fatimah pasti sebelum meninggal pasti berbaiat kepada Imam zamannya karena sayidah Fatimah orang yang pasti masuk sorga maka pasti melakukan perintah Rasulullah saw. dan dari 3point diatas kita dapat mengetahui bahwa sayidah Fatimah tidak menganggap bahwa Abubakar adalah Imam zamannya, dan pasti telah menganggap orang lain sebagai Imamnya. dan ini membuktikan bahwa kekhalifahan Abubakar tidak dibenarkan oleh sayidah Fatimah az-zahra.
Dan kalau kita perhatikan hadis-hadis dibawah ini kita ketahui bahwa siapa yang dianggap sebagai imam oleh sayidah Fatimah.:
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang tidak berkata bahwa Ali adalah sebaik-baik manusia maka telah kafir” {Tarikh al-Khatib al-Baghdadi jilid 3 halaman 192 , Kanz al-Ummal jilid 11 halaman 625} Rasulullah saw bersabda:”jika kalian menjadikan Ali sebagai pemimpin kalian-(dan aku melihat kalian tidak melaksanakannya)-maka kalian akan menemukan bahwa dia(Ali) adalah pemberi petunjuk yang akan menunjukkan kepada kalian jalan yang lurus dan benar.” {musnad ahmad jilid 1 halaman 108}
Rasulullah saw bersabda : “siapa yang menaatiku maka telah menaati Allah swt, dan siapa yang melanggar perintahku maka telah melanggar perintah Allah,dan siapa yang menaati Ali maka telah menaatiku, dan siapa yang telah melanggar perintahnya maka telah melanggar perintahku.” {mustadrak Hakim jilid 3 halaman 121}
Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Ali adalah kota hidayah, maka barangsiapa yang masuk ke dalam kota tersebut akan selamat dan siapa yang meninggalkannya akan celaka dan binasa.”{Yanabi’ al-Mawaddah jilid 1 halaman 220 hadis ke 39}.
Apakah Rasulullah saww memberi warisan kepada keluarganya atau tidak?
Ahlul sunnah tentang hal ini yakin bahwa seluruh Nabi tidak mewariskan suatu apapun, seluruh harta Nabi setelah Nabi Meninggal adalah sedekah. Dalil mereka adalah cuma satu hadis yang disebutkan oleh Abu bakar. Abu bakar berkata: “Nabi Muhammad saw bersabda : “Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”.
Dan berdasarkan hadis ini setelah meninggalnya Nabi saw mereka mengambil tanah fadak dan harta-harta Nabi saw yang lain.
Ketika sayidah Fatimah az-Zahra putrii Nabi saw meminta kembali tanah fadak yang merupakan haknya , Abubakar berkata : sesungguhnya Nabi saw telah bersabda : ” Kami para nabi tidak meninggal tidak meninggalkan warisan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.”
Tanpa maksud untuk berat sebelah dengan madzhab tertentu tema ini kita teliti dan kita selidiki kebenaranya.
Point pertama: Dari seluruh sahabat Nabi saw hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis di atas. Suyuti di dalam bukunya Tadrib ar-Rawi menerangkan bahwa jumlah sahabat setelah meninggalnya Nabi saw adalah 114 ribu orang dan hanya Abubakar yang menukil hadis ini, dan tidak satupun dari mereka yang menukilnya. Sampai-sampai istri-istri Nabi saw tidak tau sama sekali tentang hadis ini. Sayidina Ali yang kesehariannya selalu bersabda saw tidak pernah mendengar hadis ini, dan sayidah Fatimah az-Zahra putrid Nabi saw yang merupakan kebanggaan Nabi saw dan bagian dari Nabi saw juga sama sekali tidak menukil hadis ini.
Para pembesar ahlu sunnah juga mengakui bahwa hadis ini hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis ini.
Abul Qosim Bangwi yang meninggal tahun 317H, Abubakar Syafi’I yang meninggal tahun 354H, Ibn Asakir, Suyuti, Ibn Hajar Makki, Muttaqi Hindi, mereka semua menjelaskan bahwa selain Abubakar tidak seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi saw yang mendengar hadis diatas dan tidak seorang pun yang menukilnya atau meriwayatkannya.
Point Kedua: sebagian ulama’ besar ahlusunnah seperti Ibn Adi pemilik kitab al-Kamil fi at-Dhuafa’,
Riwayat-riwayat yang dari pandangan ahlusunnah dho’if , batil dan bohong serta buatan dinukil didalam kitabnya. Dia (Ibn Adi) tentang riwayat hadis ini berkata: “hadis ini batil, tidak benar.”.
Perkataan Ibn Adi ini adalah dari ulama’-ulama’ ahlu sunnah yang mengatakan bahwa:
” قلت لابن خراج حدیث ما ترکناه الصدقة قالوا باطل”
Tentang hal ini Dzahabi di dalam kitab Tadzkiratu al-Hifadh jilid 2 halaman 683 dan di dalam kitab Sair A’lami an-Nubala’ jilid 13 halaman 510 begitu juga Ibn Hajar As-Qolani di dalam kitab Lisan al-Mizan jilid 3 halaman 44 dan di dalam kitab al-Kamil fi al-Dhuafa’ menyebutkan bahwa hadis ini (yang tersebut diatas) adalah batil dan tidak benar.
Point ketiga: perdebatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abubakar.
Setelah perampasan tanah fadak sayidah Fatimah menemui Abubakar dan berkata kepada Abubakar mengapa engkau merampas tanah fadak dari kami? Kemudian Abubakar membaca hadis diatas .
Setelah itu sayidah Fatimah az-Zahra menetapkan satu perkara islami dan dengan 2 ayat al-Quran memberikan dalil bahwa perkataan Abubakar batil dan tidak benar. Sayidah Fatimah az-Zahra berkata :
“اترث اباک ولا ارث ابی”
Hai Abubakar, kau mewarisi warisan dari ayahmu dan aku Fatimah (putri Nabi saw) tidak mewarisi warisan ayahku (apakah ini bisa diterima akal)?
” تزعمون ان لا ارث لي افعلی عمد ترکتم کتاب الله ونبضتموه وراء ظهورکم”
Apakah kamu tidak membayangkan dengan pikiran ini kamu telah menentang kitab Allah dan perintah-perintah Allah telah kamu letakkan dibawah kakimu (kamu menentang perintah-perintah Allah ). Kamu berkata kalau para Nabi tidak meniggalkan warisan. Akan tetapi al-Quran tentang Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud berkata:
“وورث سلیمان داوود”
(dan Suleiman telah mewarisi warisan dari (ayahnya) Dawud as.).
Dan juga hubungan antara Nabi Yahya dan Zakaria, Nabi Zakaria berkata:
“فهب لي من لدنک وليا يرثني ويرث من آل يعقوب”
(Maka anugerahilah aku dari sisimu seorang putera,yang akin mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub).
Jika seluruh Nabi tidak memberikan warisan , kenapa Nabi Zakaria meminta kepada Allah swt seorang anak yang akna mewarisi semua miliknya, dan semua milik keluraga Ya’qub?
Al-Quran mengeluarkan satu hukum yang mutlak yang ditujukan untuk seluruh orang-orang yang islam. Al-Quran berkata :
“یصیکم الله فی اولادکم للذکر مثل حظ الانثببن”
surah an-Nisa ayat 11.
(Allah mensyariatkan Kepadamu tentang (pembagian pusaka/warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki adalah sama dengan 2bagian anak perempuan….)
(فزعمتم ان لا حظ لي ولا ارث لي من ابي) (ولا ارث من ابي افحکم الله بآیة اخرج ابي منها)
Apa kamu berfikir kalau ada ayat yang lain yang melarang aku untuk mendapatkan warisan dari ayahku?
“ام يقولون اهل ملتین لا یتوارثان”
Apakah kamu meliki keyakinan kalau aku bukan seorang muslim dan telah murtad sehingga aku tidak bias mewarisi warisan ayahku?
Ini adalah perdepatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abu-Bakr , kejadian ini dinukil / diriwayatkan oleh Jauhari salah seorang ulama besar Ahlu sunnah didalam kitab as-Saqifah wa Fadak halaman 144 dan juga dinukil / diriwayatkan oleh Ibn Abi Alhadid didalam kitabnya البلاغة نهج شرح Begitu juga Ahmad Ibn Abi Thahir Baqdadi yang tereknal dengan Ibn Thaifur dalam kitab بلاغات النساء halaman14 menukilnya.
Point keempat: mengapa mereka tidak memberikan tanah Fadak kepada sayidah Fatimah az-Zahra ?
Didalam kitab السیرة الحلبیه jilid 2 halaman 485 dan jilid 3 halaman 362 disebutkan bahwa:
جائت فاطمة بنت رسول الله(ص) الی ابي بکر وهو علی المنبر فقالت : یا ابا بکر افي کتاب الله ان ترث ابنتک ولا ارث ابي؟ فاستعبر ابوبکر باکیا. ثم قال: بابای ابوک. وبابای انت. ثم نزل فکتب لها بفدک . ودخل علیه عمر فقال:ما هذا فقال:کتاب کتبته لفطة میراثها من ابیها. قال: فماذا تنفق علی المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری ثم اخذ عمرالکتاب فشقه
Ketika sayidah Fatimah az-Zahra datang menemui Abubakar yang ketika itu sedang berada di atas mimbar. Beliau ( sayidah Fatimah ) berkata : “wahai Abubakar Apakah didalam Al-Quran terdapat ayat yang menerangkan bahwa putrimu boleh mewarisi warisan darimu sedangkan aku tidak boleh mewarisi warisan dari ayahku ?” (setelah mendengar hal itu) maka Abubakar menyesal dan menangis kemudian turun dari mimbar dan menulis sebuah tulisan (yang menyatakan bahwa Abubakar mengembalikan tanah fadak terhadap putri Nabi saw ) untuk sayidah Fatimah, ketika selesai menulis Umar masuk menemui Abubakar dan berkata : ini apa (tulisan ini untuk siapa dan tentang apa)?
Abubakar Menjawab: ini tulisan yang aku tulis untuk Fatimah tentang warisan-warisan untuknya dari ayahnya. Umar berkata: Apa yang akan kau berikan kepada Muslimin(kalau bukan dengan tanah fadak) sedangkan semua orang arab telah melawan seperti yang telah kamu saksikan . Kemudian Umar mengambil surat/tulisan tersebut dan merobek-robeknya.
Disini terdapat point penting dan menarik.
“فماذا تنفق علی المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری”
Tulisan ini menerangkan bahwa (pada saat itu ) kabilah-kabilah arab telah bangkit melawan kita sedangkan tidak seorangpun yang membayar zakat dan pajak kepada kita. Dengan harta apa kamu ingin menjaga kekuasaan.
Kemudian pada kalimat terakhir “ثم اخذ عمر الکتاب فشقه” tulisan ini menyebutkan bahwa Umar mengambil tulisan Abubakar dan kemudian menyobeknya. Kalau Umar menghormati kekhalifahan Abubakar maka Umar tidak yakin menyobek tulisan Abubakar yang merupakan pemimpinnya.
Fatimah Az-Zahra a.s murka kepada Abubakar dan Umar !! Syi’ah mencontoh saja perbuatan puteri Nabi SAW
Ahlu Sunnah dan Fathimah Az zahra
Oleh: Nurul Huda
Tidak diragukan lagi dengan memperhatikan riwayat Ahlus sunnah sendiri bahwasanya Fatimah Az-Zahra a.s sangat marah dikarenakan khalifah pertama dan kawan- kawannya, dan beliau tidak ridho terhadap kedua-duanya (khalifah pertama dan kedua) dimana beliau sampai akhir hayatnya tidak berbicara dengan dua orang tersebut[1].
tidakkah Rasul saww telah bersabda: “barang siapa yang menyakiti Fatimah (a.s), maka telah menyekitiku dan barang siapa yang telah menyekitiku, maka Allah swt akan marah kepadanya”? Apakah bukan karena dalil ini, dimana Ali a.s mengkuburkan jenazah Fatimah Az-Zahra a.s di malam hari dan tidak membolehkan khalifah pertama dan kedua untuk ikut serta dalam pemakamannya? Sesungguhnya masalah ini terdapat dalam kitab-kitab Ahlus sunnah[2].
Pertanyaan semacam ini akan terus tetap ada dibenak kaum muslimin yaitu kenapa makam Sayidah Fatimah Az-Zahra a.s disembunyikan dan tidak diketahui? tidakkah beliau peninggalan Rasul saww, kautsar, salah satu bagian dari ayat tathir dan mubahalah? Apakah sampai sekarang tidak ada orang yang berfikir kenapa makam beliau dirahasiakan? Kenapa Imam Ali a.s, Imam Hasan a.s dan Imam Husain a.s serta Imam-Imam lainnya tetap menyembunyikan kuburan Sayyidah Fatimah Az-Zahra a.s? Tidakkah ini semua menceritakan akan kemarahan beliau dimana sebab marahnya beliau karena dua hal yaitu; pertama adalah masalah kekhilafahan dan masalah penyerangan ke rumah beliau serta pengancaman akan pembakaran rumah beliau, dan yang kedua adalah masalah tidak diserahkannya tanah fadak? Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab Ahlus sunnah[3].
Dalam kitab Aqdul farid karya Ahmad bin Muhammad bin abdirabbah jild 5 hlm 13-14 dituliskan bahwasanya Umar bin Khattab membawa obor ke rumah Fatimah Az-Zahra as guna membakar rumah tersebut, pada waktu itu dia bertemu dengan Fatimah Az-Zahra as, Fatimah as berkata kepadanya, “hai anaknya Khattab! apakah kamu datang kemari hanya ingin membakar rumah kami? Umar berkata, iya. kecuali kalian berbaiat kepada Abu Bakar[4].”
Peristiwa penyerangan dan pengancaman khalifah kedua kerumahnya Ali as dan Fatimah Az-Zahra as telah dituturkan dalam kitab-kitab Ahlus sunnah, dan hal tersebut tidak bisa dipungkiri, dengan adanya ini semua apakah bisa dibilang bahwasanya Syi’ah telah merekayasa kejadian tersebut? Jika peristiwa ini adalah rekayasa semata, maka bisa dibilang semua kitab-kitab Ahlus sunnah adalah rekayasa.
Referensi:
[1]- Muskil al-atsar, Abi Ja’far Thohawi juz 1 hlm. 47-48, / Sunan al-Kubra, Abu Bakar Baihaqi juz 6 hlm. 300,/ Jamiul Usul li ahadits al-Rasul, Ibnu Atsir Jazri juz 4 hlm. 428 hadis 2079 dan juz 10 hlm. 386 hadis 7417,/ Kanzul Ummal Muttaqi Hindi juz 5 hlm. 584 hadis 14069,/ Wafaul wafa’ bi ahbaril musthofa, Nuruddin Samhudi juz 2 hlm. 995,/ I’lam al-nisa’ Umar ridzo kuhalah juz 4 hlm. 122-124, juz 5 hlm. 285,/ Torikhul Khomis juz 2 hlm. 173.
[2]- Shohih Bukhori kitab maqozi juz 5 hlm. 82-83, begitu juga dalam juz 8 hlm. 3 kitab al faroidz,/ Jamiul usul Ibnu Atsir juz 4 hlm. 428, hadis 2079,/ Musnad Ahmad Hanbal juz 1 hlm. 9-10,/ Albidayah wan nihayah Ibnu Katsir juz 5 hlm. 285,/ Attalkhis Zzahabi,/ Mustadraok alas shohihain juz 3 hlm. 154.
[3]- Musnif, Abu Bakar Ibn Syaibah juz 7 hlm. 432 hadis 37045,/ Al Imamah wa al-siyasah Ibn Kutaibah juz 1 hlm. 12-13,/ Torikh ya’qubi: ya’qubi juz 2 133 dan 137 (dengan tema ayyamu Abi Bakar),/ Insabul asyrof beladri hlm. 586 hadis 1184,/ Torikhul umam wal muluk thobari juz 2 hlm. 443 peristiwa tahun 11.
[4]- Mukhtasar fi akhbar al-basar juz 1 hlm. 156,/ Kanzul Ummal Muttaqi Hindi juz 5 hlm. 651 hadis 14138,/ Izalatul Khalifah Dahlawi Hindi juz 2 hlm. 29 dan Kurratul Ainain hlm. 78.
_________________________________________
Di balik ikhtilaf umat Muhammad Saw
Oleh: Nurul Huda
1. Tubuh suci Rasul saww belum sempat terkuburkan, namun perselisihan mengenai masalah kekhilafahan sudah dimulai, jika seandainya mereka semua mengamalkan wasiat Rasul saww dan membawakan tinta serta pena diakhir hayat beliau, apakah perselisihan ini akan muncul ditengah-tengah masyarakat? Bukhori dalam kitab shohihnya meriwayatkan bahwasanya para sahabat berselisih disamping Rasul saww, sekelompok mengatakan supaya membawakan dan mendatangkan pena dan tinta tersebut, dan sekelompok lainnya menentangnya[1]. Jika mereka mengamalkan wasiat Rasul saww, apakah perlu beberapa orang membuat orang yang tidak jelas serta buatan dengan nama Abdullah bin saba’ dan semua perselisihan dinisbatkan kepadanya, sehingga yang lain yang melakukan kesalahan dan dosa-dosa bersih dari noda noda kesalahannnya? Apakah orang yang menelaah akan bisa menerima penjelasan penjelasan yang tidak masuk akal ini ?
2. Sumber sumber perselisihan kembali kepada orang-orang yang mana:
a. Mereka menyiapkan ladang kepemimpinan untuk Bani umayyah dan Bani abbas, terkhusus Muawiyah. Dan menyebabkan mereka mempermainkan agama Islam dalam bentuk yang mereka inginkan dan mereka menyelewengkan kebenaran.
b. Mereka yang mana telah mengasingkan para sahabat-sahabat setia Rasul saww dari Madinah seperti; Abu dzar, sementara Rasul saww telah bersabda, “saya tidak melihat manusia diatas bumi yang lebih jujur dari Abu dzar”, dan mereka yang mengembalikan orang-orang ke Madinah padahal orang-orang tersebut adalah orang-orang yang telah diasingkan dan diusir oleh Rasul saww seperti Hakam bin ash dan marwan, bahkan khalifah ketiga menikahkan anak putrinya dengan Marwan.
c. Orang-orang seperti Marwan bin hakam dengan merekayasa stempel Ustman telah mewujudkan sarana pembunuhannya, dan dalam perang jamal dia telah menancapkan anak panah pada tholah dan mebunuhnya[2].
d. Orang-orang yang tidak membaiat khalifah yang benar Ali bin Abi Thalib as, dan melakukan peperangan yang bermacam-macam kepadanya, seperti perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan. dengan jujur, seandainya Muawiyah, Tholhah, Zubair, Aisyah, dan pembesar-pembesar Khowarij tidak memerangi Ali as, apakah umat Islam akan melihat kebrobokan dan akan menemui keadaan yang ada seperti sekarang ini? Orang-orang Qositin, Marikin, dan Nakitsin itu siapa saja? Dan apa yang telah mereka perbuat untuk Islam?
e. Tidakkah pembunuhan Ustman merupakan sebuah pemicu terjadinya dua perang besar dan menyebabkan sahabat-sahabat terbaik Rasul saww terbunuh? Tidakkah para pengikut perang perang ini adalah tangan kirinya umawi dan marwan dimana mendorong istri Nabi saww maju kedepan dan telah melukai kehormatan Nabi saww dengan paling buruknya luka?
f. Bukankah ini semua adalah orang-orang yang telah melakukan peperangan terhadap Ahlul bait Rasul as dan mengikngkari keutamaan-keutamaan Ahlul bait as, serta membuat hadis-hadis palsu yang menentang Ali as?
3. Muawiyah
Meskipun sekelompok para peneliti dan Ulama Ahlus sunnah telah mencela Muawiyah dikarenakan beberapa hal yang natinya akan kami sebutkan, dan perilaku serta sikapnya yang telah membahayakan umat Islam, akan tetapi pada Kenyataannya masih ada sebagian yang lain yang membela Muawiyah dan menjabarkan kesalahan-kesalahan Muawiyah dan mengingkarinya, terkadang mereka menyebut Muawiyah dengan penulis wahyu (كاتب الوحي), atau Paman (dari ayah) orang-orang mukminin (خال المؤمنين).
Sementara Muhammad bin Abu Bakar juga paman (dari ayah) Nabi, tetapi kenapa mereka mereka tidak menyebut Muhammad bin Abu Bakar dengan sebutan ini?
Tidakkah Muawiyah adalah orang yang telah memerangi Al-Hasan as cucunya Rasul? Dan setelah perjanjian perdamaian akhirnya Muawiyah membunuhnya (dengan meracun beliau melalui perantara istri beliau)?
Tidakkah Muawiyah adalah orang yang telah membunuh Hijr bin udai dan teman-temannya -padahal dia termasuk orang-orang mukmin pertama Islam – dengan dosa karena telah mencintai Ali as? Tidakkah Muawiyah adalah orang yang telah melegalkan akan pencacian dan pelaknatan kepada Ali as?[3]
Padahal Rasul saww telah bersabda, “memusuhi Ali (a.s) adalah memusuhi saya”? Tidakkah Muawiyah adalah orang yang telah dilaknat oleh Rasul saww[4]?
Tidakkah Muawiyah adalah orang yang telah mengingkari perjanjian damai dengan Imam Hasan as dimana dia telah mempromosikan Yazid anaknya sebagai pengganti setelahnya, dan Yazid adalah orang yang telah membunuh Al-Husain as cucu Rasul saww, telah menyerang Ka’bah, serta telah membunuh orang-orang Madinah secara umum?
Apakah Muawiyah tidak ikut serta dalam kriminalitas anaknya?
Kenapa istri Rasul saww melakukan peperangan kepada khalifah Rasul?
Tidakkah orang yang keluar dari barisan khalifah yang benar dikatakan sebagai terdakwa dan termasuk pemberontak yang zalim ?
Kenapa menyalahi perintah al-Qur’an dimana Allah swt telah berfirman, وقرن في بيوتكنّ “isteri-isteri nabi itu harus tinggal di rumah mereka dan jangan keluar dari rumah”, malah ikut berperang melawan Ali as di Bashrah?
Tidakkah Rasul saww telah bersabda,
يا علي حربك حربي وسلمك سلمي ?
dengan adanya hadis semacam ini sama halnya Muawiyah, Aisyah, Tholhah, Zubair memerangi Rasul, karena berperang dengan Ali as tak ubahnya berperang dengan Rasul[5]. Apakah dengan menelaah dan mengenal sejarah secara global -dimulai dari pertanyaan yang mana siapa saja yang telah menyebabkan perselisihan dan kebinasaan Islam dalam masyarakat Islam dimana dampak tersebut masih tetap ada sampai sekarang- akan bisa ditutupi?
Referensi:
[1]- Shohih Bukhori juz 1 bab 83.
[2]- Tarikh Islam Dzahabi, peristiwa perang Jamal dan Usudul Ghobah juz 2 hlm. 469.
[3]- Shohih Muslim juz 2 hlm. 360,/ Shohih Turmudzi juz 5 hlm. 301, dan 309, / Al-Mustadrok Hakim Nisaburi juz 3 hlm. 109, / Tarikh Damsik Ibnu Asakir Syafii juz 1 hlm. 206, 271, 272/ Khoshois Amirul Mukminin Nasa’i Syafii hlm. 48,/ Durorus Simthoin Zarandi Hanafi hlm. 107.
[4]- Shohih Muslim kitab al bir bab man laanahu al-Nabi au sabbahu.
[5]- Al-Mustadrak alas sahihain juz 3hlm. 149, penulis kitab ini mengaku bahwasanya hadis ini adalah hadis yang Shohih (benar)/ Musnad Ahmad bin Hanbal juz 2 hlm. 422/ Mu’jamul Kabir Thabrani juz 3 hlm. 31,/ Tarikh Baghdad juz 7 hlm. 137/ Durul Mantsur juz 5 hlm. 199.
__________________________________________
Ahlu Sunnah dan Kekhalifahan.
Oleh: Nurul Huda
Salah satu pembahasan yang sangat mendasar dan sangat penting sekali dalam mazhab-mazhab Islam adalah masalah kekhilafahan dan keimamaan (kepemimpinan). Berkenaan dengan khilafah dari mulai permulaan Islam sampai sekarang ada dua pandangan, pandangan pertama berkeyakinan bahwasanya masalah Imamah itu berkaitan dengan masyarakat dan Rasul saww dalam masalah ini tidak mengungkapkan sama sekali akan masalah pengganti setelahnya dan beliau tidak menunjuk seorang pun.
Adapun pandangan yang kedua berkeyakinan bahwasanya masalah Imamat dan penggantinya Rasul saww itu seperti masalah-masalah lainnya dalam Islam dimana diharuskan bagi Allah swt untuk menentukannya dengan perantara wahyu, dan pengaturan dan penetuan ini lebih tinggi dari jangkauan akal dan pikiran pikiran manusia, oleh karena itu Rasul saww diperintahkan untuk menyampaikan masalah penggantinya kepada masyarakat. Adapun diantara dua pandangan ini mana yang lebih logis dan sesuai dengan syareat? Peranan dan pentingnya Imam dalam tafsir, menjelaskan, serta melaksanakan hukum- hukum terakhir agama Tuhan, adanya lahan perselisihan dari dalam, berpengaruhnya orang-orang munafik yang ada di Madinah, ketidak amanan dalam perbatasan dan penyerangan pasukan negri Rum ke Negara Islam, penyiapan pasukan dengan dipimpin oleh Usamah, munculnya Musailamah al-Kadzdzab, murtadnya sebagian kaum muslimin, dan berpuluh- puluh lagi masalah lainnya, manusia dipaksa untuk berfikir dimana dengan adanya masalah-masalah ini yang mana dari ini semua sudah cukup bisa membinasakan Islam, bagaimana:
1. Rasul saww- dengan adanya masalah-masalah seperti ini- tidak memaparkan dan tidak memprogram masalah pengganti setelah dirinya dan bagaimana bisa beliau bisa lalai akan masalah ini? Apakah di tengah-tengah sahabat ini tidak terlontarkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini dimana siapa pengganti setelah meninggalnya beliau?
2. Rasul saww telah mendapatkan berita mengenai kematin dirinya, orang yang berakal dan cendekiawan mana yang akan bisa menerima dimana beliau lupa akan natijah susah payahnya selama 23 tahun dan melepaskan masyarakat berada dalam kebingungan dan peperangan dari dalam sendiri? setidaknya beliau berkata, “kalian tunjuklah sendiri seorang pengganti setelah saya?.”
3. Rasul saww yang mana mengetahui seluruh permasalahan permasalah umatnya, dan dikarenakan rasa kasih sayang dan perhatian kepada kaum muslimin dan orang-orang mukmin, apakah beliau tidak seukuran dengan Abu Bakar dimana memikirkan masalah umat dimana ketika dalam keadaan sakarotul maut dia menulis sebuah wasiat yang mana dalam wasiatnya tersebut dia memperkenalkan Umar bin kahttab sebagai pengganti setelahnya?
4. Apakah manusia yang logis bisa menerima bahwanya Rasul saww dimana memiliki pengetahuan akan perselisihan diantara sahabat dalam semua sisi meyererahkan kepada mereka untuk memilih pemimpin mereka sendiri? Semua hal ini -dengan pemikiran ini -membimbing manusia dimana bahwasanya beliau saww dalam beberapa kesempatan telah melaksanakan hal ini seperti; hadis manzilat, ghodir khum, tsaqolain, dan berpuluh puluh ayat serta hadis lainnya. Dan beliu telah memprogram untuk setelah dirinya dan di akhir-akhir hayatnya, Rasul saww telah menyempurnakan risalahnya sebagaimana sabda beliau : “berikan saya pena dan tinta sehingga saya menuliskan untuk kalian dimana kalian tidak akan pernah tersesat”, akan tetapi khalifah kedua Umar bin Khattab tidak mengijinkannya dan berkata,
انّ النّبي قد غلب عليه الوجع
“sesungguhnya Rasul (saww) telah terkena demam[1].” Dan dalam sebagian riwayat disebutkan bahwasanya beliau telah meracau, dan dengan membuat keributan dan kebisingan sehingga tidak memberi kesempatan kepada Rasul saww untuk menulis wasiat, padahal ketika Abu Bakar sakit, Umar bin Khattab menuliskan sebuah wasiat dimana penganti setelah Abu Bakar adalah dirinya, dan disini kenapa Umar tidak mengatakan kepada Abu Bakar bahwasnya dia sedang meracau?
5. Kenapa sewaktu Rasul saww meminta diberikan tinta dan pena Umar bin kahttab mengatakan hal tersebut, akan tetapi sewaktu Abu Bakar meminta supaya dituliskan, dia tidak mengatakan
(حسبنا كتاب الله)
“cukup bagi kita al-Qur’an saja.” pergerakan ini pada waktu itu berartikan apa? Kenapa sahabat berselisih disamping Rasul saww sehingga Rasul saww sangat marah dan berkata pergilah dari sini dan menjauhlah kalian semua dariku?
6. Apakah kita bisa tidak untuk menerima riwayat ghodir yang mana Syi’ah dan sunni telah meriwayatkannya secara mutawatir dan 110 orang dari kalangan Sahabat serta 84 orang dari kalangan Tabiin dan 360 orang dari kalangan cendekiawan besar Ahlus sunnah telah meriwayatkan hadis tersebut dalam karya- karya mereka? tidakkah hadis ini bersumber dari sunnah Rasul saw? Apa makna dari mengikuti sunnah Rasul saw?
7. Apakah perintah-perintah Rasul saww dalam hal ini bisa disalah artikan yang mana menyalahi akal dan syareat, meskipun banyak sekali qarinah- qarinah yang menunjukkan akan masalah tersebut sehingga seolah-olah disangkakan bahwasanya masalah khilafah adalah urusan masyarakat? Jika seseorang mengatakan bahwasanya Rasul saww telah memproklamirkan Ali bin Abi Thalib a.s sebagai penggantinya, apakah tidak ada sahabat yang menentangnya dan tidak akan muncul perselisihan? Dalam menjawab hal ini perlu dikatakan bahwasanya beliau memiliki banyak perintah yang mana berkenaan dengan mereka antara sahabat satu dengan lainnya saling berselisih dan mengamalkan sesuai dengan hasil ijtihad mereka sendiri, khalifah kedua Umar bin Khattab banyak sekali mengamalkan berdasarkan ijtihadnya sendiri dimana disitu menyalahi perintah Rasul saww, dan memiliki perselisihan dengan sahabat-sahabat meskipun dalam masalah yang sangat jelas sekali yang mana dilakukan dalam setiap hari, seperti wudhu, tayamum, dll. Atau orang-orang seperti Tholhah, Zubair, dan Muawiyah memusuhi Ali bin Abi Thalib as padahal Rasul saww telah bersabda kepada Zubair bin Awam, “kamu memerangi Ali (a.s) sementara kamu adalah orang yang dzalim[2].” tidakkah Rasul saww telah mengatakan: “berperang dengan Ali (a.s) sama halnya berperang dengan saya?” Dan berpuluh puluh hal lainnya. Khalifah kedua suatu hari mengumpulkan para sahabat dan berkata kepada mereka : kenapa kalian berselisih dalam masalah takbir shalatnya mayit, jika kalian tidak bermufakat, maka setelah kalian perselisihan akan semakin bertambah banyak? Apakah para sahabat tidak melihat tata cara Rasul menshalati mayit, wudhu, serta tayamumnya Rasul saw? Lantas kenapa mereka berselisih? Apakah ada orang yang ragu akan hadis ghodir? Lantas kenapa melakukan penafsiran yang beraneka ragam dengan pendapat sendiri (ra’yu) dan istihsan yang mana tidak sesuai dengan realita?
8. Jika pemilihan Imam dan khalifah diserahkan kepada masyarakat, kenapa ketika jenazahnya Rasul saww belum dikuburkan, sekelompok kecil berkumpul di Saqifah tanpa dihadiri oleh seluruh sahabat terlebih-lebih Ahlul bait Nabi as, Bani hasyim, Abbas, Abu dzar, Miqdad, dan berpuluh-puluh sahabat lainnya, padahal di saqifah itu sendiri telah terjadi banyak perselisihan antara Muhajirin dan Anshar? Apakah tidak ada tempat untuk bermusyawarah dengan Ahlul Bait Nabi a.s dan Amirul Mukminin Ali a.s?
9. Dengan gambaran-gambaran diatas, apakah resmi (secara syar’i) kekhilafahan pertamanya Abu Bakar dalam pandangannya Ali a.s? Jika memang resmi, maka diharuskan Ali a.s membaiat Abu Bakar dengan keinginanan dirinya sendiri setelah di kuburkannya Rasul saww, sementara sesuai dengan riwayat Ahlus sunnah beliau sampai enam bulan tidak membaiat Abu Bakar[3].
10. Kenapa Ali a.s dipaksa dan diancam supaya berbaiat? Sementara setelah meninggalnya istri beliau Fatimah Az-Zahra a.s, Imam berbaiat guna menjaga Islam dan demi kemaslahatan-kemaslahatan Islam?
11. Jika Imam Ali a.s tidak marah atas pembaitan kepada khalifah pertama, kenapa beliau selama 25 tahun tingal di rumah? Kenapa Ali a.s dengan keberanian dan kekuatannya yang mana keikut sertaan beliau dalam peperangan di awal Islam yang ada sudah dijadikan bahan omongan oleh orang-orang husus dan umum lebih memilih tinggal di rumah dan tidak ikut serta dalam peperangan dimasa Abu Bakar dan Umar?
12. Apakah ketidak ikut sertaan Imam dalam perang dimasa masa khulafa’ sebelum beliau menunjukkan akan ketidak resmian kekhilafahan mereka? Bukti akan hal ini adalah riwayat terkenal dari Ibnu Abbas, dia berkata: kami pergi ke Syam bersama khalifah kedua Umar bin Khattab, ditengah-tengah perjalanan dia berkata Ibnu Abbas! Saya ingin mengadu tentang anak putra pamanmu, karena saya meminta dia supaya ikut serta dengan kami, akan tetapi dia tidak menerimannya. Dan saya selalu melihat dia dalam keadaan berduka dan bersedih. Saya berkata kamu tahu kenapa dia bersedih? Umar berkata kesedihan Ali (a.s) karena kekhilafahan dirampas darinya, karena menurut keyakinannya bahwasanya Rasul saww telah menyerahkan kekhilafahan kepada dirinya[4].
13. Apakah khalifah ketiga tidak dipilih melalui syuro yang dihadiri oleh enam orang yang dipilih oleh khalifah kedua bisa dikatakan resmi dimana dibarengi dengan susunan tersendiri dan ancaman yang terkenal? apakah kesempurnaan ilmu dan maknawiah yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib a.s tidak cukup untuk menjadi pemimpin khalifah? khalifah mana yang bisa membuat seperti Nahjul balaghoh atau mebuat satu khutbah yang ada dalam khutbah pertama beliau dan bisa menjelaskan akan hakekat tauhid dan agama? apakah ini merupakan ketidak adilan dan kezaliman dimana masyarakat Islam tidak mendapatkan orang seperti beliau dan beliau tinggal di rumah?
14. Apakah hadis tsaqolain,
انی تارك فيكم الثقلين كتاب الله وعترتی… حتی يردا علیّ الحوض
dan hadis Ali (a.s) bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali (a.s), kedua-duanya tidak akan berpisah sampai bertemu dengan saya di telaga nanti
علي مع القرآن والقرآن مع علي لايفترقان حتّي يردا عليّ الحوض[5]
tidak cukup untuk kesempurnaan maknawinya Ali bin Abi Thalib (a.s) bahkan kesuciannya? Ketika sunnah sudah menetapkan akan keismatannya, kenapa para pengklaim sunnah nabawi mengingkari kandungan sunnah itu sendiri? Apakah dengan adanya Imam maksum, orang lain bisa mengklaim sebagai khalifahnya kaum muslimin?
15. Sesuai dengan riwayat Ahlus sunnah dan Syi’ah, Rasul saww bersabda,“barang siapa yang mati sementara dia tidak mengenal Imam zamannya, maka matinya adalah sebagaimana matinya orang jahiliyyah.”
(من مات ولم يعرف امام زمانه مات ميتةً جاهليّة)[6].
“Yakni mati dengan tanpa beriman.” Dan kelaziman dari perkataan ini adalah disetiap zaman itu harus ada Imam, oleh karena itu apakah setiap hakim dan khalifah bisa disebut sebagi Imam? Siapa Imamnya kaum muslimin dimasa mendatang? Dan siapa saja manifestasi dari hadis-hadis ini? Apakah hadis ini tidak menunjukkan akan keimamahan merupakan bagian dari iman?
16. Dalam shohihnya Ahlus sunnah disebutkan bahwasanya Rasul saww bersabda, “khulafa’ku ada dua belas orang dan mereka semuanya dari Quraisy”[7]? Siapa dua belas orang tersebut?
17. Ahlus sunnah menganggap bahwasanya Hukumat Islamiyyah dan Imamat adalah bagian dari furu’udddin (cabang-cabang agama) dan dari sisi lain mereka mengatakan bahwasanya hukumat itu diserahkan kepada masyarakat, padahal furu’uddin yakni shalat, puasa, dll dijelaskan melalui perantara wahyu, bukan syuro (musyawarah)! Apakah masalah furu’uddin bisa diserahkan kepada musyawarah dan syuro masyarakat? syuro itu bisa dilakukan dalam sebagian masalah seperti bagaimana tata cara berperang dll, bukan penentuan dalam furu’uddin. Dengan demikian jika orang menganggap bahwasanya hukumat Islami dan Imamat merupakan furu’uddin, apakah disini tidak mengharuskan bahwasnya hukumat juga diharuskan ditentukan oleh wahyu sebagaimana furu’uddin-furu’uddin lainnya? Adapun tema lainnya yaitu seluruh kaum muslimin berkeyakinan bahwasanya Islam adalah agama yang sempurna, dan jika dikatakan bahwasanya hukumat Islami merupakan bagian dari furu’uddin, dan dalam Islam , al-Qur’an dan Rasul saww tidak mengatakan sesuatu yang menyangkut hal tersebut dan perkara ini diserahkan kepada masyarakat, maka kelaziman dari pandangan ini adalah belum sempurnya agama Islam sampai sekarang dan belum disempurnakan. Dan masyarakat telah menyempunakan agama Islam karena telah menerangkan metode hukumat! Apakah dua perkataan ini tidak saling kontradiksi? Apakah ini tidak menunjukkan bahwasanya Islam tidak memiliki pandangan yang tetap berkenaan dengan masalah hukumat?
18. Sebagian Ulama selalu mebicarakan hubungan baiknya antara Ali as dengan khulafa’ dalam sebagian perkara, akan tetapi mereka tidak melihat dari arah lainnya dimana beliau dalam khutbah Syiqsyiqiyahnya sangat mengkritik akan metode khulafa’ terutama metode metodenya khalifah usman bin affan dan penghosopan (mengambil tanpa ijin) khilafahnya[8]. Kenapa orang-orang tersebut tidak mebicarakan kediaman Ali bin Abi Thalib a.s selama duapuluhlima tahun dan diamnya beliau di rumah serta kemazluman beliau?
19. Berdasarkan apa keutamaan (afdzal) dijadikan sebagai pondasi giliran khalifah? Apakah ada dalil yang menunjukkan akan tolak ukur ini? Ayat dan hadis mana yang mengatakan bahwasanya keutamaan merupakan tolak ukur khilafahan? apakah orang yang potensi lainnya lemah bisa dikatakan utama (afdzal) ketika orang tersebut menjadi khaolifah? Jika tolak ukurnya adalah ini, maka Yazid dan khalifah lainnya dari Bani umayyah bisa dibilang lebih utama dari Ahlul bait a.s, keutamaan dalam apa? Apakah pendahuluan (lebih dahulu memeluk) dalam Islam? Atau dalam keberanian dan kedermawanan dalammedanperang? Apakah khulafa’ itu sendiri yang mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang afdzol ataukah para pengikutnya dengan hadis-hadis palsu mengklaimkan demikian? tidakkah tiga khalifah mengatakan bahwasanya Ali a.s masih muda dan memiliki banyak musuh, serta tidak ada maslahat ketika menjadi khalifah dan sama sekali tidak mengargumentasikan akan keutamaan diri mereka?
20. Kesimpulan dari pandangan Ahlus sunnah berkenaan dengan masalah kekhilafahan adalah Islam tidak memiliki penjelasan yang jelas mengenai masalah khilafah, karena sebagian mengatakan jika seseorang menjadi hakim dengan kekuatan (kudrat) maka dia adalah khalifah, dan sebagian lainnya mengatakan jika salah seorang membaiat lainnya, maka orang terserbut menjadi khalifah, dan pandangan pandangan lainnya[9]. Apakah ini semua tidak mengherankan? Buat apa semua kebingungan ini? Bukankah Islam adalah agama yang sempurna? Tidakkah Islam dalam masalah-masalah yang sangat kecil dan mustahab saja memiliki undang undang yang khusus, adapun untuk masalah Imamat dan hukumat, dimana paling penting dan paling gentingnya masalah masyarakat, tidak memiliki hukum yang jelas? Tidakkah pendapat Ahlus sunnah disini menjelaskan akan poin yang sangat pahit dimana jika seorang yang zalim memegang hukumat Islam, maka orang tersebut tetap dikatakan sebagai khalifahnya kaum muslimin?
Referensi:
[1]- Riwayat ini dapat kalian temui dalam kitab Ahlus sunnah sendiri misalnya; Shohih Muslim Syarh Nawawi, kitab al-Wasiyyah juz 11, 12 hlm. 95, / Shohih Bukhori juz 1 hlm. 54 bab 82 dan juz 9 bab qaulu almaridz qumu anni, dan Musnad Ahmad bin Hanbal juz 1 hlm. 355 dan juz 5 hlm. 351.
[2]- Usud al-Ghobah fi makrifati al-shohabah, penerjemah, Zubair.
[3]- Shohih Bukhori kitab maqozi bab 155, perang khaibar hadis 74,/ Shohih Muslim kitab jihad wa sair hadis 3304,/ Alkamil fi al-Tarikh Ibnu Atsir juz2 hlm. 327 dan 331, / Sirotun nabawiyah Ibnu Katsir juz 4 hlm. 495.
[4]-
فقال عمر يابن عبّاس اشكو اليك ابن عمك سألته ان يخرج معی فلم يقبل ولم ازل اراه واجداً فيم تظنّ موجدته؟ فقلت يا امير المؤمنين انّك لتعلم. فقال: اظنّه لا يزال كيئباً لفوت تالخلافة قلت هو ذاك انّه يزعم انّ رسول الله أراد الامر له. فقال: يابن عبّاس وأراد رسول الله صلی الله عليه وآله الامر له فكان ماذا اذا لم يرد الله تعالی ذالك..فنفد مراد الله تعالی ولم ينفد مراد رسول الله؟
(Syarh Nahjul Balaghoh Ibn Abil Hadid juz 3 hlm. 114).
[5]- Hadis ini telah diriwayatkan dalam kitab Syi’ah dan sunni misalnya; Shohih Muslim Syarh Nawawi juz 15 dan 16,/ Fadzoil Ali bin Abi Thalib hlm. 180,/ Mu’jam Al-Ausath Thabrani juz 5 hlm. 455,/ Kanzul umal Muttaqi Hindi hadis 32912, Majmauz zawaid juz 9 bab fadlu ahlil bait.
[6]- Musnad Abi Dawud Thoyalisi hlm. 259, / Syarh Aqoid Nasafi: Nasafi bahsul Imamat wal khilafat.
[7]- Shohih Muslim kitab al-Imaroh bab 1 hadis 7, / Musnad Ahmad Hanbal juz 5 hlm. 90,/ Bukhori kitab al-ahkam bab 1148 hadis 2034, / Sunan Turmusdzi kitab al-fitan bab 46 hadis 1.
[8]- Nahjul Balaghoh khutbah syiqsyiqiyyah.
[9]- Untuk mengetahui lebih lanjut bisa merujuk dalam kitab Ahkam al-sulthoniyyah Mawardi.
(Syiahali/
Post a Comment
mohon gunakan email