Ditulis Oleh : Candiki Repantu
MENGENAL DAN MEWASPADAI
PENYIMPANGAN BUKU PANDUAN TENTANG SYIAH
(Bedah Buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” )
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad
PEMBUKA
Tulisan ini dibuat untuk menanggapi buku yang berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang diterbitkan oleh penerbit Alqalam yang dieditori oleh Prof. Dr. Hasan Baharun. Tanggapan ini sebagai niat baik untuk konfirmasi dan informasi karena terdapat penyimpangan-penyimpangan yang fatal dalam buku tersebut. Perlu diketahui, syiah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah syiah imamiyah itsna asyariyah, yaitu syiah yang meyakini ada 12 imam setelah Rasul saaw yakni Imam Ali hingga Imam Mahdi. Terkadang disebut juga mazhab Ja’fari atau mazhab Ahlul Bait. Saya tidak mengulas syiah lainnya, karena pada dasarnya buku Panduan MUI”—meskipun masih diragukan benarkah diterbitkan oleh MUI secara resmi—mengarahkan tulisannya kepada syiah imamiyah ini, hal ini dibuktikan dengan membawa-bawa negara Iran sebagai “pengekspor” syiah tersebut, dan semua orang tahu Iran adalah satu-satunya negara yang menjadikan syiah imamiyah itsna asyariyah sebagai landasan negaranya. Selain itu, di Indonesia juga yang umumnya berkembang adalah syiah imamiyah ini.
Beberapa tahun yang lalu saya juga pernah diminta dalam suatu diskusi untuk membedah buku yang menghujat syiah yaitu karya seseorang yang mengaku bernama Husain al-Musawi yang menulis buku “Mengapa Aku Keluar dari Syiah”. Saya menyebut beberapa hal penting kehadiran buku tersebut, dan tampaknya, poin-poin itu masih relevan dengan terbitnya buku panduan MUI ini. Saya menyebutkan Kehadiran buku seperti ini memberikan beberapa hal penting.
Pertama, Pada tahap tertentu buku ini menjelaskan pemikiran-pemikiran mazhab syiah, bahkan iklan gratis bagi mazhab syiah. Hanya saja —daripada membahas secara ilmiah—, buku ini secara sengaja mengumpulkan sisi-sisi negatif mazhab syiah. Hal ini sudah terlihat sejak dari judulnya “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Mazhab Syiah”. Tapi, secara positif, kita bisa berbaik sangka, bahwa buku ini ingin menjelaskan adanya mazhab syiah yang menyimpang dan ada yang tidak menyimpang, dan kita mewaspadai yang menyimpang tersebut. (Tapi nanti kita akan melihat ternyata buku ini juga berisi penyimpangan-peyimpangan)
Kedua, Buku ini pada tahap tertentu telah menciptakan sentimen kemazhaban dari kedua belah pihak (sunni dan syiah) yang dapat merusak persatuan kaum muslimin dalam bingkai berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Semoga tidak terjdi konflik sektarian yang meluas di Indonesia. Karena itu, buku ini mengingatkan orang syiah –dan pada tahap tertentu juga orang-orang sunni— untuk lebih waspada karena bisa saja buku ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghalangi bagi terjadinya pendekatan antar mazhab dan persatuan kekuatan kaum muslimin.
Ketiga, buku ini meningkatkan ketegangan hubungan antar umat seagama yang seharusnya dipupuk terlebih disaat Islam dipojokkan dengan beragam isu konflik yang berdampak internasional seperti isu terorisme. Sebagai tambahan,..
Keempat, buku ini dalam tataran tertentu semakin memperkuat “perjuangan” kelompok takfiri transnasional (kelompok yang suka mengkafirkan dan menyesatkan kelompok lain) yang mulai banyak merebak di Indonesia, bahkan tidak jarang disertai dengan kekerasan dan anarkisme. Kelompok inilah yang sebenarnya harus diwaspadai.
Kelima, buku ini hadir mendekati pesta politik Indonesia yakni pemilu, yang tentu saja umat Islam akan turut andil besar dalam mensukseskannya. Tak pelak isu sentimen kemazhaban, juga merebak di tengah-tengah komoditas politik, karena boleh saja banyak juga para penganut mazhab yg berbeda maju menjadi calon-calon politikus papan atas. Dan biasanya konflik muncul lebih cenderung karena politisasi ini. Saya yakin MUI tidak berniat untuk memecah belah umat, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa karya ilmiah ini tidak digunakan oleh sekelompok orang untuk kepentingan golongannya, partainya, atau kelompoknya.
Dengan memperhatikan kelima poin itu, maka saya berusaha semaksimal mungkin mengulas dan memahaminya untuk memberikan informasi dan tanggapan yang memadai. Namun, tentu saja tanggapan saya ini bukanlah tanggapan resmi mazhab syiah. ini hanya tanggapan dan bedah buku yang saya susun sepintas lalu, untuk diskusi dan bedah buku tersebut. Dan hanya sebagai wujud partisipasi dalam munazharah intelektual dan sumbangsih informasi dalam bentuk tulisan. Untuk mempermudah bacaan, maka tulisan ini di susun secara berseri sesuai tema yang saya pandang layak untuk di bedah dan mungkin tidak mencakup semua temanya, sesuai dengan format diskusi dan bedah buku. Semoga bermanfaat bagi kawan-kawan ahlussunnah dan juga syiah dalam mengukuhkan persaudaraannya dengan saling memahami melalui informasi yang memadai.
IDENTITAS BUKU
Buku yang ingin saya bedah saat ini berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”. Buku ini diterbitkan sekitar bulan september/oktober tahun 2013, oleh penerbit Al-Qalam, suatu penerbit di bawah kelompok Gema Insani Jakarta. Buku kecil yang hanya setebal 120 halaman ini (sudah termasuk pengantar penerbit, pengantar penulis, daftar isi dan daftar pustaka), cukup bergengsi karena di tulis oleh Tim Penulis yang terdiri para ulama dan intelektual serta akademisi yang berkiprah di MUI Pusat, yaitu : DR (H.C) K.H. Ma’ruf Amin; Prof. Dr. Yunahar Ilyas, MA; Drs. H. Ichwan Syam; dan Dr. Amirsyah T, MA. Dan untuk menambah dayanya, buku ini di editori oleh Prof. DR. Hasan Baharun, yang dianggap sebagai editor ahli tentang syiah karena pernah menulis buku kecil saku yang berjudul “201 Tanya Jawab Syiah”, (maaf! saya menyebutnya buku kecil karena sebelum Prof. Baharun menerbitkan bukunya, seorang ulama syiah Prof. Ali Kurani pernah menulis berjilid-jilid buku tentang 1000 soal dan bantahan tentang syiah, yang berjudul Alfu as-Sual wa al-Isykal ‘ala Mukhalifin li Ahli al-Bait at-Thahirin).
Selain Daftar Isi, Pengantar Penerbit, Pengantar Penulis, dan sambutan Dewan Pimpinan MUI, buku ini terdiri dari lima bab, sbb : Bab I : Pendahuluan; Bab II : Sejarah Syiah; Bab III : Penyimpangan Ajaran Syiah; Bab IV : Pergerakan Syiah di Indonesia; dan Bab V : Sikap dan Respon Majelis Ulama Indonesia. Bagian akhir ditutup dengan lampiran “Fatwa dan Pernyataan Ulama Indonesia Tentang Hakikat dan Bahaya Syiah” dan Daftar Pustaka…
POIN-POIN TANGGAPAN
PENYIMPANGAN ANTARA VISI MUI DAN VISI PENULIS BUKU
Tim Penulis Buku Panduan (TPBP) berkata : “Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim, yang kehadirannya berfungsi untuk mengayomi dan menjaga umat. Selain itu MUI juga wadah silaturahim yang menggalang ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyyah, demi untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, damai, dan sejahtera dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (hal. 1).
Tanggapan:
# Candiki Repantu (CR): Betapa indahnya kalimat-kalimat di atas, dan tentu kita semua berharap MUI memang menjadi lembaga yang mengayomi dan menjaga umat Islam yang berbeda-beda mazhabnya baik sunni maupun syiah. Kita berharap MUI menjadi wadah silturrahmi yg menggalang ukhuwah islamiyah diantara sesama kaum muslim, baik sunni maupun syiah, ukhuwah wathaniyah bagi semua warga Indonesia apapun suku, agama dan mazhabnya, dan ukhuwah insaniyah bagi sesama manusia tanpa memperdulikan agama dan mazhabnya. Tapi apakah harapan tersebut terlihat dalam buku ini? Apakah setelah membaca buku tersebut akan muncul semangat untuk membangun ukhuwah?
Perhatikan kutipan dari buku tersebut : “Al-Bukhari berkata, “Saya tidak akan salat di belakang penganut Jahmiah dan rafidhah, sama seperti salat di belakang Yahudi dan Nasrani, tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka, tidak dijenguk, tidak boleh dinikahkan, tidak boleh disaksikan jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya” (hal. 21)
Menurut pembaca, apakah kalimat ini mencerminkan jembatan ukhuwah atau akan menjadi penghalang ukhuwah? Kalau menjadi penghalang, maka kita ragu apakah buku ini memenuhi visi mulia MUI. Saya serahkan anda menilainya masing2.
____________________________________________
TPBP menulis: Untuk menjalankan fungsi dan tujuan sebagaimana di atas, MUI melakukan pendekatan dan upaya proaktif, responsif, dan preventif terhadap berbagai problem keumatan dan kerakyatan agar problem-problem tersebut sedini mungkin dapat diatasi sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih luas pada masyarakat, khususnya umat Islam.
Tanggapan
#CR: Ini juga hal yg kita harapkan bersama bahwa MUI melakukan pendekatan yg proaktif, responsif, dan prepentif. Tapi apakah buku ini menerapkannya, atau buku ini cenderung pada pendekatan yg propokatif, retorik, dan destruktif saat membicarakan “kesesatan dan penyimpangan” syiah. Boleh jadi, bagi sebagian, ini adalah bentuk proaktif karena berusaha menasehati umat untuk hati-hati dengan “kesesatan” syiah; tetapi ini juga bisa dianggap propokatif karena memancing umat untuk “menyesatkan” syiah. Boleh jadi, ini wujud responsif terhadap perkembangan syiah yang “menyimpang” di tengah-tengah umat, tetapi ini juga bisa dinilai retorik karena hanya fokus pada “penyimpangannya” saja. Boleh jadi ini juga usaha preventif utk mencegah umat “bersatu keyakinan” dengan syiah, tetapi juga bisa dinilai destruktif karena mencegah umat untuk mengutamakan persatuan di dalam perbedaan.
_______________________________________
TPBP menulis: Atas dasar tugas dan tanggungjawab luhur dalam membina dan menjaga umat pada berbagai aspeknya, dan sebagai bentuk tanggungjawab ke hadapan Allah SWT dalam meluruskan aqidah dan syariah umat…membuat buku panduan—seperti buku panduan tentang syiah ini—setelah dilakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam. Buku panduan ini sebagian merupakan penjelasan teknis dan rinci dari rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI pada Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984…” (hal. 2)
Tanggapan:
#CR: Betapa beratnya tugas dan tanggung jawab tersebut, dan lebih berat lagi saat Allah swt meminta pertanggungjawaban atas semua perkataan, tulisan, dan tindakan yg dilaksanakan kelak di akhirat dalam pengadilan Ilahi. Betapa di dalam sejarah kekuasaan Islam yg bermasalah saat berhubungan dengan dukungan mazhab. Berapa banyak orang dihukum hanya karena berbeda dengan ulama formal yg didukung penguasa, atau ulama mayoritas yang didukung massa? Dan Luar biasanya juga, MUI merekomendasikan pada Rapat Kerja Nasional pada tahun 1404 H/1984 M, dan baru sekarang Tim Penulis merasa mewakili MUI untuk mengeluarkan buku panduannya yang dikerjakan setelah 30 tahun kemudian. Jadi, selama 30 tahun umat terombang ambing tanpa petunjuk dan panduan. 30 tahun yang lalu ketika orde baru demikian kuatnya, MUI menfatwakan untuk mewaspadai masuknya faham syiah—bukan menyesatkan syiah—yang disatu sisi dianggap akan mengeksport ideologis revolusi Iran, dan ideologi revolusi itu tentu saja dianggap berbahaya oleh negara yg dikuasai para diktator. Jadi MUI pada 1984 hanya bervisi untuk mewaspadai, tetapi tim penulis buku ini bervisi menyesatkan atau mungkin kalau bisa mengkafirkan syiah.
_____________________________________
TP menulis: “Hadirnya buku panduan ini merupakan wujud dari tanggungjawab dan sikap tegas MUI itu, dengan harapan umat islam Indonesia mengenal syiah dengan benar dan kemudian mewaspadai serta menjauhi dakwah mereka, karena dalam pandangan MUI faham syiah itu menyimpang dari ajaran Islam, dan dapat menyesatkan umat… Untuk itu MUI berkewajiban untuk memagari dan mengayomi umat agar mereka terhindar dari upaya-upaya penyesatan dan penyimpangan di dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.” (hal. 4)
Tanggapan #CR: Inilah apa yang saya sebut di awal, preventif berubah menjadi propokatif, retorik dan destruktif. MUI sendiri belum pernah mengeluarkan fatwa menyesatkan syiah, tetapi buku ini seolah-olah membawa nama MUI atas kesesatan syiah..!? Ini salah satu yang harus diwaspadai dan penyimpangan buku ini. ternyata Visi MUI berbeda dengan Visi para penulis buku ini. Kalau memang mau mengenalkan syiah, maka berlaku adillah. Kenalkanlah dalil-dalil mereka, bukan langsung penilaian “menyimpangnya” saja. Kalau mau mengenalkan syiah undang dan hadirkanlah representasi mereka untuk berbicara dan menjelaskan tentang syiah. Dan alangkah arifnya jika buku ini menjelaskan bagaimana sikap saling mengormati dan menghargai di antara umat Islam yang berbeda mazhabnya, dan silahkan setiap orang untuk menjalankan keyakinannya masing-masing, tanpa harus merasa risih dengan perbedaan, sebab perbedaan adalah rahmat Allah swt bagi semesta. Adapun soal konflik, di negara ini, sering terjadi konflik karena pragmatisme politik bukan karena keagamaan. Dan pragmatisme politik itulah yang sering menunggang di belakang ranah agama. Karena itu, konflik sunni dan syiah boleh jadi lebih didominasi kepentingan pragmatis dari pada keagamaan.
TENTANG SEJARAH SYIAH
Dalam penggunaan bahasa, ada yang disebut implikatur, yaitu cara di mana pendengar (pembaca) bisa memahami sendiri asumsi-asumsi di balik sebuah informasi tanpa harus mengungkapkannya secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah informasi tambahan yang bisa dideduksi dari sebuah informasi tertentu. Salah satu tujuan penggunaan implikatur adalah membujuk pendengar (pembaca) untuk percaya pada validitas klaim-klaim pembicara (penulis). Jadi, Implikatur ini bisa digunakan untuk membuat orang secara tidak sadar menerima begitu saja pendapat-pendapat yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Kalau anda sering mendengar politisi berkata, “Seorang presiden harus bertindak atas kepentingan negara bukan partainya”, ini adalah implikatur yang mengisyaratkan bahwa selama ini presiden selalu bertindak atas kepentingan partainya. Kita bisa menggunakan implikatur ini, baik untuk tujuan positif maupun negatif. Namun, implikatur biasanya lebih sering oleh digunakan oleh para politisi.
Implikatur ini juga digunakan Tim Penulis buku panduan ini agar pembaca mengembangkan maknanya sendiri. Misalnya TPBP ini menyebutkan:
“Istilah syiah pada era kekhalifahan Ali hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik. Syiah Ali muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ra, bisa disebut sebagai pengikut setia khalifah yang sah pada saat itu melawan pihak Muawiyah, dan hanya bersifat kultural, bukan bercorak akidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang. Sebab kelompok setia syiah Ali yang terdiri dari sebagian sahabat Rasulullah dan sebagian besar tabi’in pada saat itu tidak ada yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib ra lebih utama dan lebih berhak atas kekhalifahan setelah rasul daripada Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra. Bahkan Ali bin Abi Thalib ra sendiri, saat menjadi khalifah, menegaskan dari atas mimbar Masjid Kufah ketika berkhutbah bahwa, “sebaik-baik umat Islam setelah Nabi Muhammad saaw adalah Abu Bakar dan Umar ra.” Demikianlah pula jawaban beliau ketika ditanya oleh putranya, yaitu Muhammad ibn al-Hanafiyah, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam sahihnya hadis no. 3671.” (hal. 6-7).
Kalimat-kalimat di atas memuat implikatur tersembunyi. Dengan menggunakan implikatur, buku ini mengajak pembacanya mengembangkan asumsinya sendiri tentang “kesesatan” syiah secara bertahap—meskipun nantinya buku ini secara jelas ingin menyesatkan syiah. Secara perlahan, pembaca diajak untuk mengatakan syiah sekarang berbeda dengan syiah yang dulu (tahap membedakan). Syiah yang dulu itu benar tetapi syiah sekarang tidak. Syiah yang benar adalah syiah yang hanya gerakan politik dan kultural, bukan gerakan akidah. Syiah dulu meyakini Abu Bakar dan Umar lebih baik dari Ali bin Abi Thalib, sedangkan syiah sekarang meyakini Ali lebih utama dari Abu bakar dan Umar (tahap menyalahkan). Lihatlah Ali bin Abi Thalib saja mengatakan yang terbaik adalah Abu Bakar dan Umar. Jadi, jika orang syiah mengakui mengikuti Ali, maka semestinya ia mengutamakan Abu Bakar dan Umar. Karenanya, yang benar adalah menganggap Abu Bakar dan Umar lebih mulia dari Ali, maka yang menganggap Ali lebih mulia dari Abu Bakar dan Umar adalah menyimpang (tahap menyimpangkan). Dan syiah sekarang berarti menyimpang.
Dan kemudian dihalaman-halaman berikutnya, pembaca di ajak dari menyatakan “syiah menyimpang” menjadi menyatakan “syiah sesat menyesatkan”. Untuk sampai pada tujuan itu, buku tersebut mengembangkan asumsinya pula dengan mengganti istilah syiah menjadi rafidhah, yaitu “syiah sekarang bukan lagi mengutamakan Ali, tetapi kelompok rafidhah yang berdusta pada ahlul bait dan mencaci serta mengkafirkan Abu Bakar dan Umar serta sahabat lainnya” (lihat hal. 14, 16, 18). Berdusta atas ahlul bait, mencaci dan mengafirkan Abu Bakar, Umar dan sahabat lainnya tentunya adalah kesesatan (tahap menyesatkan). Begitulah kira rangakaian deduksi yang muncul dari teknik implikatur buku ini. Padahal, asumsi-asumsi ini masih dalam ajang perdebatan.
Salah satu yang paling sering disebutkan para penulis tentang syiah adalah mengecilkannya menjadi sekedar urusan politik ansich. Penilaian ini muncul karena yang diperebutkan adalah soal kepemimpinan, dan itu tentu saja masuk bab politik. Tetapi para penulis ini lupa, bahwa konsepsi dasar Islam menegaskan akidah merupakan pondasi seluruh ajaran Islam termasuk politik (siyasah). Nabi saaw juga pemimpin agama sekaligus politik. Para ulama juga menyatakan bahwa Islam pada dasarnya tak pernah memisahkan antara urusan agama/akidah dan politik. Memisahkan urusan agama dan politik adalah paradigma sekularisme yang difatwakan haram oleh MUI itu sendiri. Apakah Tim Penulis buku ini berpendapat bahwa para sahabat seperi Imam Ali, Siti Aisyah, Thalhah, Zubair, Muawiyah, dan para pendukungnya masing-masing berperang dan saling berbunuhan karena pragmatisme politik kekuasaan tanpa memperdulikan urusan agama/akidah?
Kemudian, menurut buku panduan ini, bukti bahwa syiah awal hanya gerakan politik dan kultural saja dan bukan persoalan akidah dengan alasan : “tidak ada sahabat dan tabiin yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib ra lebih utama dan lebih berhak atas kekhalifahan setelah Rasul dari pada Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra.”
Dengan begitu, buku ini ingin mengatakan bahwa syiah sekarang itu telah menyimpang dari syiah dulu. Sekarang mari kita buktikan apakah benar tidak ada generasi sahabat Nabi saaw dan tabiin yang mengutamakan Imam Ali as daripada Khalifah Abu Bakar dan Umar?? Ini berarti jika terbukti ada sahabat yang meyakini keutamaan Imam Ali dibandingkan Khalifah Abu Bakar dan Umar, maka asumsi para penulis buku ini gugur, dan berarti sejak awal syiah memang mazhab akidah dan itu terjaga terus hingga hari ini. Karenanya tidak ada penyimpangan keyakinan syiah dari dulu hingga sekarang.
Perhatikan keterangan berikut ini. Ibnu Hibban (Ats-Tsiqat jilid 9 no. 16440) saat menyebutkan tentang Yusuf bin Isa al-Marwzi meriwayatkan:
حدثنا إبراهيم بن نصر العنبري ثنا يوسف بن عيسى ثنا الفضل بن موسى عن شريك عن عثمان بن أبى زرعة عن سالم بن أبى الجعد قال سئل جابر بن عبد الله عن على فقال ذاك خير البشر من شك فيه فقد كفر
“Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Nashr al-Anbari yang berkata, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Isa, yang berkata telah menceritakan kepada kami Fadhl bin Musa, dari Syarik dari Utsman bin Abi Zur’ah, dari Salim bin Abil Ja’d, yang berkata: ‘aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang Ali’, maka Beliau menjawab : ‘Dia adalah manusia terbaik, siapa yang meragukannya sungguh telah kufur’.
Lihatlah dengan tegas Jabir bin Abdillah berpendapat bahwa Imam Ali as adalah manusia terbaik dan yang meragukannya adalah “kufur/ingkar”. Apakah pernyataan Jabir bin Abdillah ini bukan bukti ia mengutamakan Ali?
Selain itu, Ibnu Abdil Barr (al-Isti’ab jilid 3/1090), juga menegaskan tentang sahabat-sahabat yang mengutamakan Imam Ali di atas siapapun:
وروى عن سلمان وأبى ذر والمقداد وخباب وجابر وأبى سعيد الخدرى وزيد بن الأرقم أن على بن ابى طالب رضى الله عنه أول من أسلم وفضله هؤلاء على غيره
“Diriwayatkan dari Salman, Abu Dzar, Miqdad, Khabbab, Jabir, Abu Said Al Khudri dan Zaid bin Al Arqam bahwa Ali bin Abi Thalib RA adalah orang yang pertama masuk islam dan mereka mengutamakan Ali dibanding sahabat yang lain.
Lagi pula, jika mendukung Ali sebagai khalifah adalah perkara politik saja, lantas bagaimana dengan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar? Kalau urusan politk juga dan bukan akidah, maka syiah tidaklah menyimpang jika tidak percaya pada kekhalifahan mereka. Kalau, syiah menyimpang karena tidak mengakuinya, maka berarti buku panduan ini memasukkan urusan khalifah sebagai urusan akidah. Lalu kenapa syiah dikatakan menyimpang memasukkan imamah sebagai urusan agama/akidah?
Mungkin makna dukungan politik dinisbatkan sebagai bentuk lahir perebutan kekuasaan, tetapi kita tidak bisa hanya melihat bentuk lahirnya saja, karena setiap perilaku memiliki motif. Motif inilah yang menjadi ukuran apakah itu hanya politik ansich atau punya motif keagamaan. Apakah Salman, Ammar, Miqdad, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar, Habib bin Mazhahir, Hujur bin Adi, Hasan, Husain, dan lainnya yang mendukung Imam Ali as (Syiah Ali) hanya karena pragmatisme politik saja tanpa motif agama? Beginikah cara Tim Penulis buku ini menilai Syiah Ali generasi awal.
Adapun tentang munculnya syiah buku panduan ini menyebutkan sebagai berikut :
TP menulis: Ada yang menganggap syiah lahir pada masa akhir kekhalifahan Utsman bin Affan ra atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra…tampaknya pendapat yang paling populer adalah bahwa syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihat Khlifah Ali dengan pihak Muawiyah bin Abu Sufyan ra di Shiffin yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkim (arbitrasi)…sebagian besar orang yang tetap setia kepada khalifah Ali disebut syiah Ali (pengikut Ali).” (hal.5-6)
Tanggapan:
#CR: Para ahli memang berbeda pendapat tentang munculnya syiah. Sebagian mengatakan sesaat setelah Nabi saaw wafat, yaitu ketika perdebatan di Saqifah. Yang lainnya menyatakan syiah lahir pada masa akhir Khalifah Usman, awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib (35 H). Pendapat lain menyatakan bersamaan dengan Khawarij, yakni pasca perang shiffin (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid III, 2002: 34). Ada juga pendapat, syiah muncul setelah peristiwa Karbala syahidnya Imam Husain as (Hitti, History of the Arab, 2003: 237).
Namun, terdapat pula penegasan bahwa syiah telah ada sejak masa Rasul saaw. Baqir Sadr menegaskan bahwa syiah telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam sejak masa hidup Rasul yang terdiri dari orang-orang yang meyakini ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pasca Rasul saaw. Kelompok ini muncul memprotes dan menolak kepemimpinan Abu Bakar. Di antara mereka adalah Ammar bin Yasir, Miqdad, Abu Zar, Salman, Jabir bin Abdillah, dan lainnya. Merekalah pelopor gerakan syiah awal. (Baqir sadr, 1990 : 62). Hal ini didukung dengan hadits-hadits Rasul saaw yang menggunakan istilah syiah Ali, seperti, “Syiah Ali adalah orang-orang yang beroleh kemenangan”. Ketika turun ayat ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk’ (Q.S. al-Bayyinah : 7), Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ali, itu adalah engkau dan syiahmu.” (Darwisy, Syiah Ali fi Ahadis Ahl as-Sunnah, 2006: 10). Silahkan setiap orang mau mengikuti teori yang mana..! (maaf kalau kepanjangan.
___________________________________________
TENTANG SYIAH DAN RAFIDHAH
“Alhamdulillah, Hari ini telah hadir ditengah-tengah kita, seorang narasumber yang sudah tidak asing bagi kita, seorang intelektual dan cendekiawan muda, yang cukup valid untuk membincangkan tema seminar kita hari ini. Dan perlu juga diketahui oleh para audiens, Pak Candiki Repantu ini adalah seorang tokoh syiah di Medan dan Sumatera Utara.” Begitulah kira-kira saat beberapa waktu yang lalau saya diundang untuk menjadi narasumber dalam suatu seminar tentang “Teror atas Nama Tuhan”. Ada yang menarik kali ini, karena dari berbagai undangan seminar yang saya hadiri, baru kali ini saya diperkenalkan oleh panitia kepada audiens, dengan menyematkan atau melabelkan sesuatu yang lain. Jika saya diperkenalkan hanya dengan label intelektual atau “cendekiawan” muda—(ini perasaan panitia saja, karena terpengaruh nama saya “Candiki” yang memang diambil dari kata Cendekiawan)—, sekarang labelnya ditambah lagi karena panitia memperkenalkan saya sebagai “tokoh syiah di Medan”. Saya tidak tahu maksud memperkenalkan saya dengan label tambahan tersebut.
Hanya saja, saat itu saya teringat teori “labeling” atau teori “tanda” (sign) dari Ferdinand de Saussure, yang menyatakan ada hungungan erat yang tak terpisahkan antara label dan konsep. “Tanda” yang terdiri dari label dan konsep ini, mempengaruhi cara orang mempersepsi sekitarnya, karena telah diisi dengan makna yang bisa dihubungkan dengan tanda lainnya. Ambillah contohnya, saya dilabelkan “cendekiawan” yang konsep dan maknanya adalah keceradasan, maka orang akan mempersepsi saya sebagai orang cerdas. Tetapi, bagaimana jika saya disebut “orang syiah”, kira-kira persepsi apa yang mucul…? tergantung konsepnya. Kalau baru saja mendengar berita “Orang Syiah di sampang diusir” atau membaca buku “Panduan Penyimpangan Syiah di Indonesia”, maka muncullah dalam persepsinya “narasumber hari ini adalah orang yang menyimpang, sesat dan menyesatkan, dan layak diusir”—(untung saya tidak di usir, karena saya dengar di Jakarta seorang Ustadz Syiah diusir saat mau menghadiri seminar). wallahu a’lam.
Dengan contoh di atas anda bisa memahami bahwa karena kita punya sejarah, budaya, dan bahasa yang terkait dengan kelompok tertentu maka masing-masing kita memiliki identitas, dan identitas ini selalu digunakan untuk memberikan label pada diri kita. Dan seseorang atau kelompok tertentu bisa punya lebih dari satu label, dan label ini ada yang digunakan sendiri oleh orangnya/kelompok tersebut dan ada yang dilekatkan secara semena-mena pada orang/kelompok tertentu. Dan label itu ada yang berdaya positif, tetapi ada yang mengandung stereotif negatif (perhatikan kembali kasus saya di atas). Misalnya juga, “orang melayu” sekaligus ditandai sebagai “orang Islam”, sehingga saat keluar dari Islam, maka tidak diakui lagi sebagai orang melayu (ini tanda dari dalam). Tetapi “orang melayu” disebut “orang pemalas” bisa jadi ditandai secara negatif oleh kelompok lainnya (tanda dari orang luar).
Dengan memahami sedikit teori tanda di atas, mari kita bedah isi buku ini saat membicarakan tentang “Syiah dan Rafidhah”. Perhatikan rentetan kalimat-kalimat berikut ini yang kita kutip dari buku panduan tersebut :
“Rafidhah adalah kelompok syiah yang berdusta mendukung Ahlul Bait, dengan menolak Abu Bakar, Umar dan sebagian besar sahabat Nabi saw, disertai sikap mengafirkan dan mencaci mereka (hal.14).…”Abul Qasim al-Isfahani yang berjuluk qiwamus sunnah, al-Razi, as-Syahrastani, dan Ibnu Taymiyah menguatkan asal mula istilah rafidhah untuk syiah imamiyah itsna asyariyah adalah karena penolakan mereka terhadap Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain ra yang memuliakan Abu Bakar dan Umar ra….istilah ‘rafidhah’ bagi kelompok syiah yang menolak Abu Bakar dan Umar dan mencaci keduanya. Adapun Imam Abul Hasan al-Asy’ari berpendapat syiah imamiyah dinamakan rafidhah karena penolakan mereka terhadap kepemimpinan Abu Bakar dan Umar ra.” (hal. 15)
Tanggapan:
#CR: Dari ungkapan-ungkapan Buku Panduan di atas, maka terlihat bagaimana para penulisnya mencoba memberi tanda dengan stereotif negatif kepada syiah. Untuk menanamkan visinya, buku ini menggiring pembaca dari istilah syiah ke istilah rafidhah, tatapi dengan menyimpangkan makna rafidhah dan mengisinya dengan makna atau konsep yang negatif. Karena rafidhah memang bermakna “pemberontak/penolak” yang berkesan negatif. Perlu diketahui, awalnya, istilah rafidhah ini digunakan untuk orang yang memberontak apapun mazhabnya, bukan hanya syiah. Ini dibuktikan dengan merujuk ke Kitab Waqaah as-Shiffin, hal. 34, karya Nasr bin Muzahim (W. 212 H) yang menyebutkan bahwa Muawiyah menulis surat kepada Amr bin ‘Ash yang sedang berada di Palestina yang isinya mengatakan:
أما بعد فإنه كان من أمر علي وطلحة والزبير ما قد بلغك . وقد سقط إلينا مروان بن الحكم في رافضة أهل البصرة
“Amma’ ba’du, Kamu telah mengetahui perkara tentang Ali, Thalhah dan Zubair, tetapi (ketahuilah) Marwan bin Hakam telah bergabung bersama para rafidhah/pemberontak dari penduduk Bashrah.”
Karenanya, tidak tepat mengatakan istilah rafidhah muncul dari Zaid bin Ali seperti yang diteorikan oleh al-Isfahani, Al-Razi, Syahrastani, Ibnu Taymiyah, dan Abul Hasan al-Asyari. Sebab, ternyata istiah itu telah ada sebelum zaman Zaid dan digunakan oleh Muawiyah untuk menyebut kelompok pemberontak. Dan orang Basrah juga bukanlah syiah, karena mereka tidak percaya pada kepemimpinan Ali. Tetapi kemudian, makna rafidhah ini diarahkan kepada syiah, karena syiah selalu menjadi oposisi penguasa, dan diperlebar pada penolakan terhadap Abu Bakar dan Umar, seperti diindikasikan Al-Isfahani, al-Razi, Syahrasatani dan Abul Hasan al-Asy’ari di atas.
Adapun Ibnu Hajar menyebut rafidhah sebagai syiah ekstrem yang lebih mengutamakan Ali di atas Abu Bakar, Umar dan seluruh sahabat, tetapi tidak mencela mereka. Berikut ungkapan Ibnu Hajar dalam kitabnya Hady as-Sari, 1/459 :
والتشيع محبة على وتقديمه على الصحابة فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه ويطلق عليه رافضي وإلا فشيعي
“Tasyayyu adalah mencintai Ali dan mengutamakannya atas semua sahabat {selain Abu Bakar dan Umar}, dan jika mengutamakannya diatas Abu Bakar dan Umar maka dia tasyayyu’ ekstrem yang disebut Rafidhah dan jika tidak maka disebut Syiah.”
Namun, merasa kurang mantap, Tim Penulis Buku Panduan yang antipati terhadap syiah, mengembangkannya lagi maknanya dengan mengatakan :
“Rafidhah adalah kelompok syiah yang berdusta mendukung Ahlul Bait, menolak Abu Bakar, Umar dan sebagian besar sahabat Nabi saw, disertai sikap mengafirkan dan mencaci mereka (hal.14)….
Setelah memberi muatan negatif, kemudian Tim Penulis ini mengarahkan sasarannya bahwa yang dimaksud rafidhah adalah syiah imamiyah itsna asyariyah (dan juga syiah ismailiyah), yang disepakati kesesatanya. Perhatikan kalimat Buku Panduan berikut ini:
“Syiah rafidhah yang mengklaim adanya nash/teks wasiat penunjukan Ali sebagai khalifah dan berlepas diri dari bahkan mencaci dan mengafirkan, para khalifah sebelum Ali dan mayoritas sahabat Nabi. Kelompok ini telah meneguhkan dirinya ke dalam sekte Imamiyah itsna asyariyah dan ismailiyah. Golongan ini disepakati kesesatannya oleh para ulama, tetapi secara umum tidak mengafirkan mereka.” (hal. 16-17).
Kalau kita perhatikan teori Saussure di atas, maka kita paham bahwa label dan konsep rafidhah ini dilabelkan oleh Buku Panduan ini kepada syiah imamiyah untuk mendeskreditkan kelompok tersebut dan mengarahkan pada stereotif negatif. Maka tepatlah apa yang dikatakan Muhsin Amin dalam A’yan as-Syiah seperti dikutip juga oleh Buku Panduan itu bahwa istilah “rafidhah adalah julukan buruk untuk orang yang mendahulukan Ali dalam soal khilafah dan kebanyakan digunakan untuk mendeskredikan dan membenci mereka. Visi Buku Panduan ini untuk mencipakan kesan negatif dengan mengubah “tanda”, semakin terbukti dengan kalimat mereka berikut ini:
”Kita mesti membedakan istilah syiah secara umum dan rafidhah secara khusus. Setiap rafidhah adalah syiah ekstrem yang telah mencaci, bahkan mengafirkan Abu bakar dan Umar ra…” (hal. 17-18).
Inilah di antara yang perlu diwasapadai dan penyimpangan tulisan tentang syiah yang dilakukan Buku Panduang ini. Perhatikan defenisi Ibnu Hajar di atas tentang rafidhah, sangat jauh dari gambaran Tim Penulis MUI tersebut. Ibnu Hajar hanya mengatakan ““Rafidhah adalah syiah ekstrim yang mengutamkan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar…”, sedangkan Buku Panduan ini menyatakan : “…Rafidhah adalah syiah ekstrem yang telah mencaci, bahkan mengafirkan Abu bakar dan Umar ra.”
Tidak hanya sampai disitu, Buku Panduan ini kemudian mencari dukungan pernyataan dengan membawa label “ulama salaf”, dan menyatakan bahwa tidak ada generasi sahabat dan tabiin yang memandang Ali lebih utama dari Abu Bakar dan Umar :
“…Tidak ada syiah rafidhah yang dianggap moderat oleh para ulama salaf. Syiah moderat adalah syiah pada generasi sahabat dan thabiin yang berjuang bersama Ali dimana mereka tidak pernah bersikap ekstrim dalam memandang kedudukan Ali dan tidak pula mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar RA.” (hal. 17-18).
Mari kita bandingkan pernyataan Buku Panduan ini dengan pernyataan Muhammad ibn Aqil Al-Alawi al-Hadrami dalam Al-‘Atbu al-Jamil ala Ahli Jarh wa Ta’dil, hal. 30 yang juga mengutip defenisi Ibnu Hajar dan kemudian berkomentar:
“…Jelaslah, makna perkataannya (Ibnu Hajar) ini bahwa sesungguhnya semua orang yang mencintai Ali dan mengutamakannya atas Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) disebut Rawafidh (jamak dari rafidah), …Banyak dari kalangan sahabat mulia seperti Miqdad, Zaid bin Arqam, Salman, Abu Dzar, Khabbab, Jabir, Abu Said al-Khudri, Ammar, Ubai bin Ka’ab, Hudzaifah, Buraidah, Abu Ayyub, Sahal bin Hunaif, Utsman bin Hunaif, Abu Haitsam bin Tayyahaan, Khuzaimah ibn Tsabit, Qais ibn Sa’d, Abu Thufail Amir ibn Watsilah, Al-Abbas bin Abdul Muththalib dan seluruh putranya, seluruh Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib serta banyak lagi selain mereka… mereka semua adalah RAWAFIDH karena mereka mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar karena kecintaan mereka kepada Ali. Dan juga banyak tabi’in dan tabi’it tabi’in, para ulama besar, dan ini umat yang tidak terhitung jumlahnya, dan mereka juga para pendamping Alqur’an. Dan mencacat keadilan mereka—demi Allah— akan mematahkan punggung (merusak agama)…”
Perhatikan bagaimana Sayid Muhammad bin Aqil yang dengan tegas mengidentifikasi di antara sahabat dan tabiin, serta tabiit tabiin banyak yang rafidhah (Syiah eksterim). Dengan demikian, Tim Penulis MUI keliru dan menyimpang, saat menyatakan bahwa tidak ada rafidhah (syiah ekstrim) di masa sahabat dan tabiin. Bagaimana? Apakah Tim Penulis MUI mau menfatwakan bahwa Miqdad, Zaid bin Arqam, Salman, Abu Dzar, Khabbab, Jabir, Abu Said al-Khudri, dan seterusnya nama-nama di atas, sebagai orang yang menyimpang, sesat menyesatkan dan tidak diterima hadisnya, karena mereka rafidhah alias syiah ekstrim?
BAB III : PENYIMPANGAN AJARAN SYIAH
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hujurât [49];12)”
Kita telah membedan dua bab dari isi Buku Panduan ini, dan anda sudah menyaksikan bagaimana penyimpangannya. Maka kini masuklah kita pada inti buku ini, yaitu Bab III, tentang Penyimpangan Ajaran Syiah. Dalam bab ini ada lima penyimpangan yang diajukan oleh Buku Panduan terebut terhadap syiah yaitu :
1. Penyimpangan Paham tentang Orisinalitas Alquran.
2. Penyimpangan Paham tentang Ahlul Bait Rasul saw dan Meengafirkan Sahabat Nabi.
3. Penyimpangan Paham Syiah Mengafirkan Umat Islam.
4. Penyimpangan Paham tentang Kedudukan Imam Syiah.
5. Penyimpangan Paham tentang Hukum Nikah Mut’ah.
Kelima hal di atas diajukan Buku Panduan ini untuk menyesatkan syiah—atau mungkin mengkafirkannya. Sekarang marilah kita telusuri “Penyimpangan Buku Panduan ini Ketika Membahas Penyimpangan Syiah”. Pembahasan ini tidak lain untuk memperkuat kokohnya Ukhuwah Islamiyah Syiah-Sunni, agar tidak terjadi salah pemahaman dikarenakan isu-isu yang keliru dipahami atau terselewengkan.
Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat, 1995) pernah memetakan enam teknik pengalihan atau manipulasi data para penulis tentang syiah yang diduga beliau karena alasan politis, yaitu sbb :
1. Membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang kabur. Contoh: Tarikh al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi tentang Ali, “Inilah washiku dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir diganti dengan “wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah)”. Tentu kata ‘washi’ dan ‘khalifah’ sangat jelas, sedangkan” wa kadza” tidak jelas.
2. Membuang seluruh beritanya dengan petunjuk adanya pembuangan cerita. Contohnya: Dalam buku ‘Shiffin’ karya Nashr bin Mazahim (w. 212 H) dan Muruj al-Dzahab karya al-Masudi (w. 246 H) diceritakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Muawiyah menjelaskan keutamaan Imam Ali sebagai ‘washi’nabi, dan muawiyah mengakuinya. Namun, al-Thabari yang juga menceritakan kisah tersebut dengan merujuk pada buku-buku di atas sebagai sumber, membuang semua isi surat itu dengan alasan “supaya orang banyak tidak resah mendengarnya”. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, juga menghilangkan isi surat itu dengan alasan yang sama.
3. Memberikan makna lain (takwil) pada riwayat. Contohnya : al-Thabrani dalam Majma al-Zawaid meriwayatkan ucapan Nabi kepada Salman al-Farisi bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberikan komentar, “Nabi menjadikannya washi untuk keluarganya, bukan untuk khalifah”. Begitu pula banyak yang menakwilkan kata “maula” dalam hadis ghadir khum bukan untuk kepemimpinan.
4. Membuang sebagian riwayat tanpa menyebutkan petunjuk atau alasan. Contohnya: Ibnu Hisyam mendasarkan kitabnya, Tarikh Ibnu Hisyam pada Tarikh Ibnu Ishaq. Akan tetapi Ibnu Hisyam dalam kata pengantarnya berkata bahwa ia meninggalkan beberapa bagian riwayat Ibnu Ishaq yang jelek bila disebut orang. Diantara yang ditinggalkannya itu adalah kisah “wa andzir ashiratakal aqrabin”, yang dalam Sirah Ibnu Ishaq di riwayatkan Nabi mengatakan “Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Ini juga terjadi pada buku Hayat Muhammad karya Husain Haikal. Pada cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi, “siapa yang akan membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Pada cetakan kedua (tahun 1354 H) ucapan Nabi ini dibuang dari bukunya.
5. Melarang penulisan hadits-hadits Nabi saw, dari masa sahabat sampai masa thabiin, sehingga kemungkinan hadits banyak yang hilang.
6. Mendhaifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan orang yang kita dukung (penguasa) atau yang menunjukkan keutamaan lawan. Contohnya: Ibnu Katsir mendhaifkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali sebagai washi dan khalifahNabi. Ia menganggap riwayat ini sebagai dusta yang dibuat-buat orang syiah atau orang-orang bodoh dalam ilmu hadits. Padahal hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat oleh Imam Ahmad, al-Thabari, al-Thabrani, Abu Nuaim al-Isbahani, Ibnu Asakir, dan lainya.
Terlepas dari sepakat atau tidak dengan pemetaan di atas, maka kita akan mencoba membedah Buku Panduan ini saat mengulas penyimpangan syiah. Apakah terjebak atau tidak dengan teknik pengalihan fakta di atas.
1. TENTANG ORISINALITAS ALQURAN
Perlu ditegaskan bahwa yang muktabar bagi syiah imamiyah itsna asyariyah yang pengikutnya mayoritas di dunia dan di Indonesia adalah menolak terjadinya tahrif pada Alquran, baik itu penambahan maupun pengurangan pada Alquran. Hal ini banyak ditegaskan para ulama syiah dari masa lalu hingga kini. Karenanya, untuk mendudukan persoalan tersebut, dan sebelum mengulas tentang tahrif Alquran, perlu diketahui, menurut para ulama syiah, Al-Quran diturunkan dalam dua tahap. Pertama, sabil al-ijmal (marhalah al-ihkam), yaitu diturunkan secara keseluruhan dalam bentuk global. Kedua, sabil at-tafshil (marhalah at-tafshil), yaitu diturunkan secara berangsur-angsur sejak Rasul saaw di utus hingga akhir hayatnya (lihat Baqir al-Hakim, Ulum al-Quran, hal. 27-28)
Ayatullah Baqir al-Hakim menjelaskan yang dimaksud diturunkannya wahyu itu secara global yaitu turunnya ilmu-ilmu Allah swt, termasuk Alquran dan rahasia-rahasia besar yang terkandung di dalamnya ke dalam hati Rasulullah saaw agar hatinya dipenuhi dengan cahaya pengetahuan al-Quran (Ulum al-Quran, hal. 27). Jadi, nuzul al-Quran (turunnya Alquran) itu terdiri dari dua hal, yakni teks Alquran dan makna Alquran (tafsir, takwil, hukum, rahasia-rahasianya, dan lainnya). Karena itulah, maka Rasulullah saaw adalah orang pertama yang menguasai maksud dan makna teks-teks Alquran itu, beliaulah penafsir pertama Alquran. Karena itu adakalanya Rasul saaw menyampaikan teks sekaligus makna yang terkandung di dalamnya. Inilah yang disebut hakikat nuzul Alquran yang mana Allah swt yang menurunkannya, membacakanya, mengumpulkannya di dalam dada Nabi saaw, dan menjelaskan maksudnya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Alquran sendiri : “Janganlah engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk mebaca Alquran) karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya KAMI YANG AKAN MENGUMPULKANNYA (di dadamu) dan MEMBACAKANNYA. APABILA KAMI TELAH SELESAI MEMBACAKANNYA, MAKA IKUTILAH BACAANNYA ITU. KEMUDIAN, SESUNGGUHNYA KAMI YANG AKAN MENJELASKANNYA.” (Q.S. al-Qiyamah : 16-19).
Setelah mengetahui dua jenis penurunan wahyu, mari kita bisa menganalisis tentang tahrifal-Quran yang menjadi polemik sunni dan syiah. Dan agar tidak terjadi kerancuan pembahasan perlu ditetapkan dulu tahrif Alquran yang bagaimana yang dituduhkan kepada syiah?
Buku Panduan MUI ini menyebutkan bahwa ulama-ulama syiah meyakini terjadinya tahrifAlquran yang bermakna penambahan dan pengurangan Alquran. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan di buku panduan tersebut pada hal. 25-26 sebagai berikut :
“Menurut seorang ulama Syiah, al-Mufid, dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak orisinal. Alquran sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan. Tokoh syiah lain mengatakan dalam kitab Mir’atul Uqul Syarh al-Kafi, menyatakan bahwa Alquran telah mengalami pengurangan dan perubahan. Al-Qummi, tokoh mufassir syiah, menegaskan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa ayat-ayat Alquran ada yang diubah sehingga tidak sesuai dengan ayat aslinya seperti ketika diturunkan oleh Allah. Abu Manshur Ahmad bin Ali al-Thabarshi, seorang tokokh syiah abad ke-6 H menegaskan dalam kitab al-Ihtijaj, bahwa Alquran yang ada sekarang adalah palsu, tidak asli, dan telah terjadi pengurangan. Ni’matullah al-Jazairi menyatakan dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah, semua imam syiah menyatakan adanya tahrif (perubahan) Alquran, kecuali pendapat Al-Murtadha, as-Shaduq, dan al-Thabarshi yang berpendapat tidak ada tahrif. Dalam keterangan selanjutnya ia menjelaskan bahwa ulama yang menyatakan tidak ada tahrif pada Alquran itu sedang bertaqiyah” (hal. 25-26).
Jadi, Buku Panduan ini menyebutkan lima ulama syiah yang menyatakan tahrif Alquran, yaitu : Syaikh Mufid, Allamah Al-Majlisi, Al-Qummi, Ahmad bin Ali at-Thabarshi, dan Ni’matullah al-Jazairi. Dari kelima tokoh di atas, hanya Syaikh Mufid yang dituduh mengakui tahrif dalam makna penambahan dan pengurangan Alquran. Sedangkan keempat lainnya, yaitu Allamah al-Majlisi, Al-Qummi, Ahmad bin Ali at-Thabarshi, dan Ni’matullah al-Jazairi kelihatannya lebih pada pernyataan terjadinya pengurangan pada Alquran bukan penambahan.
Sekarang mari kita bandingkan pernyataan Buku Panduan tersebut dengan pernyataan ulama syiah, Al-Fadhl ib al-Hasan Abu Ali At-Thabarsyi dalam kitabnya tafsirnya Majma’ al-Bayan sebagai berikut : “Adapun tentang adanya penambahan pada al-Quran maka hal tersebut disepakati sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan adanya pengurangan dari al-Quran maka beberapa dari kalangan kami (imamiyah) dan juga dari kalangan ahlussunnah, ada riwayat bahwa di dalam al-Quran terjadi perubahan dan pengurangan. Akan tetapi yang benar menurut mazhab kami dan mazhab mereka ialah kebalikan dari itu. Dan pendapat yang demikian itulah yang didukung oleh al-Murtadha, semoga Allah mensucikan ruh beliau.” (At-Thabarsi, Tafsir Majma’ al-Bayan jilid 1, h. 15).
Dari pernyataan at-Thabarsyi di atas maka kita bisa mengambil kesimpulan :
1. Tentang penambahan Alquran disepakati kebatilannya dan tertolak.
2. Tentang pengurangan Alquran, maka terdapat ulama imamiyah dan ulama Ahlussunnah yang meriwayatkan terjadinya hal tersebut.
3. Para ulama syiah dan sunni, membahas pendapat tentang pengurangan Alquran ini dan menolak terjadinya hal tesebut dengan argumentasi-argumentasi yang tak terbantahkan.Karenanya, menisbatkan kepada Syiah atau kepada Sunni keyakinan terjadinya tahrif Alquran dalam makna pengurangan Alquran juga tidak bisa diterima.
Dari pernyataan di atas, maka pembicaraan tahrif Alquran dibatasi pada persoalan pengurangan Alquran tersebut. Apakah kelima ulama syiah yang disebutkan oleh Buku Panduan tersebut meyakini terjadinya pengurangan Alquran? Berikut ini satu persatu ulama yang disebutkan di atas akan kita diskusikan.
1. Syaikh Mufid. Buku panduan ini menyatakan bahwa “Syaikh Mufid dalam kitab Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Alquran yang ada saat ini tidak orisinal. Alquran sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan”. (hal. 25). Dalam footnote-nya disebutkan dikutip dari kitab Awail al-Maqalat, hal. 80-81 . Sekarang mari kita lihat isi kitabAwail al-Maqalat pada halaman 80-81 bab “Pendapat tentang Penyusunan Alquran, Penambahan dan Pengurannya” sebagai berikut :
القول في تأليف القرآن وما ذكر قوم من الزيادة فيه والنقصان
أقول: إن الأخبار قد جاءت مستفيضة عن أئمة الهدى من آل محمد (ص)، باختلاف القرآن وما أحدثه بعض الظالمين فيه من
الحذف والنقصان، فأما القول في التأليف فالموجود يقضي فيه بتقديم المتأخر وتأخير المتقدم ومن عرف الناسخ والمنسوخ والمكي والمدني لم يرتب بما ذكرناه وأما النقصان فإن العقول لا تحيله ولا تمنع من وقوعه، وقد امتحنت مقالة من ادعاه، وكلمت عليه المعتزلة وغيرهم طويلا فلم اظفر منهم بحجة اعتمدها في فساده
وقد قال جماعة من أهل الإمامة إنه لم ينقص من كلمة ولا من آية ولا من سورة ولكن حذف ما كان مثبتا في مصحف أمير المؤمنين (ع) من تأويله وتفسير معانيه على حقيقة تنزيله وذلك كان ثابتا منزلا وإن لم يكن من جملة كلام الله تعالى الذي هو القرآن المعجز، وقد يسمى تأويل القرآن قرآنا قال الله تعالى: (ولا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك وحيه وقل رب زدني علما) فسمى تأويل القرآن قرآنا، وهذا ما ليس فيه بين أهل التفسير اختلاف
وعندي أن هذا القول أشبه من مقال من ادعى نقصان كلم من نفس القرآن على الحقيقة دون التأويل، وإليه أميل والله أسأل توفيقه للصواب
“Sesungguhnya riwayat-riwayat yang diperoleh dari imam-imam pemberi petunjuk dari keluarga Muhammad saaw, terdapat pernyataan tentang perbedaan Alquran, dan juga yang menceritakan tentang sebagian orang-orang zalim yang membuang dan mengurangi Alquran. Yaitu terjadi pada saat penyusunan (Alquran) dengan memerintahkan mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang terdahulu, mengenalkan nasakh dan mansukh, makkiyah dan madaniyyah, tidaklah teratur sebagaimana disebutkannya. Adapun tentang pernyataan pengurangan (Alquran) yang secara akal tidaklah mustahil dan tidak terlarang terjadinya, maka setelah aku mencermati dari para penyerunya dan pernyataan dari Muktazilah dan selain mereka, maka tidaklah dapat diambil dan bersandar pada hujjah mereka yg rusak tersebut.
“DAN TELAH BERAKATA JAMAAH AHLI IMAMAH (KELOMPOK SYIAH), SESUNGGUHNYA ALQURAN TIDAK BERKURANG WALUPUN HANYA SATU KATA, SATU AYAT, ATAU SATU SURAT. Akan tetapi (yang) dihapus (adalah) apa-apa yang ada dalam mushaf Amirul Mukminin as yang merupakan ta’wil dan tafsir makna-maknanya sesuai dengan hakikat turunnya. YANG DEMIKIAN ITU (ta’wil dan tafsir) SEKALIPUN TELAH DITURUNKAN ALLAH TETAPI ITU BUKAN BAGIAN DARI FIRMAN ALLAH ALQURAN YANG MUKJIZAT. Dan MENURUT SAYA PENDAPAT INI LEBIH TEPAT DARIPADA PENDAPAT ORANG YANG MENGANGGAP ADANYA PENGURANGAN FIRMAN DARI ALQURAN ITU SENDIRI YANG BUKAN TA’WILNYA. DAN SAYA MEMILIH PENDAPAT INI. Hanya kepada Allah lah saya memohon tawfiq untuk kebenaran.” (Awail al-Maqalat hal. 80-81)….{Setelah menolak pengurangan Alquran, kemudian Syaikh Mufid menjelaskan penolakanya terhadap penambahan Alquran, maaf saya tidak tuliskan lagi}. Jadi, sungguh aneh bin ajaib, Buku Panduan ini menuduh Syaikh Mufid mengakui tahrifAlquran. Kesimpulan kita sementara ini, penyimpangan Buku Panduan ini karena mengarahkan pandangannya pada judul bab dan ungkapan awal Syaikh Mufid dan meninggalkan bagian akhirya (mungkin ini bukan kesengajaan). Tetapi ini kesalahan fatal. Dari enam teknik manipulasi data yang disebutkan Kang Jalal, termasuk bagian manakah manipulasi ini?, silahkan anda pilih sendiri.
2. Allamah al-Majlisi
Ulama kedua yang dinyatakan meyakini tahrif Alquran oleh Buku Panduan tersebut adalah Syaikh Muhammad Baqir al-Majlisi pengarang buku Miratul Uqul. Buku Panduan ini menyebutkan :
Al-Majlisi mengatakan dalam kitab Mir’atul Uqul Syarh al-Kafi, menyatakan bahwa Alquran telah mengalami pengurangan dan perubahan.” (hal. 25).
Anggapan tersebut dinisbatkan berdasarkan pada pernyataan Allamah Al-Majlisi dalam Kitab Mir’atul Uqul fi Syarh Akhbar Aali al-Rasul juz 12/525. Perlu diketahui kitab ini adalah adalah kitab yang mengomentari kitab Al-Kafi karya Syaikh al-Kulaini. Dan pada bagian yang disebutkan ini beliau sedang mensyarah hadis al-kafi yang menyebutkan tentang diturunkan Alquran dari Jibril sebanyak 17.000 ayat.
Di sini, ternyata Buku Panduan ini mengarahkan perhatiannya hanya pada bagian awal tulisan Al-Majlisi dan memotong paragraf berikutnya. Berikut paragraf pertama dari tulisan Al-Majlisi :
الحديث الثامن و العشرون : موثق. و في بعض النسخ عن هشام بن سالم موضع هارون بن مسلم، فالخبر صحيح و لا يخفى أن هذا الخبر و كثير من الأخبار الصحيحة صريحة في نقص القرآن و تغييره، و عندي أن الأخبار في هذا الباب متواترة معنى
“Hadis ke 28. “hadis muwatsaq”. Disebagian salinan, Hisyam bin Salim, ditulis Harun bin Muslim. Riwayat shahih, dan tidaklah tersembunyi bahwa riwayat ini dan banyak riwayat-riwayat yang sahih lagi jelas tentang pengurangan Alquran dan perubahannya. Menurutku, riwayat-riwayat dalam bab ini bersifat mutawatir makna…”
Berdasarkan pernyataan inilah, Buku Panduan tersebut mengklain bahwa Al-Majlisi percaya tahrif. Namun bagaimana sebenarnya sikap Al-Majlisi terhadap riwayat-riwayat tersebut? Menurut Al-Majlisi hal itu tidak bisa dijadikan dalil meyakini tahrif Alquran. Beliau menegaskan hal itu pada paragraf berikutnya :
لأنه إذا ثبت تحريفه ففي كل آية يحتمل ذلك و تجويزهم عليهم السلام على قراءة هذا القرآن و العمل به متواتر معلوم إذ لم ينقل من أحد من الأصحاب أن أحدا من أئمتنا أعطاه قرانا أو علمه قراءة، و هذا ظاهر لمن تتبع الأخبار، و لعمري كيف يجترئون على التكلفات الركيكة في تلك الأخبار
Perhatikan bagaimana Al-Majlisi menegaskan bahwa : “…KARENA, JIKA KITA MENETAPKAN TAHRIF ALQURAN, MAKA HAL ITU BISA TERJADI PADA SELURUH AYATNYA, SEMENTARA SECARA MUTAWATIR PARA IMAM AHLUL BAIT MEMBOLEHKAN MEMBACA ALQURAN INI DAN BERAMAL DENGANNYA. DAN TIDAK SEORANGPUN YANG MENUKIL BAHWASANYA SALAH SEORANG IMAM MEMBERIKAN ALQURAN ATAU MENGAJARKAN BACAAN YANG BERBEDA, INILAH YANG NYATA BAGI ORANG YANG MENGKUTI RIWAYAT-RIWAYAT TERSEBUT. DAN DEMI HIDUPKU, BAGAIMANA MEREKA BERANI MEMBERLAKUKAN PERKARA INI PADA RIWAYAT-RIWAYAT TERSEBUT…” (Mir’atul Uqul juz 12/525).
Jadi, Buku Paduan MUI merekayasa data dengan mengutip sepotong tulisan al-Majlisi dan membuang lainnya.
3. Alqummi
Buku Panduan ini juga menyebutkan Alqummi sebagai salah seorang ulama yang meyakini tahrif Alquran sebagai berikut :
Al-Qummi, tokoh mufassir syiah, menegaskan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa ayat-ayat Alquran ada yang diubah sehingga tidak sesuai dengan ayat aslinya seperti ketika diturunkan oleh Allah. (hal. 26)
Pernyataan Buku Panduan ini berdasarkan pada Muqaddimah Tafsir Alqummi juz 1 hal. 5-11. Perlu diketahui, sebelumnya (pada catatan bedah buku bagian-5) sudah saya jelaskan bahwa menurut ulama syiah, nuzul Alquran (turunnya Alquran) terdiri dari dua hal, yakni teks dan makna Alquran yang disertai tafsir, takwil, hukum, rahasia, dan ilmu-ilmu lainnya. Karenanya, Nabi saaw adalah penafsir pertama Alquran yang menyampaikan teks sekaligus maknanya. Inilah hakikat nuzul Alquran yang mana Allah swt yang menurunkannya, membacakannya, mengumpulkannya, dan menjelaskan maksudnya (Q.S. al-Qiyamah: 16-19). Jadi, Muqaddimah Tafsir Al-Qummi juga sedang menjelaskan hal-hal tersebut. Berikut ini pernyataan Alqummi dalam tafsirnya tersebut—{saya tidak menuliskan semuanya karena terlalu panjang, tetapi dipilih sesuai maksud yang dituju oleh Buku Panduan tersebut}—sebagai berikut :
فالقرآن منه ناسخ، ومنه منسوخ، ومنه محكم، ومنه متشابه، ومنه عام، ومنه خاص، ومنه تقديم، ومنه تأخير، ومنه منقطع، ومنه معطوف، ومنه حرف مكان حرف، ومنه على خلاف ما انزل الله ، ومنه ما لفظه عام ومعناه خاص، ومنه ما لفظه خاص ومعناه عام، ومنه آيات بعضها في سورة وتمامها في سورة اخرى ومنه ما تأويله في تنزيله ومنه ما تاويله مع تنزيله، ومنه ما تأويله قبل تنزيله، ومنه تأويله بعد تنزيله
…
واما ما هو كان على خلاف ما انزل الله فهو قوله ” كنتم خير امة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ” فقال ابوعبدالله (عليه السلام) لقاري هذه الآية ” خير امة ” يقتلون امير المؤمنين والحسن والحسين بن علي
فقيل له وكيف نزلت يابن رسول الله؟ فقال انما نزلت ” كنتم خير ائمة اخرجت للناس ” الا ترى مدح الله لهم في آخر الآية ” تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله “
“Alquran di dalamnya ada nasikh, mansukh, muhkam, mutasyabih, am, khas, taqdim, takhir, munqati’, ma’thuf, huruf diposisi huruf, dan sebagiannya berbeda dengan apa yang diturunkan Allah swt. Di dalamnya juga terdapat lafadz umum tetapi bermakna khusus, dan lafadz khusus bermakna umum, ayat-ayat yang sebagiannya di satu surat dan penyempurnaanya ada pada surah yang lain, terdapat ta’wilnya pada turunnya, bersamaan dengan turunnya, sebelum turunnya, dan sesudah turunnya…(Tafsir Alqummi, hal. 5).
Adapun tentang “sebagiannya berbeda dengan apa yang diturunkan Allah swt”, adalah seperti firman-Nya, “Kamu adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia, yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah” (Kuntum khairu ummah ukhrijat linnasi takmuruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah)” (Q.S. Ali Imran: 110). Maka berkata Abu Abdillah as kepada yang membaca ayat ini : “khairu ummah” (sebaik-baik ummat)apakah mereka juga yang membunuh Amirul Mukminin Ali, Hasan dan Husain? Maka ditanyakan, bagaimana ayat ini diturunkan wahai putra Rasulullah? Imam as menjawab,“SESUNGGUHNYA IA DITURUNKAN ‘KUNTUM KHAIRU AIMMAH UKHRIJAT LINNASI” (kamu adalah sebaik-baik imam yang dikeluarkan untuk manusia).” PERHATIKANLAH BAGAIMANA ALLAH SWT MEMUJI MEREKA PADA BAGIAN AKHIR AYATNYA “..YANG MEMERINTAHKAN KEPADA YANG MA’RUF DAN MENCEGAH YANG MUNGKAR DAN BERIMAN KEPADA ALLAH.” (Tafsir Alqummi, hal. 10).
Jadi, yang dimaksud dengan perkataan Imam Ja’far “diturunkan ayat ini” yaitu hakikat turunnya yang disertai takwil atau penjelasannya. Jadi itu bukan teks Alquran tetapi penjelasan maksud Alquran tersebut agar orang tidak salah memahaminya sebagaimana ditunjukkan dengan kritik Imam kepada pemaknaan umumnya, yaitu “Apakah mereka juga termasuk mengaku sebagai umat terbaik, padahal mereka membunuh Ali, Hasan dan Husain”? Dengan demikian, yang dimaksud oleh Al-Qummi dengan pernytaan “tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah” adalah hakikat turunnya yang disertai takwil dan rahasianya kepada Rasul saaw. Itulah yang dijelaskanya pada Muqaddimah Tafsir al-Qummi tersebut.
(Abu-Thalib/Syiahali/Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email