Pesan Rahbar

Home » » Kenapa Aku Memilih Mazhab Ahlulbait?

Kenapa Aku Memilih Mazhab Ahlulbait?

Written By Unknown on Wednesday 13 April 2016 | 04:29:00


Terjemahan dari Kitab Limadha Akhtartu Madhhab Ahlul-Bait AS karya Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki [Edisi Pertama, Cetakan Halab, Syiria, 1402 H]


Sejarah Ringkas Hidupku

Aku dilahirkan pada tahun 1344H/1894M di kampung Unsu di Wilayah Antakiyah. Sebuah kampung yang cantik, udaranya nyaman dipenuhi oleh bermacam-macam tumbuhan seperti zaitun, anggur dan lain-lain. Di sana terdapat seorang Syaikh yang mengajar membaca dan menulis al-Qur'an kepada kanak-kanak. Bapakku meletakkanku di sisinya supaya aku belajar membaca dan menulis al-Qur'an. Selepas aku selesai membaca dan menulis, bapakku mengambilku supaya aku menolong sebahagian daripada kerja-kerjanya.

Ketika umurku meningkat remaja, aku mulai mencintai ilmu pengetahun dan para ulama. Karena itulah apabila aku melihat seorang ulama, aku dengan segera melakukan khidmatku kepadanya menurut kemampuanku.

Kemudian terbenam di hatiku perasaan cinta kepada ilmu dan makin memuncak. Pada masa itu seorang syaikh bernama Syaikh Rajab adalah seorang alim yang tinggal berdekatan dengan kampung kami. Maka di sanalah aku dan saudaraku, Ahmad, belajar darinya hampir tiga tahun. Kemudian kami berpindah ke bandar Antakiyyah dan kami memasuki madrasah melalui Syaikh Nazif. Kami belajar darinya dan bapaknya, Syaikh Ahmad Afandi al-Tawil, hampir tujuh tahun. Pada masa itu juga datang seorang alim yang dihormati bernama Syaikh Muhammad Sa'id al-'Urfiyy dari daerah Dair al-Zur. Dia telah dibuang (diusir) oleh pihak kerajaan Perancis sepanjang penjajahan negara Suriah selepas tamatnya peperangan dunia yang pertama pada tahun 1919 M. Kami sempat belajar darinya semasa dia berada di Antakiyyah.


Di Universitas al-Azhar

Kemudian aku sampai juga di Mesir sekalipun saudaraku, Ahmad, telah sampai lebih awal ketimbang aku. Hampir sebulan kami belajar di Universitas al-Azhar, Syaikh Said al-'Urfiyy pun datang. Dan kedatangannya ke Mesir banyak memberi faedah kepada kami. Dan di Universitas al-Azhar-lah kami menuntut berbagai ilmu pengetahun dari syaikh-syaikh al-Azhar yang termasyhur. Guru-guruku di Universitas al-Azhar adalah: 1. al-Allamah al-Akbar Syaikh Mustafa al-Maraghi, Rektor Universiti al-Azhar dan Ketua Majlis Islam. 2. al-Allamah al-Kabir Syaikh Muhammad Abu Taha al-Mihniyy. 3. al-Allamah al-Kabir Syaikh Rahim dan syaikh-syaikh al-Azhar yang lain.


Ijazah dari Universitas al-Azhar

Ketika kami tamat belajar, kami telah memperolehi beberapa ijazah yang tinggi dari Universitas al-Azhar. Dan ketika kami ingin pulang ke tanah air, beberapa orang yang terkemuka di Mesir meminta supaya kami menjadi pensyarah (penerang dan pembahas) di Universitas al-Azhar. Tetapi disebabkan negara kami lebih memerlukan kami, lagipula Mesir sebuah negara ilmu yang mempunyai para ulama yang masyhur dan rasanya tidak begitu memerlukan kami, dibandingkan negara kami yang hampir tidak mempunyai ulama yang berwibawa di dalam ilmu Fiqh, Tafsir dan Hadith.


Kembalinya Kami Ke Tanah Air

Kami kembali ke negara kami dan bertugas sebagai imam sembahyang jama'ah dan Jum'at, mengajar, memberi fatwa dan menjadi pensyarah selama lima belas tahun.


Perselisihan Di Kalangan Mazhab Empat

Selama lima belas tahun kami mengkaji tentang perselisihan (khilaf) di kalangan empat mazhab. Aku dan saudaraku, Ahmad, merasakan suatu kepelikan karena kami mendapati perselisihan berlaku di dalam satu masalah di dalam mazhab yang sama. Lebih-lebih lagi perselisihan yang berlaku di antara satu mazhab dengan tiga mazhab yang lain. Sehingga kami mendapati satu mazhab menghalalkan satu masalah sementara mazhab yang lain pula mengharamkannya. Begitu juga satu mazhab mengatakan satu hal adalah makruh, sementara mazhab yang lain pula mengatakannya sunnah. Begitulah seterusnya. Sebagai contoh Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh perempuan ajnabi (dalam kondisi junub) membatalkan wudhu, sementara Hanafi berpendapat tidak membatalkan wudhu.

Malik berpendapat pula bahwa sentuhan jika dengan syahwat (atau sengaja) akan membatalkan wudhu, dan jika tidak maka ia tidak membatalkan wudhu. Syafi'i mengharuskan seseorang mengawini anak perempuan zinanya, sementara Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal mengharamkannya. Hanafi berpendapat bahawa sedikit darah yang keluar dari tubuh (badan) adalah membatalkan wudhu, sementara yang tiga lagi berpendapat tidak membatalkannya.

Hanafi berpendapat bahwa wudhu harus dilakukan dengan Nabidh (air kurma umpamanya) dan susu yang bercampur dengan air. Sementara tiga lagi berpendapat tidak harus. Malik berpendapat bahwa memakan daging anjing adalah boleh. Sementara yang tiga lagi berpendapat tidak boleh. Syafi'i berpendapat bahwa memakan daging serigala (Tha'lab), daging musang (dhab'), dan daging belut (jar'y) adalah boleh. Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa memakannya adalah haram. Syafi'i berpendapat bahwa landak (qunfuz) adalah halal sementara yang tiga lagi berpendapat haram. Dan banyak lagi perselisihan-perselisihan yang berlaku di kalangan mereka bermula dari bab fiqh hingga ke selain fikih.

Subhanallah! Adakah syariat Islam itu tidak lengkap sehingga mereka melengkapinya dengan perselisihan di kalangan mereka? Satu mazhab menghalalkannya, dan satu lagi mengharamkannya. Sementara yang lain pula mengharuskannya dan yang lain pula berpendapat sebaliknya. Perhatikanlah bagaimana Syafi'i telah menyusun mazhabnya yang lama (Qadim) dan menyebarkannnya di kalangan kaum Muslimin di Iraq, Hijaz, Yaman, dan Syria. Kemudian dia berpindah ke Mesir kerana sebab-sebab tertentu. Di sana dia bergaul dengan orang Maghribi dan mengambil ilmu daripada mereka. Lalu dia berpindah dari mazhabnya yang lama dengan menyusun mazhabnya yang dia menamakannya dengan mazhab Jadid (baru). Sehingga beberapa masalah saja yang berlaku pada mazhabnya yang pertama (qaul qadim).

Aku berkata: “Sekiranya mazhab pertamanya betul kenapa dia mencipta mazhab yang kedua dan begitu pula sebaliknya. Begitu juga kita perhatikan Abu Hanifah memberi pendapatnya di dalam satu-satu masalah, murid-muridnya, Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar menyalahinya. Kadangkala seorang daripada mereka sependapat dengannya. Sementara dua lagi menyalahinya. Atau ketiga-tiga menyalahinya, atau bersepakat dengannya. Begitu juga Malik dan Ahmad bin Hanbal, perselisihan berlaku di kalangan mereka dalam semua masalah, dan tentu sekali membuat kita berada di dalam keraguan.

(Bersambung)

(Syiahtulislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: