Kalau persaingan keduanya dibiarkan berlarut-larut akan sangat berbahaya bagi masa depan Saudi.
Musim haji tahun ini rasanya pantas diberi label haji paling tragis sepanjang sejarah lantaran ada dua tragedi. Bermula dengan jatuhnya sebuah derek raksasa di Masjid Al-haram, Kota Makkah, Arab Saudi, pada 11 September. Insiden ini menewaskan 111 jamaah haji dan melukai lebih dari 200 lainnya.
Dua pekan kemudian petaka terjadi di Mina. Tabrakan arus jamaah haji dalam jumlah besar menyebabkan seribuan orang meninggal dan hampir seribu lainnya cedera. Dua tragedi itu telah mengoyak kredibilitas Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz, pemilik gelar Pelayan Dua Kota Suci.
Pamornya makin suram lantaran Raja Salman berbohong. Lewat media pemerintahnya mengumumkan tragedi itu menewaskan 769 orang dan 934 lainnya luka. Namun mereka menyebarkan sekitar 1.100 foto korban meninggal kepada para diplomat negara muslim untuk proses identifikasi.
Dengan kesehatan meragukan sejak naik takhta Januari lalu karena sudah pikun, akhir dari kekuasaan Salman tinggal menunggu waktu saja. Dua skenario – suksesi atau kudeta – sangat mungkin terjadi paling lambat Januari tahun depan, setahun usia Raja Salman berkuasa.
Di negeri berlimpah sumber fulus – dari minyak, gas, serta haji dan umrah – itu, tidak aneh ada intrik, konflik, dan persaingan ketat dalam keluarga kerajaan. Ratusan pangeran tentu bakal berebut pengaruh dan kuasa buat menguasai harta.
Namun kali ini konflik dalam keluarga kerajaan mencuat ke publik setelah seorang pangeran, salah satu cucu dari mendiang pendidi Arab Saudi Raja Abdul Aziz, menulis surat terbuka menyerukan kudeta terhadap penguasa sekarang, Raja Salman bin Abdul Aziz. Dia beralasan pemimpin 79 tahun itu pada kenyataannya tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan karena kesehatannya digerogoti sejumlah penyakit.
Konflik internal dan persaingan antar pangeran sejatinya bukan hal baru di Saudi, namun kudeta tidak umum terjadi.
Terakhir berlangsung pada 1964 ketika Raja Saud dipaksa turun oleh Pangeran Faisal, telah menguasai Garda Nasional dan mengancam melakukan kudeta. Sebelas tahun kemudian Raja Faisal ditembak mati oleh seorang keponakannya.
Tekanan terhadap Raja Salman untuk lengser kian besar lantaran anggaran Saudi tergerus oleh melemahnya harga minyak mentah dunia, merupakan sumber pendapatan utama. Defisit – IMF (Dana Moneter Internasional) memperkirakan tahun ini US$ 107 miliar atau kini setara 1.566 triliun makin membengkak akibat ongkos perang Yaman ditanggung Saudi. Sampai-sampai Riyadh menarik US$ 70 miliar (Rp 1.029,5 triliun) dananya di luar negeri buat mengurangi defisit.
Raja Salman sejatinya sudah sadar dia tidak bakal lama memerintah. Karena itu, tiga bulan setelah duduk di singgasana, dia membikin keputusan mengejutkan: mencabut gelar putera mahkota dari Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz, anak bungsu Raja Abdul Aziz. Dia kemudian mengangkat Pangeran Muhammad bin Salman, putra sulungnya dari istri ketiga, menjadi wakil putera mahkota, sebelumnya diduduki Pangeran Muhammad bin Nayif dan otomatis dia naik sebagai putera mahkota. Sebenarnya tidak juga mengagetkan lantaran ibu Pangeran Muqrin bukan bangsawan.
Ada dua sinyalemen disampaikan Raja Salman terkait keputusan kontroversialnya April lalu itu. Dia ingin memutus rantai generasi kedua penguasa Saudi. Artinya, dialah anak Raja Abdul Aziz terakhir dari klan ibu, Hissa as-Sudairi menjadi raja. Sejak Raja Abdul Aziz meninggal, semua penguasa Saudi – mulai Saud, Faisal, Khalid, Fahad, Abdullah, dan kini Salman – adalah beribu Hissa as-Sudairi.
Tentu saja ini bertentangan dengan dekrit dikeluarkan Raja Abdullah pada 2006 berisi: jika semua anak-anak Raja Abdul Aziz sudah tidak ada, baru kekuasaan dipegang oleh salah satu cucunya dipilih dari sekian ratus pangeran oleh sebuah dewan berisi pangeran-pangeran senior.
Kedua, Raja Salman berambisi menjadikan anaknya itu sebagai penggantinya walau dia miskin pengalaman. Usianya terbilang amat muda, diyakini baru 30 tahun walau di dokumen rersmi tertulis 35 tahun. Pangeran Muhammad bin Salman sebenarnya pelaksana pemerintahan saban hari lanataran masih ada tambahan dua jabatan mentereng lainnya, yakni sebagai menteri pertahanan dan ketua komite kebijakan ekonomi.
Boleh jadi keistimewaan itu membikin sepupunya satu kali, Putera Mahkota Muhammad bin Nayif, iri. Inilah membuat rivalitas kedua kian panas. Jadi sangat wajar saja muncul tudingan dua tragedi di musim haji tahun ini memang sengaja dibikin sebenarnya untuk mencoreng reputasi Pangeran Muhammad bin Nayif, dikenal dekat dengan Amerika Serikat karena sama-sama terlibat operasi menumpas Al-Qaidah saat menjabat kepala intelijen. Dengan jabatan tambahan sebagai menteri dalam negeri, dia bertanggung jawab atas pengamanan pelaksanaan ibadah haji.
Pangeran Muhammad bin Salman butuh hal itu karena namanya juga sudah jelek akibat perang di Yaman dianggap gagal. Bahkan malah membikin Saudi tidak aman oleh serangan kaum militant Islam. Bahkan keputusan sembrono sang pangeran dengan intervensi langsung militer secara keroyokan makin membuat Yaman kian bergolak. Milisi Al-Hutiyun ditumpas dengan alasan disokong musuh bebuyutan mereka, Iran, tapi Al-Qaidah dan ISIS (Negara islam Irak dan Suriah) makin merajalela.
Kalau persaingan keduanya dibiarkan berlarut-larut akan sangat berbahaya bagi masa depan Saudi. Demi harta dan kuasa orang kadang gila dan nekat berbuat apa saja, termasuk mengorbankan ribuan atau bahkan jutaan orang tidak bersalah. Ini memungkinkan Raja Salman bisa mencopot Pangeran Muhammad bin Nayif – seperti dia lakukan atas Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz - sehingga anaknya, Pangeran Muhammad bin Salman, naik pangkat menjadi putera mahkota. Barulah dia lengser baik-baik dan memberikan peluang bagi putranya itu berkuasa.
Persaingan memperebutkan takhta di negara Kabah itu makin bertambah sengit karena ada seruan menyudahi dominasi klan Hissa as-Sudairi. Hal inilah bakal membuka peluang terjadinya kudeta.
(Al-Balad/Tempo/Garut-News/Berbagai-Sumber-lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email