Kekaisaran Turki Ottoman yang dianggap oleh kelompok pengusung khilafah dan penegak syariat Islam sebagai kebanggaan kekhalifahan Islam masa lalu memiliki noda hitam sejarah tragedi kemanusiaan dengan melakukan genosida terhadap bangsa Armenia.
Setelah pecahnya Perang Dunia Pertama (PD I) pada 28 Juli 1914, Turki Ottoman atau Turki Utsmani mulai membuat rencana untuk mengusir orang-orang Armenia, yang hidup di wilayah kekuasaan mereka.
Aksi pembantaian yang berlangsung antara 1915-1923, dimulai pada 24 April 1915 dengan penangkapan dan eksekusi mati terhadap 250 intelektual, serta pemimpin komunitas Armenia di Konstantinopel. Beberapa di antara mereka adalah wanita dan anak-anak
Dilansir dari laman History, genosida terjadi dalam dua fase, yaitu pembunuhan populasi pria melalui eksekusi massal dengan dipenggal dan kerja paksa, diikuti deportasi wanita, anak-anak, balita dan orang lanjut usia.
Selain diperkosa, wanita dan anak-anak dan balita itu diusir keluar tanpa makan dan minum, hingga tewas di padang pasir Suriah. Beberapa di antara mereka dieksekusi dengan disalib dan dipenggal. Sedikitnya 1,5 juta orang Armenia dipastikan tewas.
Para ahli sejarah menyebut tragedi kemanusiaan itu sebagai aksi genosida oleh Kekaisaran Turki. Pembantaian terencana dan sistematis, untuk memusnahkan bangsa Armenia.
Hingga saat ini Pemerintah Turki menolak untuk mengakui, besarnya tragedi memilukan yang terjadi, serta mengecam penyebutan bencana kemanusiaan itu sebagai sebuah proses genosida.
Kini, pemerintah Turki menjadi sasaran kecaman dunia karena arogansinya menolak mengakui dan meminta maaf atas pembantaian Armenia. Parlemen Uni Eropa meminta Turki untuk mengakui ‘genosida’ di Armenia. Permintaan ini membuat Ankara naik pitam.
Para Anggota Parlemen Eropa (MEP) juga meminta Turki untuk membuka arsip dan berdamai dengan masa lalu. Lembaga Uni Eropa juga meminta Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan para pejabat lainnya untuk menawarkan belasungkawa dan mengakui kekejaman terhadap Ottoman Armenia.
Namun tawaran itu memicu kecaman dari Ankara, yang mengatakan langkah itu tidak konsisten dengan hukum internasional. Kini istilah “genosida” itu menjadi sengketa di Eropa. Sejumlah negara Eropa menyatakan terjadi genosida sementara Turki menolak penggunaan istilah itu.
Putin dan Presiden Prancis, François Hollande termasuk di antara para pemimpin dunia yang setuju menyebutkan pembunuhan warga Armenia di tangan Kekaisaran Ottoman sebagai “genosida.”
“24 April 1915 adalah tanggal sedih, terkait dengan salah satu peristiwa yang paling mengerikan dan dramatis dalam sejarah manusia, genosida orang-orang Armenia,” kata Putin dalam sebuah pernyataan ‘’Dunia Tanpa Genosida’’ yang naskahnya diposting pada website Kremlin, seperti dikutip media Turki, Hurriyet Daily News.
Sebelumnya parlemen Austria mengeluarkan deklarasi yang sama, dan mendorong Turki untuk memanggil pulang duta besarnya dari Wina. Sementara itu, Presiden Amerika Serikat masih enggan menyebut tragedi itu sebagai genosida, dan menyebut sebagai Meds Yerghem, dari bahasa Armenia yang berarti bencana besar.
“Seratus tahun kemudian, kita menundukkan kepala kita dalam memori untuk semua korban tragedi ini, yang di negara kita selalu dirasakan sebagai rasa sakit dan kemalangan kita sendiri,” kata Putin.
“Masyarakat internasional harus melakukan semua hal yang bisa untuk mencegah kekejaman seperti itu terjadi lagi di mana pun,” tegasnya.
Sehari sebelumnya parlemen Austria mengeluarkan deklarasi yang menggambarkan pembunuhan pada 1915 terhadap orang Armenia oleh Ottoman Turki sebagai “genosida” dan secara serius merusak hubungan kedua negara dengan Turki memanggil pulang duta besarnya.
Enam partai di parlemen Austria menggelar acara mengheningkan cipta untuk mengenang para korban Armenia setelah mengeluarkan deklarasi bersama. “Ini adalah tugas kita untuk mengakui dan mengutuk peristiwa mengerikan sebagai genosida karena tanggung jawab historis; monarki Austria-Hongaria adalah sekutu Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I,” kata pernyataan itu.
“Hal ini juga tugas Turki untuk secara jujur mengakui bagian sejarah yang gelap dan menyakitkan.” Menurut Hurriyet, sekitar 268.000 orang asal Turki tinggal di Austria, hampir 115.000 di antaranya adalah warga negara Turki, menurut angka pemerintah.
Bangsa Armenia telah mendiami Eurasia di Kaukasus selama lebih dari 3.000 tahun, di mana kerajaan Armenia menjadi entitas yang independen, hingga wilayah mereka jatuh dalam kekuasaan Ottoman pada abad ke-15.
(Daily-Mail/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email