Pertanyaan:
Bagaimana pandangan mayoritas ulama tentang wilâyah fakih pasca ghaibah kubra (kegaiban Imam Mahdi as)?
Jawaban Global
Lebih dari seabad lamanya ulama Syiah telah membahas masalah, batasan dan kewenangan wilâyah fakih. Sebagian ulama seperti Abu al-Shalah al-Halabi dan Ibnu Idris Hilli dalam buku-buku mereka, dalam sebuah pasal tersendiri, membahas dan mengulas tentang syarat-syarat deputi Imam Maksum As. Sebagian lainnya menyinggung sebagian tugas seorang deputi Imam Maksum di sela-sela rangkaian pembahasan tertentu. Sebagian lainnya seperti penulis “Miftâh al-Karâmah” menyebutkan dalil-dalil pembahasan wilâyah fakih. Dan ulama lainnya seperti Mulla Ahmad Naraki menjelaskan batasan tugas wali fakih. Sekelompok juris seperti penyusun buku “Jawâhir al-Kalâm” secara rinci membahas masalah ini dan kelompok lainnya menyinggungnya secara global dan ringkas. Namun dalam pandangan mereka semuanya sepakat bahwa inti wilâyah fakih adalah sebuah masalah yang pasti dan definitif.
Jawaban Detil
Semenjak masa Syaikh Mufid (333 atau 413 – 338 H) hingga kini, ulama Syiah telah membahas masalah wilâyah fakih. Sebagian ulama seperti Abu al-Shalah al-Halabi, dalam karyanya mengkhususkan sebuah pasal sehubungan dengan wilâyah fakih dan menyebutkan syarat-syarat deputi Imam Maksum as. Sebagian lainnya dalam sela-sela rangkaian pembahasan tertentu menyinggung masalah wilâyah fakih, syarat-syarat dan batasan kewenangannya. Namun dalam pandangan seluruh ulama, inti masalah wilâyah fakih merupakan sebuah masalah yang pasti dan definitif.
Untuk menjelaskan hal ini lebih jauh, selayang pandang sejarah pembahasan wilâyah fakih, minus pandangan Syaikh Mufid yang memerlukan ruang dan waktu lain,[1] di sini kita akan membahas dan mengkaji pandangan sebagian juris besar Syiah terkait dengan masalah ini.
1. Syaikh Abu al-Shalah al-Halabi (447 H)
Syaikh Abu al-Shalah al-Halabi adalah salah seorang murid Sayid Murtadha dan Syaikh Thusi. Ia dalam kitabnya al-Kâfi mengkhususkan masalah wilâyah fakih dalam sebuah pasal dan menyebut pasal tersebut sebagai “Tanfidz al-Ahkâm” (Implementasi Hukum-hukum). Ia berujar, “Implementasi hukum-hukum syariat dan hukum-hukum yang bertautan dengan peribadatan merupakan salah satu kewajiban dan terkhusus untuk para Imam Maksum As, bukan orang lain yang tidak memenuhi kelayakan dan kriteria dalam pandangan mereka.”[2]
Dalam tuturan ini disebutkan bahwa masalah pelaksanaan hukum-hukum syariat dan hukum yang berdasarkan kepadanya termasuk seluruh masalah pemerintahan dan politik, adalah hak eksklusif para Imam Maksum As dan orang-orang yang dipandang layak oleh mereka. Syaikh Abu al-Shalah menambahkan penjelasan syarat-syarat orang-orang seperti ini dan berkata, “Syarat-syarat deputi (perwalian) dari Imam Maksum As adalah sebagai berikut:
1. Ilmu yang benar terhadap sebuah hukum yang dihadapkan kepadanya.
2. Kemampuan untuk melaksanakannya semampunya.
3. Berakal dan berpikiran sehat.
4. Jeli melihat persoalan.
5. Nampaknya keadilan, kesucian dan keberagamaannya terhadap hukum.
6. Kemampuan untuk menegakkan hukum dan meletakkanya pada tempatnya.[3]
Syarat-syarat ini adalah pengingat sebuah ungkapan yang kita saksikan setelah berabad dalam pasal seratus sembilan (109) konstitusi Republik Islam Iran yaitu syarat-syarat dan tipologi seorang pemimpin (Rahbar):
1. Kelayakan keilmuan yang diperlukan untuk memberikan fatwa dalam pelbagai persoalan fikih.
2. Keadilan dan ketakwaan yang diperlukan untuk memimpin umat Islam.
3. Pandangan politik benar, sosial, manajerial, berani, kecakapan yang memadai untuk menjadi pemimpin.
2. Ibnu Idris Hilli (598 H)
Ibnu Idris Hilli dalam kitab “Al-Sarâir” setelah kurang lebih satu abad setengah semenjak masa Abu al-Shalah al-Halabi, juga mengkhususkan masalah wilâyah fakih dalam sebuah pasal dan menyebutnya sebagai “Tanfidz al-Ahkam” yaitu Implementasi Hukum-hukum. Dalam pasal ini, ia menyatakan sebuah ungkapan yang mirip dengan pernyataan Abu al-Shalah yang mengungkapkan syarat-syarat orang yang memangku jabatan ini setelah menjelaskan pengkhusuan pelaksanaan hukum bagi para Imam Maksum As dan orang-orang yang memiliki kelayakan untuk hal ini. Satu-satunya syarat yang ditambahkan dari syarat-syarat yang telah ada dalam ucapan Halabi adalah “kesenantiasaan dalam memberikan fatwa dan beramal atasnya” yang boleh jadi yang dimaksudnya ini adalah ijtihad seorang deputi yang telah disinggung pada syarat pertama yaitu “Ilmu yang benar dalam sebuah hukum yang dihadapkan kepadanya.”
3. Muhaqqiq Hilli (676 H)
Muhaqqiq Hilli dalam pembahasan khumus berkata demikian, “Orang yang harus mengurus penggunaan saham Imam As bagi orang-orang yang layak mendapatkannya adalah orang yang merupakan deputi imam sebagaimana pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat juga berada di pundaknya.”
Zainuddin bin Ali Amili, yang umumnya dikenal sebagai Syahid Tsani (966 H) dalam menjelaskan perkataan ini, “Yang dimaksud oleh Muhaqqiq Hilli dari ungkapannya “seseorang yang menjadi deputi imam” adalah juris adil bermazhab Imamiyah yang memenuhi seluruh syarat dalam mengeluarkan fatwa; karena orang seperti ini adalah seorang deputi yang telah diangkat oleh imam.”[4]
4. Muhaqqiq Karaki (940 H)
Muhaqqiq Karaki sehubungan dengan deputi imam menulis, “Para juris (fakih) Syiah bersepakat bahwa fakih yang memenuhi seluruh syarat yang disebut sebagai mujtahid adalah deputi dari sisi para Imam Maksum As dalam segala urusan perwalian yang terkait di dalamnya. Karena itu wajib hukumnya untuk mematuhinya.”
Seorang wali (deputi) dapat menjual harta seseorang yang tidak menunaikan kewajibannya. Ia memiliki wewenang (wilâyah) atas harta benda orang-orang yang tidak ketahuan entah dimana mereka berada, anak-anak, orang-orang dungu, orang-orang pailit dan pendeknya atas segala apa yang ditetapkan bagi seorang hakim yang diangkat oleh Imam Maksum As. Dalil atas masalah ini adalah riwayat Umar bin Hanzalah dan riwayat-riwayat yang memiliki makna dan kandungan yang sama.[5]
Kemudian Muhaqqiq Karaki mengimbuhkan, “Apabila seseorang menelaah dengan baik dan jujur jejak langkah ulama Syiah seperti Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, Bahrul Ulum, Allamah Hilli, maka ia akan dapatkan bahwa mereka telah melalui jalan ini dan mempertahankan model ini dan menyebutkannya dalam tulisan-tulisan mereka yang dipandang sebagai pandangan valid dan benar terkait dengan masalah ini.”[6]
5. Maula Ahmad Muqaddas Ardabili (990 H)
Muqaddas Ardabili sekaitan dengan dianjurkannya (istihbâb) menyerahkan zakat kepada seorang juris beragumentasi seperti ini, “Dalilnya adalah bahwa fakih lebih tahu tentang penggunaan zakat dan ragam kelompok masyarakat berkumpul di sekitarnya karena itu ia mengetahui siapa yang lebih prioritas dan layak untuk mendapatkan zakat tersebut. Fakih adalah khalifah dan pengganti Imam Maksum As. Maka apa pun yang sampai ke tangannya maka sesungguhnya telah diserahkan kepada Imam Maksum As.[7]
Haj Aghai Ridha Hamadani (1322 H) juga menyatakan bahwa menyerahkan harta kepada seorang fakih adalah laksana menyerahkannya kepada Imam Maksum As.[8]
6. Jawad bin Muhammad Husaini Amili (1226 H)
Ia dalam karya monumentalnya Miftâh al-Karâmah dan penguasaannya atas pandangan para fukaha Syiah, berpandangan bahwa fakih (juris) adalah wali dan diangkat dari sisi Imam Zaman Ajf: Fakih diangkat oleh Imam Zaman Ajf dan hal ini disokong oleh akal, jima dan riwayat.
Adapun dari sudut pandang akal: Apabila fakih tidak memiliki izin dan perwalian dari sisi Imam Zaman Ajf maka urusan masyarakat akan menjadi sulit. Mereka akan berada dalam kondisi terjepit dan pola hidup mereka akan tak teratur.
Dari sudut pandang ijma:[9] Maka realisasinya – sebagaimana yang telah diakui – kita dapat mengklaim bahwa ulama Syiah bersepakat dalam masalah ini dan konsesus (ijmâ) mereka adalah hujjah.
Dari sudut pandang riwayat: Petunjuk yang disampaikan atas hal ini telah memadai dan cukup jelas. Di antara riwayat tersebut adalah Shaduq[10] yang disebutkan dalam Ikmâl al-Din: Imam As menulis jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Ishak bin Ya’kub: “Pada pelbagai peristiwa yang terjadi maka hendaklah engkau merujuk kepada para perawi hadis kami; karena mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah.[11]
7. Mullah Ahmad Naraqi (1245 H)
Naraqi berkata bahwa fakih memiliki otoritas dan wewenang (wilâyah) atas dua perkara:
Wilâyah yang dimiliki Rasulullah Saw dan Imam Maksum – yang merupakan para penguasa bagi masyarakat, benteng kuat dan kokoh Islam – fakih juga memiliki wilâyah seperti ini kecuali dalam beberapa hal yang sesuai dengan ijma dan nash dan lain sebagianya yang berada di luar domain wilâyah fakih.
Setiap perbuatan yang bertautan dengan agama dan dunia masyarakat dan mau-tidak-mau harus dilakukan, baik secara rasional atau mengikut tradisi, dan yang berkaitan dengan dunia dan akhirat seseorang, atau kelompok yang bergantung kepadanya, dan agama dan dunia masyarakat terkait di dalamnya, atau dari sisi syariat, yang harus dilakukan atasnya, atau para fakih telah mencapai konsensus atasnya atau sesuai dengan tuntutan hadis, nafi dharar (melenyapkan kerugian) atau menafikan kesulitan, atau kerugian bagi kaum Muslimin atau dalil lainnya (yang telah diwajibkan) atau kewajiban atau larangan yang diperoleh dari Allah Swt yang harus dikerjakan, dan dari sisi Allah Swt telah keluar izin untuk melaksanakannya, namun tidak jelas petugas pelaksananya maka fakih harus memikul dan menunaikan seluruh pekerjaan ini.[12]
8. Syaikh Muhammad Hasan Najafi (1266 H)
Penulis buku Jawâhir al-Kalâm sekaitan dengan keumuman wilâyah fakih menulis, “Keumuman wilâyah fakih dapat disimpulkan dari amalan dan fatwa para sahabat dalam pelbagai bab fikih. Bahkan boleh jadi dalam pandangan mereka merupakan masalah yang pasti atau urgen dan gamblang.”[13] Menurut hemat saya, Allah Swt telah mewajibkan kepada kita ketaataan kepada fakih sebagai “Ulil Amri.” Dalilnya adalah kemutlakan dalil pemerintahan fakih khususnya riwayat dari Imam Zaman Ajf.[14]
Syaikh Muhammad Hasan Najafi menulis tentang domain wilâyah fakih, “Dari lahir sabda Imam yang menyatakan secara umum tentang fakih jami’ al-syaraith: “Aku menjadikan ia sebagai hakim bagi kalian.” Kemudian hal-hal khusus terkait dengan seseorang tertentu ketika diangkat, “Aku menjadikannya sebagai hakim” dapat disimpulkan bahwa sabda imam menunjukkan atas wilâyah umum fakih jâmi’ al-syarâith. Di samping itu, bahwa Imam Zaman Ajf bersabda, “Para perawi hadis adalah hujjahku atas kalian dan Aku adalah hujjah Allah” dengamn baik menunjukkan pelbagai kewenangan luas fakih di antaranya, “Melaksanakan dan menegakkan hudud..” Bagaimanapun menegakkan hudud (syariat) dan melaksanakannya pada masa ghaibat adalah wajib; karena perwalian dari Imam Zaman Ajf pada banyak hal ditetapkan bagi fakih jâmi al-syarâith.
Fakih adalah memiliki kedudukan seperti kedudukan Imam Maksum dalam urusan sosial dan politik. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan antara fakih dan imam.
Hal ini merupakan suatu hal yang telah dituntaskan di antara ulama dan para fakih. Karya-karya mereka dipenuhi oleh masalah keharusan merujuk kepada seorang hakim yang menjadi deputi imam pada masa okultasi (ghaibat). Apabila para fakih tidak memiliki perwalian dari Imam Maksum As maka seluruh urusan yang berkenaan dengan Syiah akan menganggur. Karena itu, ucapan-ucapan yang dilontarkan yang mengandung keraguan tentang wilâyah umum fakih seolah-olah mereka tidak pernah mencicipi kefakihan dan tidak memahami makna rahasia ucapan para Imam Maksum As serta tidak memikirkan dengan baik sabda para Imam Maksum As yang menyatakan, “Aku menjadikan fakih sebagai penguasa, khalifah, hakim dan hujjah…” Sabda dan sabda-sabda semisalnya memahamkan kepada kita bahwa yang dimaksud para Imam Maksum As adalah berdirinya sebuah tatanan dan pemerintahan bagi para Syiah mereka, pada kebanyakan hal yang berkaitan dengan mereka, dilaksanakan oleh fakih pada masa okultasi (ghaibat).
Atas dasar itu, Salar bin Abdulaziz dalam kitab “Marâsim” meyakini bahwa para Imam Maksum As mendelegasikan urusan ini kepada para juris (fakih). Pendeknya, masalah wilâyah umum fakih sedemikian terang sehingga tidak memerlukan dalil untuk menjelaskannya.[15]
9. Syaikh Murtadha Anshari (1281 H)
Kendati Syaikh Anshari tidak mutlak memberikan batasan wilâyah dalam kitab al-Makasib, namun beliau menandaskan, “Wilâyah fakih dalam pelbagai urusan yang menegaskan legalitasnya adalah bersifat tetap.”[16] Beliau dalam kitab al-Qadhâ setelah membagi urusan-urusan yang berkenaan dengan Imam Maksum As menjadi dua bagian: (Pertama, atas apa yang menjadi tugas individualnya. Kedua, atas wilâyah yang dimilikinya). Syaikh Anshari menyatakan bahwa yang pertama berkaitan dengan masa Imam Maksum As sendiri. Namun kedua mencakup setiap masa. Kemudian memandang pengangkatan fukaha oleh Imam Maksum As berhubungan dengan bagian kedua dan menyebutkan bahwa wilâyah para fakih sebagai pemerintahan mereka pada masa okultasi (ghaibat).[17]
10. Sayid Muhammad Bahrul Ulum (1326 H)
Sayid Muhammad Bahrul Ulum memiliki sebuah pembahasan bahwa apakah dalil-dalil wilâyah fakih menunjukkan wewenangnya atas masyarakat umum atau tidak? Ia berkata, “Terdapat pembahasan penting di sini berkenaan dengan dalil-dalil wilâyah fakih bahwa apakah dalil-dalil tersebut menunjukkan keumumannya atau tidak? Dalam menjawab persoalan ini kita katakan bahwa kepemimpinan masyarakat umum dan seluruh masyarakat dipikul oleh Imam Maksum As dan hal ini menyebabkan masyarakat merujuk kepada Imam Maksum pada setiap urusan yang berkenaan dengan kemaslahatan mereka, seperti urusan yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, dalam membasmi kejahatan dan menghilangkan keburukan. Sebagaimana bahwa setiap bangsa merujuk kepada para pembesar mereka dalam masalah-masalah seperti ini dan jelas bahwa hal ini menjadi sebab kuat dan kukuhnya pemerintahan Islam yang realiasinya senantiasa menjadi salah satu tujuan Islam.
Dengan demikian, untuk menjaga pemerintahan Islam, Imam Maksum harus menentukan penggantinya dan hanyalah fakih jâmi’ al-syarâith (memenuhi selaksa syarat-syarat) yang dapat memenuhi kriteria perwalian ini. Hal ini dapat disimpulkan dari sebagian riwayat seperti “Pada pelbagai peristiwa yang terjadi maka hendaklah kalian merujuk kepada para periwayat hadis kami.” Di samping itu, para fakih pada banyak hal bersepakat bahwa orang-orang harus merujuk kepada fakih. Mereka menyimpulkan keumuman wilâyah fakih ini, sesuai dengan dalil rasional dan referensial. Serta nukilan ijma atas masalah ini melebihi batasan istifâdha.[18] Persoalan ini adalah persoalan jelas, Alhamdulillah, dan tiada sangsi dan keraguan di dalamnya.[19]
11. Ayatullah Burujerdi (1382 H)
Ayatullah Burujerdi memandang bahwa wilâyah fakih dalam pelbagai urusan yang dihadapi pada umumnya masyarakat merupakan perkara yang jelas dan gamblang. Beliau mengungkapkan bahwa dalam hal ini kita tidak memerlukan hadis maqbulah (yang diterima) dari Umar bin Hanzalah. Katanya, “Singkatnya, tiada isykalan dalam masalah ini bahwa fakih adil diangkat untuk menunaikan urusan-urusan penting yang umumnya dihadapi oleh masyarakat.” Dengan memperhatikan atas apa yang telah kami sebutkan kami memandang bahwa kita tidak memerlukan hadis Hanzalah untuk menetapkannya, meski hadis tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bukti atas masalah ini.[20]
12. Ayatullah Syaikh Murtadha Hairi (1362 S)
Ayatullah Syaikh Murtadha Hairi berpandangan bahwa salah satu dalil wilâyah fakih adalah untuk mengukuhkan syariat. Beliau menulis, Tanda tangan mulia Imam Zaman Ajf, yang merupakan salah satu dalil wilâyah fakih, telah memadai untuk menetapkan izin bagi fakih (untuk menunaikan shalat Jumat). Sanad tanda tangan mulia telah kami jelaskan pada kitab “Ibtighâ al-Fâdhilah.” Dalam menyampaikan argumentasi atas riwayat ini, terdapat sebuah isyakalan yang telah dijawab dan dinyatakan bahwa isyakalan ini tertolak; karena riwayat ini bersifat mutlak dan berada pada tataran mencari sebab (ta’lil) serta menjelaskan sebuah prinsip universal dan pertanyaan global yang tidak akan menimbulkan masalah. Karena itu, apabila pertanyaannya berkaitan dengan pelbagai peristiwa baru, maka hal itu tidak akan menciderai keumumam riwayat tersebut; mengingat riwayat bersifat umum dan sebab (illah) mengeneralisir hukum dan argumentasi yang dilontarkan terhadap riwayat ini adalah sedemikian bahwa, “Fakih merupakan hujjah dari sisi Imam Maksum As” dan arti bahwa ia adalah hujjah dari sisi Imam Maksum As, dalam tradisi masyarakat, bermakna bahwa kalau dalam setiap urusan masyarakat harus merujuk kepada Imam Maksum As maka fakih juga demikian adanya.[21]
13. Imam Khomeini Qs (1368 S)
Imam Khomeini meyakini bahwa fakih memiliki wilâyah mutlak. Wilâyah mutlak bermakna bahwa seluruh wewenang dan tanggung jawab yang berada di pundak Imam Maksum As, pada masa ghaibat berada di pundak fakih jâmi’ al-syarâith, kecuali terdapat dalil khusus yang menyatakan sebagian wewenang dan tanggung jawab tertentu terkhusus bagi Imam Maksum As.
Karena itu, Imam Khoemini berkata, “Dari apa yang telah dijelaskan kita mengambil kesimpulan bahwa para fakih memiliki wilâyah dari sisi para Imam Maksum As, dalam segala urusan wilâyah yang dimiliki para Imam Maksum memiliki wilâyah. Dan untuk mengeluarkan satu hal di bawah kaidah ini maka seharusnya secara khusus masalah ini sampai di tangan Imam Maksum As. Berbeda dengan riwayat yang mengatakan, “Urusan tersebut berada dalam wewenang imam,” atau “Imam bersabda demikian,” dan seterusnya; karena hal ini akan menjadi tertetapkan bagi fakih adil sesuai dengan dalil-dalil yang telah disebutkan. Kami telah menyinggung bahwa, “Seluruh wewenang Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As dalam urusan pemerintahan dan kesultanan juga dapat berlaku bagi seorang fakih.”[22]
Beberapa Litetatur untuk Telaah Lebih Jauh:
Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat, Muassasah Farhanggi Khane-ye Kherad, Qum, Cetakan Kedua, 1380 S.
Catatan:
[1]. Silahkan lihat, Indeks, Wilayah Fakih dan Syaikh Mufid, Pertanyaan 22.
[2]. Abu al-Shalah Halabi, al-Kâfi fi al-Fiqh, hal. 422.
[3]. Ibid, hal. 423.
[4]. Zainuddin bin Ali al-Amili al-Jab’I, Masâlik al-Afham, jil. 1, hal. 53.
[5]. Muhaqqiq Karaki, Rasâil al-Muhaqqiq al-Tsâni, Risâlah Shalat al-Jum’ah, jil. 1, hal. 142.
[6]. Kita menyaksikan hal ini dalam tuturan-tuturan Syaikh Mufid, Sayid Murtadha dan Syaikh Thusi.
[7]. Muqaddas Ardabili, Majma’ al-Fawâid wa al-Burhân, jil. 4, hal. 205.
[8]. Haj Agha Ridha Hamadani, Mishbâh al-Faqih, Kitâb al-Khums, hal. 160.
[9]. Ijma adalah kesepakatan dan konsensus ulama dalam satu masalah yang mengisahkan adanya sebuah dalil standar dalam masalah ini dan menampakkan pendapat para Maksum As.
[10]. Dalam pembahasan-pembahasan mendatang kami akan menjelaskan bagaimana proses petunjuk riwayat ini. Silahkan lihat, dalam artikel ini, pembahasan dalil-dalil wilayah fakih, dalil referensial.
[11]. Husaini Amili, Miftah al-Karâmah (Kitâb al-Qadhâ), jil. 10, hal. 21.
[12]. Ahmad Naraqi, ‘Awâid al-Ayyâm, hal. 187-188.
[13]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm, jil. 16, hal. 178.
[14]. Syaikh Hurr al-Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 18, hal. 101, Kitâb al-Qadhâ, Abwâb Shifat al-Qadhâi, bab 9 -11.
[15]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm, jil. 21, hal. 395-397.
[16]. Syaikh Murtadha Anshari, al-Makâsib, hal. 154, Pertanyaan 34.
[17]. Syaikh Murtadha Anshari, Kitâb al-Qadhâ wa al-Syahâdah, hal. 243-244.
[18]. Kebanyakan dan pada satu tempat yang menukil riwayat atau hikayat ijma dari beberapa orang disebut sebagai khabar mustafidh atau ijma manqul mustafidh.”
[19]. Sayid Muhammad Bahr al-Ulum, Balaghat al-Faqih, jil. 3, hal. 221 dan 232-234.
[20]. Kitab al-Badr al-Zahir, Taqrir Dars Ayatullah Burujerdi, hal. 52.
[21]. Murtadha Hairi, Shalat al-Jum’ah, hal. 144.
[22]. Imam Khomeini Qs, Kitâb al-Ba’i, jil. 2, hal. 488-489.
(Syiatulislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email