Pesan Rahbar

Home » » Biaya Sertifikasi Halal MUI Dibebankan ke Produksi, Korbannya Konsumen

Biaya Sertifikasi Halal MUI Dibebankan ke Produksi, Korbannya Konsumen

Written By Unknown on Monday, 2 May 2016 | 22:39:00

Kontrak label Halal AHFS dengan MUI

Komisi Informasi Pusat (KIP) meminta semua organisasi yang mendapat dana dari pemerintah dan masyarakat termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuka laporan keuangannya ke publik.

Ketua KIP Abdulhamid Diporamono mengatakan MUI perlu membuka laporan keuangannya karena lembaga itu mendapatkan dana dari pemerintah dan masyarakat. Dana dari masyarakat MUI didapat melalui biaya sertifikasi halal yang kini merambah bukan saja untuk produk makanan, minuman, dan kosmetika, tetapi juga semua barang dan jasa.

Menurut UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, MUI adalah badan publik. Yang disebut badan publik bukan saja lembaga eksekutif, klegislatif, dan yudikatif, tetapi juga badan lain atau organisasi non pemerintah yang sebagaian atau seluruh dananya bersumber dari APBN, APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

“Dana dari pemerintah tidak saja didapat langsung dari APBN tapi juga program-program dari beberapa kementerian,” kata Abdulhamid dalam siaran pers, di Jakarta, Ahad 27 Maret 2016.

Karena itu, MUI, kata dia, wajib menginformasikan program dan laporan keuangannya ke publik dengan mengelola lembaga secara transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. “Badan publik juga tidak boleh menunggu diminta informasinya tapi harus proaktif mengumumkannya ke masyarakat,” ujar Abdulhamid.

Sejauh ini, lanjut Abdulhamid, KIP menilai MUI tidak pernah mengumumkan program-program dan laporan keuangannya secara periodik ke masyarakat. Kondisi keuangan MUI, baik uang masuk dan keluarnya, tidak pernah diketahui publik. Sehingga wajar jika akhir-akhir ini sangat ramai dipertanyakan masyarakat.

Apalagi, kini MUI menyatakan ingin mensertifikasi semua sektor kehidupan manusia, tidak saja makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan, tetapi juga barang dan jasa termasuk pakaian dan sepatu.

Sedangkan untuk melakukan sertifikasi, MUI selama ini memungut dana dari produsen barang dan restoran sebagai obyek. “Jika makin banyak obyek yang disertifikasi maka akan semakin banyak pula uang masuk ke MUI,” tutur dia.

Abdulhamid mengatakan, uang yang masuk tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Sebab biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang disertifikasi pada akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat sebagai konsumen. Misalnya, suatu produk harus disertifikasi secara periodik dan produsen harus membayar, maka uang yang dibayar produsen tersebut pasti dimasukkan ke komponen biaya produksi, dan ujung-ujungnya menyebabkan harga jual produknya naik.

Abdulhamid menilai masyarakat harus kritis mempertanyakan laporan keuangan MIU. Sebab, kata dia, biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang disertifikasi, pasti pada akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat sebagai konsumen. “Uang yang dibayar produsen tersebut (ke MUI–) pasti dimasukkan ke komponen biaya produksi dan ujung-ujungnya menyebabkan harga jual produknya naik,” kata Abdulhamid.

“Masyarakat harus berani meminta informasi ke mereka dan jika tidak dilayani dengan baik bisa mengadukannya ke KIP untuk disidang,” tukas Abdulhamid.

(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: