Pesan Rahbar

Home » » Boedi Oetomo, Progresif Pada Mulanya, Konservatif Pada Akhirnya

Boedi Oetomo, Progresif Pada Mulanya, Konservatif Pada Akhirnya

Written By Unknown on Thursday, 26 May 2016 | 23:01:00

Kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta.

Organisasi yang didirikan para pemuda berpikiran maju itu akhirnya jatuh ke tangan para priayi kolot.

TAK lama setelah didirikan, para siswa Stovia mencurahkan tenaga untuk merebut hati rekan-rekan dari sekolah lanjutan lainnya untuk bergabung dengan Boedi Oetomo. Dengan cepat cabang Boedi Oetomo berdiri di tiga dari delapan sekolah yang hadir saat pembentukan: OSVIA di Magelang, sekolah pendidikan guru bumiputra di Yogyakarta, dan sekolah menengah petang di Surabaya. Sehingga, jumlah anggota Boedi Oetomo pada Juli 1908 mencapai 650 orang. Dari keseluruhan, anggota dari Stovia relatif kecil karena jumlah siswanya sedikit.

“Kendati demikian selama tahun-tahun pertama STOVIA tetap merupakan pusat kegiatan Budi Utomo,” tulis Nagazumi.

Sadar bahwa kemajuan kaum bumiputera masih bergantung pada sikap kaum priayi, tokoh-tokoh pendiri Boedi Oetomo mengikuti pendekatan yang ditempuh Wahidin. Mereka menghubungi para priayi tinggi yang telah tergugah hatinya seperti bupati Tuban, Temanggung, Jepara, Demak, Karanganyar, Kutoarjo, dan Serang; serta Pangeran Ario Notodirodjo dari Pakualaman. Mereka juga menghubungi “putri-putri Jepara”, yakni adik-adik RA Kartini.

Ketiga kelompok tersebut merupakan “titik pusat dalam jaringan cita-cita kemajuan di Jawa,” sebut Surjomihardjo. “Kelompok pelajar STOVIA dengan teman-temannya dan sekolah lain merupakan kelompok keempat yang mendorong golongan tua untuk mengadakan kongres.”

Menjelang kongres, BO sudah memiliki delapan cabang: Batavia, Bogor, Bandung, Yogyakarta I, Yogyakarta II, Magelang, Surabaya, dan Probolinggo. Jumlah anggotanya meningkat dari 650 menjadi 1.200 anggota, di mana 700 anggota di antaranya “pejabat dan orang-orang pribumi” (bukan siswa). Dengan meningkatnnya persentase anggota yang bukan siswa, “pengaruh para siswa pun berangsur-angsur menjadi semakin lemah,” tulis Nagazumi.

Dalam pertemuan pada 8 Agustus 1908, para pemimpin Boedi Oetomo memutuskan Yogyakarta sebagai tempat kongres pertama. Penetapan ini, menurut Nagazumi, bukan karena Yogyakarta merupakan tempat kelahiran Wahidin tetapi karena Yogyakarta dipandang sebagai “tempat denyut jantungnya Jawa.”

Dengan demikian, menurut Surjomihardjo, “mereka makin sadar bahwa pelaksanaan cita-cita mereka diserahkan kepada angkatan tua."

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: