Pembakaran dan penjarahan terhadap madrasah dan rumah kaum Syiah di Madura yang dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan Islam suni menjadi salah satu alasan mengapa saya menulis tentang masalah azan. Pasalnya, salah seorang yang disebut ulama setempat mengatakan, “Syiah dan suni di Iran sama-sama besar sehingga sering terjadi konflik… Azan mereka itu ditambahi dengan kalimat hayya ala khairil ‘amal dan asyhadu anna ‘Aliyyan waliullah.”
Pertanyaannya, benarkah Syiah dan suni di Iran sama-sama besar (dalam jumlah), karena menurutdata jumlah Syiah di sana bisa mencapai 95%? Benarkah azan Syiah ditambahi dengan tiga syahadat? Apakah setelah mendengar pernyataan so-called ulama tersebut bulat-bulat kemudian otomatis darah dan harta kelompok Syiah menjadi halal?
Mengapa orang Syiah yang katanya musyrik tetap mengucapkan tiada tuhan selain Allah dalam azannya? Mengapa orang Syiah yang katanya meyakini Jibril salah memberi wahyu tetap menyatakan asyhadu anna Muhammad rasulullâh? Apakah hayya ‘alâ khairil ‘amal buatan Syiah? Tulisan yang dibuat sesederhana dan sesingkat mungkin ini dimaksudkan untuk saling mengenal tanpa perasangka, bukan memperkeruh suasana. Semoga bermanfaat.
Sejarah Azan Ahlusunah
Setidaknya lima kali dalam sehari kita mendengar azan. Tapi bagaimana asal-muasal azan menurut mayoritas umat muslim? Ketika kaum muslim secara jumlah semakin banyak, Rasulullahkebingungan[1] tentang bagaimana menyampaikan waktu salat. Maka beliau mengajak para sahabat untuk bermusyawarah.
Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup trompet seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi. Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang dilakukan orang Nasrani. Ada juga seorang sahabat yang menyarankan untuk menyalakan api pada tempat yang tinggi agar orang bisa melihat cahaya dan asapnya. Lalu ada usul dari Khalifah Umar bin Khattab untuk menunjuk satu orang sebagai pemanggil kaum muslim untuk salat.[2]
Tapi bagaimana hal itu dilakukan dan apa lafaznya? Dalam riwayat Abu Daud[3], Abdullah bin Zaid dalam mimpinya melihat seseorang datang membawa lonceng. Ia bertanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng itu?” Orang itu menjawab, “Apa yang akan engkau lakukan dengan lonceng ini?” Aku jawab, “Dengannya kami memanggil orang-orang untuk salat.” Orang itu berkata, “Maukah aku beri tahu cara yang lebih baik dari pada itu?” Abdullah bin Zaid menjawab, “Tentu.” Ia berkata, “Ucapkanlah:
Allâhu Akbar Allâhu Akbar. Asyhadu an-lâ ilâha illallâh (2 kali). Asyhadu anna Muhammada Rasûlullâh (2 kali). Hayya ‘alâ ash-shalâh (2 kali). Hayya ‘ala al-falâh (2 kali). Allâhu Akbar Allâhu Akbar. Lâ ilaha illallâh.
Setelah tiba waktu subuh, Abdullah bin Zaid menemui Rasulullah dan memberitahukan apa yang dilihatnya dalam mimpi. Beliau berkata, “Insya Allah, mimpimu benar.” Maka Rasul perintahkan untuk mengajarkan kepada Bilal. Umar bin Khattab yang sedang berada di rumah ternyata mendengarnya. Ia keluar dan berkata, “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran. Sungguh aku juga memimpikan apa yang dimimpikannya.”[4] Demikianlah secara singkat sejarah mengenai asal-usul pensyariatan azan menurut beberapa riwayat Bukhari, Abu Daud, maupun At-Tirmidzi.
Kita tidak tahu mengapa Rasulullah—pribadi yang diberi karunia besar berupa pengetahuan dari Allah—menjadi tidak tahu bagaimana cara menyeru orang salat. Kita juga tidak tahu mengapa seruan salat—sebagai ibadah utama dan bukan muamalat—disyariatkan melalui mimpi beberapa manusia biasa dan bukan nabi itu sendiri. Kita pun tidak tahu siapa yang mendatangi Abdullah bin Zaid dalam mimpinya. Namun, demikianlah riwayat masyhur tentang awal pensyariatan azan menurut jumhur.
Sejarah Azan Ahlulbait
Menurut mazhab ahlulbait azan disyariatkan pada tahun pertama hijriah, yang terdiri dari dua bagian: pertama, pemberitahuan tentang masuknya waktu; kedua, azan untuk salat wajib yang lima.[5] Jika menurut ahlusunah azan disyariatkan melalui mimpi Ibnu Zaid dan ditetapkan Rasulullah, menurut ahlulbait azan ditetapkan melalui wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi melalui Jibril, sama seperti salat dan ibadah lainnya.
Dalam I’tisham bi Al-Kitab wa As-Sunah, Syekh Subhani mengutip riwayat dari Imam Al-Baqir a.s. yang berkata,
لمّا أُسري برسول اللّه (صلى الله عليه وآله وسلم) إلى السماء فبلغ البيت المعمور، وحضرت الصلاة، فأذّن جبرئيل (عليه السلام) وأقام فتقدم رسول اللّه (صلى الله عليه وآله وسلم) وصفَّت الملائكة والنبيون خلف محمّد صلى الله عليه وآله وسلم
Ketika Rasulullah melakukan isra ke langit, beliau sampai ke Baitul Makmur. Lalu tiba waktu salat. Maka Jibril a.s. melantunkan untuk mengerjakan salat dan membaca ikamah. Kemudian Rasulullah saw. maju ke depan, lalu para malaikat dan para nabi berbaris di belakang Muhammad saw.
Seorang ulama ahlusunah, Al-Muttaqi Al-Hindi, dalam Kanz Al-’Ummal meriwayatkan dari Zaid bin Ali:
أنَّ رسول الله عُلِّمَ الأذان ليلة المسرى ، وبه فُرِضَت عليه
Sesungguhnya azan diajarkan kepada Rasulullah pada malam isra, dan difardukan (salat) kepadanya.
Begitu juga di dalam bukunya mengenai fikih Imam Jafar Ash-Shadiq, Syekh Jawad Mughniyah menuliskan bahwa Imam Shadiq berazan sebagai berikut:
Allâhu Akbar Allâhu Akbar (2 kali). Asyhadu an-lâ ilâha illallâh (2 kali). Asyhadu anna Muhammadar Rasûlullâh (2 kali). Hayya ‘alâ ash-shalâh (2 kali). Hayya ‘ala al-falâh (2 kali). Hayya ‘alâ khair al-’amal (2 kali). Allâhu Akbar Allâhu Akbar. Lâ ilaha illallâh (2 kali).
Apanya yang Berbeda?
Para imam fikih ahlusunah berbeda mengenai jumlah lafaz azan. Azan dengan 15 kalimat dipilih Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Azan dengan 17 kalimat dipilih oleh Imam Malik. Azan dengan 19 kalimat dipilih Imam Syafii. Demikian yang disebutkan dalam situs muslim.or.id. Membandingkan dua azan di atas, maka perbedaan sebenarnya hanya ada di kalimat hayya ‘alâ khair al-’amal, yang nanti akan kita singgung sekilas.
Lalu di mana kalimat asyhadu anna ‘Aliyyan waliullah? Sebenarnya kalimat tersebut tidak pernah dan tidak akan menjadi bagian dari azan, demikianlah ijmak ulama Syiah ahlulbait. Barang siapa yang mengucapkannya dengan niat bahwa itu bagian dari azan, berarti ia telah membuat bidah dalam agama dan telah memasukkan sesuatu yang di luar agama ke dalam agama. Mengutip kitab Al-Lum’ah dan syarahnya yang ditulis Syahid Awal dan Syahid Tsani (dua fakih Syiah), Syekh Mughniyah menulis:[6]
Tidak boleh meyakini disyariatkannya selain apa yang telah ditetapkan sebagai lafal-lafal azan dan ikamah, seperti kesaksian bahwa Ali adalah wali Allah dan kesaksian bahwa Muhammad dan keluarganya adalah sebaik-baik manusia, sekalipun kenyataannya memang demikian. Setiap kenyataan tidak berarti boleh dimasukkan dalam ibadah yang terpaku pada ketentuan Allah Swt. Karena itu merupakan bidah dan pembuatan syariat sendiri, sama halnya menambah rakaat atau tasyahud dalam salat…
Jadi, pengucapan itu diniatkan bukan sebagai bagian dari azan. Sebagaimana tidak bolehnya orang Syiah melafazkan syahadat ketiga dalam bacaan tasyahud salat atau tidak bolehnya ahlusunah melantunkan salawat kepada sahabat nabi dalam bacaan tasyahud salat, tetapi cukup kepada nabi dan keluarganya. Saya berharap, sampai di sini, kita masih bisa melanjutkan perkenalannya.
Mari Melakukan Amal Terbaik
Demikianlah terjemahan hayya ‘alâ khair al-’amal. Di antara hadis yang menjelaskan tentang kalimat tersebut dalam azan termuat dalam Sunan Al-Baihaqî (jil. 1, hal. 424), salah satunya:
حاتم بن إسماعيل عن جعفر بن محمد عن أبيه أن علي بن الحسين كان يقول في أذانه إذا قال حي على الفلاح قال حي على خير العمل ويقول هو الأذان الأول
Hatim bin Ismail dari Jafar bin Muhammad dari ayahnya, sesungguhnya Ali bin Husain dalam azannya setelah mengucap hayya ‘ala al-falâh dilanjutkan dengan hayya ‘alâ khair al-’amal. Ia berkata, “Demikianlah al-adzân al-awwal.”
“Azan pada awalnya” yang dimaksud adalah azan pada zaman rasul. Selain dari cucu nabi, Ali bin Husain, hadis juga diriwayatkan berasal dari Ibnu Umar dan Sahal bin Hunaif. Namun satu riwayat di atas saya anggap cukup, karena sepertinya, riwayat tersebut tidak dianggap kuat sehingga tidak menjadi bagian dari azan sekarang.
Berdasarkan beberapa riwayat, Sayid Syarafuddin mengatakan[7] bahwa penghapusan kalimat hayya ala khairil ‘amal terjadi setelah zaman rasul saw. Hal itu dilakukan untuk membangkitkan semangat jihad kaum muslim. Jika diserukan bahwa salat adalah “amal yang paling baik” maka akan menghambat orang awam untuk melaksankan jihad. Terlihat dalam kecenderungan pemerintahan setelah rasul adalah perluasan wilayah ke berbagai penjuru negeri.
Demikianlah pembahasan mengenai azan yang coba disampaikan secara singkat. Tulisan ini bukan bertujuan untuk menyalahkan atau membenarkan pihak mana pun, tetapi—sekali lagi—untuk mengenal pendapat dari berbagai macam mazhab, karena setiap madrasah pemikiran memiliki sumber penyimpulan hukumnya masing-masing. Semoga dengan perkenalan ini tidak lagi terjadi hal-hal yang merusak persatuan umat Islam. Insya Allah.
Karena di bulan Safar ini kita akan memperingat 40 hari wafatnya cucu nabi di Karbala, tulisan tentang azan akan saya tutup dengan sebuah riwayat mengenai Imam Ali Zainal Abidin. Setelah peristiwa Karbala dan rombongan keluarga Rasulullah saw. sampai di Madinah, Ibrahim bin Thalhah bin Ubaidillah mencemooh Imam Ali Zainal Abidin a.s. seraya berkata, “Hai Ali bin Husain, siapakah yang menang di dalam perang ini?!” Imam Ali Zainal Abidin dengan tegas menjawab, “Bila kau ingin tahu siapa yang menang, maka ketika masuk waktu salat, kumandangkanlah azan dan ikamah! (Kau akan mengetahui siapa yang menang dari nama yang disebut).”[8]
Wallahualam.
(IRIB-Indonesia/Eja-Jufri/Hana-Zaka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email