Pesan Rahbar

Home » » Zainab binti Ali bin Abi Thalib - Kisah Tragedi Karbala

Zainab binti Ali bin Abi Thalib - Kisah Tragedi Karbala

Written By Unknown on Friday, 6 May 2016 | 10:03:00


Apakah Anda ingat hingga saat ini pernah berpikir bahwa jika bukan karena keindahan dan kemuliaan ayah, teladan tanpa cela dan cermin sempurna sang bunda Fatimah, dan penolong kokoh saudara kinasih, yang termanifestasi dalam diri Zainab, apa yang akan terjadi pada sejarah Islam? Perubahan apa yang akan terjadi pada lintasan gerakan Islam? Apa yang akan berlaku sekiranya bukan peran Zainab yang mewartakan kepada seluruh dunia atas apa yang terjadi di Karbala?

Sekiranya tiada Zainab, silsilah imamah yang jatuh di pundak Imam Keempat Syiah dan risalah Ilahi para imam dalam menjelaskan secara benar dan lurus agama Muhammad tidak akan sempurna. Sekiranya tiada Zainab pengorbanan abangnya al-Husain tidak akan tersiar ke seantero jagad. Karena Zainab As sehingga kita memiliki Imam Zaman saat ini. Muhammad Jawad Mughiniyah berkata "Ali As yang mendapatkan ilmu-ilmu Rasulullah Saw secara langsung darinya dan meneruskannya kepada keturunannya dan ilmu ini sampai di tangan kita melalui keluarga dan anak-keturunan Ali As."

Sejarah Islam merekam dengan baik peran elegan dan atraktif Zainab binti Ali bin Abi Thalib dalam mempropagandakan pesan Asyura kepada masyarakat. Hanya Allah yang tahu apa yang akan terjadi pada sejarah Islam sekiranya tiada Zainab. Sebagaimana datuknya, ayah, bunda dan kandanya, Zainab terdidik dengan sifat-sifat unggul kemanusiaan yang membuatnya tampil sebagai srikandi Karbala.

Dalam kamus bahasa disebutkan bahwa derivasi kata zainab adalah z-a-i-n+-a-b yang bermakna hiasan ayah. Dengan ilmu dan amal yang melekat pada diri Zainab, ia telah menjadi sumber kebanggaan bagi sang ayah dan keluarganya yang mulia di kelak kemudian hari. Oleh karena itu, Amirul Mukminin As bangga atas keberadaan Zainab.

Sejarawan menulis bahwa malaikat tertinggi, Malaikat Jibril dari sisi Tuhan memilihkan nama ini untuk Zainab. Dalam sabdanya Nabi Saw berkata, Anak-anak Fatimah seperti anak-anakku juga, namun urusan mereka berada di tangan-Nya. Aku akan bersabar sampai Allah Swt memberi nama kepadanya. Pada saat itu juga Malaikat Jibril turun dan menemui Nabi Saw seraya berkata: Allah Swt menyampaikan salam kepadamu dan berfirman bahwa berilah putri itu dengan nama Zainab karena namanya telah tertulis di lauh mahfudz.[1]

Sesuai dengan beberapa riwayat yang ada, setelah Zainab lahir, Salman pergi ke masjid dan menyampaikan ucapan selamat atas kabar kelahiran bayi ini kepada maulanya. Namun, seketika itu juga Nabi Saw menangis dan bersabda, Wahai Salman! Jibril memberitakan dari sisi-Nya bahwa bayi ini akan mengalami musibah yang sangat berat dalam peristiwa Karbala. Inilah sebabnya mengapa aku menangis.[2]


Keunggulan Pribadi

Zainab adalah wanita yang mempunyai kepribadian menjulang dalam dunia Islam. Ia adalah putri Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra yang lahir pada 5 Jumadil Awal tahun ke-5 H di kota Madinah. Pada usia 5 tahun, Ibunda tercintanya telah berpulang ke haribaan-Nya. Dan semenjak zaman itulah Zaenab kecil ini telah akrab dengan duka dan susah.

Pada zaman khalifah Umar bin Khatab, Zainab telah bersabar atas aneka ragam kesusahan yang harus dideritanya. Wafatnya Rasulullah Saw, syahadah bunda kinasihnya, terkoyaknya hati Hamzah bin Abu Thalib dalam perang Badar, syahadah saudaranya, Hasan bin Ali As, syahidnya putra-putranya dan juga saudara-saudaranya, dipenggalnya kepala saudaranya, Imam Husain As dalam tragedi berdarah Karbala, adalah serentetan musibah yang telah dialami dan dilalui oleh Sayidah Zaenab. Zainab adalah saksi sejarah atas segala tragedi getir nan pilu ini.

Dengan segala musibah yang ia jalani, telah mencetak dirinya sebagai seorang yang sabar dalam menghadapi berbagai musibah. Ia dikenal sebagai Ummu Kultsum Kubra dan Shadiqah Sughra. Muhadatsah, Alimah dan Fatimah merupakan julukan yang ia sandang. Dia adalah seorang wanita yang abid, zuhud, arif, ahli retorika dan afif (menjaga kemuliaan).

Melalui Ilmu Psikologi, kita mengetahui bahwa ada tiga dimensi yang akan berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang: keturunan, pendidikan dan lingkungan. Zainab mempunyai kepribadian yang utuh karena ia adalah buah dari keluarga nubuwah dan imamah. Kakeknya adalah nabi pamungkas zaman, Imam Ali As adalah ayahnya dan Ibunya adalah penghulu para wanita di segala zaman.

Semenjak lahir sampai usia 6 tahun, selalu berada di bawah kasih sayang dan didikan Rasulullah Saw. Ia juga senantiasa di bawah pengawasan langsung dari kedua orang tuanya, ia dibesarkan dan tumbuh dalam pendidikan Islam hakiki. Ia di asuh dan dibesarkan oleh wanita yang paling baik dan paling suci. Zainab alumnus dari almamater yang guru besarnya adalah dua manusia yang suci, perguruan tingginya adalah kampus nubuwah dan imamah. Demikian juga, ia tumbuh besar dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak yang sangat luhur dan mulia. Jalinan yang ada dalam keluarga itu adalah hubungan yang sangat akrab dan sangat menghormati antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain.

Dengan kemuliaan yang dimilikinya, tidak diragukan lagi akan ketinggian kepribadiannya. Ia mempunyai sifat-sifat yang sangat mulia sehingga julukan aqilah Bani Hasyim juga disandangnya. Zainab menikah dengan keponakannya, Abdullah bin Ja'far dan buah dari pernikahan agung ini adalah putra-putra unggulan yang mana dua dari putra-putranya dipersembahkan dalam tragedi Karbala demi membela maulanya, Imam Husain As yang haknya atas khalifah telah direbut oleh Yazid bin Muawiyah.

Orang lain sangat menaruh rasa hormat kepada Zainab karena kedudukan yang ia miliki, sehingga ketika ia memasuki ke suatu majelis, seluruh hadirin akan berdiri demi menyambut kedatangannya. Perjalanan hidupnya yang paling penting adalah perjalanan sejarahnya menuju ke Karbala yang memiliki peranan yang sangat bermakna dalam revolusi Imam Husain As ini.

Di samping musibah yang secara bersama-sama dilaluinya bersama saudaranya, Imam Husain As, ia juga menanggung musibah atas syahid saudaranya, menjadi penanggung jawab bagi tawanan perang keluarga Nabi Saw yang terdiri dari anak-anak dan orang-orang yang sakit. Ia juga berkewajiban untuk merawat Imam Sajad As yang ketika itu sedang sakit. Ya, Zaenab Kubra yang ibunya syahid, anaknya syahid, saudarinya syahid dan juga bibinya syahid. Kepribadian nan luhur yang sangat jarang ditemukan pada setiap seorang.

Sekarang kita akan coba menelaah kembali perannya dalam tragedi Asyura. Peran yang ia jalankan sedemikian penting sehingga sebagian ulama berkata bahwa sekiranya tiada Zainab maka peristiwa Asyura tidak akan dikenang oleh orang setelahnya.


Pembelaan Zainab terhadap Imam Zamannya

Masalah-masalah yang berkenaan dengan wilayah dan peran Zainab Kubra dalam menghidupkan ajaran ini, dapat kita tinjau dari berbagai sisi. Kadang-kadang kita bisa melihat dari pengetahuan dan pengenalannya terhadap kedudukan wilayah dan terkadang kita juga bisa melihat dari usahanya dalam menghidupkan dan mengenalkan kedudukan wilayah kepada masyarakat. Ia yang menjalani masa hidupnya bersama tujuh orang maksum, setiap kali melihat bahwa maslahat umat membutuhkan pengorbanannya, maka ia akan mengorbankan jiwanya sendiri dan juga jiwa anak-anaknya.

Ketika ia menyaksikan Imam Sajad As berada di tengah-tangah luapan api karena kemah-kemah keluaga Nabi Saw dibakar oleh musuh, ia menjatuhkan diri ke dalam api itu. Ketika itu, Syimr bermaksud hendak membunuh Imam Sajad As. Ia telah memasuki ke kemah Imam Sajad As. Tiba-tiba Zainab langsung masuk ke kemah saudaranya, dan berteriak dengan lantang, "Langkahilah dulu mayatku sebelum kau membunuhnya". Kata-kata tegas inilah yang menjadikan Syimr mengurungkan niatnya.[3] Di sini kita tidak bisa mengatakan bahwa perbuatan Zainab semata-mata hanya karena Imam Sajad As adalah keponakannya sendiri, namun hubungan antara imam dan makmum. Ia siap jiwanya menjadi tebusan bagi jiwa Imamnya.

Walaupun keadaan Zainab sendiri tidak berada dalam kondisi yang baik dan di tengah-tengah penderitaan luar biasa akibat syahidnya orang-orang terdekat yang ia cintai, Zainab juga merawat saudaranya dengan sebaik-baiknya yang ketika itu sedang menderita sakit.

Perkataan dan pujian-pujian Zainab juga memberikan ketenangan yang mendalam bagi Imam Ali bin Husain As. Ketika Imam Sajad As tidak bisa terjun ke medan peperangan dikarenakan penyakit yang dideritanya, maka ia terpaksa hanya melihat perang itu dari balik tenda. Ketika ia menyaksikan bahwa kepala mubarak saudaranya sudah di penggal oleh musuh-musuh Tuhan dan tubuhnya telah dicabik-cabik, seketika itu pula tubuh Imam Sajad As langsung berubah total sehingga seolah-olah ruhnya telah terpisah dari badannya. Dengan menyaksikan keadaan Imam Sajad As, Zainab langsung menghampiri saudaranya dan kepadanya ia menghibur dengan kata-katanya: "Duhai engkau yang merupakan kenang-kenangan kakek, ayah dan saudara-saudaraku! Keadaan apa yang tengah kau alami sehingga engkau bermain-main dengan hayatmu dan menginginkan kematian atas dirimu."


Zainab, Pasca Tragedi Berdarah Asyura

Segera selepas tahapan pertama tragedi Karbala yang berakhir dengan pembantaian oleh pasukan Ibn Ziyad atas Imam Husain As dan para penolong setianya, kini giliran wanita-wanita keluarga Nabi yang akan meneruskan pesan suci Asyura. Mereka kini sedang dikawal oleh pasukan musuh dan diperlakukan sebagai tawanan perang yang sangat hina. Mereka menempatkan tawanan perang ini yang sebenarnya adalah anak-anak dan para wanita keluarga mulia Nubuwah di atas unta-unta yang tidak berpelana dan tidak jua mempunyai atap. Wajah-wajah mereka menjadi tontonan bagi masyarakat yang dilewati oleh iring-iringan itu. Mereka digiring dengan menanggung segala duka dan nestapa, melewati kota demi kota.

Menurut beberapa riwayat, jumlah tawanan perang ketika itu adalah 25 orang. Di mana 20 orang dari mereka adalah kaum wanita dan anak-anak. Sedangkan sisanya adalah Imam Sajad As yang ketika itu masih sakit sehingga kelihatan lemah, Imam Baqir As yang kala itu berusia 4 tahun, dan 3 putra-putra Imam Hasan As: Hasan Mutsana, Zaid dan 'Amr yang dengan penuh ketabahan membela paman dan imamnya, hingga menderita cukup banyak luka di tubuhnya. Umur Sayidah Zainab kala itu adalah 55 tahun dan telah 5 bulan meninggalkan tanah kelahirannya. Dengan keadaan demikian, tentunya ia tidak berada dalam kondisi yang seperti biasanya.

Terlebih pada hari-hari terakhirnya adalah puncak penderitaan mereka karena tiadanya bekal makanan, adanya blokade air yang dilakukan oleh pihak musuh dan kondisi-kondisi lainnya yang sangat susah. Namun ia mengerjakan tugas sebagai penanggung jawab rombongan tawanan perang itu dengan sebaik-baiknya.


Orasi Zainab di Hadapan Penduduk Kufah

Dengan pengawasan yang sangat ketat, iring-iringan tawanan perang itu bergerak menuju ke kota Kufah pada tanggal 11 Muharam 61 H. Mereka memasuki kota Kufah pada petang hari. Namun kemudian, Ibn Sa'ad melaporkan kejadian ini kepada Ibn Ziyad. Ia pun memerintahkan supaya menahan mereka di luar kota Kufah, sehingga pihak pemerintahannya bisa lebih matang dalam mempersiapkan perayaan kemenangannya. Mereka baru memasuki Kota kufah pada malam hari ke-12 Muharam 61 H.

Di pusat kota Kufah, di antara banyaknya rakyat Kufah, ia tengah menyiapkan serentetan pidatonya. Kemampuan yang dimiliki oratur ulung ini mengingatkan kembali kepada mereka akan kefasihan ayahnya ketika berpidato.

Pidato Zainab, tidak hanya mengundang rakyat Kufah untuk meratapi dan menangisi musibah yang menimpa saudara dan keluarganya saja, namun dalam berbagai kesempatan, ia juga berorasi untuk menjelaskan tujuan revolusi agung itu.

Basyir bin Khuzaim al-Asadi berkata: Aku melihat Zainab binti Ali As saat itu. Tak pernah kusaksikan seorang tawanan yang lebih piawai darinya dalam berbicara. Seakan-akan semua kata-katanya keluar dari lisan Amirul Mukminin Ali As. Kemudian ia memberi isyarat agar semuanya diam. Nafas-nafas bergetar. Suasana menjadi hening seketika. Zainab memulai untaian kata-katanya:

"Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam atas kakekku Rasulullah Muhammad Saw dan keluarga pilihannya yang suci dan mulia.

Wahai penduduk Kufah! Wahai para pendusta dan orang-orang licik. Untuk apa kalian menangis? Semoga aliran air mata kalian tidak akan pernah berhenti. Aku berharap jeritan kalian tidak akan pernah berakhir. Kalian ibarat wanita yang mengurai benang yang sudah dipintalnya dengan kuat namun kemudian kalian membuyarkannya kembali hingga bercerai-berai. Sumpah dan janji setia yang kalian lontarkan hanyalah sebuah makar dan tipu daya semata.

Ketahuilah, wahai penduduk Kufah! Yang kalian miliki hanyalah omong kosong, cela dan kebencian. Kalian hanya tampak perkasa di depan wanita tapi lemah di hadapan lawan. Kalian lebih mirip dengan rumput yang tumbuh di selokan yang berbau busuk atau perak yang terpendam. Ketahuilah bahwa kalian sendiri telah membuat nasib buruk terhadap hari akherat kelak dan alangkah kejinya perbuatan kalian yang telah membuat murka Allah dan kalian akan tinggal selama-lamanya di neraka.

Untuk apa kini kalian menangis tersengguk-sengguk? Ya, aku bersumpah demi Allah, perbanyaklah kalian menangis dan kurangilah tertawa kalian, sebab kalian telah mencoreng diri kalian sendiri dengan aib dan cela yang tidak dapat dihapuskan selamanya. Bagaimana mungkin kalian akan mampu untuk menghapuskan darah suci putra Nabi sedangkan orang yang kalian bunuh adalah cucu penghulu para nabi, poros risalah, penghulu pemuda surga, tempat bergantungnya orang-orang baik, pengayom mereka yang tertimpa musibah, menara hujjah dan pusat sunnah bagi kalian.

Ketahuilah, bahwa kalian sudah terjerembab dalam dosa yang sangat besar. Terkutuklah kalian! Semua usaha yang telah kau lakukan akan menjadi sia-sia, tangan-tangan jadi celaka, dan jual beli membawa kerugian. Rahmat-Nya tidak akan meliputimu karena kau telah membinasakan sendiri usaha-usaha kalian. Murka Allah telah Dia turunkan atas kalian. Kini hanya kehinaanlah yang akan selalu menyertai kalian.

Celakalah kalian wahai penduduk Kufah!
Tahukah kalian, bahwa kalian telah melukai hati Rasulullah?
Putri-putri beliau kalian gelandangkan dan pertontonkan di depan khalayak ramai?
Darah beliau yang sangat berharga telah kalian tumpahkan ke bumi? Kehormatan beliau kalian injak-injak?
Aku yakin bahwa apa-apa yang telah kalian lakukan adalah kejahatan yang paling buruk dalam sejarah yang akan disaksikan oleh semua orang dan tak akan pernah hilang dari ingatan.

Mengapa kalian mesti heran ketika menyaksikan langit meneteskan darah? Sungguh azab Allah di akhirat kelak sangat pedih. Dan tidak akan ada seorang pun yang akan menolong kalian. Kalian jangan tertipu dengan kesempatan waktu yang telah Allah ulurkan ini. Sebab masa itu pasti akan datang dan pembalasan Allah tidak akan meleset. Tuhanmu menyaksikan semua yang kalian lakukan."[4]

Rakyat Kufah menangis tersedu-sedu setelah mendengar pidato itu. Mereka tertegun dan larut dalam duka dan tangisan yang tiada tara. Tangan-tangan mereka berada di mulut mereka.
Dalam khutbahnya yang lain ia berorasi:

"Wahai penduduk Kufah, berdiamlah! Suami-suami kalianlah yang telah membunuh keluarga kami. Kemudian wanita-wanita kalian terus-menerus menangisi keadaan kami. Tuhan akan mengadili kami dan kalian pada hari kiamat.

Wahai rakyat Kufah! Kalian telah melakukan perbuatan yang sangat tercela. Kalian telah membuat hitam hari-hari kalian sendiri. Mengapa Husain kau tinggalkan sendirian? Kemudian ia kau bunuh? Kalian rampas hartanya dan kalian tawan para wanita sehingga mereka menderita yang sangat berat?

Semoga kau binasa dan jauh dari rahmat Tuhan. Sungguh celakalah kalian, apakah kalian tahu seberapa besar kejahatan yang telah kau kerjakan?
Seberapa berat dosa yang kalian tanggung.
Berapa banyak darah yang telah kau tumpahkan?
Siapa saja yang telah kalian bunuh? Anak-anak dan para wanita mereka kau jadikan tawanan perang?
Harta-harta apakah yang telah kalian jarah?
Kau telah membunuh laki-laki terbaik setelah Rasulullah Saw. Di hatimu sudah tidak tersisa sedikitpun rasa belas dan kasihan. Ketahuilah bahwa golongan Allahlah yang menang dan kelompok syetan selalu pasti akan kalah."

Khutbah ini sedemikian memberikan pengaruh yang sangat dalam kepada rakyat Kufah sehingga membuat mereka berubah, dan terdengar suara jeritan dan tangisan yang sangat memekik telinga dari segala penjuru, sehingga para wanitanya mengacak-acak rambut mereka dan memukul-mukulkan rambut ke wajah-wajahnya serta meronta-ronta [5].


Pesan-pesan Khutbah Zainab

Dari orasi itu, kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran yang sangat penting dalam kehidupan kekinian kita.

Selama bertahun-tahun lamanya rakyat Kufah telah mendengarkan khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran yang telah disampaikan oleh Imam Ali di mimbar-mimbar masjid mereka. Dan mereka telah mengenal kefasihan Imam Ali As dalam bertutur-wicara. Para wanita Kufah pun sudah sekian lama menghadiri pelajaran-pelajaran tafsir yang diberikan oleh Zainab, putri Imam Ali As dan Fatimah Zahra As. Sehingga, meskipun Zainab saat itu berstatus sebagai tawanan perang Ibn Ziyad, penjelasannya dalam khutbah-khutbah yang ia sampaikan sangat berpengaruh di hati masyarakat Kufah. Ia masih mempunyai wibawa dan cukup disegani dan dihormati oleh rakyat Kufah. Ketika ia memberikan isyarat supaya mereka menutup mulut guna mendengarkan pidato-pidatonya, maka mereka serta merta terdiam dan keadaan pada waktu itu menjadi tenang dan tubuh-tubuh mereka pun bergetar, nafas-nafas mereka berhenti di dada-dada mereka, keadaan menjadi sangat tegang. Ia berpidato sedemikian lantang sehingga seakan-akan Ali As hidup kembali dan berkata-kata terhadap penduduk Kufah.

Keadaan Rakyat Kufah sangat berbeda dengan masyarakat Syam dan keduanya tidak bisa di samakan. Penduduk Syam berada di bawah tekanan Abu Sufyan. Oleh karena itu tidak mengherankan sekiranya masyarakat Syam tidak mengenal siapa sebenarnya Ahlulbait Nabi Muhammad Saw itu, karena mereka adalah hasil didikan Abu Sufyan. Sehingga ketidakkenalan masyarakat Kufah terhadap para Imamnya tidak bisa dihukumi sama dengan ketidakmengertian rakyat Syam. Bertahun-tahun lamanya mereka hidup semasa dan sezaman dengan para Imam. Rakyat Kufah meyakini akan kebenaran ajaran Ahlulbait As. Oleh karena itu segala keputusan yang mereka ambil dan kemudian mereka jalankan, atas dasar pengetahuan dan hujah atas mereka telah sempurna.

Ketika Rakyat Kufah mendengar kematian Mu'awiyah, mereka bertekad untuk menebus kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan terhadap Imam Ali As dam Imam Hasan As. Dan dengan mengundang Imam Husain As dan akan meruntuhkan pemerintahan Bani Umayah sehingga pada kemudian hari akan mengembalikan pemerintahan kepada keluarga Nabi Saw. Sekitar 12.000 surat yang beliau terima dalam berbagai kesempatan berisi ikrar mereka akan pembaiatan yang akan diberikan kepada Muslim bin Aqil sebagai utusan Imam Husain As dan mereka bertekad akan membela Muslim sampai nafas penghabisan!

Namun dengan ditunjuknya Ubaidillah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah serta ancaman-ancaman terhadap para pembangkang dan janji muluk-muluk bagi yang setia serta patuh kepadanya, maka keadaan kota Kufah menjadi berubah total dan hanya beberapa orang saja yang masih setia terhadap janjinya kepada Imam Husain As. Sisanya adalah hanya para pembual saja dan orang yang mengingkari terhadap janji mereka sendiri. Sebagian dari mereka, bahkan penduduk yang menulis surat kepada Imam Husain As bergabung dengan pasukan Ubaidillah dan bahkan ada di antara mereka yang juga ikut andil dalam membunuh Imam Husain As!

Pidato Zainab yang yang ia sampaikan kepada penduduk Kota Kufah, telah memberikan kesadaran Rakyat Kufah yang tertipu oleh berita penguasa bahwa para kekasih Nabi Saw menemui kesyahidannya hanya karena mempertahankan akan hak kehalifahannya yang telah dirampas secara paksa dan memerangi pemerintahan tiran.

Dalam khutbah yang ia katakan, Zainab menyamakan orang-orang Kufah seperti wanita-wanita yang kurang mempunyai akal, yang telah bersusah payah menenun benang-benang dengan kuat, namun kemudian mereka mengurai lagi benang-benang yang telah mereka tenun. Perumpamaan ini sebagaimana firman-Nya:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi tercerai-berai kembali, sedang kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai sarana pengkhianatan di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain (dan kamu menjadikan banyaknya jumlah musuh sebagai alasan untuk membatalkan baiat dengan Rasulullah)." (Qs. an-Nahl [16]: 92)

Ayat ini merupakan perumpamaan yang paling baik dalam menggambarkan kepribadian penduduk Kufah. Orang-orang Kufah telah susah payah dalam menanam pepohonan di kebun-kebun dan ladang-ladang mereka dan mereka telah bersabar atas pekerjaan ini namun hasil jerih payah mereka dipersembahkan kepada musuh-musuh Islam. Demikian juga jalan-jalan yang mereka buat dengan memeras keringat telah dilewati oleh pembenci Ahlulbait As. Ini semua menunjukkan bahwa rakyat Kufah itu memang penduduk yang tidak menepati janji mereka sendiri dan juga menandakan ketidakrestinen mereka dalam berperilaku.

Masyarakat Kufah sungguh tidak mempunyai kepribadian yang teguh, di mana setelah mereka menyaksikan bahwa jumlah pembangkang Imam Husain As sangat banyak, mereka juga dengan mudahnya melupakan janji yang telah diucapkan dan menyatukan diri mereka dengan para pembangkang. Zainab memandang rakyat Kufah sebagai masyarakat yang mengingkari terhadap janjinya sendiri, keindahannya hanya berada di dhahirnya saja, tidak dalam batin mereka. Ia juga mengingatkan kepada seluruh penduduk dunia supaya tidak tertarik akan janji-janji bual penguasa zalim.

Tanpa diragukan lagi bahwa khutbah yang disampaikan oleh Zainab merupakan peringatan keras yang disampaikan kepada rakyat Kufah dan telah menyadarkan mereka dari kelalaiannya yang pada akhirnya terbentuk gerakan tawabin di Kufah. Setelah terjadi tragedi Karbala, mereka bertobat karena tidak menolong cucu Rasul Saw. Mereka bertekad untuk menuntut balas atas darah Husain As.

Sebagian dari pengikut syiah Kufah berkumpul di rumah Sulaiman bin Sarad al Khuza'i dan secara sembunyi-sembunyi menghimpun masa. Mereka telah merencanakan semenjak tahun 61 H untuk menuntut balas atas darah Sayyidus Syuhada dan para penolongnya namun mereka baru merealisasikan rencananya tersebut 4 tahun kemudian. Dalam rentang waktu itu, mereka mengumpulkan persenjataan dan segala peralatan perang. Akhirnya pada hari Rabu, 22 Rabiuts Tsani tahun 65 H dengan pasukan sejumlah 4000 dengan yel-yelnya "Ya latsaratil Husain"[6] bergerak ke arah Syam. Pemberontakan Tawabin (orang-orang yang bertaubat) dipelopori oleh 5 pembesar pecinta Ahlulbait As: Sulaiman bin Sarad Khuza'i, Musaib ibn Najbah, Abdullah ibn Sa'd bin Nufail, Abdullah bin Wal dan juga Rifa'ah Syadad. Ketika itu kekhalifahan Syam dipegang oleh Marwan bin Hakam.[7]

Mereka bertemu dengan pasukan Syam yang jumlahnya 20.000 orang di suatu daerah yang bernama 'Ainul Wardah. Setelah beberapa hari perang sengit berkecamuk, perang ini berakhir dengan banyaknya korban yang syahid pada pasukan Tawabin termasuk pemimpin mereka, Sulaiman bin Sarad yang ketika itu berumur 93 tahun. Dan sejumlah dari pasukan itu juga menjadi tawanan perang.[8]

Zainab telah menyampaikan pesan Karbala, yaitu menghidupkan ajaran Islam, menumbuhkan keadilan di masyarakat, menghidupkan kembali ajaran-ajaran para nabi dan ritual-ritual keagamaan di tengah-tengah masyarakat, memberikan kejelasan kepada masyarakat akan kebejatan pemerintahan Umawi dan penghancuran terhadap kekuasaan Bani Umayah di seluruh dunia serta membebaskan umat Islam dari cengkerama penguasa taghut Umawi.

Tujuan-tujuan dari Revolusi Karbala ini sangat terpatri pada diri Imam Husain dan juga para pengikutnya. Di antara sabda-sabda Imam Husain As yang mengisyaratkan tujuan itu adalah: Sesungguhnya aku ke luar untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada pada umat kakekku, aku mau beramar ma'ruf dan mencegah kemungkaran dan akan mengamalkan gaya hidup Nabi dan Ali."[9]

Pada suratnya yang ia peruntukkan kepada para pembesar Basrah, ia menulis: Aku menyeru kalian untuk mengikuti tuntunan al-Qur'an dan Sunah nabi. Sesungguhnya sunat sudah mati dan bid'ah telah dicintai.[10]

Dalam suratnya yang ia bawakan kepada Muslim bin Aqil, mengisyaratkan untuk beramal kepada ajaran al-Qur'an, menegakkan keadilan dan kebenaran.[11] Di gurun Karbala yang kering dan tandus, ia berujar kepada pengikutnya tentang pentingnya untuk mengadakan perlawanan pada hari ketika nilai-nilai kebatilan telah menyebar luas di tengah-tengah masyarakat.[12]

Zainab juga memberikan pelajaran yang sangat penting sampai akhir hayat. Ia jelaskan bahwa azab Allah itu bersifat abadi dan segala sesuatu yang ada di dunia ini akan ditinggalkan dan apabila mereka tidak mau bertaubat dan memperbaiki tingkah laku mereka, maka akan menemui kehidupan yang pahit di dunia, dan terlebih lagi di akherat.

Ya Zainab binti Ali telah menjadi seorang propagandis sempurna dalam menyampaikan pesan abadi Asyura dan memelihara kisah kebangkitan Husaini sehingga kita pada abad ini juga bisa mengenal dan mengenang serta mengambil pelajaran dari tragedi ini. Sekiranya tiada Zainab apa yang akan terjadi? Mari kita dengan rendah hati berkata…Wallahu 'Alam..

Referensi:
[1]. Riyahain as Syari'ah, Jil. 3, Hal. 38
[2]. Khasâish Zainabiyah, Hal. 166
[3] . Muqaram, Maqtal al Husain, hal. 371
[4]. Sayid Ibnu Thawus, Luhuf, hal. 146, Thabarsi, Ihtijâj, Jil. 2, hal. 303, Syaikh Mufid, Amali, hal. 321, Syaikh Thusi, Amali, hal. 91, Ibnu Syahr Asyub, Manâqib, Jil. 4, hal. 115, Allamah Majlisi, Bihâr al Anwâr, jil. 45, Hal. 108 dan 162.
[5] . Muqaram, Maqtal Husain, Hal. 392
[6] . Allamah al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, Jil. 52 Hal. 308
[7] . Syamsudin Din, Anshare Husain, hal. 205
[8] . Hayât al-Imâm Husain bin 'Ali, jil. 3, Hal. 450
[9] . Hayât al-Imâm Husain bin 'Ali, jil. 2, Hal. 264
[10] . Idem, Hal. 322
[11] . Idem, Hal. 340
[12] . Op. cit, jil. 3, Hal. 98

(Hana-Zaka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: