Takwil adalah memahami teks bukan dalam makna zahirnya (harfiahnya).
Takwil ada dua; ada yang baik (terpuji) dan ada yang tidak baik (tercela).
Takwil yang baik (terpuji) diantaranya adalah Takwil Ijmali yang umumnya diberlakukan oleh para ulama Salaf (Takwil Ijmali ialah mengimani teks-teks mutasyabihat dari al Qur’an dan hadits tanpa menentukan makna tertentu, tanpa menerjemahkannya, dan disertai keyakinan bahwa makna teks-teks tersebut bukan dalam pengertian sifat-sifat manusia, dan atau sifat-sifat benda lainnya).
Ada pula di antara takwil yang baik ini (terpuji) adalah Takwil Tafshili yang umumnya diberlakukan oleh para ulama khalaf (Takwil Tafshili ialah memahami teks-teks mutasyabihat dengan menentukan makna tertentu dari makna-makna yang masih dalam kandungan teks itu sendiri; yang sesuai bagi keagungan dan kesucian Allah).
Seorang yang anti terhadap takwil, tidak mau memberlakukan takwil; baik Takwil Ijmali maupun Takwil Tafshili maka ia pasti manjadikan teks-teks al Qur’an akan saling bertentangan satu atas lainnya, padahal perkara semacam itu sesuatu yang tidak boleh terjadi dalam memahami al Qur’an.
Kaum Wahabi sangat anti terhadap takwil, mereka mengingkari takwil secara mutlak; walaupun takwil tersebut takwil yang baik (terpuji), bahkan mereka mengatakan bahwa yang melakukan takwil sama dengan merombak dan menghancurkan al Qur’an, sebagaimana itu dinyatakan oleh al Albani dalam karyanya Syarh ath Thahawiyyah, h. 18 dan oleh Ibn Bas dalam karyanya at Tanbihat, h. 34 dan 71.
Sungguh, Wahabi itu buta (atau pura-pura buta) terhadap hadits nabi ketika Rasulullah mendoakan sahabat Abdullah bin Abbas, berkata:
اللهم علمه الحكمة وتأويل الكتاب. رواه ابن ماجه
“Ya Allah ajarilah ia hikmah dan takwil al Qur’an” (HR. Ibnu Majah)
Anda katakan kepada orang-orang Wahabi itu; “Apakah doa Rasulullah bagi Abdullah ibn Abbas untuk tujuan baik atau untuk tujuan jelek????”.
Ibn Bas dalam fatwanya nomor 19606, tanggal 24 bulan 4 tahun 1418 H berkata:
“Sesungguhnya mentakwil teks al Qur’an dan Sunnah yang datang dalam menyebutkan sifat-sifat Allah adalah perbuatan menyalahi kesepakatan semua orang Islam dari mulai para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang berada di atas jalan mereka hingga hari ini”.
Entah dari mana Ibn Bas mengutip perkataannya yang ia sebut sebagai “kesepakatan semua orang Islam” ini. Padahal Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, j. 5, h. 24 cet. Dar al Fikr, mengutip perkataan al Qadli ‘Iyadl, menuliskan sebagai berikut:
“Tidak ada perbedaan di kalangan semua orang Islam, baik para ahli fiqih di antara mereka, ahli hadits, ahli teologi (ahli tauhid), para ulama, maupun para muqallid-nya bahwa teks-teks yang zahirnya seakan menyebutkan Allah berada di langit, seperti firman-Nya “A-amintum man fissama’” dan semacamnya; bahwa itu semua tidak dipahami secara literal, tetapi semua itu dipahami dengan takwil, perkara ini telah disepakati oleh mereka semua”.
Apa yang ditulis oleh al Qadli ‘Iyadl ini adalah kesepakatan (ijma/konsensus) Ahlussunnah Wal Jama’ah; bahwa takwil adalah metodologi yang harus dipakai dalam memahami teks-teks mutasyabihat.
Adapun apa yang dikatakan Ibn Bas bahwa “takwil tidak boleh diberlakukan” yang disebutnya sebagai “kesepakatan”; maka itu adalah kesepakatan para Ahli Tasybih dan Tajsim dari dahulu hingga sekarang; termasuk di dalamnya faham Wahabi.
Di antara bukti “keanehan” Ibn Bas; setelah ia berbohong besar mengatakan bahwa takwil tidak boleh diberlakukan… eeeh ternyata ia menyalahi dirinya sendiri. Lihat, dalam majalah al Hajj, edisi Jumada al Ula, th. 1415 H, di hlm. 74 Ibn Bas mentakwil firman Allah: “Wa Huwa Ma’akum Ainama Kuntum”; ia mengatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah “ma’iyyah al ‘ilm”; bahwa Allah mengetahui setiap orang dari kalian di manapun kalian berada. (Ajaiiiiib????? Ia mentakwil “ma’akum”; tidak dipahami secara harfiyah seperti kebiasaannya).
Sungguh celaka engkau Ibn Bas, ente mengatakan “semua orang Islam sepakat tidak boleh memberlakukan takwil”, tapi ente sendiri memberlakukan takwil !!!???
Anda katakan kepada Ibnu Bas: “Wahai Ibnu Bas, coba jelaskan apa yang dimaksud dengan firman Allah:
ومن كان في هذه أعمى فهو في الآخرة أعمى وأضل سبيلا .سورة الاسراء72
Kalau ente tidak memberlakukan takwil terhadap ayat itu maka arti ayat itu menurut ente adalah “siapa yang di dunia ini buta maka di akhirat juga buta dan sesat jalannya”. Dan jika maknanya demikian maka berarti makna ini berlaku bagi ente sendiri, karena ente di dunia ini bener-bener buta; ga punya mata, alias ga bisa melihat; dan kelak di akhirat ente juga buta, ga punya mata dan ga bisa melihat.
Kemudian lihat tulisan al Albani ini, dalam kitab karyanya; al Fatawa, hlm. 523, ia berkata:
“Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” maka takwilnya adalah sesuatu yang tidak akan dikatakan oleh seorang muslim”.
Padahal Imam al Bukhari telah mentakwil ayat tersebut, beliau mengatakan “Illa wajhahu” artinya “Illa Mulkahu”. Dengan demikian makna ayat tersebut “Segala sesuatu akan punah kecali kekuasaan/kerajaan Allah”. lihat Shahih al Bukhari dalam tafsir surat al Qasas.
Dengan demikian; ini berarti sama saja al Albani mengkafirkan Imam al Bukhari. Anda lihat kembali al Albani berkata: “Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” maka takwilnya adalah sesuatu yang tidak akan dikatakan oleh seorang muslim”.
Tambahan Penting:
Al Bukhori mengatakan:
ما كتبت في كتاب الصحيح حديثا الا اغتسلت قبل ذالك وصليت ركعتين
… ” Aku tidak menulis satu hadits di kitab sahih kecuali aku mandi terlebıh dahulu dan sholat dua raka’at”
apa apaan ini imam bukhori, beribadah tanpa ada contoh dari Rosul?
Mulai sekarang jangan ambil satu haditspun dari al bukhori yang ternyata adalah ahli bid’ah…….
(Nuruus-Sunnah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email