Ulama asal Arab Saudi Syekh Ahmad Qasim al-Ghamdi saat muncul bareng istrinya dalam sebuah acara dialog di televisi pada 2014. Gara-gara istrinya tidak bercadar, Syekh Ghamdi sekeluarga dimushi ulama dan masyarakat di Arab Saudi. (Foto: Daily Mail)
Bertahun-tahun Ahmad Qasim al-Ghamdi bekerja di tengah orang-orang brewok di Arab Saudi. Dia adalah polisi syariah bertugas melindungi negara Kabah itu dari pembaratan, sekularisme, tapi paling utama mempertahankan praktek-praktek Islam konservatif versi Wahabi.
Bertahun-tahun pula Syekh Ghamdi taat menjalankan tugas hingga akhirnya dia diangkat menjadi kepala polisi syariah wilayah Makkah. Sampai dia kemudian mulai berpikir dan mempertanyakan syariat Islam versi negaranya itu. Ketika dia membandingkan dengan Al-Quran dan kisah Nabi Muhammad serta para sahabatnya, ternyata lelaki dan perempuan tidak dilarang berbaur di tempat umum.
Dia lantas berani mengkritik syariat Islam selama ini berlaku di Arab Saudi. Dia bilang kebanyakan yang dipraktekkan orang Saudi pada kenyataannya adalah budaya telah bercampur dengan agama.
Jadi, menurut dia, tidak perlu menutup toko saat masuk waktu salat atau melarang kaum hawa menyetir mobil seperti berlaku di Arab Saudi. Semasa Rasulullah hidup, perempuan boleh mengendarai unta.
Dia menambahkan pemakaian cadar juga bukan hal wajib. Untuk menunjukkan keyakinannya itu, Ghamdi tampil di televisi bareng istrinya, Jawahir, tanpa cadar dengan wajah dirias.
Kemunculan Syekh Ghamdi dan istrinya di televisi itu seperti sebuah ledakan bom bagi institusi agama di Saudi, mengancam tatanan sosial telah menjamin posisi mulia para syekh dan membikin mereka bisa menentukan mana benar dan salah dalam semua aspek kehidupan. Dia telah mengancam otoritas para syekh ini.
Kolega Syekh Ghamdi pun menolak berbicara dengan dia. Komentar murka membanjiri telepon selulernya. Belum lagi ancaman bakal dibunuh dia terima lewat Twitter. Para syekh tersohor melalui siaran televisi mengecam Syekh Ghamdi dan menyebut dia sebagai orang bodoh mesti dihukum, diadili, dan bahkan disiksa.
Bagi para pelancong Barat, Arab Saudi berpaham Wahabi adalah sebuah negara campuran antara urbanisme modern, budaya gurun, dan usaha tidak kenal akhir untuk menerapkan interpretasi kaku atas ajaran Islam telah berusia lebih dari seribu tahun. Saudi adalah sebuah kerajaan dibanjiri minyak, gedung-gedung pencakar langit, mobil-mobil SUV, dan pusat-pusat perbelanjaan. Namun bagaimana menginvestasikan fulus, berinteraksi dengan non-muslim, atau bahkan memperlakukan kucing harus sesuai Al-Quran atau cerita di zaman Nabi Muhammad.
Agama merasuki semua sendi kehidupan. Bank-bank mempekerjakan ulama buat memastikan mereka mengikuti hukum syariah. Manekin tidak boleh berkepala karena menciptakan sesuatu mirip manusia diharamkan. Buku-buku sekolah mengajarkan secara rinci bagaimana seharusnya potongan rambut anak lelaki atau bagaimana anak perempuan mesti menutup seluruh tubuh mereka.
Islam memang sebuah program komplet bagi kehidupan manusia, namun interpretasi adalah kunci untuk mempraktekkan ajaran Islam. Interpretasi Saudi akan Islam adalah konservatisme Arabia tengah, terutama mengenai hubungan lelaki dan perempuan.
Di muka umum, kaum hawa mesti berabaya dan bercadar. Restoran-restoran memiliki tempat berbeda untuk keluarga dan lelaki.
Banyak orang Saudi berbaur di tempat tertutup, lelaki dan perempuan biasa bertemu di lobi hotel dengan sedikit masalah. Sebagian tidak ingin bercampur karena melihat pemisahan gender sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Dalam beberapa lingkaran konservatif, lelaki menghabisi hidup mereka tanpa pernah melihat wajah perempuan dan bahkan ipar perempuan mereka, kecuali keluarga inti dan istrinya sendiri.
Di Saudi, agama lain ditindas. Tidak ada satu pun gereja di negeri Dua Kota Suci itu. Ketika ditanya soal ini, orang-orang Saudi membantah mereka tidak toleran. Mereka membandingkan negara mereka dengan Vatikan, seraya mengatakan Saudi adalah negara khusus kaum muslim.
Kalau ditanya, banyak orang Saudi bakal mengatakan paham Wahabi itu tidak ada. "Tidak ada yang namanya paham Wahabi," kata Hisyam asy-Syekh, generasi keenam dari Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Wahabi. "Yang ada hanyalah Islam murni."
Di awal abad ke-18, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengkampanyekan reformasi agama di Arabia tengah. Karena merasa Islam telah dikotori oleh praktek-praktek seperti mengeramatkan wali dan kuburan orang suci, dia menyerukan untuk kembali pada apa yang dia sebut Islam murni.
Dia kemudian bersekutu dengan kepala suku Muhammad bin Saud. Keluarga Saud mulai menaklukkan suku-suku lain dengan legitimasi Syekh Abdul Wahab. Siapa saja menentang Bani Saud tidak hanya dianggap musuh, tapi dicap kafir dan wajib dibunuh.
Negara Saudi pertama dihancurkan Kesultanan Usmaniyah pada 1818 dan upaya membangun kembali negara gagal hingga di awal abad ke-20 Raja Abdul Aziz berhasil menguasai sebagian besar Semenanjung Arab.
Namun Raja Abdul Aziz menghadapi pilihan: meneruskan ekspansi wilayah berakibat konflik dengan Inggris atau mendirikan sebuah negara modern. Dia memilih yang kedua. Sejak saat itu aliansi antara Bani Saud dan keturunan Syekh Abdul Wahab berlanjut sampai sekarang.
Syekh Hisyam, 42 tahun, adalah keturunan langsung dari Syekh Abdul Wahab. Dia telah hapal Quran sejak usia muda dan belajar agama kepada sejumlah ulama tersohor sebelum meraih gelar doktor bidang syariah dengan tesis soal bagaimana teknologi mengubah praktek syariah.
Kariernya sukses. Dia melatih hakim-hakim akan bertugas di pengadilan syariah, menjadi penasihat menteri agama, menuliskan hasil studi buat para ulama penasihat raja dan menjadi anggota dewan syariah di perusahaan asuransi Medgulf. Saban Jumat, dia menjadi khatib di sebuah masjid dekat rumah ibunya dan menyambut para tamu ingin bertemu pamannya, Mufti Agung Arab Saudi Syekh Abdul Aziz bin Abdullah as-Syekh.
Syekh Hisyam kerap bepergian ke luar negeri dan dia menyukai Amerika Serikat. Dia pernah mengunjungi Oregon, New York, Massachusetts, dan Los Angeles. Dalam satu kesempatan, dia penah melawat ke sinagoge. Di lain waktu, mengunjungi gereja kaum negro. Dia juga pernah berkunjung ke komunitas Amish, kelompok Kristen tradisional menolak teknologi modern.
Dia menjelaskan Islam tidak melarang berbisnis atau berteman dengan orang Kristen atau Yahudi. Dia menolak keyakinan dan praktek kaum Syiah, tapi dia tidak setuju jika mengafirkan orang lain karena perbedaan.
Seperti kebanyakan ulama Saudi, dia juga menentang perayaan ulang tahun tapi istrinya tidak. Jadi anak-anak mereka tidak menghadiri pesta ulang tahun. Tapi keluarga Syekh Hisyam mempunyai tradisi sendiri untuk merayakan tiap anak sudah mampu menghapal 30 juz Al-Quran. Seperti saat putra mereka, Abdullah, 15 tahun, baru saja berhasil menghapal Quran. Mereka menyalakan kembang api dan bersorak namun tidak bernyanyi.
Dia juga membatasi musik di mana banyak ulama Wahabi mengharamkan. Dia bilang dia tidak bermasalah dengan musik-musik di restoran tapi menolak musik membikin orang sampai ikut bergoyang. "Kami memiliki yang lebih baik. Anda bisa mendengarkan suara orang membaca Al-Quran," tutur Syekh Hisyam.
Syekh Ghamdi, 51 tahun, tinggal di sebuah apartemen di Kota Jiddah. Dia mengakui bagaimana ulama, fatwa mereka, dan aplikasi agama secara teliti telah menentukan jalan hidupnya. Ketika di universitas, dia berhenti dari pekerjaan di kantor bea cukai karena seorang syekh bilang mengumpulkan cukai itu haram.
Setelah lulus kualiah, dia belajar agama sambil bekerja di urusan internasional di sebuah kantor pemerintah, sehingga memaksa dia sering bepergian ke negara-negara non-muslim. "Para ulama saat itu mengeluarkan fatwa tidak baik bepergian ke negara-negara kafir kecuali diperlukan," tutur Syekh Ghamdi.
Karena itu, dia berhenti.
Dia kemudian mengajar ekonomi di sebuah sekolah kejuruan, tapi dia tidak suka kalau cuma mengajar sosialisme dan kapitalisme. Karena itu dia memberi materi tambahan soal keuangan syariah. Namun murid-murid mengeluh sehingga dia berhenti lagi dari pekerjaannya.
Hingga akhirnya dia menjadi polisi syariah di Jiddah. Beberapa tahun kemudian dia dipindah ke Makkah. Perlahan namun pasti dia mulai ragu dengan kinerja polisi syariah. Sebab mereka suka terlalu berlebihan atau mempermalukan tahanan.
Syekh Ghamdi masih ingat kasus menimpa seorang lelaki tua tinggal sendirian di rumahnya. Saban pekan dia kedatangan dua perempuan muda. Karena pria ini jarang salat di amsjid, para tetangganya mengira dia itu bukan orang baik.
Sebab itu, mereka melapor ke polisi syariah, kemudian menggerebek rumah lelaki tua itu. Ternyata dua wanita muda selalu datang tiap akhir pekan ituadalah putrinya sendiri. "Sering orang dipermalukan dengan cara tidak manusiawi dan penghinaan ini menyebabkan kebencian terhadap agama," kata Syekh Ghamdi.
Setelah menjadi kepala polisi syariah di Makkah pada 2005, Syekh Ghamdi mulai membandingkan praktek Islam versi Wahabi dengan ajaran Nabi Muhammad dan Al-Quran. Temuannya, "Saya terkejut karena kami biasa mendengar dari para ulama, 'Haram, haram, haram,' tapi mereka tidak pernah omong soal bukti."
Ketika dia tengah bimbang dengan tugasnya sebagai polisi syariah, Raja Abdullah bin Abdul Aziz mengumumkan rencana membangun King Abdullah University of Science and Technology (KAUST). Yang membikin syok kaum ulama adalah keputusan Raja Abdullah untuk tidak memisahkan mahasiswa lelaki dan perempuan di kampus, serta tidak memberlakukan aturan berpakaian bagi kaum hawa.
KAUST ini mengikuti jejak Saudi Aramco, perusahaan minyak dan gas kepunyaan pemerintah Saudi, juga dibentengi dari campur tangan ulama.
Kebanyakan ulama diam meski mereka tidak setuju dengan keputusan raja. Hanya Syekh Saad asy-Syatri menentang kampus campur lelaki dan perempuan. Namun Raja Abdullah kemudian memberhentikan Syekh Saad dari keanggotaan dewan ulama senior.
Gelisah dengan apa yang dia yakini, Syekh Ghamdi lalu menulis dua artikel panjang soal lelaki dan perempuan boleh berbaur di tempat umum, dimuat di surat kabar Okaz pada 2009. Sehabis itu, banyak ulama menyerang dirinya. Bahkan koleganya di kepolisian syariah juga mengecam. Hingga setahun kemudian dia mengajukan pensiun dini.
Setelah keluar dari polisi syariah, dia pun mempertanyakan praktek memaksa orang menutup toko saat waktu salat tiba dan mengharuskan orang salat di masjid. Dia juga mempertanyakan kewajiban bercadar dan larangan perempuan menyetir mobil.
Seorang wanita pernah bertanya kepada Syekh Ghamdi lewat Twitter, apakah selain menunjukkan wajahnya, dia juga boleh berias? Tentu saja, jawab Syekh Ghamdi.
Pada 2014, dia muncul dalam sebuah acara dialog televisi bareng istrinya tanpa bercadar dan memakai riasan.
Sehabis itu, kecaman menghantam dirinya bertubi-tubi.
Banyak yang mempertanyakan kredibilitasnya sebagai seorang syekh. "Tidak diragukan lagi orang ini buruk," kata Syekh Saleh al-Luhaidan, anggota dewan ulama senior. "Perlu bagi negara untuk menugaskan seseorang buat memeriksa dan menyiksa dia."
Mufti Agung Arab Saudi Syekh Abdul Aziz bin Abdullah asy-Syekh pun menyoroti kemunculan istri Syekh Ghamdi tanpa cadar di televisi. Dia bilang cadar itu wajib dan bagian dari ajaran islam. Dia menyerukan kepada semua stasiun televisi di Saudi untuk melarang acara mengotori agama, moral, dan nilai-nilai berlaku di masyarakat.
Masyarakat ikut memusuhi Syekh Ghamdi. Sukunya mengeluarkan sebuah pernyataan tidak mengakui dia lagi sebagai bagian dari suku dan menyebut dia bermasalah. Telepon selulernya berdering siang dan malam dari orang-orang mengecam dan menghina dirinya.
Tembok rumahnya dicoret-coret. Pernah sekelompok pria datang ke rumahnya meminta tidur bareng anak perempuannya. Para putranya, Syekh Ghamdi mempunyai sembilan anak, lantas menelepon polisi.
Syekh Ghamdi biasanya menjadi khatib di sebuah masjid di Makkah. Setelah kejadian itu, dia diberhentikan dan tidak lagi mendapat gaji dari pemerintah.
Apa yang dilakukan Syekh Ghamdi sejatinya tidak melanggar hukum dan tidak pernah menghadapi gugatan hukum. Tapi keraguannya atas praktek ajaran Wahabi telah membikin semua anggota keluarganya diserang. Keluarga dari tunangan putra sulungnya membatalkan rencana pernikahan.
Putranya Ammar, 15 tahun, juga menjadi bahan ejekan di sekolah. Seorang temannya pernah bertanya: "Bagaimana ibumu bisa muncul di TV? Itu tidak benar. Kamu tidak berakhlak."
Ammar langsung meninju temannya itu.
Gara-gara mempertanyakan praktek ajaran Wahabi, Syekh Ghamdi sudah menjadi anomali di Saudi.
(Daily-Mail/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email