Oleh: Ali Farkhan Tsani
Bekerja karena Allah, tentu tidak akan pernah berhenti mati. Sebab ia bekerja hanya mengharap ridha Allah Yang Maha Hidup. Bukan mengharap pujian manusia yang akan fana, atau sanjungan orang yang ada kepentingan atau balasan materi yang tidak abadi.
Bekerja karena Allah, tentu juga akan menghasilkan sesuatu yang juga dipersembahkan untuk mencari ridha Allah. Karena itu, ia akan selalu menyediakan hasil dari bekerjanya itu untuk Allah melalui jalur zakat, infaq, shadaqah, dan berbagai kebaikan lainnya.
Bekerja karena Allah, akan dilihat dan dinilai oleh tiga unsur dahsyat dalam kehidupan dunia hingga akhirat, yaitu: Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Sebagaimana Allah menyebut di dalam ayat:
وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُ ۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّہَـٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
Artinya: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. At-Taubah [9]: 105).
Karena itu, kita bekerja, kita beramal, kita beraktivitas dan melaksanakan amanah adalah untuk mengharap ridha Allah semata.
Karena itu Imam Mujahid memberi penjelasan ayat ini, bahwa Allah memberikan peringatan terhadap orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya. Bahwa amalan dan pekerjaan mereka akan dihadapkan kepada-Nya, di depan Rasul dan di hadapan kaum mukminin.
‘Aisyah isteri Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi Wasallam pernah berkata, “Apabila engkau kagum dengan bagusnya pekerjaan seseorang maka katakan : Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”.
Sebaliknya, bekerja dengan malas, beraktivitas karena takut manusia, beramal semaunya, ingin mengharap sanjungan manusia, merupakan sifat-sifat orang munafik yang harus dihindari. Sebab ia beramal tidak sesuai antara perbuatan dan hatinya.
Allah mengecam di dalam ayat:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 142).
Bekerja dengan ikhlas hanya karena Allah adalah bekerja dengan karya terbaik, prestatif dan menjadi teladan kebaikan bagi semuanya. Sebab ia bekerja dengan menyapa Allah, dan Allah hanya akan menerima pekerjaan yang baik-baik dan ikhlas. Allah juga hanya akan menerima pekerjaan yang benar tidak maksiat dan tidak ada unsur syirik di dalamnya.
Allah mengingatkan kita di dalam ayat:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٲلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam [menjalankan] agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5).
Bekerja tanpa ikhlas, ia akan terasa berat dan menjadi beban. Namun kalau ia ikhlas, ia pun akan bekerja dan bermala dengan penuh kecintaan, kesungguhan dan kegairahan. Ada rasa bahagia yang memuncak manakala dapat menuntaskan pekerjaannya itu.
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah menggambarkannya, bekerja, beramal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong airnya dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.
Menurut Imam Al-Ghazali, puncak keikhlasan dalam bekerja dan beramal adalah manakala tumbuh atas kesadaran yang tulus dan keinsafan yang mendalam, bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dia-lah Tuhan yang Maha Segala-galanya. Sehingg beribadah, beramal, bekerja hanya karena Allah. Maka, jika ikhlas ini sudah menjadi karakter hati, niscaya akan menjalani kehidupan ini dengan lurus, benar, dan istiqamah (konsisten).
Orang yang ikhlas tentu akan membuat kinerja menjadi bermakna dan tidak sia-sia. Kinerja yang bermakna adalah kinerja yang berangkat dari hati yang ikhlas dan mengikuti aturan yang disyariatkan di dalam Islam. Lalu akan memberikan terbaik dalam ibadah, beramal dan bekerja, karena ia berkeyakinan bahwa Allah merupakan tujuan terbaik di atas segalanya.
Bekerja dengan ikhlas itu memang kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Namun tidak mustahil dilalui dengan terus belajar ikhlas dan membiasakan diri menjadi orang yang ikhlas.
Dikisahkan ketika seekor burung kecil berusaha memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Nyala api yang disiapkan Raja Namrud itu begitu besarnya, sementara sang burung hanya meneteskan air dari paruhnya yang mungil.
Ia bolak-balik mengambil air, kemudian membuangnya ke tengah api. Begitu berulang-ulang. Tentu saja hewan-hewan lain mentertawakannya: “Mana mungkin kau bisa memadamkan api itu?”
Burung kecil itu hanya menjawab: “Aku tahu tidak mungkin memadamkannya. Tapi aku ingin Allah mencatat bahwa aku telah peduli dan berusaha.”
Dan akhirnya api memang tidak bisa membakar Nabi Ibrahim dengan mukjizat dari Allah. Namun usaha burung kecil tetap dicatat sebagai amal kebajikannya.
Allah tidak melihat hasil, tetapi melihat usaha yang kita lakukan sebisa mungkin sesuai kemampuan kita. Sebab bisa jadi pekerjaan besar bahkan super besar, dapat dikerjakan oleh orang yang biasa-biasa saja bahkan di bawah biasa, seperti kita. Namun Allah-lah yang Maha Besar, yang berkenan membesarkan-Nya, karena ada keikhlasan dan kesungguhan dari hamba-Nya. Aamiin.
(Mi’raj-Islamic-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email