Salah satu tuduhan dan propaganda yang kini gencar dialamatkan ke pihak Syiah adalah bahwa Syiah merupakan ancaman bagi NKRI. Bahwa Syiah mengancam Indonesia. Benarkah propaganda ini? Dan dari manakah sebenarnya propaganda bermula?
Berikut wawancara ABI Press dengan pengamat politik Timur Tengah, Hikmawan Saefullah, MA, dari Hubungan Internasional Universitas Pajajaran.
Bagaimana awalnya Anda tertarik meneliti tentang Syiah?
“Hampir setengah hidup saya bersinggungan dengan wacana Syiah. Waktu saya nyantri di Garut, dulu saya berada di lingkungan yang anti Syiah. Tapi kemudian saya bertemu kawan-kawan Syiah, meski sedikit sebenanrya. Saat itu saya sangat keras pada Syiah. Pandangan saya sangat hardcore. Syiah ini sesat, ini bid’ah, ini haram, anti Pancasila, dan seterusnya. Itu berjalan sampai dua tahun dan saya diketok sama kakak saya, “Kamu bisa mengklaim bahwa Syiah ini sesat bagaimana?” Ini masih persoalan teologis, karena dulu saya memandang soal Sunni-Syiah itu hanya soal teologis. Saya belum baca buku-buku mereka. Saya belum bertemu dengan orang-orangnya, dan saya belum pernah masuk ke pesantren-pesantrennya. Lalu bagaimana saya berkeyakinan Syiah itu sesat? Saya berpikir, iya ya? Kenapa saya berkeyakinan seperti ini? Saat itu saya menyadari bahwa keyakinan saya tentang Syiah itu berdasarkan mazhab ‘katanya’.”
Itu sekitar hampir dua puluh tahun lalu, dan sekarang itu rame lagi tentang Syiah. Narasinya kurang lebih sama, bahwa Syiah itu sesat dan menyesatkan. Tapi yang lebih menarik buat saya ketika wacana tentang Syiah ini muncul dan ramai dibicarakan adalah wacana tentang ancaman Syiah. Waktu dulu, wacana Syiah itu hanya ‘sesat-menyesatkan’ tapi sekarang bertambah ‘Syiah mengancam NKRI’, Syiah mengancam Indonesia. Karena saya basic-nya orang politik, maka saya berpikir pasti ada penjelasan politik kenapa wacana ini muncul.”
Dari mana sebenarnya awal mula propaganda ‘Ancaman Syiah’ ini bermula?
“Wacana ‘ancaman Syiah’ mengingatkan saya pada konteks Perang Dingin. Pada masa perang dingin ada The Red Menace. Dulu kita, gerakan-gerakan Muslim Indonesia pada 60-an ikut termakan isu gerakan-gerakan politik yang sebenarnya ini masalah antara AS dan Uni Soviet. Dan Komunisme, disebut Ancaman Merah, The Red Menace. Lalu kedua muncul Ancaman Kuning (Yellow Peril). Ini ancaman yang sangat rasis, menggambarkan bahwa orang-orang yang berkulit kuning, yaitu China dan Jepang, itu membahayakan eksistensi ekonomi-politik bangsa Barat. Imigrasi orang-orang China itu membahayakan masa depan orang-orang Barat. Dan yang ketiga, sejak tahun 1979 tepatnya saat Revolusi Islam pecah, itu dikenal dengan istilah The Green Peril atau Bahaya Hijau (Ancaman Islam).”
“Tapi istilah ini baru dipopulerkan ketika Perang Dingin berakhir. Karena pada waktu itu ketika Uni Soviet kalah dalam Perang Dingin, Barat berpikir mereka harus membuat musuh baru. Karena keyakinan mereka adalah ‘balance of power’ bahwasanya di dunia itu harus ada penyeimbang antara kekuatan A dan kekuatan B. Ketika Komunisme itu jatuh, mereka mencari musuh yang baru, Red Menace dan Yellow Peril sudah tidak begitu menarik untuk dieksploitasi. Yang bisa dieksploitasi adalah ‘The Green Peril’, bahwasanya ancaman itu datang dari orang-orang Islam. Khususnya orang-orang fundamentalis yang dipercayai mengancam eksistensi Barat dan seperti yang sering dikatakan media (Barat) akan menciptakan bom nuklir yang akan bisa menghancurkan negara-negara Barat.”
“Nah, yang muncul sekarang sejak tahun 2011-2012 hingga sekarang adalah apa yang disebut sebagai ‘ancaman Syiah’. Ini sebuah istilah yang baru dalam kajian internasional, geopolitik. Dan untuk membahasnya pun sangat tricky. Ini sangat kompleks, banyak propaganda, dan propaganda ini pun dibungkus dengan bahasa-bahasa ilmiah, dan mereka memiliki titel-titel akademik yang ternama secara internasional.”
“Darimana propaganda ‘ancaman Syiah’ ini muncul? Itu bermula dari Revolusi Islam Iran 1979 ketika rakyat Iran, baik itu Islamis baik kelompok Syiah maupun Sunni seperti Mujahidin Khalq maupun kelompok Komunis-Sosialis itu mereka bersatu menumbangkan rezim Reza Pahlevi. Persatuan rakyat untuk menjatuhkan Pahlevi ini disebut sebagai Cross Alliance. Kolaborasi kelompok-kelompok oposisi melawan rezim Pahlevi.”
“Akhir 1979, orang Qatif, Syiah Saudi turun ke jalan ingin juga revolusi dengan slogan-slogan seperti di Iran, La Sunni la Syiah, Tsawrah Tsawrah, Islamiyyah Islamiyyah. Tak ada Sunni tak ada Syiah yang ada adalah Revolusi Islam. Tetapi bedanya dengan revolusi di Iran, revolusi di Qatif, itu mengalami kegagalan. Meskipun usaha mereka melakukan revolusi itu gagal, Arab Saudi mendapatkan catatan bahwasanya Cross Alliance kelompok oposisi ini berbahaya. Maka sejak saat itu, segala hal yang berafiliasi dengan Syiah, dinilai oleh monarki Saudi sebagai sesuatu yang berbahaya. Jika kelompok Syiah ini berkolaborasi dengan kelompok Sunni dan Komunis, itu bisa membahayakan monarki.”
“Ketakutan ini muncul lagi ketika Arab Spring bergulir tahun 2011. Nah, kebanyakan kita memahami bahwa Arab Spring itu adalah respon spontan rakyat Timteng melawan ketiranian negara mereka, raja-raja mereka. Yang mendiskriminasi mereka. Yang kedua konon katanya Arab Spring itu bukan spontan, tapi hasil kerja intelijen Amerika dan Mossad Israel untuk memecah belah negara-negara Muslim. Dan versi ketiga, hasil desain perusahaan multinasional untuk meningkatkan kapital di kawasan Timur Tengah. Konon Ghaddafi diturunkan karena Ghaddafi telah menghentikan kontrak minyak dengan perusahaan-perusahaan asing.”
“Mana yang benar untuk bisa memahaminya? Bisa jadi ketiga-tiganya benar, dan semua saling bertemu pada satu titik saat Arab Spring terjadi. Terlepas dari mana yang paling benar, kenyataannya bahwa banyak rakyat Arab yang menghendaki perubahan politik radikal agar kaum yang termarjinalkan itu diakui eksistensi dan haknya. Dan di antara mereka yang menuntut adalah kelompok Syiah di Bahrain yang notabene minoritas, selama ini didiskriminasi oleh pihak monarki yang Sunni dari dinasti Al Khalifah. Dan Syiah di Saudi, di Ahsa’ dan Qatif, yang sudah didiskriminasi oleh pihak Monarki Saudi, Wahhabi tentunya.”
Jadi awalnya karena pihak monarki takut kelompok oposisi berkolaborasi dan membentuk Cross Alliance seperti di Iran?
“Ya. Ketika pihak monarki menemukan bahwa Arab Spring telah berhasil menumbangkan Ghaddafi di Libya, Husni Mubarak di Mesir, Ben Ali di Tunisia, pihak monarki Saudi Arabia, Bahrain, Qatar, UEA menyadari ini berbahaya kalau sampai ini menimpa mereka.”
Toby Matthiesen, dalam bukunya Sectarian Gulf dalam analisa dan argumennya berdasar penelitiannya yang sangat lama, lebih dari 8 tahun menjelaskan bagaimana sebenarnya strategi monarki khususnya pihak Bahrain dan Saudi untuk memecah-belah kaum oposisi, menghindarkan kolaborasi kelompok Sunni dan Syiah, dengan mempertajam perbedaan-perbedaan, antara Sunni dan Syiah, sehingga mereka melemparkan persoalan dalam negeri mereka, yang seharusnya rakyat itu marah pada negara, sehingga marah pada kelompok oposisi lain, khususnya kelompok Syiah. Dari situlah ‘ancaman Syiah’ itu dibuat, direproduksi, dan didukung oleh para ulama juga. Yang pada akhirnya kelompok Sunni dan Syiah saling bermusuhan satu sama lain. Sama dengan Dr. Toby, Mandawi Al-Rasheed juga mengatakan hal yang sama, bahwa ancaman Syiah dibuat sebagai strategi kontra Revolusi yang merugikan kelompok oposisi. Yang pada akhirnya menyalahkan Syiah Iran dan Basyar Assad di Suriah.”
Apa dampak dari strategi sektarian pemecah-belahan seperti ini?
“Apa dampak dari konflik sektarian ini? yang pasti kita tahu, Suriah, Irak, Yaman itu terkoyak. Rakyatnya lebih dari 50% mengungsi dan sampai sekarang mereka terkatung-katung di negeri Barat. Ada yang diterima dan ada yang ditolak. Kedua, mobilisasi anak-anak muda Muslim untuk berjihad di Suriah dan Irak. Mereka berangkat karena tak paham geopolitik di sana. Ketiga, isu Palestina jadi terabaikan. Ketika orang-orang ramai Syiah begini-begitu, tak ada yang bicara soal nasib Palestina. Dan tentunya, keempat, ini mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok Takfiri seperti ISIS.”
Di Indonesia sendiri propaganda ‘ancama Syiah’ itu seperti apa?
“Yang paling kentara dalam diskursus Sunni-Syiah terutama dalam wacana ‘ancaman Syiah’ yang saya tahu memang, ‘Syiah ini mengancam NKRI’, ‘Syiah itu mengancam Indonesia’, dan platform yang mereka gunakan untuk bisa masuk dalam argumentasi ini adalah dengan menggunakan apa yang terjadi di Timur Tengah. Dengan menilik sejarah Timur Tengah khususnya Iran. Jadi seolah-olah apa yang terjadi di Timur Tengah itu akan terjadi di Indonesia.”
Sebenarnya itu argumen yang fatalistik. Dalam artian Indonesia berbeda dengan Timur Tengah, Indonesia berbeda dengan Iran, Indonesia berbeda dengan Arab Saudi. Jika memang Revolusi Iran yang disebut oleh orang Sunni itu mengancam negara, itu karena pihak negaranya melakukan diskriminasi terhadap orang-orang Syiah di Timur Tengah. Di Indonesia konteks politiknya sama sekali berbeda dengan Saudi, berbeda dengan Iran, sehingga wacana ‘ancaman Syiah’ ini lebih dibuat-buat menurut saya.”
“Jadi orang dibuat takut sehingga sebagian kalangan Ahlusunnah takut pada Syiah. Padahal dari dulu Ahlusunnah tak pernah membedakan antara Sunni-Syiah. Baru sekarang-sekarang saja. Jadi buat takut di kalangan Ahlusunnah itu bahwa Syiah akan melakukan makar terhadap Negara. Sampai seperti waktu zaman Perang Dingin bahwa Komunis akan melakukan makar terhadap Negara. Dan ini saya pikir sering dijadikan wacana secara umum karena kebanyakan dari kita sangat buta terhadap geopolitik.”
Di kelompok Syiah juga ada kelompok-kelompok takfiri. Apakah keberadaan kelompok takfiri Syiah ini juga memiliki pengaruh dalam propaganda ‘ancaman Syiah’ ini?
“Ya itu dia, Syiah itu bermacam-macam di Indonesia, di luar Indonesia juga. Sunni juga bermacam-macam. Ada moderatnya, ada yang takfirinya juga yang ekstremnya juga. Cuma yang menjadi fatal kemudian ketika keyakinan yang sedikit itu, terutama yang takfirinya, baik Syiah maupun Sunni, itu digeneralisir menjadi seolah-olah mewakili seluruh kelompok, mereka itulah yang mewakili kelompoknya.”
“Contohnya misalnya, kalau di tingkat internasional, umat Muslim itu diasosiasikan dengan ISIS, seolah-olah kalau misalnya Anda seorang Muslim berarti Anda pendukung teroris. Saya tahu itu karena saya tinggal di Negeri Barat, sedang studi. Kalau ketemu orang Barat ditanya apakah Anda punya pilihan yang sama dengan ISIS? No, saya bilang. Mereka tak tahu kalau ISIS dan Muslim pada umumnya itu tidak sama. Itu pecahannya saja dan itu minoritas kelompok-kelompok takfiri itu. Di Indonesia juga sama, ketika cara pandang generalisir itu diarahkan pada misalnya orang-orang Muslim Syiah. Ada Syiah yang takfiri lalu yang sedikit itu ditafsirkan mewakili kelompok Syiah.”
Bagaimana dengan pejabat negara yang justru ikut memanfaatkan isu sektarian ini?
“Ya sangat disayangkan sebagai seorang publik figur sebagai pejabat negara menggunakan wacana sektarian untuk mengambil kepentingan. Seperti Gubernur Aher itu. Dan saya sendiri sudah melihat videonya dan itu sangat disayangkan. Pertama dia tidak berbicara berdasarkan fakta. Yang kedua, posisi beliau yang vulnerable terhadap Syiah itu memang bisa dilihat dari status ideologisnya. Ya, dia besar di partai mana, dia ikut di pengajian mana. Dan apa yang terjadi pada Aher itu bukan hal baru sebenarnya. Karena terjadi juga di negara-negara seperti Libanon, Irak.”
“Itu tak hanya ada di Indonesia, kalau Anda baca dokumen-dokumen dari Saudi Leaks misalnya, di Libanon misalnya saat Hariri masih berkuasa, dia itu lebih minta bantuan kepada pemerintah Arab Saudi untuk secara finansial mendukung posisi politik dia dan apa pun yang diinginkan oleh Arab Saudi ia akan melakukannya. Kemudian apa yang terjadi pada agen berita, wartawan Somalia yang minta kepentingan finansial, yang meminta uang 2000 dolar ke Saudi. Di Malaysia juga ada PM Najib Razak. Jadi Aher itu tidak sendirian.”
Sebagai umat Islam di Indonesia bagaimana posisi kita semestinya menyikapi hal ini?
“Posisi kita sebagai umat Islam di Indonesia, pertama kita mengikuti saja apa yang sudah dijelaskan dalam konstitusi Negara. Semua orang punya hak beragama dan semua orang juga berhak untuk dilindungi oleh Negara. Yang paling penting satu sama lain harus saling menghormati. Entah saya seorang Pancasilais yang baik atau tidak, tapi setidaknya para pendiri Negara ini sudah memberi landasan rakyatnya bersoialisasi dengan yang lain, dengan cara yang harmonis, bersatu, dan sesuai dengan salah satu paragraf dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, bahwasanya dalam permasalahan-permasalahan internasional kita, baik sebagai pejabat Negara maupun sebagai rakyat biasa harus aktif dalam menciptakan upaya perdamaian sesama manusia. Ketika ada konflik, kita tidak ikut-ikutan terlibat dalam konflik tersebut tapi meredam, mendamaikan.”
(ABI-Press/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email