Pesan Rahbar

Home » » Apakah falsafah keberadaan setan?

Apakah falsafah keberadaan setan?

Written By Unknown on Sunday, 25 September 2016 | 13:16:00


Jawaban:

Setan adalah tergolong jin, sebagaimana tertera di dalam Al-Qur’an, “Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada malaikat, “Sujudlah kalian kepada Adam.” Lalu mereka sujud, kecuali iblis, adalah dia dari jin, lalu dia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. al-Kahfi [18]: 50). Malaikat tidak mungkin mendurhakai firman-firman Tuhan. (QS. al-Tahrim [66]: 6), sedangkan jin adalah seperti manusia, dia punya ikhtiar dan mungkin durhaka. Al-Qur’an juga membagi mereka jadi empat bagian; mukmin, kafir, fasik dan saleh. (QS. al-Jin [72]: 11 dan 14), dan menyatakan kelayakan mereka untuk diganjar pahala atau siksa akhirat. (QS. al-An’am [6]: 128; al-A’raf [7]: 179).

Atas dasar itu, seperti halnya yang lain jin juga patut untuk diciptakan; karena, dari sudut pandang filosofis, Tuhan Yang Maha Pemurah menciptakan segala sesuatu. Adapun ihwan setan, orang kafir atau pendosa telah jauh dari jalan utama dan tujuan akhir mereka tidak berarti penciptaan mereka sia-sia dan bertolak belakang dengan kebijaksanaan Tuhan. Allah swt. menciptakan mereka agar mereka taat secara sengaja dan berdasarkan ikhtiar mereka sendiri. Konsekuensi dari ketaatan sengaja adalah hendaknya mereka juga diberi kemungkinan untuk membangkang secara sengaja. Maka dari itu, pembangkangan mereka sama sekali tidak bertentangan dengan kebijaksanaan Tuhan dalam mencipta.

Itulah falsafah penciptaan setan dalam kapasitanya sebagai setan, dan itu sendiri sudah cukup untuk memberikan alasan kenapa dia diciptakan. Akan tetapi, ketika kita menimbang keberadaan setan dalam kaitannya dengan penciptaan manusia, maka akan muncul pertanyaan penting bahwa apa urgensi keberadaan setan di dalam rangka penciptaan manusia?

Setelah durhaka dan terusir dari sisi Tuhan, Iblis meminta kepada-Nya agar diberi kesempatan untuk memperdaya manusia; Al-Qur’an mensinyalir, “Iblis berkata, “Beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan, Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau termasuk mereka yang diberi tangguh.” (QS. al-A’raf [7]: 14 – 15).

Dari kesempatan yang diberikan Allah swt. kepada iblis tersebut dapat kita simpulkan bahwa penipuan manusia oleh setan di alam cipta ini bukan saja inkoheren dengan tujuan penciptaannya, melainkan betul-betul relevan dengannya. Manusia untuk sampai kepada titik kesempunaan sengaja –atau kesempurnaan berdasarkan ikhtiar–, yang merupakan tujuan dari penciptaan dirinya, harus dibekali dengan dua macam kecenderungan pada hal yang baik dan yang buruk. Bilamana manusia hanya mempunyai kecenderungan kepada kebaikan maka seperti malaikat, dan bilamana dia hanya memiliki kecenderungan materialis maka tiada bedanya dengan binatang; sama-sama tidak berpeluang untuk mendaki jenjang spiritual secara sengaja, adapun ketika dia dibekali dua kecenderungan tersebut maka dengan memilih kebaikan dia akan menjadi lebih mulia daripada malaikat dan mencapai kesempurnaan yang diharapkan untuk dirinya, tapi sebaliknya dengan memilih keburukan dia akan menjadi lebih hina daripada binatang.

Manusia dalam dirinya terdapat dua kecenderungan kepada haq dan batil; nafsu ammarah mengajaknya kepada haq dan akal – fitrah mengajaknya kepada batil. Manusia bebas dan independen dalam memilih salah satu dari dua jalan tersebut. Namun kebebasan dan independensi dia dalam memilih tidaklah bertentangan dengan aktivitas setan di luar dirinya yang merayu dia ke arah keburukan dan aktivitas malaikat yang mengundangnya kepada kebaikan.

Manusia dengan ikhtiar dan kehendaknya sendiri dapat meyerahkan kendalinya kepada setan atau malaikat dan masuk ke dalam wilayah mereka. Dalam hal ini Allah swt. berfirman, “Hai keturunan Adam, janganlah sekali-kali kalian dapat ditipu oleh setan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari surga ... sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-A’raf [7]: 27).

Di tempat lain Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah.” Kemudian mereka beristiqamah, maka malaikat-malaikat turun kepada mereka –lalu berkata– ... kamilah (malaikat) pelindung-pelindung kalian di dalam kehidupan dunia dan di akhirat.” (QS. Fushshilat [41]: 30 – 31).

Nafsu ammarah berperan mempersiapkan diri manusia untuk mendengarkan bisikan setan dan mengikuti ajakannya, sehingga dengan demikian setan akan menyesatkannya lebih jauh lagi. Sedangkan ketaatan terhadap akal – fitrah yang berperan sebagai pembimbing internal akan membuat manusia jadi layak untuk meperoleh rahmat-rahmat istimewa Ilahi melalui malaikat-malaikat-Nya. Keberadaan setan untuk merayu manusia pada keburukan dan membangkitkan nafsu ammarahnya adalah sebagai pelengkap eksternal bagi kecenderungan dia kepada keburukan, sebagaimana keberadaan malaikat untuk mengundang mereka kepada kebaikan dan menguatkan akal – fitrahnya adalah sebagai pelengkap eksternal atas kecenderungan dia kepada kebaikan. Lalu, dari interaksi dua unsur ini lahirlah insan kamil atau manusia yang sempurna.

Ada juga yang berpandangan bahwa keberadaan setan itu sendiri merupakan faktor pelipat ganda motivasi manusia untuk berlindung kepada Allah swt., sikap berlindung inilah yang akan menjaga manusia tetap di jalannya menuju kesempurnaan. Ada banyak penegasan Al-Qur’an dalam hal ini, contohnya disebutkan di sana, “Dan katakanlah, “Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan setan. Dan aku berlindung kepada-Mu ya Tuhanku dari kehadiran mereka kepadaku.” (QS. al-Mu’minun [23]: 97 – 98).

Contoh lainnya, “Maka apabila engkau hendak membaca Al-Qur’an, mohonlah perlindungan Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. al-Nahl [16]: 98).

Falsafah keberadaan setan adalah pertanyaan yang mendasar bagi setiap cendekiawan muslim, dan sudah barang tentu untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan sebuah penelitian terhadap sisi-sisinya. Ada tiga pihak di dalam pertanyaan ini; Tuhan, manusia dan setan, dan semua itu akan kami jelaskan secara singkat dengan poin-poin sebagai berikut:
1- Tujuan Tuhan menciptakan manusia adalah mengantarnya sampai kesempurnaan; yakni, tujuan ini kembali kepada tindakan Tuhan dan bukan kepada pelakunya (Tuhan), karena Tuhan Maha Sempurna dan tidak mungkin dibayangkan ada tujuan bagi dzat-Nya.
2- Puncak kesempurnaan manusia adalah makrifat Allah swt., dan makrifat itu tergantung pada pengabdian terhadap-Nya; itulah kenapa Allah swt. berfirman, “Dan aku tidak mencitptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. al-Dzariyat [51]: 56). Sebab, kesempurnaan manusia hanya akan tercapai dengan penyembahan dan makrifat kepada Tuhan Yang Maha Sempurna secara mutlak.
3- Manusia penyembah Tuhan akan berada di jalan menuju kesempurnaan jika dia melakukannya secara sengaja dan berdasarkan ikhtiar, bukan seperti malaikat yang beribadah secara kreasional atau terpaksa dan tidak bisa berbuat durhaka di hadapan Tuhan. Itulah kenapa Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang berikhtiar dan memberinya kebebasan untuk memilih jalan kebahagiaan atau kesengsaraan, Dia berfirman, “Sesungguhnya Kami menunjukkan jalan kepadanya, adakalanya dia bersyukur dan adakalanya kufur.” (QS. al-Insan [76]: 3).

Atas dasar itulah masalah cobaan –sebagai salah satu tujuan dari penciptaan manusia- muncul ke permukaan; karena, cobaan adalah perwujudan ikhtiar manusia, maka tidak heran jika kita menyaksikan banyak ayat Al-Qur’an yang mengutarakan masalah ini dengan cara yang beraneka ragam, contohnya disebutkan, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari setetes air mani yang bercampur, Kami akan mengujinya lalu Kami menjadikannya mendengar lagi melihat.” (QS. al-Insan [76]: 2).

Uji-coba manusia secara adil hanya akan sukses bila sarana dan prasarana untuk memilih salah satu dari dua jalan –baik atau buruk– dimiliki oleh dia. Dan Allah swt. telah memberi manusia –dalam kapasitasnya sebagai makhluk favorit dan hanya karena penciptaan itu Allah swt. mengucapkan selamat pada diri-Nya sendiri (QS. al-Mu’minun [23] 14)– semua fasilitas yang dibutuhkan untuk memilih jalan menuju kesempurnaan dan kebaikan, di antaranya adalah:
a. Penciptaan manusia berdasarkan fitrah dan kecenderungan substansial pada Tuhan. (QS. al-Rum [30]: 30).
b. Tuhan datang untuk membantu dan membimbing manusia. (QS. Yunus [10]: 25).
c. Penginspirasian jalan menuju kebaikan dan jalan menuju keburukan kepada manusia agar dia memilih jalannya secara sengaja. (QS. al-Syamsy [91]: 8).
d. Penanaman cinta iman kepada Tuhan di dalam diri manusia. (QS. al-Hujurat [49]: 7).
e. Bantuan istimewa dalam kehidupan bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-Ahzab [33]: 47, al-Fath [48]: 4).
f. Pintu hidayah terbuka lebar bagi manusia sesuai dengan kapasitas usahanya. (QS. Ibrahim [14]: 12).
Dengan adanya fasilitas-fasilitas ini di sisi kebaikan dan daya tarik lain di sisi keburukan maka cobaan Ilahi terhadap manusia bukan sekedar formalitas. Adanya faktor-faktor pembisik kejahatan vis a vis inspirasi inspirasi Ilahi yang senantiasa menggoda manusia untuk memilih keburukan menyebabkan dia betul-betul berada di hadapan dua jalan baik dan buruk, dan dengan demikian dia akan memilih salah satunya secara bebas dan sengaja.

Bertolak dari titik inilah permintaan Iblis, setelah durhaka dan terusir dari sisi Allah swt., untuk diberi peluang menyesatkan manusia diterima, dan dia diberi waktu untuk menandingi faktor-faktor Ilahi dan menggoda manusia kepada keburukan. Namu demikian, perlu dicatat bahwa Allah swt. membatasi kemampuan setan atau Iblis dalam ranah ini, dia tidak akan mampu mendominasi manusia, melainkan dia hanya mampu menggoda dan menipu.

Oleh karena itu, bisikan setan akan terdengar ketika manusia berpaling dari seruan fitrah dan inspirasi Ilahi. Orang yang sengaja memilih jalan kafir tidak lagi layak mendapatkan kasih sayang dan kebersamaan hidup dengan manusia-manusia suci di atas muka bumi, sebaliknya dia layak tenggelam dalam bisikan-bisikan setan, dan ini merupakan siksa Tuhan baginya di dunia, “Apakah engkau tidak memperhatikan sesungguhnya Kami telah mengirimkan setan-setan terhadap orang-orang kafir menghasut mereka sungguh-sungguh.” (QS. Maryam [19]: 83).

Penerjemah: Nasir Dimyati

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: