Pesan Rahbar

Home » » Kekuasaan di Mata Sufi

Kekuasaan di Mata Sufi

Written By Unknown on Friday 30 September 2016 | 23:28:00


Oleh: Jalaluddin Rakhmat

Khasanah tasawuf mengenal sebuah kitab sufi klasik berjudul Kasyful Mahjub, "Tirai yang Disingkapkan".
Kitab ini ditulis oleh al-Hujwiri yang hidup pada abad kelima Hijriyah. Dari segi fiqh, al-Hujwiri mengikuti Imam Abu Hanifah, yang juga dikenal dengan nama Nukman bin Tsabit al-Harraj. Abu Hanifah ialah salah seorang Imam mazhab tertua di kalangan Ahlus Sunnah. Kepada Abu Hanifahlah berguru Imam Syafi'i, dan kepada Imam Syafi'i berguru Imam Hambali. Abu Hanifah hidup hampir sezaman dengan Imam Malik.

Dalam Kasyful Mahjub, al-Hujwiri banyak bercerita tentang kisah gurunya, Abu Hanifah. Sebagian besar dari cerita-cerita itu berisi pemujaan berlebihan dan seorang murid kepada gurunya, yang lebih tampak sebagai mitos ketimbang cerita sebenarnya. Namun kisah yang akan diceritakan berikut ini adalah kisah sesungguhnya, yang direkam dengan baik oleh para ahli sejarah, tidak hanya oleh al-Hujwiri, sehingga kita bisa mengatakan bahwa secara historis, kisah ini amat autentik.

Abu Hanifah hidup pada masa kekuasaan Khalifah al-Mantsur, dari Dinasti Abbasiyah. Pada suatu saat, khalifah bermaksud untuk mengangkat seseorang sebagai Hakim Agung, waktu itu disebut dengan gelaran Qadi. Sezaman dengan Abu Hanifah, hidup pula tiga orang ulama besar lain; Sofyan al-Tsauri, Mis'ar bin Qidam, dan Syuraih. Khalifah al-Mantsur ingin memilih salah satu dari para ulama ahli fiqh di kerajaannya untuk dijadikan sang Qadi.

Mereka pun dipanggil ke istana. Ketika keempat ulama itu berjalan bersama ke istana untuk memenuhi undangan khalifah, Abu Hanifah berpikir untuk menyusun sebuah rencana yang sungguh menarik. Keempat ulama itu memutuskan untuk menolak permintaan khalifah. Mereka membicarakan bagaimana caranya menolak permohonan itu tanpa menyinggung perasaan khalifah. Mau tidak mau, salah seorang di antara mereka harus menjadi hakim agung. Bila semua menolak, bencana akan mengancam mereka karena khalifah al-Mantsur terkenal sebagai penguasa tiran yang amat keras. Kepada ketiga ulama lain, Abu Hanifah mengemukakan rencananya, "Aku akan menolak jabatan itu dengan caraku sendiri. Aku minta Mis'ar untuk berpura-pura gila; Sofyan untuk melarikan diri; dan Syuraih-lah yang akan dijadikan Qadi."

Sofyan al-Tsauri pun kabur ke sebuah pelabuhan dan bersembunyi di bawah kapal yang akan berlayat. Ketiga ulama lainnya berangkat menuju istana khalifah. Sesampainya di tempat itu, al-Mantsur berkata kepada Abû Hanifah, "Engkaulah yang harus menjadi hakim agung!"
Abu Hanifah menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, aku bukanlah seorang Arab melainkan hanya sahabat orang-orang Arab. Pemimpin-pemimpin Arab tidak akan menerima keputusan hakim agung seperti aku."
Abu Hanifah berkata demikian karena ia berasal dari Persia sementara al-Mantsur adalah keturunan dari Abbas, paman Rasulullah saw. Dengan mengemukakan alasan itu, ia meminta agar al-Mantsur tidak mengangkatnya sebagai Qadi.

Al-Mantsur berkata, "Jabatan ini tidak ada hubungannya dengan garis keturunan. Yang dibutuhkan dalam jabatan ini adalah ilmu dan engkau adalah ulama paling terkemuka di zaman ini."
Abu Hanifah tetap mempertahankan alasannya dan berkata bahwa ia tidak cocok untuk jabatan setinggi itu. Al-Mantsur menjawab bahwa keberatan Abu Hanifah itu tak lain hanyalah kebohongan untuk menutupi ketidak-sediaannya. Abu Hanifah berkata, "Jika kukatakan bahwa aku tidak cocok untuk jabatan itu dan engkau mengatakan bahwa ucapanku adalah sebuah kebohongan, tentu tidak dibenarkan seorang hakim agung dari kaum muslimin untuk berbohong. Tidak benar pula mempercayakan kepada seseorang yang kau sebut sebagai pembohong, kehidupan, kekayaan, dan kehormatan yang kau miliki."
Dengan begitu Abu Hanifah berhasil mengelak dari jabatan hakim agung.

Setelah itu, Mis'ar bin Qidam tampil ke muka dan menjabat tangan Khalifah al-Mantsur, seraya berkata, "Apa kabarmu dan kabar anak-anak serta hewan ternak piaraanmu?" Ulama itu mengatakan hal ini kepada sang penguasa tanpa sopan santun sama sekali. Ia menampakkan bahwa perbuatannya itu dilakukan di luar kesadarannya. "Keluarkan orang ini!" teriak al-Mantsur, "ia sudah gila!"

Tinggallah seorang ulama lagi. Syuraih pun diberitahu bahwa dialah yang harus mengisi kekosongan jabatan Qadi. Seperti dua orang temannya yang lain, ia pun mengajukan keberatannya sendiri, "Aku ini mudah sedih dan senang melucu. Orang yang penyedih dan suka bercanda tidak layak menjadi hakim agung."

Khalifah al-Mantsur meminta ia untuk meminum obat agar pikirannya pulih kembali. Akhirnya Syuraih diangkat menjadi Qadi.

Sejak Syuraih menjadi Qadi. Abu Hanifah tak pernah lagi berbicara kepadanya sepatah kata pun dan tak pernah berkunjung ke rumahnya sekali pun.

Dari kisah ini kita memperoleh pelajaran yang amat berharga; bagaimana para ulama besar berusaha untuk menolak jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Demi menjauhi kekuasaan, mereka melakukan segala cara. Sofyan al-Tsauri, seorang faqih besar yang pada zamannya dianggap pendiri mazhab al-Tsauri, memilih untuk melarikan diri meninggalkan keluarga dan tanah airnya untuk menghindari jabatan. Ia baru kembali setelah Syuraih diangkat menjadi Qadi. Abu Hanifah berusaha dengan keras menolak perintah khalifah dan Mis'ar bin Qidam berpura-pura sakit ingatan untuk mengelak permintaan al-Mantsur.

Al-Hujwiri menutup cerita itu dengan menulis: "Kisah ini tidak saja menunjukkan kebijaksanaan Abu Hanifah, tetapi juga keteguhannya di dalam kebenarandan tekadnya untuk tidak membiarkan dirinya dibuai dalam keinginan untuk mencari kemegahan dan popularitas. Lebih jauh, hal ini merupakan pembenaran bagi malamatiyyah (Malamatiyyah adalah satu konsep di dalam tasawuf di mana seorang pun berusaha untuk menunjukkan kejelekan dirinya sehingga orang tidak menilainya berlebih-lebihan, -red).

"Kelakuan Abu Hanifah amat berbeda dengan perbuatan para ulama sekarang. Mereka menjadikan istana para sultan sebagai kiblat mereka dan rumah para penjahat sebagai puri mereka...."

Kalimat-kalimat ini amat menarik karena ditulis al-Hujwiri pada abad kelima Hijriyah, seribu tahun yang lalu. Namun ketika kita membaca ucapan al-Hujwiri, seakan-akan al-Hujwiri berkisah tentang keadaan saat ini. Hari ini kita melihat para ulama yang berkiblat kepada istana para penguasa negeri. Alangkah rindunya kita akan kehadiran para ulama seperti Abu Hanifah, yang untuk mempertahankan integritas dan kepribadiannya, mampu menolak jabatan, setinggi apa pun kekuasaan itu. Kita merindukan para ulama yang memilih kesucian hati ketimbang keindahan rumah mereka.

Semoga Allah membimbing kita untuk mengikuti para ulama seperti itu dan semoga Dia membangkitkan di tengah-tengah kita para ulama yang tidak memiliki misi selain untuk menegakkan kebenaran.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: