Oleh: Tim Akhlak
Salah satu sifat buruk dan tercela dalam hubungan sosial dan bermasyarakat ialah menuduh. Sebagaimana kita ketahui bahwa ghibah adalah membuka aib orang lain dan kekurangan-kekurangan yang disembunyikannya di hadapan orang-orang, dengan maksud menuduh dengan melontarkan aib dan kekurangan, kesalahan dan keburukan kepada orang yang tidak ada padanya.
Dengan memperhatikan perbedaan antara ghibah dan menuduh, jelas bahwa dosa menuduh lebih berat daripada ghibah. Tentang masalah ini. kita dapat menemukannya dengan melihat sekali lagi ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis yang menerangkan tentang keburukan dan kekejian ghibah. Ditambah dengan ayat dan hadis lain yang secara khusus berbicara tentang keburukan menuduh dan siksaan bagi orang yang menuduh.
Allah berfirman, "Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa. kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata." (QS an-Nisa':112).
Rasulullah saw. bersabda, "Sesiapa yang menuduh seorang mukmin lelaki atau perempuan dengan mengatakan sesuatu yang di luar diri mereka, niscaya Allah swt. akan menempatkannya di atas bukit api sampai ia mengakui ucapannya." (al-Bihar, juz 75, bab 62, hadis ke-5).
Imam Shadiq as. berkata, "Jika orang mukmin menuduh saudara seimannya, maka hilanglah iman di hatinya seperti hilangnya garam di dalam air." (hadis ke-19)
Perbuatan yang disebut menuduh ada tiga hal: Pertama, menyebut aib orang yang kepastian adanya belum dibuktikan, apakah benar ada tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Kedua, aib yang dilontarkan atau dosa yang diperbuat belum meyakinkan, tetapi menuduh lantaran bermusuhan dengan orang yang dicela.
Ketiga, aib dan dosa yang dilakukannya dituduhkan kepada orang lain, demi keselamatan dirinya.
Dari sini, jelaslah tentang adanya tingkatan-tingkatan dalam menuduh, yang tiap-tiap tidak sama. Walaupun contoh ketiga macam tuduhan itu tidak sama, tetap disebut tuduhan, dan dosa karenanya adalah berat.
Jelas sekali, menuduh orang lain dalam segala hal harus dihindari demi terpeliharanya kehormatan dan kepribadian orang. Semua orang merasa ingin martabat dan kepribadiannya terjaga dan mereka satu sama lain di dalam masyarakat dapat saling mengisi dan menyempurnakan.
Ketika anggota masyarakat satu sama lain saling menghancurkan kehormatan dan harga diri mereka, dan seluruh waktu mereka dihabiskan untuk menuduh, berbuat ghibah dan aniaya serta rasa dendam satu sama lain, maka tidak akan ada tempat untuk menyempurnakan dan membangun akhlak individu dan sosial.
Berhubungan dengan masyarakat, di samping harus menjauhi tuduhan, ada tugas lain bagi mereka, yaitu menjauhi tempat-tempat (kesempatan) menuduh.
Sebagaimana orang tidak berhak menuduh orang lain, maka tidak boleh baginya berada di posisi yang menimbulkan tuduhan. Maksudnya, tidak harus ia melakukan suatu sikap atau perbuatan yang menyebabkan syak wasangka dan tuduhan orang lain yang ditujukan padanya.
Rasulullah saw. bersabda, "Orang yang paling layak dituduh adalah orang yang duduk dengan tukang menuduh." (al-Bihar, juz 75, bab 46, hadis ke-3).
Imam Ali as. bersabda, "Barangsiapa yang berdiri di posisi tuduhan, maka orang tidak menuduh kecuali padanya."
Imam Shadiq as. berkata, "Ayahku berkata, "Wahai anakku! Barangsiapa yang bergaul dengan orang yang buruk (sifatnya) ia tak akan selamat, dan barangsiapa yang memasuki tempat-tempat keburukan ia akan dituduh, dan barangsiapa yang tidak bisa menjaga lisannya akan menyesal."" (al-Bihar, juz 75, bab 46, hadis ke-1)
Buruk Sangka
Salah satu sifat dan kebiasaan buruk serta tercela dalam berhubungan dengan masyarakat ialah buruk sangka atau su'uzhan tentang orang lain. Sebagian orang, lantaran perasaan buruk dan pandangan negatif yang mereka miliki, biasanya memandang perbuatan dan ucapan orang lain dengan mata keburukan, meskipun hal itu di luar kenyataan yang ada, maka inilah yang disebut dengan buruk sangka. Sikap ini di satu sisi berdosa dan buruk dan di sisi lain merupakan tempat timbulnya dosa-dosa yang lain.
Dalam Al-Quran, Allah mengatakan, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." (QS al-Hujurat:12).
Jika kalian perhatikan ayat di atas, Allah swt. mengatakan bahwa sebagian prasangka itu dosa. Hal ini tidak akan berlaku pada sebagian perkara yang sangkaan kita sesuai dengan kenyataan. Kita menyangka demikian, maka jika itu benar demikian, berarti sangkaan kita tidak salah dan tidak dosa. Adapun jika sebagian sangkaan berlawanan dengan kenyataan yang ada maka itu dosa. Di satu sisi, apabila kita ingin menepis sangkaan diri kita kepada orang lain, kita mau tidak mau memata-matai dan mencampuri kehidupan, keadaan dan sifat orang itu. Sementara memata-matai kehidupan pribadi orang juga merupakan dosa dan kejahatan besar, sebagaimana yang disebutkan oleh ayat di atas.
Hal lain mendorong kita untuk mencari informasi tentang kebenaran orang yang menggunjing mereka. Sebab, berbicara dan bertanya kepada orang yang tidak bersangkutan adalah masalah yang penting untuk mengetahui keadaan mereka. Oleh karena itu, perhatikanlah bahwa buruk sangka itu di samping buruk dan dosa, tetapi juga sebagai sumber dosa-dosa yang lainnya. Karena itu, agar orang-orang mukmin tidak melakukan perbuatan buruk dan dosa ini, Allah swt. memberi perintah supaya menjauhi banyak sangka kepada sesama mereka, janganlah memandang (lahiriah) mereka supaya tidak jatuh ke lembah dosa.
Dalam sumber-sumber Islam, di depan kata su'uzhan terdapat kata ashli (yang pokok) dengan istilah ashalatu shihhat (pokok kebenaran), supaya orang-orang dalam hubungan satu dengan yang lain jangan sampai meletakkan 'pokok' berdasarkan buruk sangka. Ahlulbait as memerintahkan agar menilai urusan saudara seagamanya berdasarkan kebenaran. Artinya, di manapun kamu mendengar ucapan saudara seagamamu atau melihat perbuatannya, maka simpulkanlah dengan yang lebih baik.
Imam Ali as. bersabda, "Letakkanlah urusan saudaramu di atas yang paling baik sampai ia (sendiri) datang kepadamu dengan bukti lain dari yang kamu lihat. Dan janganlah berburuk sangka dengan satu kata yang keluar dari saudaramu selama kamu masih dapat menilai dengan baik." (al-Bihar, juz 74, bab 13, hadis ke-8).
Dampak Buruk Sangka
Dalam hadis, para imam maksum as. menerangkan tentang dampak buruk sangka yang membahayakan, sebagai berikut:
1.Imam Ali as bersabda, "Barangsiapa yang tidak membaguskan sangkanya, maka ia akan takut dengan semua orang." (al-Ghurar, juz 5, h.442).
Maksudnya, orang yang pandangannya buruk selalu kepada semua orang, dan semua orang di dalam otaknya hanyalah gambaran aib dari kekurangan mereka, maka ia tidak akan mempercayai siapapun, tidak akan bisa tenang dan selalu khawatir terhadap orang yang berhubungan dengannya. Ia takut pada semua orang. Akibat dari perasaan ini, maka yang ia alami hanyalah kekhawatiran, menjauh dari orang dan hidup terasing dalam kesendirian.
Imam juga berkata, "Buruk sangka akan merusak urusan-urusan dan akan mengantarkan orang pada keburukan." (al-Ghurar, juz 4, h.132).
Tak diragukan lagi, memperoleh kepercayaan dan ketenangan orang lain adalah salah satu faktor terpenting dalam menyelesaikan perkara. Semua orang senang jika sikap baik mereka itu membuat orang lain suka dan percaya kepada mereka. Jadi jika di dalam masyarakat orang-orang melihat dengan pandangan buruk dan saling buruk sangka, maka tidak akan ada tempat bagi kepercayaan dalam menyelesaikan perkaranya, ia tidak akan menyerahkan kepercayaannya pada orang lain. Kesimpulannya, sesuai dengan perkataan Imam Ali as., dengan buruk sangka segala urusan menjadi tak karuan dan akan menjerumuskan orang ke dalam perbuatan buruk.
3.Sebuah hadis, juga dari Imam Ali as., menerangkan bahwa buruk sangka adalah faktor perpecahan umat, "Barangsiapa yang dikuasai buruk sangka maka tidak akan pernah ada kesepakatan antara dia dengan temannya." (al-Ghurar, juz 5, h.406).
4.Dalam riwayat-riwayat lain, Imam mengatakan bahwa buruk sangka itu menyebabkan lenyapnya amal ibadah.
"Jauhilah buruk sangka, karena buruk sangka itu akan merusak ibadah dan akan membesarkan dosa." (al-Ghurar, juz 2, h.308).
"Tiada iman yang disertai buruk sangka." (al-Ghurar, juz 6, h.362).
Buruk sangka, berapapun kadarnya, adalah satu sifat buruk dan tercela. Dan sebaliknya baik sangka bagi orang-orang mukmin adalah sifat baik dan terpuji. Pernyataan ini didukung oleh hadis-hadis para imam as. Imam Ali as. berkata, "Baik sangka adalah termasuk sebaik-baiknya perkara dan paling utamanya bagian." (Ghurar, juz 3, h.386)
"Bagus sangka menyebabkan hati tenang dan menyelamatkan agama." (Ghurar, juz 3, h.384).
"Baik sangka akan mengurangi kesedihan dan menyelamatkan dari belenggu dosa." (h.385).
"Sesiapa yang berbaik sangka dengan orang niscaya menjadi tambatan hati mereka." (h.379).
Sebuah riwayat dari Imam Shadiq as. mengatakan, "Baik sangka asalnya dari kebagusan iman seseorang dan keselamatan dadanya." (al-Bihâr, juz 75, bab 62, hadis ke-12) .
Yang dimaksud 'dada' ialah batinnya yang bersih dari rasa benci dan dosa dan yang paling bagus sangkanya.
Riwayat lain dari Rasulullah saw. mengatakan, "Baguskanlah sangkaanmu terhadap saudaramu, niscaya kamu akan memperoleh kesucian hati dan watak."
Adalah hal yang sangat jelas di manapun jika buruk sangka berubah menjadi baik sangka maka kebencian dalam hati akan sirna dan hati menjadi terang dan membuat sikap orang lembut dan baik.
Oleh karena itu, dalam bergaul dan berteman, ukuran dan dasar yang paling pokok bagi orang-orang mukmin ialah baik sangka dan memandang baik (sekuat mungkin) terhadap tingkah laku orang lain. Namun, harus diketahui bahwa baik sangka pada orang juga ada batasnya, dan apabila ia melampui batas, maka hal itu tidak lagi dikatakan sifat yang baik dan terpuji. Karena itu, harus kita tahu bahwa dengan ketentuan apa kita harus dan tidak harus baik sangka.
Syarat atau ukuran terpenting dan utama yaitu dengan bersandar pada pandangan riwayat hadis para imam as. ialah kebaikan dan kerusakan, keadilan dan kelaliman di dalam masyarakat. Artinya, apabila di dalam masyarakat yang menghukumi adalah kebaikan, kebenaran sikap dan keadilan, lalu kebenaran dan keadilan mengalahkan kerusakan dan kelaliman, maka dasar di dalam bermasyarakat ialah baik sangka. Akan tetapi, jika kerusakan, keburukan sikap dan kelaliman sampai pada tahap umum dan sedikit sekali ditemukan orang-orang yang bersikap benar, maka dalam kondisi seperti itu baik sangka tidak lagi menjadi sifat yang baik dan dasar bagi hubungan sosial.
Imam Ali as. berkata, "Jika kebaikan menguasai zaman dan manusia kemudian berburuk sangka terhadap yang lain tanpa jelas kesalahan darinya, maka berarti ia telah menzaliminya. Dan jika keburukan yang merajalela atas zaman dan manusia, lalu seorang lelaki berbaik sangka terhadap lelaki yang lain, maka berarti ia telah menipunya." (al-Bihar, juz 75, bab 62, hadis ke-18).
Imam Musa Kazhim as. berkata, "Jika kezaliman menguasai kebenaran, maka tidak boleh bagi seseorang berbaik sangka, kecuali ia mengetahui kebaikannya dengan baik." (juz 10, bab 16, hadis ke-11).
Imam Ali Hadi as. berkata,"Jika di suatu zaman, keadilan mengalahkan kezaliman maka haram bagi seseorang berburuk sangka kecuali ia (benar-benar) mengetahui keburukannya, dan (sebaliknya) jika di suatu zaman kezaliman menguasai keadilan maka tidak baik bagi seseorang berbaik sangka selagi ia tidak mengetahui keburukannya." (juz 75, bab 62, hadis ke-17).
Satu lagi syarat bagi berbaik sangka dan sandarannya ialah ia tidak pemah dikhianati. Maka, selain hal itu, jika ia pernah dikhianati seseorang maka baik sangka dan mempercayainya adalah sikap yang tidak bijaksana.
Imam Shadiq as. berkata, "Tidak boleh bagimu mempercayai orang yang telah mengkhianatimu dan janganlah mencela orang yang telah mempercayaimu." (rujukan yang sama).
Sumber: Etika Islam; Penerbit Al-Huda, Jakarta; Juli 2003/ Jumadil Ula 1424 H.; Hal. 231- 239.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email