Pesan Rahbar

Home » » Tadwin Al-Hadits Studi Historis Tentang

Tadwin Al-Hadits Studi Historis Tentang

Written By Unknown on Thursday, 22 September 2016 | 23:04:00


Oleh: Rasul Ja’farian

Sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya bahwa tidaklah mungkin membuat Nabi bertanggung jawab atas kegagalan penulisan hadis; karena pendirian begini akan melahirkan pertanyaan yang tak terjawab. Telah disebutkan pula bahwa sebagian Khalifah turut campur secara langsung dalam masalah ini dan melarang penulisan hadis. Di sini, sesudah menyebutkan beberapa alasan yang diberikan oleh mereka dalam mengambil langkah demikian, kita akan mencoba memperoleh penjelasannya.

Setelah mengkaji sejumlah alasan yang diberikan dalam persoalan ini, kita akan menyebutkan apa yang kami anggap sebagai alasan utama di balik pelarangan tersebut, beserta bukti yang cukup untuk mendukung pendapat kita.



Alasan-Alasan yang Diberikan terhadap Pelarangan

1. Alasan pertama yang diajukan adalah kekhawatiran kalau-kalau orang tidak dapat membedakan antara Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga mengakibatkan perubahan (tahrif) ayat-ayat Al-Quran " suatu kesalahan yang tak dapat dimaafkan.[1]

Argumen ini, yang tak dapat diterima, telah ditolak oleh Ustadz Aba Riyyah dengan kata-kata berikut ini:

Alasan demikian mungkin tampak meyakinkan bagi orang awam, tetapi tidak dapat diterima oleh para peneliti. Sebab, itu berarti bahwa keindahan bahasa Al-Quran setingkat dengan hadis.[2]

Apa yang dia maksudkan adalah bila mukjizat keindahan bahasa Al-Quran tampak jelas pada setiap orang, maka sudah tentu mereka tidak akan mencampur-baurkan sunnah-sunnah Nabi " yang tingkat keindahan bahasanya lebih rendah ketimbang Al-Quran " dengan ayat-ayat dari Kitab Suci. Pandangan seperti ini, sesungguhnya, berarti pengingkaran terhadap sifat keistimewaan (mukjizat) Al-Quran.

Lagi pula, meyakini adanya kemungkinan bercampuraduknya Al-Quran dengan hadis berarti meyakini adanya kemungkinan pengurangan ayat dalam Al-Quran. Keyakinan ini tidak dibenarkan karena keaslian Al-Quran sudah dijamin oleh Allah SWT:

Sungguh, telah Kami turunkan Al-Quran (pemberi peringatan). Dan Kami jualah yang memeliharanya. (QS 15: 9)

Selanjutnya dapat ditunjukkan bahwa sekelompok Sahabat menghapal seluruh Al-Quran di dalam hatinya, dan melihat kesetiaan dan perhatian mereka yang begitu besar kepada Kitab itu, adalah tidak beralasan terdapat kekhawatiran bercampuraduknya Al-Quran dan hadis. Yang paling jauh dapat dikatakan adalah bahwa ancaman tersebut baru berupa suatu kemungkinan, yang tidak dapat dianggap sama beratnya dengan bahaya yang timbul akibat tidak adanya penulisan hadis " yaitu bahaya yang menjadi nyata sejak dini. Sejak awal, terdapat ketidaksepakatan di antara para Sahabat tentang beberapa hukum Syari'ah, dan sudah nyata bahwa jika sunnah-sunnah Nabi tidak dicatat, perbedaan ini akan meluas sehingga menjadi amat serius bersamaan dengan berjalannya waktu, dan memang demikianlah keadaannya. Di antara ancaman yang masih jauh dan bahaya yang sudah pasti, sudah seharusnya mereka lebih mementingkan yang terakhir, apalagi jika ancaman yang masih jauh itu tidak berdasar sama sekali.

2. Penjelasan kedua yang diberikan oleh Aba Riyyah, yang menerima bahwa pelarangan hadis datang dari Nabi, adalah bahwa Nabi bermaksud menjaga perintah-perintah (hukum-hukum) Syari'ah dalam batas-batas yang ketat dan menentang penyebarluasan doktrin-doktrin keagamaan (adillah). Hal ini, menurutnya, merupakan alasan yang juga mendasari contoh-contoh di mana Nabi tidak menyukai pertanyaan- pertanyaan yang diajukan kepadanya. Alasan yang sama juga benar dalam hal sunnah-sunnah yang berlaku pada suatu masa tertentu, yang setelah itu tidak diizinkan lagi menjalankannya.[3]

Kita memandang argumentasi ini amat lemah, karena tidak mungkin menerima pernyataan bahwa Nabi menentang perkembangan sunnah-sunnah penting yang sah yang menjadi dasar sistem hukum Syari'ah. Bagaimana kita dapat menerimanya, jika Al-Quran dan Sunnah justru sama-sama diharapkan dapat menjawab keanekaragaman kebutuhan hukum hingga Hari Pengadilan, dan memberikan bimbingan abadi kepada manusia? Lagi pula, kita harus menunjukkan sekali lagi bahwa kita tidak percaya bahwa Nabi pernah menyatakan larangan semacam itu, yakni menulis hadis.

3. Al-'Awza'i, dengan menawarkan penjelasan lain, menulis: "Ilmu hadis adalah sesuatu yang mulia apabila disampaikan secara lisan, dan senantiasa menjaga orang untuk turut-serta mengingat kembali sunnah yang satu dengan sunnah yang lainnya. Tetapi, bila dituliskan, maka sinarnya akan memudar dan akan jatuh kepada tangan-tangan jahil."[4]

Kita dapat menunjukkan bahwa meskipun penyampaian lisan menguntungkan, yakni secara tetap mengingatkan orang akan kandungan sunnah, namun kegunaannya sebagai alat yang tepat dan alat satu-satunya akan diragukan. Sebenarnya, keuntungan seperti ini datang dari Al-'Awza'i sendiri, dan adalah meragukan apakah yang menjadi alasannya itu dipertimbangkan oleh mereka yang melarang penulisan hadis.

4. Ibn 'Abdul-Birr, sambil menawarkan pemaparan yang serupa terhadap masalah di atas, menulis:

Penulisan hadis dilarang supaya setiap orang tidak harus mengandalkan semata-mata pada apa yang telah mereka tulis, tanpa menghapalnya. Sebab jika demikian halnya, kebiasaan menghapal hadis akan hilang.[5]

Alasan ini pun tidak dapat diterima, sebab bahaya akibat tidak dituliskannya hadis terlalu serius untuk disamakan dengan keuntungan semacam itu. Peradaban dan kebudayaan manusia telah dipelihara melalui tulisan dan tidak oleh hapalan, meskipun penghapalan hadis itu sendiri merupakan hal yang baik dan latihan penting.

5. Alasan lain yang diberikan dalam soal ini ialah bahwa bila hadis telah dituliskan, orang akan mengabaikan Al-Quran karena memberikan seluruh perhatiannya kepada hadis.[6]

Argumen ini pun tak dapat dipertahankan, sebab hal yang sama dapat terjadi terhadap Al-Quran dan hadis yang disarnpaikan secara lisan. Memang benar bahwa pernatian eksklusif terhadap hadis merupakan penyimpangan yang, bagi mereka yang memiliki kecenderungan ke sana, harus diperingatkan dan diminta untuk memberikan perhatian yang sama terhadap Al-Quran. Tetapi larangan terhadap penulisan hadis, yang menimbulkan kerusakan yang sulit diperbaiki pada kebudayaan Islam, bukanlah cara yang tepat untuk mendapatkan hasil semacam itu.

6. Pengarang Abjad Al-'Ulum menulis:

Para Sahabat dan Tabi'in, karena kemurnian iman dan berkah kedekatan mereka dengan zaman Nabi, dan karena tidak adanya kesepakatan dan kesempatan untuk merujuk kepada orang-orang yang dapat dipercaya, tidak memiliki kebutuhan untuk menulis hadis dan hukum. Tetapi tatkala Islam menyebar, mereka mulai menulis dan menghimpun hadis, fiqih dan tafsir Al-Quran.[7]

Apa yang dinyatakan oleh pengarang ini bukanlah alasan bagi penentangan sebagian Sahabat terhadap penulisan hadis, melainkan hanyalah sekadar penjelasan dan juga merupakan alasan yang tidak benar mengapa hadis tidak ditulis; sebab alasan sebenarnya adalah penentangan terhadap penulisan hadis dan bukan tidak adanya kebutuhan untuk melakukan hal itu. Lagi pula penyebarluasan Islam terjadi pada dua puluh tahun pertama, atau paling jauh pada lima puluh tahun setelah wafatnya Nabi, pada saat pengumpulan dan penulisan hadis tertunda hingga bagian akhir abad ke-2 H/8 M. Di samping dua alasan yang disebutkan tadi, sudah diketahui bahwa pemalsuan sesuatu yang berasal dan Nabi sudah dimulai sejak masa hidupnya, dan diduga secara alami pemalsuan itu akan leoih banyak lagi karena tidak dituliskannya hadis. Dan juga merupakan kewajiban para Sahabat yang saling berbeda di antara mereka sendiri tentang masalah-masalah hukum untuk menghentikan berkembangnya pemalsuan dan perbedaan yang lebih jauh, dengan cara menulis hadis.

7. Alasan sebenarnya yang ada di balik pelarangan menulis hadis, saya yakin, salah satunya adalah apa yang sudah dikedepankan oleh sarjana kontemporer Sayyid Ja'far Murtadha yang ditunjang oleh bukti-bukti yang tersedia. Dia menyatakan:
Ada dua aliran di antara penganut Yahudi, di mana yang satu meyakini sunnah tertulis, sedangkan yang lain adalah yang tidak meyakini bahwa tak ada yang patut ditulis kecuali Taurat. Kelompok yang kedua ini disebut sebagai Qurra' (para pembaca). Hal ini sudah ditunjukkan oleh Dhadha, dalam bukunya tentang pemikiran keagamaan Yahudi.
Ka'ab Al-'Ahbar, seorang Yahudi yang masuk Islam, adalah orang yang termasuk penganut aliran kedua ini. Sekali waktu dia ditanya "Umar tentang puisi; di antara hal-hal yang dia katakan mengenai bangsa Arab adalah adanya sekelompok turunan Isma'il yang membawa Ajaran (Kitab Suci) hanya dalam hati dan berbicara lewat kebijaksanaan. . . .
Boleh jadi Khalifah mengambil ide ini (yakni tidak melakukan penulisan apa pun kecuali Al-Quran) dari Ka'ab Al-'Ahbar " seseorang yang sangat dekat dengan Khalifah Umar dan yang pendapat-pendapatnya dihormatinya.

Lagi pula larangan penulisan hadis juga sejalan dengan kebijaksanaan pemerintahannya, karena dengan begitu Khalifah Umar mampu mengekang kritikan dan mengkonsolidasikan kekuasaan yang dimilikinya lebih jauh. Langkah semacam ini mengakibatkan terjadinya penghapusan sebagian hadis yang berkaitan dengan klaim dan kelebihan lawan serta memungkinkan untuk memperkuat posisinya.[8]

Pengarang, sebagaimana yang ditunjukkan dalam pernyataannya, mempertimbangkan kemungkinan adanya sejumlah alasan yang berada di batik larangan penulisan hadis, di mana yang paling utama adalah adanya pengaruh pendapat Ahl Al-Kitab kepada Khalifah Kedua, yang agaknya, suka membaca kitab-kitab mereka sejak dia mulai masuk Islam.

Yang dapat memastikan adanya pengaruh ini ialah riwayat dari 'Urwah ibn Al-Zubayr. Menurut riwayat itu, Khalifah pertama kali bermaksud menghimpun Sunan, dan bahkan, dia berembuk dengan Sahabat-sahabat yang lain tentang rencana itu.
Mereka menyetujuinya, tetapi Khalifah mengubah pikirannya dengan alasan bahwa Ahl Al-Kitab telah mengabaikan Kitab Suci mereka karena beberapa kitab lain yang telah mereka tulis dan karenanya dia tidak mengizinkan satu kejadian serupa terhadap Al-Quran.[9]

Adalah sangat mungkin bahwa argumen Khalifah ini diilhami oleh Ka'ab Al-'Ahbar, yang merupakan anggota sekte Qurra' yang menolak penulisan apa pun selain Taurat. Ka'ab memiliki rencana jahat terhadap Islam; meskipun Khalifah mungkin tidak memiliki niat yang sama, dan sayang sekali dia gagal mengetahui kebencian Ka'ab.

Argumen "Umar menentang penulisan hadis selanjutnya didengungkan oleh yang lain. Abu Burdah meriwayatkan dari bapaknya yang menyatakan:
"Bani Israil menulis kitab-kitab dan mengabaikan Kitab Suci."[10]

Hakam ibn 'Athiyyah meriwayatkan dari Muhammad (mungkin, Muhammad ibn Sirin) bahwa dia pernah berkata: "Sudah diriwayatkan bahwa Bani Israil terseret dalam kesesatan karena kitab-kitab yang mereka warisi dari pendahulu mereka."[11]

Sementara itu, ulama lain menulis:
Salah satu pengaruh besar dari orang-orang Yahudi kepada kaum Muslim ialah kebiasaan belakangan ini dalam menahan diri dari menulis hadis. Sudah tertulis di dalam Talmud, "Kalian tak mem- punyai hak untuk menulis sesuatu yang kalian sampaikan secara lisan."Adalah tidak mustahil kalau kaum Muslim dalam hal ini terilhami Ka'ab Al-'Ahbar, meskipun selanjutnya mereka kemas bentuk ini dalam Sunnah Kenabian. Buktinya adalah pernyataan Khalifah yang dibuatnya setelah membakar sunnah-sunnah yang telah dikumpulkan: "Matsnat (atau Misynah) seperti Matsnat Ahli Kitab."[12] 
Kata-kata ini menunjukkan kesetiaannya terhadap adat-istiadat orang Yahudi.

Abu 'Ubayd, dalam Gharib Al-Hadits-nya, menulis:
Saya bertanya kepada para ulama yang terpelajar mengenai Taurat dan Injil tentang kata Matsnat. Ia berkata: "Para rabbi dan dokter Bani Israil menulis kitab-kitab tertentu sesudah Musa, selain dari Kitab Suci, yang mereka namakan "Matsnat'."

Jelasnya, Khalifah relah mengikuti garis orang-orang Yahudi yang berada dalam tempat berlawanan dengan apa yang disebutkan di sini. Lebih lanjut Abu 'Ubayd berkata:

Setelah uraian di atas, saya memahami makna riwayah ini. Inilah yang menjadi alasan mengapa 'Abdullah ibn 'Amr ibn Al-'Ash menolak untuk mengambil apa saja dari Ahl Al-Kitab, meskipun ia memiliki beberapa kitab yang ia peroleh pada saat perang Yarmuk (dari sinagog-sinagog Yahudi).

Abu 'Ubayd menambahkan:
Tentu saja, larangan mengenai menulis dan menyampaikan tidak berkaitan dengan hadis dan sunnah Nabi, sebab bagaimana hal itu dapat dilarang jika kebanyakan Sahabat sendiri meriwayatkan hadis-hadis.[13]

Hal ini menunjukkan bahwa Khalifah kedua melarang sunnah dan hadis nabi sebab beliau menganggap bahwa penulisan semacam itu sama halnya dengan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para sarjana Yahudi.
Dengan demikian bukannya melakukan pemeriksaan terhadap pencampuran Isra'iliyyat, ia bahkan dipengaruhi oleh kisah-kisah ini" satu pengaruh yang menimbulkan kehancuran Sunnah Nabi.
Haruslah juga ditambahkan bahwa 'Abdullah ibn 'Amr sendiri adalah seorang penganjur Isra'iliyyat, yang sama sekali tidak menolak riwayat-riwayat itu. Dalam kaitan pengetahuannya tentang Taurat-lah orang memintanya untuk menggambarkan watak-watak Nabi.[14]

Menurut pandangan kita, apa yang terjadi, adalah begini: Hadis lazimnya tidak ditulis hingga akhir abad ke-1 H/7 M, walaupun sebagian Sahabat mendukung penulisannya dan sebagian .memiliki beberapa catatan tertentu. Tulisan yang terpencar-pencar muncul pada permulaan abad ke-2 H/8 M, tetapi kompilasi yang menyeluruh baru dimulai pada akhir abad ke-2/8 M dan harnpir seluruhnya pada abad ke-3 H/9 M.

Sesuai dengan itu, keenam Shihah bertarikhkan abad ke-3 H/9 M. Walaupun mungkin saja sebagian penyusun mempunyai himpunan yang acak karena pembuangan sebagian, terbukti bahwa kebanyakan sunnah mereka berasal dari sunnah lisan.

Bukti akan hal ini adalah terkecuali untuk sebagian dari karya-karya yang pendek " yang tidak dapat dibandingkan dengan kumpulan besar" dengan adanya tanda kecil mengenai peristiwa penulisan pada abad ke-2 H/8 M. Dengan demikian, dapatlah dinyatakan bahwa hadis tidak ditulis dalam periode waktu yang panjang dan kebanyakan disampaikan secara lisan selama periode ltu.



Akibat-Akibat Tidak Ditulisnya Hadis

Tidak adanya sunnah yang ditulis dalam penyampaian hadis menimbulkan sejumlah akibat yang sangat membahayakan. Di sini akan kita jelaskan secara singkat beberapa akibat itu.


1. Hilangnya Sejumlah Besar Hadis (yang Penting)

Ini merupakan akibat alami karena tidak dilakukannya penulisan hadis. Sebab, meskipun hapalan menyebabkan terjaganya sejumlah besar sunnah, tetapi sekaligus menimbulkan banyak kehilangan, karena hapalan merupakan cara pemeliharaan yang tidak sempurna. Pengakuan para ahli hadis dalam perkara ini merupakan bukti paling baik mengenai hal ini.

Ibn Qulabah menyatakan: "Kitab dan tuiisan lebih baik bagi kita daripada kehilangan hapalan dan lupa."[15]
Yahya ibn Sa'id berkata: "Saya menemukan para ulama membenci penulisan hadis. Seandainya kita pernah menuliskannya tentu kita akan memiliki sejumlah besar pengetahuan ('ilm) dari Sa'id ibn Musayyab dan pendapatnya."[16]
Yahya di sini menyesalkan hilangnya hadis yang diriwayatkan oleh Sa'id dan berikut pendapatnya.

"Urwah ibn Al-Zubayr menulis: "Saya menulis sejumlah besar hadis tetapi kemudian terhapus. Sekarang seandainya aku dapat memperolehnya kembali dalam keadaan utuh, akan aku hadiahkan semua kekayaan dan anak-anakku demi mereka."[17]
Hisyam ibn 'Urwah meriwayatkan: "Ayahku membakar kitab-kitab yang ia miliki hingga masa Harrah (masa ketika pada tahun 63/283 tentara Syria menggempur Madinah dan membinasakan kota itu); lalu ia berkata kepadaku, "Seandainya aku dapat menjaga kitab-kitab itu, hal itu lebih baik bagiku daripada kekayaan dan anak-anak yang aku miliki sekarang'."[18]
Yahya ibn Sa'id juga telah menyatakan sesuatu yang serupa.[19]

Beberapa pernyataan ini menunjukkan penyesalan sebagian orang yang memusnahkan kitab-kitab mereka karena alasan tertentu.

Mu'ammar berkata: "Saya meriwayatkan beberapa sunnah kepada Yahya ibn Katsir. Ia meminta saya untuk menuliskan sunnah baginya mengenai sesuatu. Saya katakan kepadanya bahwa kami membenci penulisan 'ilm. Ia berkata kepadaku: "Tulislah, jika tidak, kamu pasti akan kehilangan sunnah'."[20]

Al-Manshur berkata: "Seandainya saya menulis hadis-hadis . . . karena sekarang saya sudah lupa sebanyak yang saya ingat. Oh . . . seandainya saya menulis! Sekarang saya cuma ingat setengah dari apa yang saya dengar."[21]

Ibn Rusyd menulis: "Seandainya para ulama tidak menyimpan pengetahuan melalui tulisan dan seandainya mereka tidak menetapkan kejujuran dari ketidakjujuran, seluruh pengetahuan akan sirna dan tidak akan tersisa sedikit pun jejak Al-Din (agama *penerj.). Semoga Allah memberi mereka ganjaran yang terbaik." [22]

Permulaan sunnah tertulis, meskipun tertunda, mengalami perkembangan menggembirakan, terutama ketika penulisan itu diikuti dengan sunnah lisan yang mencoba menjaga kejujuran sebagaimana ketidakjujuran (penyampai *peny.).

Rasyid Ridha menulis: "Kita memastikan bahwa kita lupa dan kehilangan sejumlah besar hadis Nabi, karena para ulama tidak menuliskan hadis yang didengarnya. Tetapi yang hilang itu tidak termasuk penafsiran Al-Quran, juga tidak berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan."[23]

Setelah mengakui fakta hilangnya banyak hadis, ia mencoba mengecilkan artinya dengan rekaan bahwa bagian yang hilang itu tidak mengandung baik tafsir Al-Quran atau masalah-masalah keagamaan. Pandangan semacam ini tidak dapat diterima; mungkinkah sesuatu itu menjadi hadis Nabi tetapi tidak relevan dengan agama?
Dalam beberapa hal, pernyataannya menguatkan kenyataan bahwa sebagian mazhab Islam tidak memiliki seluruh ajaran Nabi, yang dipelihara oleh Ahl Al-Bayt-nya.

Ibn 'Abdul-Birr menulis, "Sekarang tak seorang pun menentang penulisan hadis. Jika hadis tidak boleh ditulis, maka sejumlah besar ilmu akan hilang."[24]

"Umar ibn 'Abdul-'Aziz berkata: "Ketika saya meninggalkan Madinah, saya adalah orang yang paling berpengetahuan, tetapi sesampainya di Syria kemudian saya lupa yang sudah saya ketahui."[25]

Yazid ibn Haru berkata: "Saya menghapal tiga ribu hadis dari Yahyā ibn Sa'id , tapi setengahnya saya lupa lantaran jatuh sakit."[26]

Ibn Rāhewayh menulis: "Saya hapal tujuh ribu hadis dalam hati dan dapat mengingat seribu di antaranya. Saya tak akan mendengar apa pun tanpa menghapalnya. Tetapi setelah sekian lama, saya pun melupakannya."[27]

Al-Sya'bi berkata: "Hingga sekarang saya belum menuliskan satu halaman pun tentang hadis. Sampai sekarang, tak seorang pun meriwayatkan hadis kepadaku kecuali saya hapalkan, dan saya tak suka mereka mengucapkannya dua kali kepadaku. Tetapi saya lupa sejumlah besar pengetahuan ('ilm), sampai sejauh seseorang yang mengetahui hal itu menjadi ulama sesuai haknya."[28]

Ishaq ibn Al-Manshur menulis: "Saya bertanya kepada Ahmad ibn Hambal tentang siapa-siapa yang membenci penulisan 'ilm. Ia berkata bahwa sebagian membencinya sebagian lagi menganjurkannya.
Saya berkata bahwa seandainya ilmu tidak ditulis, maka ia akan menghilang. Ia sependapat, dengan berkata: "Jika tidak ada penulisan 'ilm, lalu apa yang kita miliki sekarang'?"[29]

Ahmad ibn Hambal berkata: "Sebagian diriwayatkan kepada kita lewat hapalan dan sebagian lagi lewat kitab-kitab. Hadis yang dituturkan dari kitab-kitab itu lebih tepat."[30]
Ahmad sendiri tidak pernah menuturkan sunnah kecuali dari kitab.[31]

Ibn Shalih menulis, "Seandainya hadis tidak dituliskan, seluruh 'ilm akan menghilang pada masa-masa belakangan."[32]

Berbagi pernyataan ini kiranya cukup untuk mendukung pandangan kita.


2. Penyebaran Kebohongan

Akibat buruk lain dari tiadanya penulisan hadis adalah berkembangnya hadis-hadis palsu. Tidaklah mungkin memelihara keakuratan hadis yang disampaikan secara lisan. Pada permulaan, sebagaimana sudah diketahui, bahkan perhatian tidak diberikan terhadap sanad karena suasana saling percaya yang telah berlaku. Dewasa ini para ulama hadis, untuk menghindari akibat-akibat dari kenyataan ini, menyatakan bahwa pemalsuan hadis tidak terjadi dalam masa para Sahabat. Tetapi penelitian mutakhir telah membuktikan bahwa sebagian orang, semacam Abu Hurayrah, ternyata memalsukan sejumlah besar sunnah.[33]
Belakangan, tentu saja banyak usaha dilakukan guna memisahkan sunnah-sunnah yang sahih dan tidak sahih, tetapi hal ini terjadi dalam masa ketika sejumlah hadis muncul dalam masyarakat yang sibuk dalam persoalan politik dan ideologi, ketika bahkan kriteria mengenai yang dapat dipercaya (tsiqah) dapat ditafsirkan semaunya. Jelaslah, seberapa jauh usaha ini dapat menghasilkan suatu penilaian yeg benar tentang hadis dan bentuk kerusakan macam apa yang dapat terjadi dengannya.

Menulis tentang topik ini, Aba Riyyah menyatakan, "Tatkala hadis-hadis Nabi tetap tidak tertulis dan para Sahabat tidak mengambil langkah untuk menyusunnya, pintu periwayatan pun terbuka bagi kebenaran maupun penyimpangan. Orang meriwayatkan apa pun yang mereka inginkan tanpa memiliki rasa takut terhadap siapa pun."[34]

Pengarang lain menulis, "Salah satu sebab munculnya para pembuat hadis palsu ialah karena hadis tidak ditulis dan para Sahabat hanya puas dengan hapalan dan periwayatannya secara lisan."[35]

Aba Al-'Abbas Al-Hanbali (w. 716/1316) menulis dalam konteks ini, sebagai berikut:
Salah satu sebab perbedaan pendapat di antara ulama adalah adanya ayat-ayat dan hadis-hadis yang saling bertentangan.
Sebagian berpikir bahwa Khalifah "Umar ibn Al-Khaththab bertanggung jawab atas perbedaan itu, sebab para Sahabat meminta izinnya untuk menulis hadis tetapi ia melarangnya, meskipun mengetahui bahwa Nabi pernah menitahkan agar khutbah yang disampaikannya pada saat haji terakhir dituliskan untuk Aba Syat, dan beliau berkata: "Jagalah ilmu lewat penulisan."
Seandainya para Sahabat menuliskan apa-apa yang mereka dengar dari Nabi, sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu mata rantai (dalam mata rantai penyampaian) antara Nabi dan (generasi-generasi penerus) ummah.[36]

Menarik untuk dicatat bahwa Abu Al-'Abbas telah dituduh rafdh dan tasyayyu' [37] karena pernyataan-pernyataan tersebut di atas.

Abu Riyyah dalam pernyataannya yang lain, di mana ia menolak keyakinan bahwa Nabi sendiri yang memaksakan larangan penulisan hadis, menyatakan:
Benarkah Nabi mengabaikan setengah dari apa yang diwahyukan kepadanya, yang seorang mengingat, yang lain lupa dan yang lain menambahkan sesuatu pada apa yang tidak tertulis . . .?
Di manakah perhatian yang diberikan oleh para Sahabat, seperti dalam hal memperlakukan Al-Quran, dan mengapa mereka tidak menulis sebagaimana mereka menulis Al-Quran?
Kelalaian mereka mengakibatkan setengah wahyu tidak tertulis, dan semua yang melalaikan itu berdosa dalam perkara ini.[38]

Ibrahim ibn Sa'ad menyatakan bahwa penulisan hadis dimulai ketika pembuatan sunnah palsu menjadi semakin nyata. Ia menyatakan: "Seandainya karena bukan hadis-hadis, yang datang kepada kita dan timur, kita tidak akan pernah menuliskan sebuah hadis pun; juga tidak akan membolehkan penulisan hadis."[39]

Pernyataan yang serupa datang dari Ibn Syihab Al-Zuhri. Sayang sekali hadis kemudian ditulis tatkala sudah sangat terlambat. Betapa lamanya keterlambatan ini dapat disirnpulkan dari kenyataan bahwa Shahih Al-Bukhari membuang tuiuh ratus ribu hadis dan Abu Hanifah hanya menerima seratus lima puluh dari sejumlah satu juta hadis.


3. Periwayatan Makna

Salah satu akibat tiadanya penulisan hadis ialah bahwa kata-kata hadis yang sejati biasanya terlupakan dan periwayatan berdasarkan maknanya menjadi kebiasaan umum. Wajar saja bila seseorang yang pernah mendengar hadis duapuluh tahun yang lalu hanya mengingat maknanya saja pada waktu meriwayatkannya. Penambahan pengurangan sering pula terjadi dalam perkara ini. Oleh karena itu, seandainya dicatat sejak permulaan, kemungkinan menemui risiko demikian lebih kecil.

"Imran ibn Al-Husayn berkata:
Demi Tuhan, saya bermaksud meriwayatkan hadis Nabi, tetapi yang mengherankanku ialah bahwa aku menyadari bahwa mereka mendengar sebagaimana aku meriwayatkan hadis dalam bentuknya yang sudah tidak memiliki keaslian. Tetapi saya katakan kepada Anda bahwa mereka membuat kekeliruan dalam periwayatan hadis walaupun secara tidak sengaja.[40]

Sufyan berkata:
Saya mendengar lewat rantai periwayatan tertentu dari Bara' ibn 'Awzab dari Nabi bahwa "Saya melihat Nabi mengangkat dua tangannya ketika memulai shalat". Tatkala saya pergi ke Kufah, saya amati bahwa si perawi, Ibn Aba Layla, menambahkan ucapan "lalu beliau tak mengulanginya lagi" kepadanya.
Agaknya, daya ingat Aba Layla lebih bagus selagi ia masih di Makkah. Saya katakan bahwa ingatannya mengalami perubahan.[41]

Ibn Al-Jawzi, dalam himpunan biografi para perawi yang hadis- hadisnya mengundang kepalsuan, menulis:

Jenis yang pertama adalali mereka yang saleh, namun secara berangsur-angsur mengabaikan hapalannya sebaik mereka mengklasifikasikan hadis berdasarkan hapalannya setelah kitab-kitab mereka hilang, terbakar atau terkubur. Orang seperti ini kadangkala meriwayatkan hadis mursal sebagai marfu', hadis mawquf sebagai musnad, dan kadangkala menyisipkan satu hadis kepada yang lainnya.[42]


4. Perbedaan di Antara Sesama Muslim

Akibat lain tiadanya penulisan hadis adalah munculnya keragaman dan perbedaan pendapat mengenai hukum di antara sesama Muslim, sampai begitu jauh perbedaan fatwa dan keyakinan yang berbeda "berdasarkan hadis yang berbeda" telah menjadi gambaran umum di dunia Muslim.

Akibat penaklukan yang pertama, Islam tersebar ke wilayah-wilayah baru. Para Sahabat dan Tabi'in yang menyebar ke berbagai arah, masing-masing hanya membawa bagian hadis Nabi yang ia dengar dari Nabi atau Sahabatnya. Dari Madinah, sebagian di antara mereka pergi ke Makkah dan Yaman, sebagian lagi ke Syria dan Palestina, dan sebagian lagi menetap di kota-kota sekitar Irak, seperti Kufah dan Bashrah.

Akibat penyebaran ini ialah masing-masing di antara mereka mengadopsi pendekatan hukum yang sesuai dengan hadis-hadis yang mereka miliki. Tanpa mengetahui hadis-hadis yang dimiliki yang lain, masing-masing mereka mengikuti fatwa yang beragam dan berbeda. Ketika perbedaan ini mulai disadari pada masa Tabi'in, mereka mulai melakukan perjalanan ke berbagai kota, dan dari sinilah bagaimana "perjalanan dalam mencari hadis" (al-rihlah li thalah al-hadits) mulai dilembagakan.

Kebanyakan dari perjalanan ini terjadi selarna abad ke-2 H/8 M dan ke-3 H/9 M, dan bahkan berikutnya. Alasan sebenarnya yang mendasari mereka adalah tersebarnya hadis di setiap kota yang berlainan dan para ulama yang berpindah-pindah tempat berusaha keras membuat keseragaman dan homogenitas di antara hadis-hadis dari negeri-negeri yang berbeda itu; tetapi terkadang yang terjadi justru adalah sebuah hadis diriwayatkan secara berbeda di tempat yang berbeda pula" sesuatu yang sudah kita kutip seperti contoh di atas.

Kita berpendapat bahwa 'Abdullah ibn Mubarak melakukan perjalanan ke Yaman, Mesir, Syria dan Kufah dengan maksud menghimpun Hadis.[43]

Abu Hatim Al-Razi menulis:
Perjalanan pertamaku dalam mencari hadis menghabiskan waktu UIjuh tahun. Saya hitung jarak yang telah saya tempuh dengan berjalan kaki berjumlah kira-kira seribu parasang. [44]

Saya meneruskan niat dengan cara ini dan akan meninggalkannya jika jaraknya mencapai seribu parasang.

. . . Seringkali saya melancong dari Makkah ke Madinah dan dari Bahrain ke Mesir, dari Mesir ke Ramlah, dari Ramlah ke Bayt Al-Maqdis; dan dari sana ke 'Asqalan, Thabariyyah, Damaskus, Homs . . .[45]

Ibn Musayyab berkata: "Saya akan berjalan dari pagi hingga malam guna mencari hadis."[46]

Perjalanan ini begitu luas sehingga Al-Khatib menghimpun satu karya dengan topik berjudul Al-Rihlah fi Thalah Al-Hadits dan Al-Rāmhurmuzī menyediakan satu bab dari bukunya, Al-Muhaddits Al-Fādhil, untuk topik ini.[47]

Perjalanan dalam pencarian hadis ini menjadi demikian penting sehingga Yahya ibn Mu'in pernah berkata, "Ada empat macam orang yang seseorang tidak dapat mengharapkan dapat mencapai kedewasaannya. . . . Di antara mereka adalah orang yang tetap tinggal di kotanya, menulis hadis di sana, dan tidak melakukan perjalanan ke kota lain untuk mencari hadis." [48]

Masalah-masalah demikian ini, sebagai akibat alami dari tidak ditulisnya hadis, tidak terjadi dalam hal Al-Quran. Seandainya hadis Nabi dicatat dari permulaan, dengan kerja sama para Sahabat, semua masalah hukum "dan bahkan mazhab doktrinal maupun politik" yang muncul belakangan tidak akan pernah ada. Masing-masing mazhab ini mendasarkan keyakinannya pada hadis. Tetapi sejauh mana hadis-hadis yang itu otentik? Sampai sejauh mana mereka dapat diterima oleh yang lain? Sejauh mana yang lain dapat menerima hadis mereka dalam kasus di mana periwayatan hadis didasarkan pada makna? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.

Abu Zuhrah menulis:
Ketika "Umar wafat dan para Sahabat pergi ke kota-kota yang berbeda, masing-masing di antara mereka mendirikan mazhab hukum bagi dirinya sendiri dan masing-masing di antara mereka mengikuti caranya sendiri-sendiri. Ketika masa Tabi'in tiba, setiap kota memiliki mazhab hukumnya sendiri-sendiri yang pandangan-pandangannya satu dengan yang lainnya sama jauhnya dengan kota-kota mereka satu sama lain.[49]

Al-Manshur, sekali waktu, berkata kepada Malik ibn Anas tentang niatnya untuk menjadikan Muwaththa'-nya Malik sebagai pegangan resmi dengan membuat salinannya bagi tiap kota dan menyuruh orang-orangnya mengajarkan hanya kandungannya saja dan menahan diri dari merujuk kepada yang lain (sebagai otoritas hukum).
Malik berkata kepadanya: "Wahai Amir Al-Mukminin, jangan lakukan hal itu. Orang-orang sudah memiliki keyakinannya sendiri, pernah mendengar dan meriwayatkan sebagian hadis, dan masing-masing mereka mempercayai apa yang mereka miliki. Tinggalkanlah rakyat dan para penduduk kota sendirian dengan apa yang telah mereka pilih sendiri."[50]


5. Penyebarluasan Ra'yu

Akibat lain akibat tidak ditulisnya hadis ialah munculnya dan meratanya penggunaan ra'yu (penilaian subjektif) di antara para ahli hukum Muslim, sebab masing-masing di antara mereka menerima hanya sebagian hadis, banyak di antaranya hilang atau tidak dapat diperoleh.

Orang-orang mendesak mereka untuk memberikan fatwa padahal mereka tidak memiliki cukup hadis karena terbuang. Jadi, mereka harus mengambil jalan lain dengan ra'yu untuk menjawab pertanyaan mereka. Lebih jauh, sebagian di antara mereka adalah para tokoh ra'yu, akibat kurang yakinnya mereka terhadap hadis, yang merupakan hal yang alami akibat tiadanya hadis sahih yang tertulis. Suatu saat, di satu kota hukm (hukum) didasarkan pada hadis yang tersedia, sementara di tempat lain hukm didasarkan pada ra'yu. Malangnya, setelah beberapa lama, penilaian-penilaian subjektif itu dengan sendirinya dianggap memiliki otoritas hukum bagi yang lainnya yang juga tidak memiliki cukup hadis; mereka lebih suka bertindak sesuai dengan ra'yu para pendahulu mereka daripada merumuskan ra'yu mereka sendiri. Meratanya penggunaan ra'yu yang meluas di antara Ahl Al-Sunnah disebabkan oleh tidak memadai dan tidak tersedianya hadis, yang pada gilirannya merupakan akibat hilangnya sejumlah besar hadis Nabi.


Larangan Periwayatan Hadis

Telah kita bicarakan di atas bagaimana penulisan hadis dilarang dan apa akibat yang diperolehnya. Di sini diskusi kita berkaitan dengan kenyataan bahwa, sebagaimanil diketengahkan sejarah, para Sahabat tertentu berusaha melarang bahkan periwayatan lisan sekalipun. Bila mereka melarang penulisan hadis berdasarkan dalih untuk menjaga kemurnian Al-Quran, maka mereka melarang periwayatan secara lisan dengan dalih bahwa perhatian masyarakat seharusnya dipusatkan terutama pada Kitab Suci, seolah-olah satu-satunya tujuan utama mereka adalah membuat hadis muncul sebagai sesuatu yang tidak penting, yang tidak berhak mendapat perhatian sedikit pun. Mungkin saja terdapat alasan-alasan politik di belakang sikap ini.

Qurzhah ibn Ka'b berkata:
Kami bermaksud pergi dari Madinah ke Irak. "Umar mengiringi kami hingga melewati kota itu. Beliau berkata kepadaku: "Tahukah kamu mengapa aku harus datang ke sini?"
Kami jawab, "Mungkin Anda akan menyampaikan salam perpisahan kepada kami karena kami adalah para Sahabat Nabi."
Beliau menjawab: "Aku datang ke sini untuk menyampaikan kepada kalian bahwa hendaknya kalian lebih banyak menggunakan Al-Quran dan hendaknya lebih sedikit meriwayatkan hadis Nabi. Sekarang pergilah, aku mitra kalian untuk soal ini."

Qurshah menambahkan dalam riwayat yang lain:
Satu saat saya duduk di antara beberapa orang yang saling mengingat hadis satu sama lain. Aku sadar bahwa aku lebih banyak mengingat hadis ketimbang mereka. Tetapi aku diam saja karena ingat nasihat "Umar .

Dalam riwayat Al-Dzahabi. Qurzhah diriwayatkan berkata:"Ketika mereka meminta aku meriwayatkan hadis, aku bilang kepada mereka bahwa "Umar telah melarangku berbuat begitu."[51]

Juga diriwayatkan bahwa ketika Khalifah mengirim Abu Musa Al-Asy 'ari ke Irak, beliau berpesan, "Jangan sibukkan mereka dengan hadis-hadis. Aku mitramu dalam perkara ini."[52]

Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa ada usaha untuk menghentikan penyebaran hadis Nabi, tidak saja pada penulisan belaka. Ibn 'Asakir mencatat pernyataan Ibrahim ibn 'Abdul-Rahman ini:
Demi Tuhan, "Umar tidak wafat sebelum mengumpulkan para Sahabat Nabi, seperti Hudzayfah ibn Al-Yaman, Abi Darda', Abu Dzarr, 'Aqabah ibn 'Amar dan . . . Beliau berpesan kepada mereka: "Hadis-hadis apa yang kalian sebarluaskan ke seluruh pelosok?"[53]

Menurut riwayat yang dicatat oleh Al-Thabrānī, Ibrahim ibn "Abdul-Rahmān pernah berkata:
"Umar memanggil "Abdullah ibn Mas'ud, Ibn Mas'ud Al-Anshari dan Abu Darda'. Beliau berpesan, "Hadis-hadis apa saja yang kalian riwayatkan secara meluas dari Nabi?"
Lalu beliau memenjarakan mereka di Madinah hingga saat kematiannya.[54]

Tak pelak lagi orang-orang ini adalah di antara para Sahabat Nabi yang paling terkenal. Ahl Al-Sunnah tidak punya keraguan. tentang kejujuran orang seperti Hudzayfah, Abu Darda' dan Ibn Mas'ud. "Umar sendiri sangat hormat kepada Ibn Mas'ud begitu rupa sehingga ketika mengirimnya ke Irak, ia menulis kepada orang-orang Irak, "Saya telah menukar keuntungan bagimu dengan kerugian padaku, dengan mengirimkan Ibn Mas'ud kepada kalian."[55]

Ibn Hazm telah memberi catatan serius tentang tuduhan terhadap Khalifah ini, tetapi karena tidak berani mengkritik tindakan Khalifah, ia bahkan ragu tentang kesahihan riwayat ini. Ia berkata: "Hadis ini mursal dan diragukan karena Syu'bah dalam sanad-nya. Karena itu sumber ini tidak dapat diambil sebagai bukti."

Tetapi kita tahu bahwa hadis ini telah diriwayatkan dari berbagai sumber. Di samping itu, Ibn Haytsam, dalam Majma' Al-Zaw'id (jilid 1, h. 147), setelah mengklasifikasi hadis tersebut sebagai shahih, menulis: "Pernyataan "Umar ini shahih (otentik) dan sunnah itu sudah diriwayatkan melalui banyak sanad."

Tetapi Ibn Hazm, seraya meneliti hadis ini, berkata:

Riwayat ini terbukti palsu; karena jika kita menerima riwayat ini kita harus mengatakan bahwa pembicaraannya bukan orang Islam, sebab usahanya ditujukan untuk menyembunyikan dan menolak hadis Rasulullah.[56]

Pengarang Al-Sunnah Qabl Al-Tadwin menulis:

Alasan bahwa penahanan (habs) para Sahabat (di Madinah) karena banyaknya mereka meriwayatkan hadis, tidaklah benar. Sebab Abu Hurayrah adalah salah seorang di antara mereka, tetapi ia tidak dipenjarakan (oleh "Umar ).[57]

Pernyataan di atas tidaklah benar, sebab Abu Hurayrah sendiri adalah seorang di antara mereka yang telah dilarang "Umar meriwayatkan hadis Nabi. Abu Hurayrah tunduk kepada perintah "

Umar dan meriwayatkan lebih sedikit hadis selama masa hidup" (oleh "Umar)



Kepustakaan

1. ‘Abdurrazzaq, Mushthafa, Tamhid li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Lujnah Al-Ta’lif wa Al-Tarjumah wa Al-Nasyr, Cairo, 1966.

2. Abu Ishaq Al-Syirazi, Thabaqah Al-Fuqaha’, disunting Ihsan ‘Abbas, Dar Al- Ra’id Al-‘Arabi, Beirut,1970.

3. Abu Nu’aym Al-Ishfahani, Hilyat Al-Awliya’, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1387.

4. – – – –, Akhbar Ishfahani, Leiden, dicetak-ulang 1934 oleh Mu’assasah Al- Nashr, Teheran.

5. Abu Riyyah Mahmud, Adwa’ ‘ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah, Nasyr Al- Bathha’, Qum, edisi ke-5, t.t.

6. Abu ‘Ubaydah, Gharib Al-Hadits, Da’irat Al-Ma’arif Al-‘Utsmaniyyah, Hyderabad,1384.

7. Abu Zuhrah, Muhammad, Tarikh Al-Madzahib Al-Fiqiyyah, Mathba’ah Al- Madani, Cairo, t.t.

8. – – – –, Al-Imam Abu Hanifah, Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, Cairo, t.t.

9. – – – –, Al-Imam Zayd, Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, Cairo, t.t.

10. Al-Ahmadi, Al-Syaikh, Makatib Al-Rasul, Nasyr Ya-Sin, Qum, 1363 H.

11. Al-‘Amili, Al-Syaikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr, Wasa’il Al-Syi’ah, Dar Al-Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut. t.t.

12. Amin, Muhsin, Ta’sis Al-Syi’ah li ‘Ulum Al-Islam, Mansyurat Al-A’lami, Teheran, t.t.

13. Asad Haydar, Al-Imam Al-Shadiq wa Al-Madzahib Al-Arba’ah, Maktabah Amir Al-Mu’minin, Ishfahan, t.t.

14. Al-Askatani, Nizam Al-Hukumah Al-Nabawiyyah, biasanya dikenal dengan Al-Taratib Al-Idariyyah, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, t.t.

15. Al-‘Ayni, ‘Umdat Al-Qari, Dar Al-Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, t.t.

16. Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, disunting oleh Muhammad Baqir Al-Mahmudi, Mu’assasah Al-A’lami, Beirut, 1974.

17. Al-Basawi, Al-Ma’rifah wa Al-Tarikh, Mathba’ah Al-Irsyad, Baghdad, 1975.

18. Al-Bukhari, Adab Al-Mufrad, Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t.

19. Al-Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Behram, Al-Sunan, Dar Al-Fikr, Beirut, 1978.

20. Al-Dzahabi, Tadzkirat Al-Huffazh, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, 1374.

21. – – – –, Mizan Al-I’tidal, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1963.

22. Hajji Khalifah, Kasyf Al-Zhunun, Dar Al-Fikr, Beirut, 1402.

23. Al-Hakim Al-Nisyaburi, Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihayn, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, t.t.

24. Hasyim Ma’ruf Al-Hasani, Dirasah fi Al-Hadits wa Al-Muhadditsin, Dar Al- Ta’aruf li Al-Mathbu’at, Beirut, 1978. e

25. Al-Haskani, Al-Hakim, Syawahid Al-Tanzil li Qawa’id Al-Tafdhil, Mu’assasah Al-A’lami, Beirut, 1393.

26. Al-Haytsami, Majma’ Al-Fawa’id, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, edisi ke-2, 1967.

27. Ibn ‘Abdul-Birr Al-Qurthubi, Jami’ Bayan Al-‘Ilm, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1975 (bab “Pendahuluan”).

28. Ibn ‘Asakir, Tahdzib Tarikh Dimasyq, Dar Al-Masirah, Beirut, 1399.

29. – – – –, Tarjumah Al-Imam Al-Hasan min Tarikh Dimasyq, disunting oleh Al- Mahmudi, Mu’assasah Al-Mahmudi, Beirut, 1978.

30. Ibn Habban, Muhammad, Al-Majruhun, disunting oleh Mahmud Ibrahim Zayid, Dar Al-Wa’f, Halab, 1396. .

31. Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Fath Al-Bari, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, t.t.

32. – – – –, Lisan Al-Mizan, Mu’assasah Al-A’lami, Beirut, 1971.

33. – – – –, Tahdzib Al-Tahdzib, Dar Shadir, Beirut, dicetak-ulang 1325 (edisi India).

34. Ibn Hanbal, Ahmad, Al-Fadha’il.

35. – – – –, Al-Musnad, Dar Shadir, Beirut, t.t.

36. Ibn Al-‘Imad Al-Hanbali, Syadzarat Al-Dzahab fi Akhbar man Dzahab, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, t.t.

37. Ibn Al-Jawzi, Al-Mawdu’ah, Al-Maktabah Al-Salafiyyah, Al-Madinah, 1966.

38. Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Maktabah Al-Ma’arif, Beirut, 1966.

39. Ibn Qutaybah Al-Dinawari, Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits, Dar Al-Jil, Beirut, 1973.

40. – – – –, Al-Ma’arif, Dar Al-Ma’arif, Mesir, t.t.

41. Ibn Sa’ad, Muhammad, Al-Thabaqat Al-Kubra, Dar Shadir, Beirut, t.t.

42. Ja’far Murtadha, Al-Sayyid, Ma Huwa Al-Shahih min Sirah Al-Nabi (S), Qum, 1403

43. Al-Jahiz, Al-Bayan wa Al-Tabyin, Mathba’ah Lujnah Al-Ta’lif wa Al-Tarjumah wa Al-Nasyr, Mesir, 1948.

44. Al-Kandzalwi, Hayat Al-Shahabah, Dar Al-Qalam, Beirut, 1968.

45. Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Al-Sunnah Qabl Al-Tadwin, Dar Al-Fikr, Cairo, 1971.

46. Al-Khatib Al-Baghdadi, Majmu’at Rasa’il fi ‘Ulum Al-Hadits, Al-Maktabah Al- Salafiyyah, Al-Madinah, 1969,

47. – – – –, Al-Kifayah fi ‘Ilm Al-Riwayah, Da’irat Al-Ma’arif Al-Utsmaniyyah, Hyderabad, 1357.

48. – – – –, Taqyid Al-‘Ilm, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, 1974.

49. Al-Khwansari, Rawdah Al-Jannah, Mu’assasah-ye Isma’iliyyah, Qum, 1390.

50. Al-Kulayni, Furu’ Al-Kafi, Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, Teheran, 1378.

51. Al-Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar Al-Anwar, Mu’assasah Al-Wafa’, Beirut, 1983.

52. Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz Al-‘Ummal, Da’irat Al-Ma’arif Al-‘Utsmaniyyah, Hyderabad,1370/1951.

53. Al-Najasyi, Abu Al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Ali ibn Al-‘Abbas, Rijal Al-Najasyi, Al-Dawari, Qum, t.t.

54. Al-Ramhurmuzi, Al-Muhaddits Al-Fadhil, Dar Al-Fikr, Beirut, 1963.

55. Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, t.t.

56. Al-Razi, ‘Ilal Al-Hadits, Maktabah Al-Mutsanna, Baghdad, 1343.

57. – – – –, Al-Jarh wa Al-Ta’dil, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, 1952, dicetak ulang dalam edisi India.

58. Al-Ruhani, Al-Sayyid, Buhuts ma’a Abi Al-Sunnah wa Al-Salafiyyah, Al- Maktabah Al-Islamiyyah, Beirut, 1979,

59. Al-Sam’ani, Al-Imla’ wa Al-Istimla’, Leiden,1952. -

60. Al-San ani, ‘Aburrazaq ibn Humam, Al-Musannaf, Al-Majlis Al-‘Ilmi, India, 1970.

61. Syarafuddin, Al-Sayyid, Al-Muraja’at, Kitabkhaneh Buzurg-e Islami, Teheran, t.t.

62. Syawqi Dhayf, Tarikh Al-Adab Al-‘Arabi, Dar Al-Ma’arif, Mesir, edisi ke-6, t.t.

63, Shubhi Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuh, Mathba’ah Jami’ah Dimasyq, Damaskus, 1379,

64. Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’, Mathba’ah Al-Sa’adah, Mcsir, 1952.

65. – – – –, Tadrib Al-Rawi, Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, Al-Madinah, 1392,

66. A.I-Thahthawi, Syarh Ma’ani Al-Atsar, Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1979.

67. Al-Tirmidzi, Al-Sunan, Al-Maktabah Al-Salafiyyah, Al-Madinah, 1964.

68. Al-Tustari, Al-‘Allamah, Qamus Al-Rijal, Markaz-e Nasyr-e Kitab, Teheran, 1379.

69. Al-Zamakhsyari, Rabi’ Al-Abrar, Mathba’ah Al-‘Ani, Baghdan, t.t.

70. – – – –, Al-Fa’iq fi Gharib Al-Hadits, Mathba’ah Al-Halabi wa Syuraka’uh, Mesir, t.t,



Referensi:

1. Jama’ Bayan Al-‘Ilm, II, 82, Fath Al-Bari, mukadimah, hal. 4; Taqyid Al-‘Ilm, 57; Ta’rikh Al-Fiqh Al-Islami, 88.
2. Adhwa’ ‘ala Sunnah Mubammadiyyah, 51.
3. Ibid., 51.
4. Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I, 81.
5. Ibid., 1,82.
6. Taqyid Al-‘Ilm, 57.
7. Abjad Al-‘Ulum, 110.
8. Al-Shahih min Sirah Al-Nabi Al-A’zham saw., I, 27, catatan kaki.
9. Taqyid Al-‘Ilm, 51; Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I, 64; Kanz Al-‘Ummal, C, 239.
10. Sunan Al-Darimi, I, 124; Taqyid Al-‘Ilm, 56; lihat juga Taqyid Al-‘Ilm, 57, Tadzkirat Al-Huffazh, I, 296.
11. Aqyid Al-‘Ilm, 61; Jami’ Bayan Al-‘Ilm, 65; Husn Al-Tanbih, 92.
12. Lihat Bubuts ma’a Ahl Al-Sunnah wa Al-Salafiyah, 97; untuk pernyataan dari Talmud, lihat Al-Tafkir Al-Dini ‘ind Al-Yahud, hal. 79, dari Talmud Hiththin, bab “Tamura”, bab 14; Qasim ibn Muhammad ibn Abubakar berkata, “Sejumlah hadis menjadi besar selama pemerintahan ‘Umar. Ia memerintahkan agar hadis-hadis itu diserahkan dan dimasukkan ke api, sambil berkata . . . Lihat Al-Thabaqat Al-Kubra, V, 188.
13. Gharib Al-Hadits, IV, 282.
14. Adab Al-Mufrad, 69.
15. Taqyid Al-‘Ilm, 103.
16. Al-Thabaqat Al-Kubra, V, 141 ; Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I, 81.
17. Taqyid Al-‘Ilm, 60; Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I, 75.
18. Al-Thabaqat Al-Kubra, V, 179; Mushannaf ‘Abd Al-Razzaq, XI, 425; Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I, 90.
19. Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I, 89; Taqyid Al-‘Ilm, 111.
20. Mushannaf Abd Al-Razzaq, XI, 259; Al-Kifayah fi ‘Ilm Al-Riwayah, 106.
21. Taqyid Al-‘Ilm, 60; Al-Muhaddits Al-Fadil, dari Al-Ramhurmuzi.
22. Al-Taratib Al-Idariyyah, II, 249.
23. Tafsir Al-Manar, VI, 288.
24. Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I, 84.
25. Tadzkirat Al-Huffazh, I, 119.
26. Ibid., I, 339.
27. Thabaqat Al-Fuqaha, 78.
28. Tadzkirat Al-Huffazh, I, 84.
29. Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I, 91.
30. TaqyidAl-‘Ilm, 115.
31. Al-Imla’ wa Al-Istimla’, 47.
32. Tadrib Al-Rawi, II, 65
33. Lihat Abu Hurairah oleh Sayyid Syaraf Al-Din dan Syaikh Al-Mudhirah oleh Abu Rayyah.
34. Adhwa’ ‘ala Al-Sunnab Al-Muhammadiyyah, 268.
35. Ta’rikh Al-Fiqh Al-Islami, 68
36. Al-Imam Al-Shadiq wa Al-Madzabih Al-Arba’ah, I, 260.
37. Rafdh dan tasyayyu’ mengacu kepada pengikut Syi’ah – peny.
38. Adhwa’ ‘ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah, 52,53.
39. Al-Ma’rifah wa Al-Ta’rikh, II, 762.
40. Ta’wil Mukhtalaf Al-Hadits, 40; Al-Maudhu’at, I, 93; Ta’rikh Al-Madzahih Al-Fiqhiyyah, 20.
41. Al-Jarh wa Al-Ta’dil, oleh Abu Hatim Al-Razi, I, 43, 44.
42. Al-Maudhu’at, I, 35, 36; Ta’rikh Ibn ‘Asakir, II, 10.
43. Al-jarh wa Al-Ta’dil, I, 263
44. Parasang adalah ukuran jarak; di sini menunjukkan betapa jauhnya jarak itu.
45. Ibid., I, 359
46. Al-Thabaqat Al-Qubra, V, 120; Tadzkirat Al-Huffazh, I, 56; Al-Rihlah fi Thalah Al-Hadits, 127.
47. Al-Muhaddits Al-Fadhil, 230.
48. Al-Rihlah fi Thalah Al-Hadits, 89; Lihat Fath Al-Bari, I, 158, 159; Jami’ Bayan Al-‘Ilm, I,111, 113; Al-Majruhun, I, 57; Tadzkirat Al-Huffazh, I, 108; Al-Muhaddits Al-Fadhil, 215, 223.
49. Abu Hanifah, 59.
50. Kasyf Al-Zhunun, II,1908.
51. Sunan Al-Darimi, 79; Hayat Al-Shahahah, III, 257, 258; Jamil Bayah Al-‘Ilm, II, 120; Al-Thabaqat Al-Qubra, VI, 7; Mustadrak Al-Hakim, I, 152, (Al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih sepenuhnya dari segi sanad.”); Tadzkirat Al-Huffazh, I, 7; Ta’rikh Al-Fiqh Al- Islami, 41.
52. Al-Bidayah wa Al-Nihayah, VIII, 107; pengarang berkata, “Hadis dari ‘Umar ini termasyhur”).
53. Hayat Al-Shahahah, III, 272; Kanz Al-‘Ummal, V, 239.
54. Hayat Al-Shahahah, dari Majma’ Al-Zawa’id, I, 149; Al-Thabaqat Al-Kubra, V, 239; Tadzkirat Al-Huffazh, I, 7; Al-Maudhu’at, I, 94; Al-Muhaddits Al-Fadhil, 133.
55. Tadzkirat Al-Huffazh, I, 14.
56. Al-Ahkam, II, 139, dari Al-Sunnah qabl Al-Tadwin, 108.
57. Al-Sunnah qabl Al-Tadwin, 108.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

  • Kelompok Hak: Saudi Tidak Mampu Kelola Haji
  • Telah Terjadi Penyerangan Terhadap Sebuah Yayasan di Aceh Besar Yang Di Duga Aliran Wahabi
  • Ali un-Wali Allah ; in Kalima
Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI