Ilustrasi: Ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bermasalah di Arab Saudi, Kini tinggal di kolong jembatan.
Jawaban:
Artikel ini menyuguhkan sebuah analisis tentang sistem perbudakan menurut pandangan Islam dan menyajikan solusi atas kerancuan-kerancuan di sekitarnya. Antara lain kendala yang diajukan oleh para kritikus hukum Islam adalah kenapa Islam menerima sistem perbudakan tapi pada saat yang sama mengaku anti nepotisme rasial. Menurutnya, tidak ada bangsa atau ras tertentu yang lebih unggul daripada bangsa dan ras yang lain, satu-satunya tolok ukur keunggulan dalam perspektifnya adalah ketakwaan dan iman kepada Allah swt.
Artikel ini ditulis dalam rangka untuk membuktikan bahwa meskipun pada mulanya agama Islam menerima sistem perbudakan, tapi penerimaan itu dilakukannya pada situasi dan kondisi tertentu, dimana perbudakan sudah menjadi sebuah fenomena yang populer dan mengakar di tengah masyarakat. Untuk itu, fenomena sosial seperti ini tidak mungkin ditentang secara sepontan dan sekaligus, tapi harus dilawan secara bertahap. Di sisi lain, perbudakan yang diterima oleh agama Islam terbatas pada tawanan perang, dan satu-satunya jalan yang terbaik, bijaksana dan adil dalam memperlakukan mereka adalah perbudakan, dengan cara itu tawanan perang yang berasal dari golongan kafir dididik dengan ruh Islam, sehingga perlahan-lahan mereka menjadi bagian dari masyarakat Islam yang bebas dan merdeka.
Itulah sebabnya, selain menerima sistem perbudakan, Islam juga telah menetapkan rangkaian hukum dan ketetapan yang tegas untuk menjaga hak-hak dan maslahat para budak serta untuk membebaskan mereka. Di samping menetapkan undang-undang wajib yang memudahkan kebebasan budak, Islam juga sangat menekankan kepada pengikutnya untuk menjaga hak-hak mereka dan menyikapi mereka dengan punuh kelembutan serta kasih sayang, maka tidak heran jika peneliti non muslim sekali pun menilai sikap masyarakat muslim terhadap kaum budak jauh lebih adil dan bijaksana dibanding sikap bangsa-bangsa lain terhadap mereka, bahkan budak masyarakat muslim seolah-olah menjadi anggota keluarga mereka sendiri dan hidup mulia.
Selain itu semua, di bidang hukum pidana, Islam juga telah membuka peluang besar untuk meringankan hukuman mereka.
Pasal Pertama: Budaya Perbudakan di Negara Islam
Di sini kami akan menyampaikan beberapa contoh perlakuan umat Islam yang penuh kasih sayang terhadap budak mereka, setelah itu kita akan meneliti sumber budaya tersebut yang tiada lain adalah ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Tema pertama: Perlakuan Muslimin terhadap Budak
A- Bukti sejarah:
Dalam kajian historis, para peneliti non-muslim juga telah mengakui perlakuan umat Islam yang lembut dan penuh kasih sayang terhadap budak; Gustavo Lobbon mengatakan:
"Yang pasti bahwa budak di tengah umat Islam tidak seperti di tengah kaum Kristen, kondisi budak di belahan timur bumi jauh lebih baik daripada kondisi mereka di Eropa. Di Timur, mereka seperti anggota keluarga sendiri, bahkan tidak jarang dari mereka yang kemudian menikah dengan anak perempuan tuan mereka dan menjadi menantunya, mereka pun berhak menjabat posisi yang tinggi. Status budak bukan suatu yang hina di Timur, kalau di Barat jarak mereka jauh sekali dengan para tuan tapi di Timur mereka dekat sekali dengan para tuan dan hubungan mereka sangat erat." [2]
Dia meriwayatkan:
"Muslimin tidak memandang budak mereka dengan kaca mata hina, itulah sebabnya kita menyaksikan ibu para raja usmani yang menjadi pemimpin dan junjungan muslimin adalah seorang budak, dan status budak ibu mereka tidak membahayakan kedudukan mereka di tengah masyrakat muslim." [3]
Di saat orang-orang Eropa pada umumnya menuduh umat Islam dengan perlakuan yang tidak senonoh dan keras terhadap kaum budak, Dr. Gustavo Lobbon mengatakan:
"Semua petualang dunia yang melakukan penelitian tentang perbudakan di Timur tahu dan mengaku bahwa ini adalah bola-bola propaganda miring yang digelontorkan oleh orang-orang eropa dan sama sekali tidak beralasan. Salah satu bukti yang paling kongkrit dalam hal ini adalah kenyataan bahwa para budak di Mesir jika ingin merdeka cukup dia datang ke hakim dan mengungkapkan keinginannya tersebut. Tapi, pada kenyataannya mereka malah tidak ingin untuk melakukan hal itu." Mr. Ibre mengatakan, 'Harus diakui bahwa budak-budak negara Islam termasuk orang yang paling beruntung dalam kehidupan, banyak sekali bukti untuk itu.' Mr. Gabriel Charmes mengatakan, 'Masalah perbudakan di Mesir adalah alami, biasa dan menguntungkan, bahkan pembatalan atas sistem perbudakan adalah sebuah malapetakan tersendiri.' Mr. Dojany, dekan jurusan bahasa asing di Universitas Kairo mengatakan, 'Nyatanya jarang sekali budak yang menggunakan hak kemerdekaan mereka, padahal kemerdekaan itu bisa mereka peroleh dengan berbagai cara tanpa ada sedikit pun kesulitan yang dapat menghalangi mereka.' [4]
Gustavo Lobbon juga menegaskan bahwa bukan Mesir saja yang menunjukkan perlakuan baik dan penuh kasih sayang terhadap budak, di negeri-negeri Islam lainnya juga demikian. Kemudian dia membawakan pernyataan seorang wanita petualang inggris yang bernama Belnett, dia menceritakan percakapannya dengan seorang arab di kota Najd:
"Salah satu persoalan yang sulit untuk dicerna oleh orang arab ini adalah kenapa dan apa untungnya Inggris melarang jual beli budak? Aku jelaskan kepadanya mereka melakukan hal itu karena ingin membela harkat manusia. Tapi dia malah berkata, 'memangnya kezaliman tidak berprikemanusiaan apa yang terjadi dalam jual beli budak? Memangnya siapa yang menyiksa para budak? Sungguh, kita tidak pernah menemukan seorang budak pun di negeri Islam yang disiksa dan dianiaya, apa yang populer di kalangan Arab adalah budak lebih mirip dengan anak tuannya sendiri daripada pelayan atau pembantu bayaran, dia juga disayang dan dihormati." [5]
B- Sekilas Perbandingan dengan Negara non-Islam
Di saat kita menyaksikan perlakuan yang manusiawi, sopan, penuh kasih sayang dan bijaksana terhadap para budak di negeri-negeri Islam, dan itu diakui bahkan oleh peneliti dan petualang Barat, sebaliknya kita menyaksikan perlakuan yang zalim dan pelecehan terhadap mereka di Barat. Gustavo Lobbon berbicara tentang nasib para budak di Yunani seraya mengatakan:
"Apabila seorang budak berbuat salah maka dihukum cambuk, apabila dia memberi kesaksian atas sesuatu maka akan dianiaya. Jika orang biasa memukulnya maka dia tidak berhak membala diri, tapi jika orang biasa tersebut menganiayanya secara sangat keterlaluan maka dia berhak mencari perlindungan ke tempat-tempat peribadatan." [6]
Dia juga mengatakan:
"Orang-orang yunani punya kepercayaan bahwa orang biasa harus bebas dari tugas-tugas keuangan dan ekonomi, kalau pun dia mampu menjaga dan mengelola harta kekayaannya sendiri tapi sudah sepatutnya dia menyuruh orang lain (budak) untuk mengerjakan tugas-tugas itu." [7]
Di Yunani kuno, keluarga yang paling miskin sekali pun mempunyai satu atau dua budak, Aeschines orator yunani abad empat belas sebelum masehi membuktikan dirinya adalah seorang miskin dengan menyatakan bahwa di rumahnya hanya ada tujuh orang budak dan tidak lebih dari itu. [8]
Bahkan orang yang dulunya berstatus sebagai budak lalu merdeka, tetap tidak akan memiliki hak-hak politik yang sama dengan orang-orang biasa, dan secara ekonomi mereka juga harus hidup seperti pendatang asing di sana. [9]
Dr. Will Durant menceritakan kondisi budak di Athena abad kelima M. lebih baik daripada kondisi orang miskin di negeri Usigarshic, Athena dikenal dengan perlakuannya yang baik terhadap para budak. [10]
Allamah Thaba' Thaba'i juga menyebut Romawi dan Yunani kuno dengan sifat perlakuan yang zalim terhadap para budak. [11]
Tema Kedua: Pengaruh Budaya Islam
Sikap prikemanusiaan muslimin terhadap budak adalah disebabkan oleh ajaran Islam dan perlakuan para imam terhadap para budak yang otomatis menjadi contoh bagi seluruh orang muslim yang lain.
A- Budaya dan Ajaran Islam
Mengingat bahwa agama Islam dan ajarannya dibangun atas dasar pentingnya hak manusia, bahkan di dalam ajaran Islam hak manusia lebih didahulukan daripada hak Tuhan, maka banyak sekali ajaran Islam tentang hak kaum budak yang juga termasuk manusia. Di sini, kami akan bawakan beberapa contoh undang-undang dan ajaran Islam itu walau tidak secara terperinci:
Rasulullah saw. mengajarkan umatnya untuk tidak memanggil para budak dengan sebutan budak atau hambasahaya, melainkan dipanggil dengan sebutan pemuda dan pemudi, beliau bersabda, "Satu pun di antara kalian jangan sampai memanggilnya dengan sebutan budakku (pria maupun wanita), melainkan hendaknya dia memanggilnya dengan sebutan: pemuda dan pemudiku." [12]
Sebagaimana telah dicatat oleh kelompok sejarawan, ajaran Nabi Muhammad saw. ini kemudian diterima oleh umat Islam dan menjadi populer di kalangan mereka. [13]
Literatur hadis Islam juga penuh dengan pesan sunnah membebaskan budak dan berbuat baik kepada mereka. Di dalam Al-Qur'an, Allah swt. menempatkan ajaran itu di samping ajaran berbuat baik kepada kedua orangtua, famili dan orang-orang yang berhak lainnya. [14]
B- Pengaruh Perilaku Para Imam (Manusia Suci) as.
Banyak sekali bukti yang menunjukkan perilaku para imam suci dan pemimpin muslimin yang penuh kasih sayang terhadap budak. Tidak sedikit sahabat besar Nabi Muhammad saw. yang sebelumnya adalah budak, tapi dihormati oleh beliau dan bahkan kemudian menjadi panglima perang atau tokoh masyarakat, seperti Salman dan Bilal. [15]
Ibu sebagian dari imam suci as. juga seorang budak, antara lain ibu Imam Ali Zainul Abidin (Sajjad) as. yang dikenal dengan panggilan Syahrbanu, beliau ditawan setelah perang antara Arab dan Iran pada masa kekuasaan raja Iran yang bernama Yazjurd. Syahrbanu adalah puteri raja Iran tersebut. [16] Demikian pula halnya dengan ibunda Imam Zaman af. yang bernama Narjis, beliau adalah puteri Yasyu'a, kaisar Romawi.
Pasal Kedua: Sikap Islam Terhadap Sistem Perbudakan
Pada langkah pertama, Islam memang menerima sistem perbudakan yang sudah sangat mengakar dalam kebudayaan bangsa-bangsa Arab dan non-Arab zaman itu. Maka kemudian orang-orang bodoh atau yang sejak awal bermasalah dengan Islam memprotes Islam karena menerima sistem perbudakan. Di sini, kami akan menerangkan filsafat perbudakan dan alasan kenapa Islam menandatangani sistem perbudakan serta solusi apa saja yang diajarkan oleh Islam untuk membebaskan budak.
Tema Pertama: Latar Belakang Islam Menerima Sistem Perbudakan
A- Filsafat Perbudakan
Dari sisi akal dan daya berpikir, manusia menurut Plato ada yang berada di bawah rata-rata. Maka dari itu, dia menyatakan orang-orang yunani tidak boleh diperbudak, sedangkan mereka berhak memperbudak orang-orang selain yunani. [17] Pola pikir seperti ini merupakan nepotisme rasial yang mengunggulkan satu ras manusia atas ras manusia yang lain. Dan ini pemikiran yang salah.
Aristoteles memandang seorang budak dengan kaca mata budak yang memiliki ruh, menurut dia selama mesin-mesin otomatis tidak mengambil alih pekerjaan budak-budak itu maka perbudakan selalu ada. [18]
Para filsuf setelah mereka, seperti Stoics, mempunyai pemikiran yang lebih netral, antara lain mereka mengatakan, 'Tuhan mengutus semua orang ke dunia dalam keadaan bebas dan merdeka, dan alam juga tidak merubah mereka menjadi budak.' [19]
Adapun menurut agama Islam, filsafat perbudakaan bukan nepotisme rasial, karena salah satu syi'ar agama Islam adalah menentang nepotisme rasial, para tokoh agama Islam sering mengatakan bahwa bangsa arab tidak lebih unggul daripada bangsa non-arab, tolok ukur keunggulan seseorang atas yang lain hanyalah ketakwaan dia terhadap Allah swt.
Mengenai sebab-sebab perbudakan di dalam Islam, kita akan menelitinya sebagai berikut:
Ada berbagai faktor perbudakan di antara bangsa-bangsa, tapi hanya faktor peperangan yang diterima oleh Islam; yakni memperbudak tawanan perang yang berlangsung antara Muslimin dan kaum kafir. Kenapa hal itu dilakukan? Karena ada tiga pilihan jalan di hadapan Muslimin dalam menyikapi para tawanan perang yang kafir; jalan yang pertama adalah membebaskan mereka, tapi ini bertolak belakang dengan penawanan dan sudah barang tentu bukan jalan yang bijaksana. Pilihan yang kedua adalah membunuh mereka. Dan yang ketiga adalah menjaga mereka agar tetap hidup dan memperbudak mereka dengan maksud mendidik mereka secara islami selama masa perbudakan. Jalan yang terakhir ini bijaksana dan diterima oleh orang-orang yang berakal. Maka dari itu, Muslimin memperbudak mereka, dan setelah menghembuskan pendidikan Islam ke lubuk hati mereka –yang tidak mungkin sukses kecuali bersama perlakuan yang penuh kasih sayang-, secara bertahap mereka dibebaskan dengan cara yang berbeda-beda; terkadang dengan suka rela mereka dibebaskan, terkadang pula melalui undang-undang wajib yang ditetapkan oleh agama Islam. Masalah ini akan kami jelaskan lebih lanjut pada tema yang kedua. [20]
Intinya, periode perbudakan di dalam Islam tiada lain adalah periode pengkarantinaan ruhani dan moral, sehingga setelah tawanan perang non-muslim itu melewati jenjang bimbingan islami dia akan dibebaskan dan bergabung dengan masyarakat Islam.
Jawaban atas beberapa kerancuan:
1- Kenapa agama Islam melarang budak dari kepemilikan harta dan menjadikan mereka sebagai konsumen jatah dari tuan atau majikannya?
Jawaban:
Larangan ini ditetapkan karena asumsi dasarnya adalah budak itu merupakan tawanan perang yang masih kafir dan tergolong musuh umat Islam. Oleh karena itu, demi menutup jalan mereka merebut kekuasaan di sana maka untuk sementara waktu mereka dilarang memiliki sesuatu, sebab jalan utama menuju kekuasaan adalah kepemilikan. [21]
2- Kenapa budak yang semula tawanan perang dan kafir itu tidak segera dimerdekakan ketika mereka menyatakan diri beriman atau masuk Islam?
Jawaban:
Karena dengan cara itu target pendidikan yang dimaksud oleh Islam dari sistem perbudakan tidak akan tercapai, betapa banyak ungkapan iman secara lahiriah dan formalitas menjadi makar dan tipu daya bagi tawanan perang untuk membebaskan diri, lalu pada saat yang tepat mereka kembali menikam umat Islam. [22]
Tema Kedua: Islam dan Faktor-faktor Kemerdekaan Budak
Agama Islam menerima sistem perbudakan karena alasan tertentu, dan ada beberapa hal yang harus digarisbawahi di sini; yang pertama, Islam sangat menekankan agar budak diperlakukan sebaik mungkin. Kedua, Islam dengan bimbingan moral dan undang-undang wajib atau pilihan yang ditetapkannya telah membuka jalan selebar-lebarnya untuk memerdekakan kaum budak.
A- Bimbingan moral untuk memerdekakan budak.
Di dalam literatur hadis dan fikih Islam terdapat bab-bab khusus tentang ajaran yang mengarah kepada pembebasan budak, seperti Kitâb Al-'Itq, Tadbîr, Istîlâd, dan Mukâtabah. Ada sekitar 356 hadis di dalam kitab Wasâ'il Al-Syî'ah [23] yang secara khusus membahas ketetapan mengenai pembebasan budak.
Menurut agama Islam, amal membebaskan budak sangat berpahala dan penting sehingga banyak sekali pahala amalan baik yang diumpamakan dengan amal pembebasan budak, bahkan amal itu digolongkan sebagai ibadah. Maka dari itu, sebagian fukaha mensyaratkan niat pendekatan diri kepada Allah swt. bagi orang yang ingin membebaskan budak. [24] Antara lain, hadis yang diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as.:
"Tidak sah hukumnya pembebasan budak kecuali dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt." [25]
Atas dasar itu pula, menurut fukaha, tidak sah hukumnya pembebasan budak kafir yang mengingkari keberadaan Tuhan secara total, adapun jika dia mempercayai keberadaan Tuhan maka menurut sebagian fukaha pembebasannya adalah sah. [26]
Sunnah hukumnya bagi seseorang untuk membebaskan budak mukmin yang telah bekerja untuknya selama 7 tahun. [27] Bahkan secara umum, sunnah hukumnya bagi seseorang untuk membebaskan budak yang saleh walau belum bekerja untuknya selama 7 tahun. [28]
Di dalam hadis lain juga disebutkan bahwa apabila seseorang membebaskan budak, maka untuk tiap-tiap organ tubuh budak yang dia bebaskan itu Allah swt. akan menghindarkan penggalan api neraka darinya. [29]
Praktik para imam suci as. dalam membebaskan para budak sudah bukan hal yang samar bagi siapa saja yang menelaah sejarah Islam, Imam Ja'far Shadiq as. berkata bahwa Amirul Mukminin Ali as. telah membeli dan membebaskan seribu budak dengan hasil keringatnya sendiri, beliau melakukannya tiada lain demi keridoan Allah swt., padahal beliau dan keluarganya sendiri hidup sangat sederhana. [30]
Di dalam literatur hadis Islam kita membaca bahwa anak kecil yang sudah menginjak usia 10 tahun berhak membebaskan budaknya. [31]
Poin terakhir yang ingin kami isyaratkan di sini adalah pembebasan budak tidak bisa dibatalkan; yakni apabila seseorang telah membebaskan budaknya, maka dia tidak bisa membatalkan pembebasan itu. [32] Dan sudah barang tentu, hukum ini ditetapkan untuk menjamin keuntungan budak dan menjaga haknya.
B- Undang-undang pilihan yang mengantarkan kebebasan budak.
Di dalam sistem hukum Islam terdapat undang-undang pilihan yang mengandung maslahat bagi kaum budak dan mengantarkan kebebasan mereka. Secara global, undang-undang itu adalah:
1- Mukâtabah
Mukâtabah adalah perjanjian yang dibuat antara tuan dan budak dalam rangka membebaskan budak dengan syarat membayar sesuatu sampai batas waktu tertentu. Perjanjian ini juga dianjurkan oleh Al-Qur'an:
Artinya: "Maka buatlah perjanjian dengan mereka jika kalian mengetahui ada kebaikan dalam mereka." (QS. An-Nur [24]: 33).
Berdasarkan ayat ini, fukaha menjelaskan apabila si budak adalah orang yang beramanat dan komitmen terhadap agama serta mempunyai kemampuan untuk mencari penghasilan, maka sunnah hukumnya bagi tuan dia untuk membuat perjanjian Mukâtabah dengannya; karena 'kebaikan' di dalam ayat itu memiliki makna amanat, komitmen pada agama, dan kemampuan finansial. [33]
Perjanjian Mukâtabah ini bisa dilakukan secara mutlak dan bisa juga dilakukan secara bersyarat; bersyarat artinya kebebasan dia dengan syarat membayar seluruh biaya yang telah disepakati, adapun mutlak artinya kebebasan budak diperoleh secara bertahap sesuai dengan jumlah yang dibayarkannya secara bertahap kepada tuan.
Perlu ditambahkan juga bahwa di dalam pengelolaan zakat, apabila ada seorang budak yang membuat perjanjian Mukâtabah, tapi kemudian secara finansial dia masih belum mampu, maka dia berhak untuk diberi saham yang secukupnya dari hasil zakat tersebut demi memenuhi tuntutan kontrak itu dan membebaskan diri. [34]
2- Tadbîr
Kontrak Tadbîr artinya seorang tuan mengikat kebebasan budaknya dengan kematian dirinya atau kematian suami budaknya. [35] Tapi mengingat bahwa Tadbîr ini terhitung sebagai wasiat dan bukan pembebasan, maka sebagian fukaha tidak mewajibkan niat pendekatan diri kepada Allah swt. dalam perbuatan itu, namun sebagian fukaha yang lain tetap mensyaratkannya. [36] Kemudian, salah satu karakter Tadbîr adalah, tuan budak itu berhak rujuk kembali dari kehendaknya apabila dia masih hidup.
3- Istîlâd
Budak perempuan yang hamil melalui hubungan perbudakan dan bukan melalui jalur perkawinan disebut dengan Ummu Walad, dan anak yang dikandungnya terhitung merdeka. Dalam hal ini, apabila si tuan meninggal sebelum Ummu Walad, dan dia tidak lagi berhutang dalam pembelian budak itu (Ummu Walad) atau masih berhutang tapi kekayaan yang ditinggalkannya cukup untuk membayar hutang tersebut, maka budak itu (Ummu Walad) dibebaskan dengan uang jatah warisan anaknya yang sudah dia lahirkan atau masih dalam kandungan. Adapun jika jatah warisan anaknya itu tidak cukup untuk membayar kekurangan biaya pembebasan dirinya, maka dia harus berusaha untuk menutupi kekurangan tersebut. [37]
Selain itu, masih ada lagi contoh-contoh yang lain, tapi demi mempersingkat pembahasan maka kami tidak menyebutkan semuanya di sini.
C- Undang-undang wajib yang mengantarkan kebebasan budak. [38]
Ada sebagian undang-undang yang berimplikasi pembebasan budak, antara lain:
1- Tertimpa penyakit buta. Yakni, apabila seorang budak tiba-tiba terkena penyakit buta, maka dia terbebaskan dan merdeka.
2- Tertimpa penyakit kusta. Yakni, apabila seorang budak tiba-tiba terkena penyakit kusta, maka dia dinyatakan bebas dan merdeka.
3- Tertimpa penyakit lumpuh. Yakni, apabila seorang budak tiba-tiba lumpuh dan tidak mampu lagi membantu tuannya maka harus dibebaskan.
4- Apabila seseorang meninggal dan tidak punya ahli waris kecuali seorang budak milik orang lain, maka budak itu dibeli dan dibebaskan dengan warisan orang tersebut agar dia dapat menerima sisa warisannya yang lain.
Pasal Ketiga: Sekilas tentang Hak dan Hukum Pidana Yang Berhubungan dengan Budak
Pasal ini khusus mengenai hukum pidana yang berhubungan dengan budak, seperti tindak kejahatan membunuh orang atau melukainya secara sengaja dan tidak sengaja, atau membunuh orang karena dipaksa oleh tuannya; siapakah yang harus bertanggungjawab atas pembunuhan itu, begitu pula mengenai keringanan hukuman untuk budak, tindak kejahatan terhadap budak; baik yang dilakukan oleh tuannya sendiri maupun oleh orang lain, kejahatan fisik seperti membunuh dan melukai ataupun kejahatan yang ditujukan kepada nama baik dan kehormatan budak, seperti tuduhan zina, dan juga membicarakan persoalan diyah antara orang biasa dan budak.
Pada umumnya, hukum pidana yang terkait dengan kaum budak memang ditetapkan untuk membela hak-hak mereka secara adil. [39] Di sini, kami akan membagi pembahasannya menjadi dua tema pembahasan; yang pertama tentang kejahatan yang dilakukan oleh budak dan tingkat tanggungjawab yang harus diembannya, adapun yang kedua tentang kejahatan terhadap budak dan tingkat tanggungjawab yang harus diemban oleh pelakunya.
Tema Pertama: Kejahatan Budak dan Hukum Pidananya.
A- Kejahatan membunuh dan melukai budak serta hukum pidananya.
1- Kejahatan yang tidak disengaja oleh budak, maka dalam hal ini tuannya yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh kejahatan itu. Dalam hal ini, tuan boleh memilih apakah dia membebaskan budaknya dengan syarat membayar biaya yang paling kecil di antara dua pilihan (kerugian akibat kejahatan yang tidak sengaja tersebut, atau harga budak itu sendiri), atau dia serahkan saja budak itu kepada pihak yang menjadi korban kejahatan, sehingga dari saat penyerahan itu dia bukan lagi budak tuannya yang pertama, melainkan telah menjadi budak bagi korban kejahatannya. Tapi, perlu digarisbawahi bahwa dia menjadi budak sebatas kerugian yang disebabkan oleh kejahatannya dan tidak lebih dari itu, jika kerugian itu hanya sebesar setengah dari harga perbudakannya maka dia terhitung budak hanya setengah, dengan demikian budak dapat membayar setengahnya lagi untuk membebaskan dirinya sendiri. [40]
2- Kejahatan yang disengaja. Dalam kasus seperti ini, korban atau walinya boleh memilih antara dua hal; kisas atau memperbudak orang itu. [41]
Namun, khusus berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan secara tidak sengaja oleh Ummu Walad, sebagian fukaha (Ahli Sunnah) berpendapat bahwa tuannya harus membayar kerugian yang disebabkan oleh kejahatannya itu dan membebaskan dia dari hukuman pidana. [42]
B- Kejahatan membunuh karena paksaan tuan.
Apabila seorang tuan memaksa budaknya untuk membunuh orang lain, kemudian budak itu terpaksa melakukannya, maka di sini ada perbedaan pendapat tentang pihak yang harus bertanggungjawab secara pidana. Sebagian fukaha berpendapat bahwa budak yang melakukannya secara langsung dijatuhi hukuman kisas, adapun tuannya dihukum penjara seumur hidup. Sebagian fukaha yang lain berpendapat bahwa tuannya yang dijatuhi hukuman kisas, sedangkan budak yang melakukannya dihukum penjara seumur hidup. [43]
C- Peringanan hukuman pidana bagi budak.
Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan antara budak dan orang biasa dari sisi kelayakan untuk dijatuhi hukuman takzir. [44] Akan tetapi, dalam beberapa penerapan hukuman had ada peringanan tersendiri untuk budak, antara lain:
1- Pencurian
Apabila budak mencuri harta tuannya, dia tidak patut dijatuhi hukuman potong tangan, melainkan hanya bisa dijatuhi hukuman pelajaran (seperti penjara), demikian pula apabila dia mencuri sesuatu dari Baitul Mal (kekayaan negara). Hal itu karena hukuman potong tangan lebih merugikan bagi Baitul Mal itu sendiri daripada hukuman pelajaran. [45]
2- Perzinaan
Allah swt. berfirman:
Artinya: "Maka atas mereka itu hukuman seperdua hukuman perempuan-perempuan merdeka yang telah bersuami." (QS. An-Nisa' [4]: 25).
Berdasarkan ayat ini, para fukaha berpendapat bahwa hukuman budak perempuan yang berzina adalah setengah dari hukuman perempuan biasa (merdeka) yang berzina; yakni, hanya dijatuhi hukuman 50 pukulan cambuk. [46] Secara umum, hukuman pidana budak yang berzina adalah 50 pukulan cambuk (setengah dari hukuman orang biasa yang berzina), baik perempuan maupun laki, muda maupun tua, perawan atau pun tidak perawan. Bahkan Sahib Jawahir (penulis kitab fikih argumentatif standar Jawâhir Al-Kalâm, Muhammad Hasan Najafi) mengklaim ijmak para fukaha dalam hal ini, dia juga membawakan bukti-bukti yang lain dari ayat tersebut. [47]
3- Perzinaan yang berulang-ulang.
Orang biasa yang tidak berkeluarga, apabila dia mengulang-ulang perbuatan zina sampai tiga –atau menurut sebagian pendapat, sampai empat- kali maka hukumannya adalah mati, adapun jika yang melakukan pelanggaran itu adalah seorang budak, baik laki maupun perempuan, maka pada kali yang kedelapan –dan menurut sebagian pendapat, pada kali yang kesembilan- dia dihukum mati. [48]
Di selain pelanggaran tersebut, tidak ada bedanya dari sisi hukuman antara budak dan orang biasa, seperti pelanggaran homo, minum bir, atau menuduh orang lain berbuat zina. [49]
Tema Kedua: Pelanggaran atas Budak dan Hukumannya
Pelanggaran, tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan terhadap budak adakalanya mengenai tubuh dia, seperti membunuh dan melukainya, dan adakalanya mengenai harkat dan kehormatan dirinya, seperti menuduhnya berbuat zina. Dua macam pelanggaran ini akan kita bahas secara terpisah:
A- Hukuman tindak pidana membunuh atau melukai budak.
Mengingat ijmak atau kesepakatan fukaha tentang salah satu syarat hukuman kisas adalah kesetaraan dalam status kebebasan atau kemerdekaan diri, maka apabila seorang budak dibunuh oleh orang biasa, orang biasa tersebut tidak dijatuhi hukuman kisas (mati), [50] melainkan dia harus membayar diyah (blood money) korban yang tiada lain adalah harga perbudakannya, terkecuali apabila harga budak yang terbunuh itu lebih besar daripada diyah orang biasa, maka dalam kasus seperti ini pelaku kriminal harus membayar diyah sebesar diyah orang yang biasa. Demikian pula halnya dengan diyah organ tubuh dan luka-luka yang mengenai budak, harus diukur sesuai dengan diyah orang biasa, namun dengan catatan apabila diyah dalam hal ini sudah ditentukan sebelumnya; contoh, apabila seseorang memenggal tangan seorang budak, maka dia harus membayar setengah harga budak tersebut, namun bila pelaku kriminal itu memperbudak korban secara tidak sah (rampas) maka dia harus membayar seluruh harga budak tersebut walaupun harganya lebih besar daripada diyah manusia biasa. [51]
Jika kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan sengaja atau mirip sengaja terhadap budak mengimbangi harga keseluruhan budak itu sendiri, maka tuannya boleh memilih antara menuntut harga itu dari pelaku kejahatan lalu menyerahkan budak itu kepadanya, atau menyerahkannya tanpa imbalan apa pun; karena, selain itu akan terjadi penumpukan antara sesuatu dan ganti ruginya, yakni jika dia menerima ganti rugi dan di saat yang sama dia tidak menyerahkan budak yang menjadi korban kriminal, berarti dia telah mendapatkan dua-duanya. Adapun jika kejahatan itu murni ketidaksengajaan, apabila tuan menerima ganti rugi dan hendak menyerahkan budaknya, maka dia tidak bisa menyerahkan budak itu kepada pelaku kriminal, melainkan dia harus menyerahkan budak itu kepada Aqilahnya (keluarga yang bertanggungjawab atasnya). Tapi, pendapat ini hanya untuk fukaha yang berprinsip bahwa Aqilah juga bertanggungjawab atas kejahatan yang tidak sengaja terhadap budak. [52]
Fukaha menyebutkan pengecualian atas kaidah ini, yaitu apabila seseorang punya kebiasaan atau hobi membunuh budak, dengan kata lain dia berulang kali melakukan pembunuhan budak, dalam kasus seperti ini sebagian fukaha mengatakan bahwa pelaku kriminal itu dijatuhi hukuman kisas. Antara lain fukaha yang berpendapat demikian adalah Syaikh Thusi, Ibnu Hamzah, Ibnu Zuhrah, Sallar, dan Abu Shalah Halabi. [53]
B- Hukuman pelajaran untuk budak.
Seorang tuan sampai batas-batas tertentu boleh memukul budaknya dalam rangka memberi pelajaran dan peringatan kepada dia, sebagaimana hal itu diperbolehkan juga bagi orangtua terhadap anaknya sendiri. Menurut sebagian fukaha, pukulan itu tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan cambuk. Tapi, Sahib Jawahir mengatakan bahwa pembatasan seperti itu tidak punya landasan bukti yang jelas. [54]
Apabila dia memukul budaknya bukan dalam rangka mendidik dan memberinya pelajaran serta di luar haknya, maka menurut mayoritas fukaha sunnah hukumnya dia untuk membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak tersebut. Bahkan menurut sebagian fukaha –sebagaimana dinukil dari Syaikh Thusi- wajib hukumnya tuan membayar kafarah tersebut dengan cara memerdekakannya. [55]
C- Tuduhan zina kepada budak.
Jika tuan memfitnah budaknya berzina, maka tuan dijatuhi hukuman takzir sebagaimana halnya apabila orang lain yang memfitnahnya telah berzina. [56]
Atas dasar itu, dalam perspektif Islam, harkat dan kehormatan para budak harus senantiasa dihormati sebagaimana halnya orang biasa, bahkan tuannya sendiri tidak berhak untuk melecehkan dia.
Kesimpulan
Sistem perbudakan dalam Islam tiada lain karena situasi dan kondisi yang khas dan dominan pada zaman tertentu. Sedangkan di dalam sistem hukum, bimbingan moral, dan prinsip pendidikan agama Islam sama sekali tidak ada kecondongan pada masalah perbudakan.
Ketetapan hukum dan tuntutan moral agama Islam secara bertahap menyingkirkan sistem perbudakan. Oleh karena itu, sistem perbudakan dalam Islam tergolong hukum temporal dan berdasarkan tuntutan zaman, bukan hukum yang tetap untuk setiap zaman. Sejarah pun menjadi saksi bagaimana umat Islam yang mematuhi bimbingan agamanya terkenal dengan sikap mereka yang adil dan bijaksana terhadap kaum budak, padahal ketika itu peradaban Barat tidak menampilkan sejarah yang cemerlang dalam hal ini.
Referensi: Rawoqe Andisyeh, no. 7.
Oleh: Sayid Husain Hasyimi
Penerjemah: Nasir Dimyati
Referensi:
1.Ditulis oleh Sayid Husain Hasyimi, guru hauzah, peneliti, penulis, dan pasca sarjana hukum pidana dan kriminogi.
2.Gustavo Lobbon, Tamaddune Islom wa Gharb, diterjemahkan ke bahasa persi oleh Sayid Hasyim Husaini, Intisyarat Islamiyah, Teheran, hal. 464.
3.Ibid. hal. 465.
4.Ibid. hal. 465 – 466.
5.Ibid. hal. 467.
6.Will Durrant, Torikhe Tamaddun; diterjemahkan oleh Amir Husain Arian Pur, Fatahullah Mujtaba'i, dan Husyang Pir Nazar; Intisyarate Amuzesye Inqilabe Islami, Teheran, cetakan keempat, 1372, jld. 2, hal. 309.
7.Ibid. hal. 307.
8.Ibid. hal. 309.
9.Ibid. hal. 308.
10.Ibid. hal. 310.
11.Allamah Sayid Muhammad Husain Thaba' Thaba'i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur'ân, Darul Kutub Al-Islamiah, Teheran, cetakan keempat, 1362, jld. 6, hal. 368.
12.Mulla Ahmad Muqaddas Ardabili, Zubdat Al-Bayân fî Ahkâm Al-Qur'ân, Maktabah Al-Murtadhawiyah, hal. 367; Aminul Islam Thabarsi, Majma' Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur'ân, Muassasah Al-A'lami, Bairut, cetakan pertama, 1415 H., jld. 5, hal. 400; Muhammad bin Isma'il Abu Abdillah Bukhari Ju'fi, Shohîh Al-Bukhôrî, Dar Ibnu Katsir, Bairut, cetakan ketiga, 1407 H., jld. 2, hal. 901; Gourge Zeedan, Târîkh Al-Tamaddun Al-Islâmî, Dar Maktabat Al-Hayah, Bairut, jld. 2, hal. 328.
13.Adam Metz, Al-Hadhôroh Al-Islâmiyah fî Al-Qorn Al-Rôbi' Al-Hijrî, diterjemahkan ke bahasa arab oleh Muhammad Abdulhadi Abu Raidah, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Bairut, cetakan kelima, jld. 1, hal. 306.
14.QS. An-Nisa [4]: 36.
15.A.S.M.H. Thaba Thaba'i, ibid., jld. 6, hal. 366.
16.Syaikh Abbas Qumi, Muntahâ Al-Âmâl, Intisyarate Hijrat, Qom, cetakan kedelapan, 1374, jld. 2, hal. 29 – 31.
17.Will Durrant, ibid., jld. 2, hal. 310.
18.Ibid.
19.Ibid.
20A.S.M.H. Thaba' Thaba'i, ibid., jld. 6, hal. 362, 364, 365, dan 372; Adam Metz, ibid., hal. 314.
21.A.S.M.H. ibid., jld. 6, hal. 376 – 377.
22.Ibid.
23.Syaikh Hur Amili, Tafshîl Wasâ'il Al-Syî‘ah ilâ Tahshîl Masâ'il Al-Syarî‘ah, Muassasah Alul Bait Li'ihya'it Turats, Qom, cetakan pertama, 1412 H., jld. 23, hal. 9 – 179.
24.Zainudin Jub'i Amili (Syahid Tsani), Al-Roudhoh Al-Bahiyah fî Syarh Al-Lum‘ah Al-Damisyqiyah, Dar Al-Hadi, Iran, 1403 H., jld. 6, hal. 241.
25.S.H. Amili, ibid., hal. 14, hadis 1.
26.Z.J. Amili (Syahid Tsani), ibid., hal. 243 – 245.
27.Ibid.
28.S.H. Amili, ibid., jld. 23, hal. 53.
29.Ibid., hal. 9 – 11, hadis 1 – 8.
30Allamah Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, Muassasah Al-Wafa, Bairut, cetakan kedua, 1403 H., jld. 41, hal. 110, hadis 19; Hasan Mutahar Hilli, Al-Mustajâd min Kitâb Al-Irsyâd, Kitabkhaneh Ayatullah Mar'asyi, Qom, 1406 H., hal. 166.
31.S.H. Amili, ibid., jld. 23, hal. 91.
32.Ibid., hal. 110.
33.Syaikh Abu Ja'far Thusi, Al-Mabsûth fî Fiqh Al-Imâmiyah, Al-Maktabah Al-Murtadhawiyah, 1387 H., jld. 6, hal. 73; Allamah Hilli, Mukhtalaf Al-Syî‘ah, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, cetakan pertama, 1415 H., jld. 8, hal. 96.
34.Syaikh Muhammad Mufid, Al-Muqni‘ah, Qom, 1410 H., 552.
35.Z.J. Amili (Syahid Tsani), ibid., jld. 6, hal. 311.
36.Ibid., hal. 318.
37.Ibid., hal. 369 – 371.
38.Ibid.
39.Adam Metz, ibid., jld. 1, hal. 317.
40.Z.J. Amili (Syahid Tsani), ibid., hal. 47; Abu ja'far Muhammad bin Idris Hilli, Sarô'ir, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, cetakan kedua, 1411 H., jld. 3, hal. 403.
41.Z.J. Amili (Syahid Tsani), ibid., jld. 10, hal. 47.
42.A.J.M. Hilli, ibid., jld. 3, hal. 22.
43.Ibid., hal. 349.
44.Syahid Awal, Al-Qowâ‘id, litografi, hal. 255.
45.Muhammad Hasan Najafi (Sahib Jawahir), Jawâhir Al-Kalâm fî Syarh Syarô'i‘ Al-Islâm, Dar Ihyaut Turats Al-Arabi, Bairut, cetakan ketujuh, 1981 M., jld. 41, hal. 490 – 491.
46.M.H. Najafi, ibid., hal. 328.
47.Ibid. hal. 329 – 330.
48.Ibid. hal. 331 – 332.
49.Ibid. hal. 383, 400, 429, 458, dan 489.
50.Z.J. Amili (Syahid Tsani), ibid., jld. 10, hal. 38 dan 65.
51.Ibid. hal. 194 – 196.
52.Ibid. hal. 197 – 198.
53.M.H. Najafi, ibid., jld. 42, hal. 92; Z.J. Amili (Syahid Tsani), ibid., jld. 10, hal. 65.
54.M.H. Najafi, ibid., hal. 444.
55.Ibid. hal. 446.
56.Ibid. hal. 447.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email