Jawaban:
Wahabisme memandang negatif kepada penghormatan atas hari ulang tahun kelahiran Nabi saw. dengan cara perayaan, pembacaan al-Qur’an, pelantunan qasidah, atau dengan memberi makan orang-orang yang beriman, menurut mereka semua itu adalah perbuatan yang mungkar.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Perayaan hari ulang tahun ini adalah hal baru yang tidak berasaskan, terbukti bahwa perayaan itu tidak pernah dilakukan oleh salaf, baik oleh Ahli Bayt itu sendiri maupun oleh selain mereka, ... Perbuatan seperti ini hanya dilakukan oleh pengikut agama Kristen yang biasanya mereka merayakan kejadian-kejadian yang berkenaan dengan Isa as., atau juga pengikut agama Yahudi dan ... .
Adapun yang diperbuat oleh sebagian dari masyarakat adalah karena ingin menyerupai kaum Nasrani yang merayakan al-Masih Isa as. atau karena kecintaan mereka terhadap Nabi saw. dan pengagungan mereka kepada beliau, ... tapi perayaaan ini tidak pernah dilakukan oleh salaf, dan kalau memang benar perbuatan itu adalah baik atau dianjurkan maka tentunya salaf lebih berhak untuk itu daripada kita”. [1]
Abdur Rahman bin Hasan Alu Syekh mengatakan: “Orang-orang musyrik itu menyelenggarakan perayaan di sisi kuburan-kuburan yang disembah selain Allah (swt.), mereka menamakannya dengan hari raya seperti hari kelahiran Badawi di Mesir dan lain sebaginya, bahkan lebih dari itu karena di dalam perayaan-perayaan yang mereka adakan terdapat kesyirikan dan maksiat-maksiat yang besar”. [2]
Muhammad Hamid Faqi mengatakan: “Perayaan hari ulang tahun dan peringatan-peringatan yang sering diselenggarakan di berbagai negeri atas nama para wali ini adalah masuk kategori ibadah terhadap para wali tersebut dan pengagungan kepada mereka”. [3]
Kelompok Wahabi ini berdalil dengan dua hadis sebagai berikut:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Jangan kalian menjadikan rumah-rumah kalian kuburan, dan jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai perayaan, dan bershalawatlah kalian kepadaku karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku di manapun aku berada”. [4]
2. Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau melarang –umatnya– menjadikan kuburan sebagai perayaan.
Kritik Pertama-tama, harus dibedakan antara penghormatan dengan penyembahan, karena elemen utama penyembahan adalah keyakinan bahwa pihak yang disembah adalah Tuhan, Pengatur alam semesta, atau yang dipasrahi untuk melakukan perbuatan Tuhan. Dan sudah barang tentu tidak ada satu pun dari keyakinan itu yang mendasari acara-acara perayaan.
Adapun berkenaan dengan penghormatan, hal itu merupakan pengejewantahan dari prinsip yang disebutkan oleh al-Qur’an dan hadis, yaitu prinsip cinta kepada Nabi saw. sekiranya seseorang lebih mendahulukan beliau daripada dirinya sendiri.
Menurut al-Qur’an, Allah swt. berfirman:
قُل اِن کَانَ آبَاؤُکُم وَ اَبنَاؤُکُم وَ اِخوَانُکُم وَ اَزوَاجُکُم وَ عَشِیرَتُکُم وَ اَموَالٌ اقتَرَفتُمُوهَا وَ تِجَارَةً تَخشَونَ کَسَادَهَا وَ مَسَاکِنُ تَرضَونَهَا اَحَبَّ اِلَیکُم مِنَ اللهِ وَ رَسُولِهِ وَ جِهَادٍ فِي سَبِیلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّی یَأتِيَ اللهُ بِاَمرِهِ وَ اللهُ لَا یَهدِي القَومَ الفَاسِقِینَ / التوبة: 24
Artinya: “Katakanlah jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu khawatir merugi dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak menunjuki kaum yang fasik”. (QS. 9: 24).
Adapun menurut hadis, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda: “Tidaklah beriman siapapun di antara kalian sampai aku dan Ahli Baytku lebih dia cintai daripada dirinya sendiri, [5] [anak-anaknya, dan seluruh manusia yang lain]”. [6]
Atas dasar itu, seyogyanya Hamid Faqi dan orang-orang Wahabi lainnya terlebih dulu bisa membedakan antara penyembahan dan penghormatan, dan tidak gegabah dalam menyerang orang-orang yang menyelenggarakan acara-acara perayaan.
Kedua. Pada prinsipnya segala hal adalah boleh selama tidak ada bukti syari’at yang melarangnya, prinsip ini juga dinyatakan benar oleh Ibnu Taimiyah, dia mengatakan: “Pada prinsipnya tradisi-tradisi adalah boleh selama tidak dilarang oleh Allah”. [7]
Maka itu, dalam persoalan ini juga tidak ada bukti syari’at yang melarang perayaan, adapun riwayat yang mereka sebutkan dalam persoalan ini adalah riwayat yang lemah baik sanad maupun isinya.
Ketiga. Kalaupun tidak ada nash (bukti tekstual yang jelas dan pasti) yang membolehkan perayaan tapi pembolehan itu bisa dimengerti dari prinsip yang diserap dari al-Qur’an dan sunnah Nabi, yaitu prinsip cinta kepada Nabi saw. dan Ahli Baytnya. Oleh karena itu, larangan untuk menyelenggarakan perayaan adalah menentang ungkapan cinta tersebut, dan sebaliknya termasuk ungkapan dengki yang tersimpan dalam hati.
Keempat. Ibnu Taimiyah memposisikan perbuatan salaf sebagai tolok ukur halal dan haram, padahal apakah tolok ukur yang benar adalah perbuatan salaf atau al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.?
Anggap saja kita terima perbuatan salaf sebagai tolok ukur, tapi ternyata sepanjang sejarah umat Islam mereka menyelenggarakan acara-acara perayaan, kenyataan itu diungkapkan baik oleh para sejarawan maupun oleh ahli hadis:
1. Qasthalani mengatakan: “Muslimin senantiasa merayakan bulan kelahiran dan menyelenggarakan walimah-walimah ... maka semoga Allah merahmati orang yang mengadakan perayaan pada malam-malam bulan kelahiran beliau yang mulia”. [8]
2. Dayyar Bakri mengatakan: “Muslimin senantiasa merayakan bulan kelahiran dan menyelenggarakan walimah-walimah serta bersedekah di malam-malamnya, mereka menambahkan faktor-faktor kegembiraan, melipatgandakan amal baik, dan membaca kronologi kelahiran dan sejarah beliau serta mengungkapkan keramat-keramat beliau”. [9]
Itulah perbuatan salaf dan ijmak umat Islam di berbagai periode dan sepanjang sejarah ... Ijmak di satu periode saja mereka (Wahabisme) akui sebagai bukti, apalagi jika ijmak itu terjadi di berbagai periode dan sepanjang sejarah, oleh karena itu Ibnu Taimiyah tidak berhak untuk mengatakan: “Perayaan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh salaf”.
Kelima. Ucapan para ulama:
1. Ibnu Ibad mengatakan: “Mengenai peringatan hari lahir –Nabi saw.–, menurut yang saya ketahui itu adalah salah satu hari raya umat Islam dan pesta mereka, apa yang mereka lakukan pada saat-saat itu tidak lain karena kebahagiaan yang muncul akibat kelahiran beliau ... dan itu perbuatan yang mubah (boleh) dan tidak terlarang”. [10]
2. Qasthalani mengatakan: “Semoga Allah merahmati orang yang mengadakan perayaan pada malam-malam bulan kelahiran beliau yang mulia”. [11]
3. Disebutkan juga bahwa salah satu orang yang menghidupkan perayaan-perayaan itu adalah Abu Sa’id Arbali pada tahun 630 H.
Sering juga disebutkan bahwa yang pertama menyemarakkan perayaan-perayaan seperti itu di Kairo adalah khalifah-khalifah Fathimiyun, orang pertama di antara mereka adalah Al-Mu’jaz Lidinilallah, dia berpindah dari Maroko ke Mesir pada tahun 361 H. [12]
Bukti-bukti sejarah ini menunjukkan bahwa bukan baru-baru saja muslimin mengadakan perayaan-perayaan, sebaliknya sejak dahulu kala mereka mengadakannya tanpa ada protes baik secara ekspilsit maupun emplisit dari muslimin dan fuqoha yang lain.
Kritik Riwayat “Jangan Kalian Jadikan Kuburanku Perayaan” Pertama-tama, Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya dengan ibarat yang berbeda; diriwayatkan dari Suhail bin Abi Saleh: “Jangan kamu jadikan kuburanku berhala”. [13]
Dengan demikian maka dimungkinkan terjadi kesalahan dalam penukilan hadis “Jangan kalian jadikan kuburanku perayaan” ( لا تجعلوا قبري عیدا), dan yang sebenarnya disabdakan oleh Nabi saw. adalah “berhala”, yakni beliau melarang umatnya untuk mensujudi kuburan beliau atau menjadikannya kiblat yang dihadap pada waktu shalat.
Kedua, secara bahasa eid berarti perayaan, maka tidak tepat jika dijadikan khobar (predikat) untuk kuburan, karena tidak ada artinya menjadikan kuburan sebagai perayaan, dan yang tepat jika musim atau hari tertentu dijadikan perayaan, seperti musim haji adalah musim raya, Hari Jum’at adalah hari raya dan seterusnya.
Ketiga, secara sanad riwayat ini –baik yang melarang kita untuk menjadikan kuburan beliau perayaan maupun yang melarang kita untuk menjadikannya berhala– adalah lemah, sebab di periwayatan yang pertama terdapat perawi yang bernama Suhail bin Abu Salah dan di periwayatan yang kedua terdapat Abdullah bin Nafi’, dan dua-duanya termasuk orang-orang yang periwayatan hadis mereka tidak bisa dijadikan bukti.
Mengenai Suhail bin Abu Salah, Abu Hatim mengatakan: “Hadisnya ditulis, tapi tidak bisa dijadikan bukti”, Ibnu Madini mengatakan: “Suadara Suhail meninggal dunia dan Suhail hanyut dalam kesedihan yang membuatnya lupa dari banyak hadis”, Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia lemah”.
Adapun mengenai perawi yang kedua yaitu Abdullah bin Nafi’, Bukhari mengatakan: “Ingatan dia diingkari (tidak bisa dijadikan bukti”, Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Dia bukan perawi hadis, dia lemah” [14], Razi mengatakan: “Dia bukan penghafal hadis, dia lemah dan ingatannya diingkari”. [15]
Kandungan Riwayat dan Tafsirannya Ada beberapa kemungkinan tentang kandungan riwayat ini dan tafsirannya, kemungkinan pertama yang dimaksud adalah anjuran untuk memperbanyak ziarah kepada Nabi saw., jangan sampai kuburan beliau dibiarkan begitu saja dan tidak dikunjungi kecuali di waktu-waktu tertentu saja seperti hari raya yang hanya dua kali terjadi dalam setahun, [16] penafsiran ini menurut Mundziri.
Kemungkinan kedua yang dimaksud adalah jangan menentukan waktu tertentu untuk ziarah yang sekiranya kalian tidak berziarah kepada beliau kecuali di waktu tersebut, hal itu sering kita saksikan di masyhad-masyhad yang hanya diziarahi pada hari raya. Penafsiran ini menurut Subki. [17]
Kemungkinan makna yang ketiga adalah jangan perlakukan kuburan itu seperti saat hari raya, yaitu dengan cara tinggal di sana, memamerkan perhiasan, campur baur dan lain sebagainya. Apa yang sepatutnya dilakukan adalah ziarah, salam, dan do’a kemudian pulang. Penafsiran ini menurut Khaffaji Hanafi. [18]
Kemungkinan makna yang keempat adalah hendaknya perkumpulan masyarakat di sisi kuburan beliau disertai dengan ketundukan diri, perenungan, dan sikap yang sesuai dengan kehormatan beliau, karena kehormatan beliau pada waktu wafat sama dengan kehormatan beliau pada saat hidup, oleh karena itu tidak pantas apabila perkumpulan masyarakat di sana dibarengi dengan hura-hura, permainan, senda gurau dan kelalaian yang sudah biasa didapati dalam hari raya-hari raya mereka. [19]
Khaffaji Hanafi mengatakan: “Menurut sebagian pendapat, sabda Nabi saw. “Jangan kalian jadikan kuburanku perayaan” maksudnya adalah larangan –secara makruh dan bukan haram– untuk berkumpul di sisi kuburan pada hari tertentu dan dalam bentuk yang khas”. Sebagian lagi berpendapat maksudnya adalah jangan kalian menziarahi beliau hanya sekali dalam setahun melainkan perbanyaklah ziarah kalian kepada beliau.
Kalaupun yang dimaksud oleh hadis ini adalah larangan, jelas maksudnya adalah larangan yang sifatnya khusus, yakni jangan kalian jadikan hal itu seperti hari raya dengan cara-cara seperti tinggal di sana, menampakkan perhiasan dan lain sebagainya yang biasa didapati dalam acara-acara hari raya. Hendaknya kalian datang hanya untuk ziarah, salam, doa dan kemudian pulang.
Dalam menafsirkan hadis ini, dia juga mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dan sejawatnya tidaklah beralasan, karena ijmak umat Islam menentang pandangan dia dan menuntut pemaknaan yang berbeda dengan pemaknaannya, dan sungguh pemaknaan dia itu adalah –dari– hembusan setan. [20]
Referensi: Rowafid al-Iman ila Aqoid al-Islam; Najmudin Tabasi .
Penerjemah: Nasir Dimyati.
Referensi:
1. Iqtidho’us Shirotil Mustaqim: 293.
2. Kasyful Irtiyab: 48.
3. Al-Milalu wan Nihal, Sajestani: 4/320.
4. Musnad Ahmad: 3/428.
5. Ad-Durul Mantsur: 3/223; Biharul Anwar: 73/112.
6. Muntahal Amal: 2/647. Di dalam Biharul Anwar juga ada hadis yang dinukil dari Amali Syekh Shaduq: “Seseorang tidak terhitung beriman sampai aku lebih dia cintai daripada dirinya, Ahli Baytku lebih dia cintai daripada Ahli Baytnya, keluargaku lebih dia cintai daripada keluarganya, dan diriku lebih dia cintai daripada dirinya”. Jilid 27, halaman 75 dan 86. Musnad Ahmad: 3/207 dan 4/336. Lihatlah referensi-referensinya dalam Mausa’atu Athrofil Haditsin Nabawi: 7/312.
7. Al-Majmu’: 4/195.
8. Al-Mawahibul Laduniyah: 1/27.
9. Tarikhul Khomis: 1/323.
10. Al-Mawasimu wal Marosim: 20 menukil dari al-Qowlul Fashlu bi Maulidi Khoirir Rusuli: 175.
11. Al-Mawahibul Laduniyah: 1/27.
12. Al-Milalu wan Nihal, Sajestani: 4/323.
13. Musnad Ahmad: 2/246.
14. Mizanul I’tidal: 2/243, lihat pula Tahdzibul Kamal: 12/223.
15. Al-Jarhu wat-Ta’dil: 5/184, Syifa’us Siqom: 80.
16. Syifa’us Siqom: 80.
17. Ibid.
18. Syarhus Syifa’: 3/566.
19. Al-Mawasimu wal Marosim: 71.
20. Nasimur Riyadh fi Syarhis Syifa’: 3/523, 514 dan 577. Lihat pula al-Ghodir: 5/119.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email