Menjauhkan diri dari dunia dapat mendekatkan kita kepada Allah Swt. Selama manusia masih terikat pada dunia, ia tidak mungkin sampai kepada- Nya. Semua yang bersifat duniawi seperti kedudukan, harta benda, dan egDisme adalah sebab-sebab yang menghalangi manusia untuk sampai kepada Allah Swt. Oleh karena itu, ketika ingin menjelaskan rahasia- rahasia (asrar) ibadah, Allah Swt berfirman: “Aku ingin menyucikan kalian.” Karena sebelum menyucikan dirinya, manusia tidak akan sampai kepada Allah Swt.
Al-Quran al-Karim yang merupakan faidh (manifestasi) Ilahi hanya diturunkan Allah Swt untuk orang-orang yang suci: “Sesungguhnya al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh al-Mahfuz). Tidak menyentuhya kecuali orang-orang yang disucikan.”(al-Waqi’ah: 77-79). Hanya mereka yang disucikanlah yang akan memperoleh pengetahuan al-Quran. Dan para imam suci adalah orang-orang yang telah benar-benar disucikan. Al-Quran menyifati mereka dengan: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”(al-Ahzab: 33)
Tidak seorangpun dapat memahami al-Quran hingga ke dasarnya kecuali mereka yang telah dibersihkan. Para imam adalah orang-orang bersih dan suci yang mengetahui dasar dan hakikat al-Quran. Dan para murid mereka juga mendapat pernahaman dan pengetahuan tentang al-Quran berdasarkan pada kesucian.
Al-Quran menganggap kesucian sebagai rahasia setiap ibadah. Tidak ditemukan adanya ajaran atau bimbingan dalam al-Quran melainkan demi menyucikan manusia. Dan yang dimaksud dengan kesucian bukanlah kesucian lahiriah. Tidaklah benar anggapan seseorang yang membayangkan bahwa berwudu menggunakan air dengan membasuh badannya secara lahiriah hanya mensucikan sisi lahiriah dari tubuh seseorang. Karena kesucian juga dapat diperoleh dengan menggunakan tanah saat bertayammum. Dengan ini jelas bahwa kesucian yang diinginkan Allah adalah kesucian batin, kesucian dari egoisme.
Air dapat saja menyebabkan tubuh manusia suci secara lahiriah. Akan tetapi dengan menepukkan kedua tangan ke atas tanah dan mengusapkannya pada wajah dapat mensucikan manusia secara maknawi. Di dalam surat al-Maidah terdapat sebuah ayat yang menjelaskan arti bersuci: “Lalu kamu tidak memperoleh air; maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah iu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempumakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”(al-Maidah: 6)
Jika kalian tidak mendapatkan air, maka usaplah muka dan tangan kalian dengan tanah, agar kalian suci. Sebagian ulama besar mengatakan: Sesungguhnya memukulkan kedua tangan ke batu yang tidak berdebu adalah musykil (dipertanyakan kebenarannya) karena ayat mengatakan: “Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” Oleh karenanya, diharuskan mengusapkan sesuatu berupa debu ke wajah.
Allah berfirman: “Dia tidak ingin membebani kalian tetapi ingin menyucikan kalian.” Jelas, mengusap wajah dan kedua tangan dapat menyucikan manusia secara maknawi, menyucikan manusia dari ego. Karenanya, jangan lagi berkata dengan perkataan yang tidak baik, seperti mengatakan: saya berpendapat begini atau begitu.
Sebagaimana Allah Swt tidak begitu saja meninggalkan nikmat kecuali Dia menghitungnya. Maka pembahasan kali ini berkisar tentang syukur atas nikmat. Tayamum merupakan nikmat dari Allah Swt yang pantas kita syukuri.
Musuh terbesar bagi manusia bersumber dari dalam dirinya, yaitu jiwanya. Tidak pernah ditemukan adanya keburukan yang melebihi buruknya jiwa. Oleh karena itu, kewajiban ibadah diturunkan tak lain untuk menyelamatkan manusia dari segala bentuk penyakit jiwa. Seluruh ajaran yang lurus datang untuk menyucikan manusia. Dengan begitu, tujuan orang yang melakukan shalat, berpuasa, dan berjihad adalah agar dirinya menjadi suci. Begitu pula dengan orang yang mengejar kesyahidan dan menanggung beban derita peperangan. Tujuan mereka adalah demi meraih kesucian diri dan bersih dari segala bentuk egoisme.
Dalam ibadah shalat terdapat rahasia, begitu pula dengan ibadah puasa. Dan kesucian merupakan salah satu rahasianya. Kewajiban berperang dan berhaji juga memiliki rahasia. Sebagaimana orang-orang yang melakukan shalat memiliki derajat yang berbeda, maka demikian pula halnya dengan orang-orang yang melakukan haji dan berjihad. Oleh karenanya, kita harus beramal dengan amalan yang dapat meninggikan derajat kita di antara para mushallin (yang shalat), para hujjaj (yang haji), serta para mujahid.
Ini merupakan cita-cita yang tinggi, yang mengajarkan kita bahwa jalan menuju Allah Swt senantiasa terbuka. Tidak dimonopoli ataupun tertutup bagi seseorang. Pada setiap malam jum'at, ketika berdoa dengan doanya Imam Ali, kita meminta agar Allah menjadikan kita hamba yang paling afdhal (utama) di sisi-Nya. Ini membuktikan bahwa jalan menuju Allah Swt tetap terbuka.”Yang paling dekat kedudukannya dengan-Mu, yang paling istimewa tempatnya di dekat-Mu.”9 Jalan tersebut tak pernah tertutup bagi siapapun.
Seyogianya, cita-cita kita bukan sekadar agar tidak masuk ke dalam neraka. Seseorang tidak dapat merasa bangga hanya lantaran dirinya tidak masuk ke dalam neraka. Sebabnya, banyak manusia yang tidak diazab dan dibakar di neraka. Bayi, orang hilang akal, orang yang lemah dan tidak mengetahui hukum-hukum Ilahi merupakan orang-orang yang terbebas dari azab neraka. Karenanya, terbebas dari api neraka bukanlah sebuah kebanggaan. Tetapi keutamaan yang patut dibanggakan adalah manakala kita menjadi panutan kemanusiaan dan hamba yang paling afdhal di sisi Allah Swt. Semoga Allah menempatkan kita pada maqam tertinggi dari yang mampu dicapai oleh manusia, selain maqam para nabi dan para imam.
Dalam hadis dari Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib as, dari Rasulullah saww, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal yang tinggi dan mulia serta membenci hal-hal yang rendah.”10 Allah Swt mencintai orang-orang yang memiliki keinginan yang agung dan pemikiran yang benar.
Hendaknya kita tidak membangun amal hanya dengan tujuan agar selamat dari api neraka di hari kiamat. Juga tidak meninggalkan penyembahan kepada Allah lantaran takut api neraka (sebab semua itu merupakan ibadah seorang budak).11 Banyak sekali hadis yang mengajak kita untuk menghidupkan berbagai keinginan yang bernilai dan mulia, serta meminta permohonan yang agung dan mulia kepada Allah Swt.
Hadis yang diriwayatkan dari Imam Husain as memberikan pelajaran yang tak temilai kepada kita ―yang juga merupakan bukti sejarah diri beliau― sehingga kita menjadi orang-orang yang memiliki keinginan agung dan mulia. Hadis tersebut, sebagaimana diajarkan oleh kakeknya Rasulullah saww. mengandung pelajaran yang akan menjadikan suatu umat sebagai umat yang terhormat dan memiliki jiwa yang agung. Setiap orang yang terdidik dan lulus dan madrasah Rasul tidak akan mengajukan alasan-alasan sebagai bukti kelemahannya. Yang lahir dari mereka adalah ungkapan pengorbanan dan kesyahidan. Ungkapan yang mengartikan ketakutan tidak ditemukan dalam kamus akidah Imamiyah dan Wilayah. Perasaan takut tidak akan pernah menghampiri orang-orang yang dicintai oleh Allah Swt.
Seandainya kesempatan untuk hidup abadi dan memiliki maqam yang tinggi diberikan pada seseorang, niscaya seluruh keinginan dan usahanya akan diarahkan semata-mata demi mendapatkan kesempatan tersebut. Kita tidak sedang berbicara tentang sejumlah air, sebidang tanah, atau bagaimana selamat dan api neraka saja. Tetapi pada setiap bagian ajaran agama pasti terdapat sisi ruhaniah dan material. Seluruh perkara yang berhubungan dengan thaharah, hingga masalah tawalli dan tabarri, juga masalah perang dan jihad, tidak akan terlepas dari dua sisi ini. Dan sesungguhnya aspek ruhaniah yang tinggilah yang akan mengantarkan seorang syahid kepada maqam yang tinggi tersebut.12
Al-Quranlah yang telah menunjukkan kepada kita, sisi ruhaniah dari peribadatan, sehingga kita dapat menjadikannya titik tolak untuk memahami sebagian hukum. Al-Quran telah menjadikan thaharah sebagai jalan awal menuju kepada sebagian hukum-huku Ilahi lainnya. Dan dari hukum- hukum tersebut, nampak dengan jelas bahwa Allah Swt menginginkan manusia menjadi hamba-Nya, bukan hamba selain-Nya.
Khusus mengenai shalat, Rasulullah saww bersabda: “Dalam setiap waktu-waktu shalat, malaikat memanggil: ‘Wahai manusia bangkitlah melawan api yang telah kalian nyalakan di punggung kalian, maka padamkanlah api tersebut dengan shalat kalian.’”13
Shalat merupakan sungai yang jernih dan sumber air yang melimpah. Shalat memadamkan api di punggung manusia dan mencegahnya menyala kembali. Shalat menghapus dosa-dosa yang dilakukan manusia, sekaligus mencegahnya melakukan untuk yang kedua kalinya. Inilah kelebihan shalat sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Alah mengetahui apa yang kerjakan.”(al-Ankabut: 45)
Diriwayatkan dari Imam Shadiq as: “Pertama kali yang dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Jiku shalatnya diterima, maka seluruh amal perbuatannya diterima, dan jika shalatnya ditolak, maka ditolak pulalah seluruh amalnya. Maka jika engkau shalat, hadapkanlah hatimu kepada Allah karena tidak ada seorang hamba mukmin yang menghadapkan hatinya kepada Allah di dalam shalat dan doanya kecuali Allah menghadapkan hati mukminin kepadanya. Dan Allah mengokohkannya di surga bersama orang-orang yang mencintainya.”14
Karena itu, hal yang pertama kali akan ditanyakan pada seorang hamba adalah berkenaan dengan shalatnya. Jika shalatnya diterima, maka seluruh amalnya akan diterima. Al-Quran juga telah mendefinisikan shalat dan orang yang shalat. Orang yang shalat adalah orang yang tidak tamak terhadap dunia. Seluruh harta benda yang dimiliki tidak menjadikannya lupa untuk beribadah. Dan selain dari mereka adalah budak-budak dunia yang sebut al-Quran dengan: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. apabila ia ditimpa kesusahan in berkeluh-kesah, dari apabila ia mendapatkan kebaikan ia kikir.”(al-Ma’arij: 19-21). Demikianlah tabiat manusia. Akan tetapi al-Quran telah mengecualikan orang-orang yang shalat dari mereka yang memiliki tabiat semacam ini.”Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.”(al-Ma’arij: 22).
Orang-orang yang shalat akan terpelihara dari segala bentuk keburukan. Shalat menyucikan manusia dari keburukan, menjaganya, dan membersihkan jiwanya. Shalat membawa fadhilah dan menjauhkan manusia dari keburukan.
Imam Shadiq as berkata: “Seorang hamba jika shalat pada waktunya dan menjaga shalatnya, maka shalat itu naik sebagai warna putih bersih dan berkata: Engkau telah menjagaku, semoga Allah menjagamu. Dan jika shalat tidak pada waktunya dan tidak menjaga shalatnya, maka shalat itu naik sebagai warna hitam gelap dan berkata: Engkau telah mengabaikanku, semoga Allah mengabaikanmu.”15 Dari sini menjadi jelas bahwa shalat memiliki hakikat, hidup, dan ruh yang kekal. Ia mendoakan kebaikan bagi orang yang shalat dan doanya dikabulkan. Jika shalat dilakukan tidak pada waktunya, maka ia akan naik dengan rupanya yang berwarna hitam sembari mendoakan kejelekan.
Keadaan yang paling utama dalam melakukan shalat adalah bersujud. Imam Shadiq as berkata: “Setiap seorang hamba mendekatkan keningnya ke tanah, ia mendekat kepada Allah Swt. Paling dekatnya seorang hamba kepada Allah Swt adalah di saat ia sedang sujud.”16
Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali as bersabda: “Saya heran terhadap orang yang di depan rumahnya terdapat mata air dan ia mandi di mata air tersebut setiap hari 5 kali, kemudian ia tidak menjadi suci.”17 Beliau as bersabda, bahwa shalat seperti mata air yang suci dan mensucikan. Seseorang yang dalam setiap harinya melakukan shalat lima kali ―dan shalat ibarat air berlimpah yang membersihkan manusia― namun tidak juga merasakan thaharah (kesucian) dan lezatnya shalat, maka ketahuilah bahwa shalat tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Mungkin saja shalat kita tidak diterima meskipun telah dilakukan dengan benar. Karena shalat hanya akan diterima apabila dilakukan dengan batin yang suci sehingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam diri kita. Imam Shadiq as berkata: “Tidak berkumpul perasaan takut dan berharap di dalam hati seseorang, kecuali ia mendapatkan surga.”18
Surga adalah pahala bagi seseorang yang merasa takut dan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt. Terkadang, seseorang menjadikan Allah Swt sebagai sarana untuk mencapai surga. Hal ini dapat terjadi karena ia mengharapkan sesuatu yang remeh, sementara Allah Swt tidak menyukai harapan semacam itu. Di lain pihak, seseorang tidak mengharap apapun kecuali bertemu dengan Allah dan ridha-Nya, sehingga ia mendapatkan rizki kenikmatan dari Tuhannya.
Apabila perasaan berharap dan takut berkumpul dalam hati seseorang, maka pahalanya adalah surga. Apabila seseorang mampu menghadirkan hatinya di dalam shalat, maka lebih mudah baginya untuk memelihara mata dan telinganya di luar shalat. Meskipun seseorang membebaskan pandangan dan pendengarannya di luar shalat, ia akan terpelihara dari perkara yang membahayakannya apabila selalu sibuk menghadirkan hatinya di dalam shalat. Yang terpenting adalah hendaknya seseorang senantiasa menjaga anggota tubuhnya ketika sedang melakukan shalat.
Kita diperintahkan untuk membersihkan mulut: “Bersihkanlah mulut kalian karena mulut merupakan jalannya al-Quran.”19 Maksud dari membersihkan mulut bukanlah sekedar dengan sikat gigi saja, melainkan juga dengan menjaga lisan dari ucapan keji dan buruk serta menghindari makanan yang subhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya). Kita harus menjaga mulut dari seluruh ucapan yang buruk, karena mulut adalah jalannya al-Quran. Al-Quran merupakan sumber air yang melimpah (bersih), yang karenanya tidak mungkin al-Quran mengalir melalui mulut yang tidak bersih. Andaipun mengalir melalui mulut tersebut, maka ia tidak akan ada manfaatnya. Apakah pelajaran yang didapat dari membersihkan mulut? Pelajaran dan manfaat darinya adalah ketika kita membaca al-Quran, dan orang lain atau kita mendengarkannya, maka semuanya akan mendapatkan hidayah dari cahaya al-Quran dan akan mengikuti al-Quran.
Allah Swt melimpahkan rahmat dan nikmat kepada hamba-Nya ketika hati mereka menghadap kepada-Nya. Maka sebelum memberikan nikmat- nikmat-Nya, terlebih dahulu Allah Swt akan menjadikan hati-hati manusia tertuju kepada-Nya.
Alangkah menyenangkan ketika seseorang menjadi tumpuan keridhoan hati kaum mukminin. Sungguhkah manusia tidak merasa senang ketika menjadi tempat kecintaan kaum mukminin? Yang setiap orang berusaha menjadi pendukungnya dan selalu mendoakan dengan doa ampunan dan rahmat? Kapankah manusia menjadi pembuka hati-hati kaum mukminin dan pada saat apa seseorang menjadi tumpuan hati mereka? Yaitu, tatkala hatinya telah terikat dengan Tuhannya, terutama dalam melakukan shalatnya. Pada saat itulah ia menjadi orang yang dicintai kaum mukminin.
Dalam sebuah doanya, Nabi Ibrahim as berkata: “Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka.”(Ibrahim: 37) Ya Allah, jadikanlah sebagian manusia cenderung kepada keturunanku dan mencintai mereka.
Al-Quran mengajarkan kepada kita cara memiliki hati manusia: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”(Maryam: 96) Di antara berbagai nikmat yang dianugerahkan Allah kepada seorang mukmin di dunia ini adalah ketika hati manusia dan mukminin terpikat kepadanya, dan menjadikan dirinya dicintai oleh seluruh manusia. Adakah nikmat yang lebih afdhal dan derajat yang lebih tinggi dari semua ini?
Jalan untuk mencapai derajat yang tinggi ini selalu terbuka bagi manusia yang ingin mencapainya, meskipun untuk menempuhnya memang sangat sulit. Namun itu bukan berarti jalannya yang tidak jelas. Bukan, jalan untuk itu sangatlah jelas dan tidak pernah berubah! Dan akhir dari jalan tersebut adalah kebahagian abadi.
Ketika hendak menyantap makanan, Imam Ali al-Ridha as meminta sebuah wadah kosong dan menaruh di dalamnya makanannya yang terbaik. Kemudian beliau as mengirimkannya kepada fakir miskin sambil membaca ayat ini: “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?”
(al-Balad: 11-12)20
Kenapa manusia tidak mati keluar dari belenggu ini? Kenapa mereka lebih menyukai jalan di atas tanah yang rendah dan tidak segera naik ke puncak agar penglihatan mereka menjadi jelas? Orang yang berjalan di bawah tidak akan bisa melihat sesuatu. Sedangkan orang yang menaiki gunung akan dapat melihat segala sesuatu dengan baik. Kenapa manusia memberikan sisa-sisa makanan dan pakaian yang lusuh kepada fakir miskin? Ini bukanlah jalan yang benar dan bukan pula jalan yang mendaki lagi sulit. Kenapa kita hanya puas dengan tingkatan yang rendah? Kenapa manusia tidak mau naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi? Ayat Yang mulia ini mengajak kita untuk menghancurkan belenggu dan naik ke atas. Allah Swt tidak menyukai amalan-amalan yang rendah.
Apabila kita melihat adanya hati-hati manusia tertentu yang tertarik dengan kedudukan atau tingkatan tertentu, tentunya kita harus yakin bahwa Allah Swt-lah yang menjadikan semua itu. kedudukan tersebut hanya diperuntukkan bagi orang yang mau naik ke atas dengan melalui jalan yang benar. Tidaklah logis apabila manusia menghadapkan jiwanya kepada Allah dalam shalatnya namun Allah Swt tidak menghadapkan jiwa mukminin kepadanya. Inilah anugerah kenikmatan di dunia, sekaligus juga di akhirat kelak.
Setiap shalat memiliki keutamaan tertentu. Di antaranya adalah shalat duhur.”Peliharalah segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha.”(al-Baqarah: 238)
Dari berbagai riwayat, shalat wustha ditafsirkan sebagai shalat duhur.21 Jika matahari sudah tergelincir dan memasuki waktu shalat. maka janganlah Anda sia-siakan fadhilah shalat tepat waktu. Tatkala zawal, pintu-pintu rahmat terbuka, maka segera mohonlah belas kasih Allah Swt pada waktu ini. Janganlah Anda sibuk berdoa hanya untuk diri Anda atau kedua orang tua Anda. Berdoalah untuk seluruh mukminin dan mukminat. Jadikanlah keinginan Anda tersebut membubung tinggi. Imam al-Ridha as berkata: “Kepada-Mu-lah, ya Allah, pujian jika aku taat kepada-Mu. Dan aku tak memiliki hujjah jika Engkau berikan kebaikan-Mu kepadaku dan tidak kepada selainku. Dan aku tidak memiliki alasan jika Engkau berlaku jelek terhadapku. Apa yang aku dapat dari kebaikan itu dari-Mu. Wahai Yang Maha Pemurah, ampunilah orang yang ada di Timur dan di Barat, dari kaum mukminin dan mukminat.”22
Zawal adalah saat di mana pintu-pintu rahmat dibukakan oleh-Nya. Karena itu, disunahkan untuk memulai peperangan setelah zawal. Ini termasuk salah satu rahasia jihad. Sebelum zawal, makruh hukumnya berjihad. Kecuali apabila musuh telah memulainya pada saat itu.23
Membalas serangan musuh dibolehkan secara hukum, kapanpun waktunya. Al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa layaknya masalah-masalah yang bersifat individual memiliki qishas (pembalasan), demikian pula halnya dengan hukum-hukum Ilahi. Hukum-hukum semacam ini juga memiliki qishas. Jika seseorang dibunuh dengan cara yang zalim, maka keluarga yang terbunuh memiliki hak untuk meminta qishas.
“Dan dengan qishas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal.”(al-Baqarah: 179) Selain itu, apabila musuh melakukan serangan pada bulan-bulan yang diharamkan berperang, hukum memperbolehkan untuk melakukan balasan. “Pada sesuatu yang dihormati berlaku hukum qishas.”(al-Baqarah: 194).
Ayat tersebut menyatakan bahwa kalian dapat meng-qishas mereka (musuh-musuh) pada bulan-bulan tersebut. Karenanya, janganlah kalian mengharamkan pembelaan diri atas orang-orang yang menyerang kalian di bulan-bulan yang diharamkan. Bela diri kalian dan balas musuh kalian! Berdiam diri terhadap kezaliman merupakan kehinaan dan Allah tidak menyukai kehinaan. “Tidak melakukan kezaliman kecuali yang lemah.”24 Alangkah agung dan tingginya makna semua itu! Imam Ali as menyebut orang yang menerima kezaliman dengan kelemahan. Umat yang mulia tak akan pernah menerima kezaliman. Imam Ali as berkata: “Kembalikanlah batu itu dari tempat asalnya karena kejahatan ditolak dengan kejahatan.”25
Kenapa memulai perang sebelum duhur hukumnya makruh dan setelah duhur hukumnya sunah? Rahasianya dapat kita ketahui dari berbagai hadis. Yaitu, mudah-mudahan Allah Swt memberikan hidayah kepada kaum kafirin dan munafikin sehingga mereka masuk Islam. Dengan itu darah mereka terselamatkan. Inilah rahasia peperangan. Penulis buku al-Jauhar ―semoga Allah memberinya rahmat― menulis bahwa Sayyid al-Syuhada, Imam Husain bin Ali as, mulai bergerak dan berjihad setelah shalat duhur. Adapun peperangan yang beliau lakukan sebelum shalat duhur merupakan pembelaan terhadap dirinya. Saat itu, Imam Husain as terlebih dahulu melaksanakan shalat. Baru kemudian beliau turun ke gelanggang peperangan untuk menghadapi musuh. Pintu-pintu rahmat terbuka setelah zawal. Sebab itu, memohonlah kepada Allah, rahmat yang sempurna.
Rasulullah bersabda: “Jika matahari tergelincir pintu-pintu langit dan pintu-pintu surga terbuka dan doa dikabulkan. Maka berbahagialah orang yang berdoa pada saat itu dan mengerjakan kebaikan.”26
Keselamatan akan dilimpahkan bagi orang yang mengerjakan kebaikan setelah zawal. Amalnya akan diangkat ke langit, begitu juga dengan or-ang yang mengamalkannya. Kedua-duanya akan diangkat ke langit. Tidak logis jika amalnya diangkat sementara orang yang melakukannya tidak diangkat. Niat manusia tak mungkin terlepas dari amalnya. Keberadaan amal bukanlah seperti asap. Ia merupakan hakikat yang nyata dan tidak lepas dari keberadaan ruh manusia. Apabila ruh manusia tetap tinggal di bumi, amalnya pun tidak akan terangkat, Ruh merupakan sumber dari segala amal. Manusia yang diangkat ke langit bersama amalnya akan menjadi manusia malaikat. Ia akan berada dalam barisan para malaikat.
Dari ucapan-ucapannya yang pendek, Imam Ali pernah berkata: “Orang yang mengerjakan kebaikan lebih baik dari pekerjaan tersebut, dan sebaliknya orang yang mengerjakan kejahatan lebih jahat dari kejahatan tersebut.”27 Manusia yang shalih lebih afdhal daripada amal yang shalih. Jika shalat memiliki fadhilah, maka fadhilah-nya terdapat pada orang yang shalat. Karena shalat merupakan pekerjaannya, maka bagaimana mungkin shalatnya diangkat sedangkan orangnya tidak? Juga, bagaimana mungkin puasa diangkat sedangkan orang yang berpuasa tidak? Begitu pula dengan pekerjaan yang buruk dan pelakunya. Orang yang mengerjakan keburukan akan lebih buruk daripada keburukan itu sendiri.
Jika amal kebajikan diangkat, maka ruh manusia yang mengerjakannya pun diangkat. Rasulullah saww bersabda kepada umatnya: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu.” (al-An’am: 151)
Kata panggilan ilayya berbeda dengan ta’al. Kata ilayya digunakan tatkala salah seorang di antara dua orang yang sama-sama berada di tempat yang tinggi, memanggil orang yang satunya lagi. Adapun jika keduanya berada di dua tempat yang berbeda, maka orang yang berada di tempat yang lebih tinggi akan mengatakan ta’al kepada orang yang berada di tempat yang lebih rendah. Pembicaraan para nabi adalah seperti ini.
Catatan ini disebutkan penulis tafsir al-Baidhawi ketika ia berkata: “Sebagian orang membangun tempat tinggal di gunung. Mereka membangun rumah di atas gunung dan menjadikan lembah sebagai tempat bercocok tanam. Ketika anak-anak mereka bermain di lembah-lembah tersebut, mereka memanggilnya dengan kata-kata ta’alaw ... ucapan para nabi seperti ini. Dan al-Quran, ketika menukil ucapan nabi, berkata: ‘Ta’alaw atlu...alaikum.’”
Sampai kapan kita akan tetap memandang dari bawah? Sadr al-Muta’alihin berkata: “Manusia yang menghabiskan umurnya untuk membangun istana atau mengumpulkan harta, tidak mungkin bisa naik atau sampai ke maqam yang diterima di sisi Allah. Layaknya sebatang pohon, setiap bertambah tinggi, akarnya akan semakin menancap ke tanah. Pokok pohon adalah akar; adapun rantingnya tak lain dari bagiannya.”
Manusia yang hanya menginginkan dunia dan perhiasannya semata- mata mengarahkan perhatiannya ke tanah. Ia seperti pohon yang akar- akamya memanjang ke dalam tanah. Manusia seperti ini tidak mungkin sanggup naik ke atas tangga kesempurnaan. Allah Swt memerintahkan kita untuk menjadi seperti malaikat, bukan seperti pohon.28
Acapkali kalimat seperti ini kita jumpai dalam banyak hadis. Salah satunya dalam sabda Rasulullah: “Marilah, marilah (ta’alaw).” Kapan kita mengetahui dan naik ke puncak? Ketika kita tidak mengetahui sesuatu, kita harus naik untuk mengetahuinya. Ketika kontrol pemerintahan terlepas dari tangan kita, seyogianya kita naik untuk mempelajari bagaimana cara menguasai hawa nafsu dan keinginan-keinginan kita.
Sayang sekali, banyak di antara manusia yang berdiri di sisi orang-orang munafik dan zalim kemudian membandingkan dirinya dengan mereka dan berkata alhamdulillah. Imam al-Mujtaba berkata: “Janganlah engkau bandingkan dirimu dengan orang-orang yang hina atau engkau tetap di tempatmu dan tidak naik.”29 Tetapi ucapkanlah, segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kami bersama orang-orang kufar dan munafik. Jangan jadikan dirimu bersama mereka. Namun jadikanlah dirimu bersama para syahid di Karbala. Bandingkanlah dirimu dengan sahabat-sahabat Imam Husain as. Bandingkanlah dirimu dengan orang-orang yang shalat Subuh dengan wudu shalat Isya’nya.
Darah suci para pengikut Imam Husain as telah menjaga Islam. Artinya, seandainya tidak ada darah-darah tersebut, Islam tak akan sanggup mengemban seluruh pukulan, krisis, kekejaman pemimpin, dan pembunuhan para imam dengan cara berbeda-beda, mulai dari syahidnya Imam Husain as sampai dengan wilayah Imam Hasan al-Askari. Islam mengalami penderitaan yang sangat berat akibat tangan-tangan pemimpin Umawiyah, Abbasiyah, dan sebagian pemimpin yang zalim. Kedati demikian, Islam tetap bertahan! Semua itu tak lain lantaran keutamaan darah suci yang mengalir di tanah Karbala. Apabila kita memahami bagaimana darah-darah tersebut menjaga umat, maka saat itu pula kita memahami bahwa darah-darah tersebut bukanlah darah biasa. Dengan darah-darah semacam itu, kita mampu menjaga negeri dan agama kita.
Imam al-Mujtaba berkata: “Jangan jadikan dirimu bersama orang-orang yang cinta dunia. Karena kalau tidak, kau akan mendapatkan kesulitan.” Kita diwajibkan untuk menghidupkan malam Jumat dan memohon kepada Allah Swt untuk menjadikan kita hamba-Nya yang paling baik, “Yang paling istimewa tempatnya di dekat-Mu.”30 Karena itu, Rasul saww bersabda: “Selamat bagi orang yang mengerjakan kebaikan, mereka yang naik ke langit dan ruh-ruh mereka menjadi malaikat.”
Referensi:
9. Lihat Doa Kumail
10. Al-Mawaiz al-Adaniyah, Bab VI.
11. Imam Ali Berkata: “Kaum yang menyembah Allah karena ingin, maka itu adalah ibadahnya seorang pedagang, kaum yang menyembah Allah karena takut, maka itu adalah ibadahnya seorang hamba, dan kaum yang menyembah Allah karena berterima kasih maka itu ibadahnya orang yang merdeka.” Nahj al-Balaghah, al-Hikmah, hal. 237.
12. Ketika menjawab Muhammad bin al-Hanafiyah, Maqtal Awalim, hal. 54; Maqtal al-Hawarizmi, juz 1, hal. 188.
13. Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab XXX tentang “Keutamaan Shalat”, hadis ke-3.
14. Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab XXX, hadis ke-5.
15. Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab XXX, hadis ke-6.
16. Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab XXX, hadiske-7.
17. Sebagaimana disabdakan Rasul: “Sesungguhnya shalat itu bagi kalian seperti sungai di depan pintu, yang Anda setiap hari dan malam keluar darinya sebanyak lima tali, maka tidak ado kotoran yang tersisa karena sebanyak lima tali mandi dan dosa-dosa tidak tersisa karena shalat lima kali.” Lihat, Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab XXX, hadiske-19.
18. Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, BabXXX, hadis ke-11.
19. Bihar al-Anwar, juz 93, hal.13; Kanzu al-Ummal, juz 2, hal.751.
20. Kulaini, Ushul al-Kahfi; Thabathaba’i, Tafsir Mizan, Bab XX, hal. 424.
21. Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab XXIX, hadis ke-l; Tahzib al-Ahkam, juz 1, hal. 204; al-kafi, juz 1, hal. 75.
22. Bihar al-Anwar, juz 12, hal. 23.
23. Wasail al-Syi’ah, Bab XVIII, juz 11, hal. 46; Bihar al-Anwar, juz45, hal. 21; Sunan al-Baihaqi, juz 9, hal. 79-80.
24. Imam Ali berkata : “Orang yang hina tidak akan mencegah kezaliman dan tidak akan mengetahui kebenaran kecuali dengan sungguh-sungguh.”
25. Nahj al-Balaghah, “a1-Hikmah”, hal. 314.
26. Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab XXX, hadis ke-12.
27. Nahj al-Balaghah, “al-Hikmah”, hal. 151.
28. Sadru al-Mutaalihin al-Syirazi, At-Tafsir al-Khabir, juz I.
29. Al-Husaini bin Muhammad bin Said a1-Harazi, Al-Kifayah; Syaikh al-Saduq, al-Amuli, juz 14, hal. 57; juz 16, hal. 62.
30. Penggalan Doa Kumail.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email