Sebagaimana dengan keberadaan bumi, langit dengan seluruh bagiannya, serta alam tabiat yang memiliki nilai-nilai batin dan tersembunyi, demikian pula dengan aturan Ilahi di alam syariat. Allah telah menjadikan keberadaan kiamat sebagai lawan dari dunia nyata. Allah Swt berfirman bahwa sebagian manusia hanya memiliki pengetahuan mengenai keberadaan dunia hanya terbatas pada sisi lahiriahnya belaka, dan tidak memiliki pengetahuan tentang alam akhirat: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”(al-Rum: 6) Dengan demikian, jelas bahwa akhirat merupakan aspek batin dari dunia, dan seluruh nilai batin yang ada dalam diri manusia, juga yang ada dalam seluruh keberadaan di dunia ini, akan menjadi nyata di alam akhirat.
Al-Quran menyatakan bahwa pada hari kiamat, sebagian manusia akan datang dengan wajah putih bersih, sementara sebagian lainnya datang dengan wajah yang hitam legam.
Dalam kehidupan dunia, kulit yang putih bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan kebanggaan dan keutamaan. Ini merupakan ajaran Islam. Dan Islam tidak mengakui segala bentuk kebanggaan dan keutamaan kecuali ketakwaan.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”(al-Hujurat: 13) Ketika Rasulullah membuka kota Mekah, yel-yel yang dikumandangkan kaum muslimin mencemrinkan tidak adanya perbedaan antara putih dan hitam, atau Arab dan ajam, kecuali ketakwaan di antara mereka.
Di seluruh dunia, kulit putih atau hitam tidak menjadi standar kesempurnaan. Ketika itu, banyak orang yang ingin menjadi muazzin (petugas azan) Nabi saww. Mereka sangat berharap untuk diizinkan mengumandangkan azan di atas Ka’bah. Akan tetapi Rasul Allah malah memilih seseorang yang berkulit hitam, Hilal al-Habasyi ―semoga Allah meridhainya― untuk menjadi muazzin bagi beliau. Rasul saww bersabda kepadanya: “Pergilah ke atas Ka’bah dan kumandangkanlah azan.”124 Keutamaan dan kebanggaan dalam warna kulit hanya terjadi di akhirat, bukan di dunia.
Kita ketahui, sesuai dengan pernyataan Al-Quran yang mulia, bahwa sebagian orang akan dibangkitkan dengan wajah-wajah yang putih bersinar dan sebagian lagi dengan wajah-wajah hitam legam. Itu artinya batin setiap orang akan menjadi nyata di sana.”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam muram.”(Ali Imran: 106) Siapa saja yang memiliki batin yang hitam ketika hidup di dunia, akan dibangkitkan di akhirat dengan wajah yang legam. Sedangkan orang-orang yang batinnya bercahaya ketika hidup di dunia, juga akan putih bercahaya di akhirat. Semua itu terjadi lantaran keberadaan akhirat merupakan aspek batin dari keberadaan dunia. Dan dikarenakan itu, keberadaan akhirat menjadi lawan dan keberadaan dunia.
Allah Swt berfirman: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedangkan mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” Allah Swt menjadikan akhirat sebagai lawan dunia.
Tidaklah mengherankan tatkala sebagian niat dan pemikiran kita di dunia ini membekas di wajah kita. Itu dimaksudkan agar Allah mengetahuinya. Kenapa wajah seseorang memerah ketika malu untuk mengucapkan sesuatu? Pengetahuan dan pemikirannya telah mempengaruhi wajahnya sehingga memerah. Seseorang yang berbicara batil namun tidak mengetahui bahwa itu batil, wajahnya tidak akan memerah. Tetapi apabila mengetahui kebatilan dari ucapannya, ia tentu akan merasa malu dan wajahnya akan memerah. Pengetahuan tersebut mungkin akan tampak di wajah, sehingga menjadikannya memerah.
Jika seseorang merasa takut terhadap sesuatu, maka perasaan tersebut segera terpancar di wajahnya, sehingga menjadi pucat. Dari sini kita mengetahui bahwa keadaan pikiran merupakan faktor yang memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi wajah, sehingga mengakibatkannya berubah menjadi merah atau pucat.
Niat dan tujuan yang buruk membuat Taut muka menjadi hitam. Adapun niat dan tujuan yang baik akan menjadikan raut muka putih berseri. Tetapi Allah adalah Maha Penutup terhadap kesalahan-kesalahan dengan tidak menyingkapkan perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan manusia. Sebagian ahli makrifat mampu melihat batin manusia. Mereka mampu melihat siapa yang wajahnya hitam dan siapa yang putih. Mereka juga mampu melihat keluarnya api dari mulut orang tertentu yang sedang berbicara. Para ahli makrifat akan melihat orang-orang yang selalu melakukan maksiat yang mulutnya semata-mata mengeluarkan hal yang buruk, penuh dengan kobaran api.
Mulla Abdurrazzak al-Kasyani ―semoga Allah merahmatinya― yang termasuk ulama Imamiah terkenal mengatakan bahwa sebagian orang tidak makan kecuali pohon yang berduri. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt: “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri.”(al-Ghasyiyyah: 6) Dan di tempat lain, Allah Swt berfirman: “Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali darah dan nanah, tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.” (al-Haaqah: 36-37) Al-Gislin adalah nanah. Ulama besar ini menyatakan dalam tafsirnya: “Kami telah melihat siapa yang memakannya.” Artinya, ahli makrifah melihat aspek batin dari beberapa perbuatan sebagai nanah.
Berdasarkan ini, al-Quran menyatakan bahwa sekelompok manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan wajah yang hitam dan sekelompok yang lain dengan wajah putih bersih. Karena itu, dalam riwayat disunnahkan membaca doa ini ketika berwudu dan membasuh muka: “Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari diputihkannya wajah-wajah, dan janganlah Engkau hitamkan wajahku di hari dihitamkannya wajah-wajah.”125 Inilah zikir yang kita baca ketika berwudu.
Dengan demikian jelas bahwa keadaan pikiran akan mempengaruhi wajah seseorang. Apabila seekor ular atau kalajengking berlalu di dekat orang yang sedang lalai, maka muka orang tersebut tidak akan terpengaruh. Tetapi bila ia mengetahuinya, segera saja wajahnya akan memucat karena takut.
Takut merupakan pengetahuan jiwa yang akan mempengaruhi wajah. Pengetahuan tentang dosa, kekufurnn, kemunafikan dan kemaksiatan, dan sebagainya, merupakan ihwal kejiwaan yang akan mempengaruhi wajah seseorang dan menjadikannya hitam. Namun hitamnya wajah hanya akan tampak di hari kiamat. Ketika itu akan menjadi jelas bagi kita; siapa yang berwajah hitam dan siapa yang berwajah putih.
Sebagaimana semua itu memiliki aspek lahir dan batin ―kendati aspek batinnya baru muncul di hari kiamat― begitu pula dengan seluruh ibadah yang mengatur kehidupan kita. Semuanya memiliki aspek lahir yang disebut hukum dan adab, serta memiliki aspek batin yang disebut dengan rahasia-rahasia ibadah.
Pada bulan puasa yang mulia, Rasulullah saww menyerukan: “Telah datang kepada kalian bulan Allah.” Dikarenakan adanya kewajiban berpuasa dan itu ditujukan hanya untuk Allah semata, maka bulan Ramadhan disebut dengan bulan Allah. Sementara bulan Rajab disebut dengan bulan wilayah, dan bulan Sya’ban dengan bulan kenabian dan risalah. Karena itu, Rasul saww berkata dalam doa bulan Rajab: “Mintalah kalian kepada Allah Swt di bulan ini agar kalian mendapatkan taufik dari Allah di bulan Ramadhan yang mulia.”126
Pada bulan ini, seseorang tidak akan mendapatkan taufik sebelum menunaikan prolog-prolognya. Dalam riwayat disebutkan: “Janganlah kalian katakan Ramadhan, tetapi katakanlah bulan Ramadhan, karena Ramadhan merupakan salah satu nama Allah Swt. Bulan puasa pada dasarnya adalah bulan Allah. Jika pada bulan ini seseorang belum sampai berjumpa dengan Allah, maka ia belum sampai pada aspek batin puasa. Ia tidak mendapatkan pemberian atau hadiah apapun, sekalipun di dunia ini.
Ibnu al-Atsir berkata: Dari titik-titik yang mendasari hal itu, Allah Swt berfirman dalam hadis qudsi: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.” Tak ada satupun dan umat yang menyembah berhala akan berpuasa untuk berhalanya. Kendati menyembah dan mempersembahkan korban-korban serta mengadakan berbagai ritus yang lain demi sang berhala, namun mereka tidak berpuasa. Ibadah puasa hanya milik Allah semata. Tak ada satupun orang musyrik yang berpuasa demi mendekatkan diri kepada berhala. Puasa merupakan taklif Ilahi. Memang, Ibadah-ibadah lain telah mereka sekutukan dan dilaksanakan untuk selain Allah, tetapi tidak untuk puasa. Karena itu, Allah Swt berfirman: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.” Allah menjadikan puasa untuk diri-Nya dan Allah sendiri yang memberi pahala bagi orang yang berpuasa.
Dalam sebuah hadis lain, Rasul saww bersabda: “Maukah kalian aku kabarkan sesuatu yang jika kalian kerjakan setan akan menjauhi kalian sebagaimana jauhnya Timur dengan Barat?” Para sahabat berkata: “Ya, wahai Rasulullah.”Maka Rasul saww bersabda: “Puasalah yang menghitamkan wajahnya (setan).”127 Alangkah agungnya puasa, sampai-sampai membuat wajah setan menjadi hitam legam dan menjauh dari manusia!
Apakah puasa berarti penjagaan seseorang dari tidak makan? Ataukah menjaga dari setiap hal yang diharamkan?
Dua orang laki-laki datang menemui Rasulullah saww dan berkata: “Kami tidak mampu untuk menahan rasa lapar dan haus.”128 Rasul saww bersabda: “Jika kalian berpuasa, kenapa kalian memakan daging?” Keduanya berkata: “Kami berpuasa dan kami tidak memakan apapun.” Rasul saww bersabda: “Bawakan kepadaku baskom.” Dan beliau berkata kepada keduanya: “Muntahlah di dalam baskom ini!” Ketika mereka muntah, keluarlah dari perut mereka seonggok daging. Rasul saww berkata: “Daging ini yang kalian makan hari ini, kalian berdua tidaklah berpuasa. Ini dihasilkan dari ghibah kalian kepada saudara mukmin kalian. Ini adalah daging mayat yang kalian makan. Ini adalah batin ghibah yang tampak dalam bentuk daging mayat.”
Mungkin saja terdapat satu usaha penelitian yang canggih untuk membuat alat penyingkap kebohongan (lie detector) dan alat yang bisa menyingkap apa yang ada di balik tabir. Akan tetapi ia tidak akan mampu menyingkap batin seseorang, sebagaimana menyingkap aspek batin dari ghibah yang berbentuk daging mayat. Ilmu pengetahuan hanya khusus berhubungan dengan hal-hat yang bersifat lahiriah dan bersifat material, namun tidak mampu menyingkapkan hal-hal yang bersifat ghaib. Sebabnya, masalah ini bukan bersifat material sehingga ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan pandangannya.
Apabila salah seorang imam maksum berkata kepada seseorang: “Aku melihat tanda-tanda makanan di tenggorokanmu dan kamu tidaklah berpuasa,” maka ilmu pengetahuan juga bisa melihat makanan atau sisa- sisanya yang terdapat di tenggorokan. Namun ilmu pengetahuan tidak bisa melihat umat seseorang atau ghibah yang dilakukan terhadap saudaranya. Hal ini bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan.
Sebagaimana dosa-dosa memiliki aspek batin, demikian pula dengan ketaatan. Salah satu rahasia puasa adalah menghitamkan wajah setan. Jika wajah seseorang tidak putih berseri, jelas ia tidak mungkin mampu menghitamkan wajah setan. Puasa juga memiliki pengaruh yang lain, yaitu menjauhnya setan dari diri seseorang. Jika ingin mengetahui apakah setan bersama diri kita atau tidak, kita harus kembali membuka lembaran-lembaran masa silam dan melihat apa yang terlintas dalam benak kita. Sesungguhnya, bukan kita yang menciptakan segala hal yang terlintas dalam pikiran. Jika yang terlintas dalam benak tersebut merupakan kebaikan, itu tak lain dari penegasan para malaikat. Dan jika berupa keburukan, itu tak lain dari perbuatan setan, Jika yang terlintas di benak kita berupa keburukan, yakni mengarahkan usaha dan keinginan kita hanya untuk dunia yang fana ini, maka itu akan menjadikan seluruh niat kita berwarna hitam. Semua ini merupakan hakikat dari bisikan-bisikan setan kepada kita yang dihembuskan melalui imajinasi yang kemudian mengotori jiwa. Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa pada sisi ini, setan sedang mendampingi kita.
Untuk mengetahui apakah puasa kita diterima atau tidak, kita bisa melihatnya pada diri sendiri. Jika dalam benak kita tidak terlintas kecenderungan atau kecintaan terhadap dunia dan sejenisnya, maka puasa kita akan diterima dan setan akan menjauh dari kita sehingga menjadikan kita aman dari gangguannya. Jika yang terjadi sebaliknya, puasa kita tidak akan diterima dan setan akan menyertai kita. Puasa kita hanya bersifat lahiriah dari tidak memiliki rahasia dari aspek batin.
Dalam hadisnya yang mulia, Rasul saww bersabda: “Segala sesuatu ada zakatnya dan zakatnya tubuh adalah puasa.”129 Puasa merupakan zakat dari tubuh dan dengan puasa, tubuh manusia akan tumbuh. Dalam doa Abu Hamzah al-Tsimali130, kita membaca: “Ya Allah, setiap kali aku berkata aku telah siap dan aku telah berwudu dan aku berdiri untuk shalat di hadapan-Mu dan aku bermunajat kepada-Mu, Engkau buat aku mengantuk jika aku shalat, dan Engkau tarik menujatku jika aku bermunajat kepada-Mu.”
Kelezatan bermunajat kepada Allah bukan tidak memiliki penghalang dan tidak setiap orang dapat menikmatinya. Tidak setiap orang yang begadang di malam hari dapat bermunajat. Faktor yang menghalangi seseorang untuk bermunajat di malam hari adalah kebanyakan makan. Tak ada yang lebih buruk dari makan banyak. Makan sedikit merupakan faktor kesehatan dan keselamatan. Dengan begitu jelas, orang yang hanya makan sedikit akan sedikit pula tidurnya.
Seseorang mengunjungi Amirul Mukminin Imam Ali as yang kala itu sedang bersantap. Ia melihat makanan yang disantap Imam sangatlah sederhana. Kemudian Imam berkata: “Mungkin kamu ingin berkata: ‘Bagaimana Imam kuat berperang dan berjihad dengan makanan yang sangat sederhana ini?’”, Imam melanjutkan: “Seandainya orang-orang Arab berkumpul untuk memerangiku, maka aku tidak akan berpaling dari mereka.”131
Dari sini kita memahami bahwa kekuatan seseorang bukan bersumber dari makanan. Orang yang banyak makan justru akan menjadi lebih lemah. Dalam peristiwa pencabutan pintu gerbang Khaibar, Imam Ali as berkata: “Aku tidak mencabut pintu Khaibar dengan kekuatan badan, tetapi dengan kekuatan malakuti dan kekuatan jiwa dengan cahaya Tuhannya.”132 Aku tidak mencabut pintu karena banyak makan dari minum. Sebab, banyak makan dari minum tidak memberikan kekuatan.
Tidak makan secara berlebihan maupun tidak kekurangan makan pasti akan menjaga seseorang. Tetapi kita juga harus mendapatkan kekuatan spiritual dari jalan-jalan tertentu. Imam Shadiq as berkata: “Badan tidak akan melemah jika niatnya kuat.”133 Jika seseorang memiliki keinginan yang kukuh, maka badannya akan sekukuh keinginannya. Jika keinginannya lemah, badannya pun akan lemah, Seseorang yang memiliki iman yang kuat tidak akan merasakan beratnya berpuasa di hari yang sangat panas. Adapun jika imannya lemah, ia akan merasa letih dan berat berpuasa karena seluruh panca indranya tertuju pada tuntutan tabiatnya. Iman yang kuat akan melahirkan keinginan yang kuat. Karenanya, orang yang memiliki iman yang kukuh tidak lagi memikirkan keadaan tubuhnya.
Kadangkala, di antara dua orang yang sama-sama melaksanakan haji memiliki postur tubuh dan persiapan yang sama. Namun salah seorang di antaranya merasa bahwa ibadah haji tersebut melelahkan dan menjadi beban yang berat. Sedangkan bagi yang lain, ibadah ini dilaksanakan dengan giat dan penuh kegembiraan. Keinginan yang kuat akan menguatkan hati sehingga seseorang tidak akan merasakan letih beraktivitas di siang hari yang panas. Itu dikarenakan ia ―yang “padanya terdapat tanda-tanda yang nyata.”(Ali Imran: 97)― hanya berharap semata kepada pemilik Baitullah. Sedangkan yang lain hanya berusaha menyelesaikan ibadah haji agar dirinya bisa cepat-cepat menanggalkan pakaian ihram. Setiap kali kita memiliki keinginan kuat, otomatis tubuh kita juga akan menjadi kuat. Sebabnya, kondisi tubuh akan mengikuti bobot keinginan. Keinginan yang kuat akan membuat seluruh perasaan kita terhadap hal-hal yang bersifat duniawi menjadi semakin minim.
Diriwayatkan dari Imam Shadiq as ketika mendefinisikan Islam: “Asalnya adalah shalat, bagiannya adalah zakat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.”134
Jihad merupakan bagian dari hukum fiqh yang memiliki adab dan berbagai rahasia. Ketika seseorang mengikatkan dirinya dengan aspek batin jihad dan batin puasa, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah Swt. Hamba yang dilanda kerinduan kepada-Nya akan mengurangi perhatiannya kepada segenap hal yang bersifat duniawi. Banyak hadis yang menguatkan pentingnya puasa dalam menghadapi berbagai cobaan. Ketika kita melaksanakan ibadah shalat dan meminta pertolongan kepada Allah Swt di dalamnya dengan mengatakan: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”(al- Fathihah: 5), maka pertolongan Allah pasti akan datang. Namun datangnya pertolongan tersebut pasti akan disertai dengan berbagai rintangan.
Karenanya, al-Qur'an menyatakan bahwa permintaan khusus: “Hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” harus disertai dengan prinsip: “jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.”(al- Baqarah: 45)
Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa arti dari sabar adalah berpuasa. Imam as berkata: “Jika seseorang tertimpa musibah, maka berpuasalah.”135 Ibadah puasa bukan hanya dilaksanakan dalam kondisi peperangan. Namun dalam menghadapi setiap cobaan yang harus diselesaikan seseorang.
Apakah peran puasa dalam menyelesaikan sebuah problem? Kedudukan apakah yang diperoleh seseorang sehingga mampu menyelesaikan problem yang dihadapinya? Menahan makan secara lahiriah inilah yang akan mengangkat ruh seseorang kepada kedudukan yang tinggi dan berada di atas alam tabiat. Imam berkata: “Ketika kalian menghadapi problem, maka berpuasalah dan mintalah kepada Allah pertolongan, karena Allah berfirman: ‘Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.’” Apabila seseorang berpuasa karena Allah, maka Allah sendirilah yang di tangan-Nya segala sesuatu, yang akan menyelesaikan segenap problem yang dihadapi orang tersebut. Allah Swt akan memudahkan setiap umsan yang dimiliki orang-orang yang berjalan di jalan yang lurus. “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.”(al-Lail: 5-7)
Banyak orang yang memasuki hauzah (pesantren), namun mereka tidak memperoleh taufik untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam hal ilmu dan amal. Orang yang datang ke hauzah dengan ketakwaan yang minim dan niatnya hanya untuk materi, bukan karena Allah, akan menghabiskan hari-hari kehidupannya dalam kesenangan duniawi yang kemudian akan lenyap. Begitu pula dalam melakukan peperangan, mengikuti wajib militer, dan menolong orang lain. Setiap kali ketakwaan seseorang bertambah, maka taufik terhadapnya pun bertambah. Begitu pula dengan revolusi. Setiap kali ketakwaan bertambah dan niat bertambah suci, kemenangan akan berada di belakang rakyat. Karena itulah mereka berkata: “Berpuasalah ketika kalian mendapatkan bencana dan cobaan.” Orang yang menunaikan ajaran-ajaran agama tidak akan pernah merasa gelisah terhadap segala sesuatu. Sebabnya ia merasa yakin bahwa segala sesuatu berada di tangan Allah. Dan Allah juga akan mempermudah segenap urusannya.”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.”
Puasa juga selaras dengan kesabaran. Orang yang bertakwa kepada Allah, akan diberi ganjaran dan dipermudah segenap urusannya. Allah berfirman: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.”
Allah Swt menjelaskan contoh tentang orang-orang ―yang semuanya adalah para nabi―yang memiliki semua sifat ini melalui lisan Nabi Musa ketika meminta kepada Allah untuk memudahkan urusannya.”Dan mudahkanlah untukku urusanku.”(Thaha: 26) Dan Allah Swt menjawab dalam firman-Nya: “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.”(Thaha: 36) Kamu meminta pertolongan kepada Kami untuk mengalahkan Fir’aun dan Kami telah perkenankan permintaanmu. Kami telah banyak merealisasikan segenap urusan yang kamu minta. Kamu meminta kelapangan dana, kekuatan dalam menjelaskan, dan Kami menolong saudaramu serta menjadikannya sebagai menteri bagimu dalam penyampaian wahyu dan risalah. Kami tidak meninggalkan apapun permintaan kamu tanpa Kami kabulkan.
Khusus bagi Rasul, Allah Swt berfirman: “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu danamu? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan sebutan bagimu sebutan (nama)-mu.”(al-Insyirah: 1-4) Semua ini merupakan anugerah kedudukan yang masih mungkin kita capai. Sementara kedudukan para nabi dan orang-orang dekat kepada Allah tak mungkin bisa dicapai oleh akal kita. Contoh untuknya terdapat dalam al-Quran: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, “(al-Insan: 9)
Ayat ini khusus diperuntukkan bagi Ahlul Bait serta Fidhah, sang pembantu Ahlul Bait. Mereka telah mencapai kedudukan tersebut.136 Akan tetapi, kedudukan Fidhah tersebut bisa dicapai oleh siapa pun. Termasuk terhadap kedudukan sahabat-sahabat dan murid-murid para imam.
Kesimpulannya, aspek batin puasa mengandung kekuatan yang menjadikan seseorang mampu mengalahkan tabiatnya dengan izin Allah Swt.
Malaikat Sebagai Wakil Allah
Rasul saww bersabda: “Allah Swt mewakilkan malaikat untuk mendoakan orang-orang yang sedang berpuasa. Jibril memberitakan kepadaku dari Allah bahwa Allah berkata: ‘Aku tidak memerintahkan malaikat-Ku mendoakan seorang pun dari ciptaan-Ku melainkan Aku kabulkan doa tersebut.’”137 Allah Swt berjanji akan menerima doa para malaikat yang mendoakan orang-orang yang sedang berpuasa. Dan para malaikat tak akan mendoakan kecuali untuk kebaikan.
Penyair Sunai berkata: “Jika ulat sutera membuat sutera yang indah dengan memakan daun sutera, maka manusia pun bisa menjadi malaikat.”138
Al-Quran memberitahukan kepada kita bahwa di surga terhampar permadani yang di lapisi sutera. Adapun permadani itu terbuat dari bahan apa, hanya Allah-lah yang tahu.
Dalam al-Quran disebutkan: “Mereka berleha-leha di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera.”(al-Rahman: 54)
Tak ada pakaian di dunia ini yang lebih indah dart sutera. Allah Swt memotivasi kita dengan sutera. Oleh karena itu, Allah tidak menyebutkan keberadaan permadani secara lahiriah layaknya permadani yang bagian dalamnya terbuat dari sutera. Permadani tersebut bukan hasil tenunan ulat sutera, tetapi ditenun oleh shalat dan puasa. Sutera yang terbuat dari ulat mungkin akan rusak akibat ulah ulat yang lain. Namun permadani yang terbuat dart shalat dan puasa tak akan bisa dirusak apapun. Ini merupakan kelezatan surga yang kelak dirasakan oleh jasad kita.
Aspek batin shalat dan puasa akan menghantarkan seseorang menuju surga tempat perjumpaannya dengan Allah Swt. “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.” Allah Swt dan seluruh malaikat-Nya akan mendoakan orang-orang yang berpuasa. Kendati jelas bahwa derajat doa para malaikat berbeda-beda sesuai dengan kedudukan masing-masing. “Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu.”(al-Shaffat: 164) Setiap malaikat memiliki derajat tertentu. Malaikat yang diwakilkan untuk mendoakan orang-orang yang ikhlas berpuasa bukanlah malaikat yang mendoakan orang-orang yang berpuasa pada umumnya. Derajat yang dimiliki malaikat yang satu dengan lainnya berbeda-beda.
Sejauhmana kita bisa mengetahui aspek batin puasa? Untuk mencapai itu, kita tidak bisa menempuhnya dengan cara berpuasa secara lahiriah semata, dengan tidak makan dan minum. Akan tetapi kita harus berpuasa dengan mengetahui rahasianya, juga dengan mencegah pikiran dan imajinasi kita dilintasi hal-hal yang bersifat batil yang tidak diridhai Allah Swt. Segala sesuatu yang ada dalam pikiran kita pasti diketahui Allah Swt.
Inilah rahasia puasa yang harus dimiliki seseorang sehingga ia bisa mencapai aspek batin puasa. Orang-orang mengatakan bahwa puasa yang dilaksanakan orang-orang awam maupun para spesialis, memiliki keistimewaan masing-masing. Jika kita berpuasa dengan niat mengganggu orang lain, atau untuk mencapai kedudukan tertentu, atau kita melakukan suatu perbuatan yang tidak diridhai Allah, maka ini berarti batin kita belum berpuasa. Dengan tidak berpuasanya batin kita, maka puasa kita pun sirna dan kita tidak tennasuk dalam kategori orang-orang yang berpuasa.
Imam Shadiq as berkata: “Allah mewahyukan kepada Musa: ‘Apa yang membuatmu tidak bermunajat kepadu-Ku?’ Nabi Musa berkata: ‘Wahai Tuhanku, aku tiduk bermunajat kepadu-Mu karena mulutku yang bau karena aku berpuasa.’ Maka Allah mewahyukan kepada Musa: ‘Ya Musa, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi-Ku lebih wangi daripada bau misk.’”139
Apakah manusia tidak ingin memiliki mulut yang berbau harum? Pembicaraan bukanlah seputar kita atau pembuat misk, melainkan tentang puasa yang mernbuat mulut seseorang berbau harum. Pengaruh batin puasa (yang menjadikan mulut seseorang berbau harum) yang kita bahas tersebut barulah dari aspek fisik. Masih banyak pengaruh lain yang memiliki bentuk dan kualitas yang jauh di atasnya, Namun tak ada satupun yang mampu mengetahui semua itu kecuali Allah Swt.
Banyak hal yang dapat kita lihat dari aspek batiniah dunia. Namun tidak heran apabila apa yang kita lihat tersebut merupakan hasil pikiran dan kondisi psikis manusia. Jika seseorang menyadari kekeliruan yang terdapat dalam makalah atau tema yang diutarakannya, ia akan merasa malu dan mukanya memerah. Ini merupakan pengaruh kondisi pemikirannya. Ada kalanya keadaan pikiran seseorang bisa membuat mukanya memerah karena malu atau pucat lantaran ketakutan. Dan kadangkala ia bisa membuat pikiran dan niatnya berwarna putih dan memancarkan cahaya.
Imam Shadiq as berkata: “Allah Swt mewakilkan seribu malaikat yang mengusap muka orang yang sedang berpuasa dan kehausan di hari yang sangat panas sampai waktu berbuka. Pada saat itu mereka memberikan khabar gembira kepadanya dan ketika ia hendak berbuka Allah berkata kepadanya: ‘Alangkah wanginya kamu dan alangkah wanginya ruhmu, wahai malaikat-malaikat-Ku, saksikanlah bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosanya.’”140
Aspek batin puasa akan menghantarkan seseorang pada maqam tempat ia bisa berbincang-bincang dengan Allah Swt. Jika seorang hamba berkata: “Ya Allah,” maka Allah Swt menjawabnya: “Wahai hamba-Ku.” Jika orang-orang berpuasa berbuka mengatakan: “Ya Allah.” Maka Allah berkata kepadanya: “Wahai hamba-Ku.” Jika Allah Swt telah memilih dan menisbahkan keberadaan seseorang pada diri-Nya, maka pada saat itu pula wangi orang tersebut tidak sama dengan darahnya kijang:
“Sesungguhnya misk adalah bagian dari darah kijang.”141 Misk adalah darah kering yang berasal dan perut seekor kijang dan bisa dijadikan minyak wangi. Namun keberadaannya tidak bisa dibandingkan dengan minyak wangi yang disebutkan Allah Swt.
Imam Shadiq as berkata: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tashih, amal perbuatannya diterima, dan doanya diterima.”142 Tidurnya orang yang berpuasa termasuk ibadah dan diamnya adalah tasbih. Puasa yang ditunaikannya akan diterima jika ia tidak meng-ghibah orang lain, serta tidak mengucapkan apapun kecuali yang benar dan akan senantiasa menjaga mulut serta lisannya. Kita bukanlah termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga ucapan terhadap seluruh yang ada di sekitar kita. Janganlah kita mengejek orang lain agar orang-orang menertawainya.
Dalam surat yang diperuntukan bagi putranya, Imam Hasan as, Imam Ali as berkata: “Wahai anakku, janganlah engkau memindahkan hukum qishas yang membuat orang lain tertawa dan janganlah engkau meremehkan dirimu. Manusia memiliki kedudukan yang agung, maka sepantasnya untuk tidak melakukan sesuatu yang orang-orang lain menertawainya. Jika duduk di satu tempat yang banyak orang, maka hendaknya tenang sehingga tidak mengejek orang lain.”143
Jiwa manusia memiliki potensi untuk menjadi emas dan membentuk apapun perangai yang kita kehendaki. Karenanya, mengapa kita tidak membiasakan diri untuk mentradisikan kebaikan? Dan kenapa kita tidak membiasakan diri untuk mencari pengetahuan yang benar? Kenapa kita tidak mengajarkan hukum-hukum dan perkara-perkara keislaman?
Referensi:
124. Bilal, seorang budak yang buta huruf yang pernah menjadi musuh Islam pada masa awal, berasal dari daerah Habasyah. Ia datang ke jazirah Arab sebagai tawanan. Beberapa waktu kemudian, Bilal memeluk Islam yang karenanya banyak mendapat siksaan serta tekanan fisik. Rasul telah menunjuk Bilal menjadi muadzin (orang yang mengumandangkan adzan). Lihat, ibnu Hisyam, juz 1, hal. 318; ibnu Sa’ad, at-Tabaqat, juz 3, hal. 233.
125. Man la Yahdhuru al-Faqih, Bab IX, dalam topik yang berkenaan dengan sifat wudhu yang dilakukan Amirul Mukminin.
126. Syaikh al-Baha’i, al-Khutbah al-Sya’baniyah Arbain, hadis ke-9.
127. Syaikh al-Saduq, al-Amuli, pertemuan ke-15, hadis ke-1; Raudatu al-Muttaqin, juz 3, hal. 227.
128. Dalam sebuah riwayat disebutkan tentang adanya dua orang wanita yang berpuasa di masa hidupnya Rasulullah saww. Dalam berpuasa, keduanya berupaya keras menahan lapar dan haus hingga tengah hari, sampai-sampai nyaris tewas. Kemudian, keduanya mengutus seseorang untuk menemui Rasul dan meminta izin kepada beliau untuk membatalkan puasa. Rasul memberikan sebuah gelas kepada utusan tersebut seraya bersabda: “Katakanlah kepada mereka berdua agar memuntahkan apa yang mereka makan!” Mengetahui itu, salah seorang dari mereka segera memuntahkan isi perutnya yang saat itu terdiri dari segumpal darah kental dan daging segar. Demikian pula dengan salah seorang lainnya. Pada akhirnya, gelas tersebut menjadi penuh oleh muntahan keduanya, Semua orang tentu saja menjadi terkejut menyaksikan peristiwa itu. Kemudian Rasul bersabda: “Inilah orang yang berpuasa dengan apa yang Allah halalkan baginya dan membatalkan puasanya dengan apa yang Allah haramkan.” Ghazali, Ihya al-Ulum, juz 5, hal. 173.
129. Nahjal-Balaghah, Hikmah ke-136.
130. Mafatih al-Jinan.
131. Nahj al-Balaghah, Hikmah ke-45.
132. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke- 7.
133. Ibid., pertemuan ke-53.
134. Raudah al-Muttaqin, juz 3, hal. 228.
135. Ibid.
136. Lihat keutamaan Fidhah dalam Safinah al-Bihar, Bab “Fadhadha”, juz 2, hal. 365.
137. Raudah al-Muttaqin, op. cit.
138. Diwan as-Sunai.
139. Ibid.
140. Raudah al-Muttaqin, op. cit.
141. Bagian akhir dari syair al-Muttabanny, aslinya seperti ini: Jika Anda sesuai dengan orang-orang, maka Anda tak ubahnya mereka.
142. Raudah al-Muttaqin, hal. 23.
143. Tuhafu al-Uqul, hal. 57.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email