Setiap bentuk ibadah memiliki aspek lahiriah dan batiniah. Bentuk lahiriah dari ibadah ditentukan oleh rangkaian hukum yang bersifat wajib dan sunnah. Adapun aspek batin peribadahan ditentukan oleh keinginan serta niat dari orang yang melaksarlakannya. Al-Quran mengajak kita untuk melaksanakan ibadah secara lahiriah serta menyampaikan informasi mengenai berbagai rahasia ibadah, khususnya puasa. Al-Quran mengajarkan kita tentang pertanda masuknya bulan puasa. Juga mengenai waktu-waktu awal dan akhir berpuasa, serta seluruh keistimewaan bulan yang mulia ini.
“Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”(al- Baqarah: 185). Ketika seseorang melihat hilal bulan puasa, ia wajib berpuasa.
Selanjutnya, al-Quran juga menyatakan: “Kemudian sempumakanlah puasa itu sampat malam.”(al-Baqarah: 187) Artinya, ibadah puasa ditutup pada malam hari.
Adapun mengenai awal puasa: “Hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.”(al-Baqarah: 187) Adapun rahasia puasa: “Agar kamu bertaqwa.”(al-Baqarah: 183) Juga: “Supaya kamu bersyukur.”(al-Baqarah: 185)
Tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa adalah agar manusia bertakwa. Allah Swt telah menjadikan takwa sebagai kemuliaan bagi manusia, maka semakin besar ketakwaan seseorang semakin besar pula kemuliannya. Demikianlah sesungguhnya intisari dari puasa, yakni menjadikan kemuliaan bagi manusia, dan kita telah membicarakan tentang makna kemuliaan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya. Kita sebutkan bahwa karamah (kemuliaan) merupakan sifat yang paling menonjol dari para malaikat. Maka malaikat adalah makhluk mulia. Dan kemuliaan (karim) berbeda dengan kebesaran (kabir), keagungan (adzim), dan kehormatan (muhtarom).
Kemuliaan (karamah) bukan sebagai cermin keagungan (adzamah) dan kebesaran (kibriya’), akan tetapi merupakan sifat yang khas dan menonjol. Sebenarnya kami ingin menjelaskannya lebih jauh, namun untuk itu diperlukan beberapa pendahuluan agar kita bisa mendapatkan makna yang sesungguhnya.91
Al-karamah hanya khusus diperuntukan bagi para malaikat. Al-Quran mengatakan kepada kita, “berpuasalah kalian agar kalian mulia.” Artinya, berpuasalah kalian agar bertakwa, karena takwa merupakan asas dari al-karamah. Seseorang yang memiliki kemuliaan tidak akan melakukan dosa. Hal itu bukan dimaksudkan supaya dirinya tidak masuk neraka atau sebaliknya, agar masuk surga. Namun ia menghindari perbuatan dosa disebabkan al-karamah tidak sesuai dengan maksiat.
Imam Shadiq as berkata: “Kami tidak menyembah mereka kecuali karena cinta. Bukankah agama adalah kecintaan?!”Allah berfirman: “Sesungguhnya al-Quran ilu adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh al-Mahfuz), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”(al-Waqi’ah: 77-79) Ini merupakan bagian dari rahasia-rahasia ibadah. Tidak semua orang bisa sampai kepadanya, sebagaimana aspek batin dari al-Quran di Lauh al-Mahfuz.”Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”(al-Waqi’ah: 79).
Demikianlah bentuk kecintaan terhadap ibadah. Tidak setiap orang mampumencintai ibadah dan mencintai Allah Swt. Allah Swt menjadi cita-cita bagi orang-orang yang dilanda kerinduan: “Dengan kecintaan kepada-Mu, wahai cita-cita orang-orang yang rindu.”92 Kerinduan akan menarik manusia kepada Allah, bukan ke surga.93 Itulah cita-cita dari orang yang rindu, dan cita-cita bukanlah pengharapan.94 Cita-citalah yang menjadikan manusia yang semula tidak memiliki kemampuan, menjadi manusia yang memiliki kesabaran, kesanggupan, dan ketenangan dalam menjalani kehidupan. Kerinduan tersebut mendorongnya untuk senantiasa berusaha mewujudkan cita-citanya.
Maka orang yang tidak merindukan Allah tidak dibenarkan untuk dianugerahi sifat-sifat orang yang rindu. Pecinta yang sebenarnya adalah orang yang tidak melihat apapun selain Allah Swt. Pada awalnya, orang tersebut akan mengalami syauqun (kerinduan).95 Kemudian, kerinduan itu menjelma menjadi ‘issqun (keasyikan). Orang yang rindu belum memiliki syauqun namun ia sedang berusaha memilikinya. Adapun orang yang ‘asyiqun, adalah orang yang memiliki ‘issqun (perasaan asyik).
Inilah perbedaan antara al-syauq dan al-‘isq.96 Seseorang yang sedang kehausan akan berusaha sampai ke mata air; ia rindu (al-sauq) kepada air. Dan ketika tiba di tempat mata air, ia akan mengambil air dan menjaganya. Pada saat itu, ia menjadi orang yang ‘asyiq terhadap air. Sebutan Al-syauq digunakan ketika seseorang masih berada dalam kerinduan dan belum sampai kepadanya. Sedangkan al-‘isq, mernpakan keadaan di mana seseorang telah sampai pada apa yang dirindukannya.
Rasul bersabda: “Paling afdhalnya manusia adalah yang ‘asyiq terhadap ibadah. Maka didekapnya ibadah tersebut dan dicintainya dengan sepenuh hati. Ia memulai dengan jasadnya dan mencurahkan seluruh tenaganya untuk ibadah. Ia tidak peduli terhadap apa yang terjadi di dunia, apakah sulit ataukah mudah.”97 Selamat bagi orang yang mencintai ibadah, ‘asyiq kepada ibadah dan mendekapnya, orang yang menghayati ibadah dengan seluruh jiwa raganya. Sclamat bagi orang-orang yang shalat dan berpuasa, yang ‘asyiq terhadap ibadah.
Hadis ini memuji orang yang ‘asyiq terhadap ibadah. Keutamaan manusia terletak ketika ia mencintai dan ‘asyiq terhadap ibadah. Karena awalnya ia mengalami kerinduan kemudian menjadi ‘asyiq. Apakah yang dimaksud ‘asyiq? Dari mana istilah ini berasal?
Banyak orang yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari bahasa Arab. Kata ini diambil dari sejenis tanaman yang disebut ‘asaqah. Dalam bahasa Arab, ‘assiqa diartikan sebagai: “Menempelnya tanaman itu ke sebuah pohon dan tidak mau melepaskannya.” Bahkan ia akan terus hidup di pohon tersebut sembari mengisap kekuatannya sampai pohon yang ditempel itu menjadi layu dan mati. Al-‘assiq adalah orang yang hanyut dalam ibadah, sehingga warna tubuhnya menguning dan badannya melemah, untuk kemudian hilanglah dirinya. Hadis yang mulia menyebut orang-orang yang ‘asyiq terhadap ibadah sebagai manusia yang paling afdhal, karena mereka asyik. Orang yang sedang ‘asyiq, badannya akan melemah dan warna kulitnya menguning karena tak menghiraukan keadaan dirinya lagi.
Karena itu, orang-orang mengatakan: “Salah satu rahasia puasa adalah meminimalkan aktivitas hewani pada manusia,98 dan layaknya pohon yang terkena ‘asaqah, ia tidak akan tumbuh lagi. Dalam sebagian riwayat disebutkan, puasa dimaksudkan tidak lain agar tercipta kelembutan dan hilangnya aktivitas hewani yang dilakukan seseorang di luar bulan puasa, karena itu merupakan aktivitas kebohongan. Ketika seseorang berpuasa shingga terjalin hubungan antara dirinya dengan ibadah puasa, secara perlahan ia akan sampai pada rahasia ibadah.” Aspek batin puasa adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt: “Puasa itu untukku dan aku sendiri yang memberikannya pahala.”99 Ibarat ini hanya terdapat pada ibadah puasa semata, tidak terdapat pada ibadah lain. Melalui puasanya, manusia secara perlahan-lahan berjalan dari derajat pengetahuan terendah mengenai rahasia-rahasia ibadah, ke derajat pengetahuan yang tertinggi. Saat itu dirinya berjumpa dengan Allah Swt.
Beberapa riwayat menjelaskan tentang sebagian hikmah yang terkandung dalam puasa. Hisyam bin Hakam bertanya kepada Imam Shadiq as: “Kenapa puasa menjadi wajib bagi manusia?” Imam as berkata: “Allah mewajibkan puasa agar orang yang kaya dan orang orang miskin bisa sejajar, karena orang yang kaya tidak merasakan lapar. Maka ia mengasihi orang miskin karena orang yang kaya ketika menginginkan sesuatu ia mendapatkannya. Maka Allah Swt menginginkan untuk menyamakan di antara ciptaan-Nya dan orang yang kaya daput merasakan lapar dan sakit agar dia mengasihi orang yang lemah dan orang yang lapar.”100 Dalam bulan puasa, orang yang miskin maupun kaya sama-sama menjaga diri untuk tidak makan, karena makan dan minum diharamkan bagi mereka. Orang-orang kaya tidak merasakan lapar dan haus, dan dengan puasa mereka merasakannya, sekaligus merasakan laparnya orang-orang miskin. Karenanya, Allah mewajibkan puasa agar mereka bisa saling menolong, khususnya terhadap orang-orang miskin dan ini merupakan derajat yang paling rendah dari makna puasa.
Selayaknya manusia tidak memenuhi kantong perutnya dengan makanan di luar bulan puasa, agar dirinya bisa merasakan kelaparan yang diderita orang-orang miskin. Atau, minimal ia selalu mengingat bahwa di dunia ini terdapat orang-orang miskin. Allah Swt ingin menyamaratakan keadaan seluruh manusia dan menghendaki orang-orang kaya untuk merasakan laparnya orang-orang miskin. Hadis yang mulia ini menjelaskan sebagian kecil dari makna-makna puasa. Seseorang bertanya, jika alasan berpuasa adalah semacam ini, mengapa orang-orang miskin juga wajib berpuasa? Puasa bukan dimaksudkan agar manusia lapar dan haus, dan bukanlah mencegah seseorang dari makan dan minum. Melainkan agar manusia mencapai takwa dan karamah―sifat yang dianugerahkan kepada para malaikat.
Imam Ali bin Musa al-Ridha as, dalam surat yang dikirimkan kepada Ibnu Sinan, menyebutkan tentang penyebab keharusan berpuasa. Dikatakan bahwa merasakan lapar dan haus merupakan hasil dari ketundukkan, kepatuhan, serta kesabaran seseorang yang mengharapkan kebahagiaan akhirat dengan segala yang ada di dalamnya. Sebagaimana juga ia menundukkan hawa nafsu dan acapkali menasihati dirinya sendiri dalam berbagai urusan kehidupan dunia yang merupakan bukti dari adanya pengharapan terhadap kehidupan akhirat. Orang yang berpuasa secara demikian akan memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap keberadaan serta penderitaan orang-orang miskin.101
Orang yang berpuasa menanggung rasa lapar dan haus sebagai bukti kepatuhannya terhadap keharusan yang diperintahkan Ilahi tersebut. Dan ia sabar karena Allah. Hadis ini memiliki derajat yang lebih tinggi dari hadis yang pertama disebutkan. Isinya menjelaskan tentang ketaatan kepada Allah. Mengalami lapar dan haus di dunia akan mengingatkan seseorang akan lapar dan haus di akhirat, di samping membebaskannya dari belenggu syahwat, sebagai penyebab untuk beramal shalih, sebagai hidayah, serta untuk mengingat hari kiamat. Hadis ini menjelaskan bahwa puasa memiliki rahasia di dunia maupun di akhirat. Karena itu, ia tidak menjelaskan akhir dari rahasia puasa.
Imam Baqir as berkata: “Islam dibangun dengan lima perkara, shalat, zakat, haji, puasa, dan wilayah.”102 Puasa merupakan salah satu rukun agama. Puasa menjadi batal dengan meminum air, kendati hanya setetes. Apakah ini merupakan rukun agama? Ataukah puasa itu sendiri yang menjadi rahasia dari rukun agama?
Nabi saww bersabda: “Puasa merupakan perisai dari api neraka.”103 Puasa menjadi tameng seseorang dari jilatan api neraka dunia dan akhirat, dan ini merupakan sebagian makna batin puasa.
Kembali Nabi saww bersabda bahwa Allah memfirmankan: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang memberikan pahala.”104 Seluruh keberadaan di dunia ini berasal dari Allah Swt. Tak satupun yang tunduk kepada selain Allah. Seluruh makhluk di jagat raya ini adalah milik Allah. Mata dan telinga kita pun milik Allah Swt.
“Atau siapakah yang puasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan.”(Yunus: 31). Allah adalah pemilik mata dan telinga dan Dia mampu melakukan segala sesuatu. Tidak seluruh gerakan mata dan telinga tunduk di bawah keinginan kita, karena terkadang keinginan tersebut lenyap sehingga kita tidak dapat membuka dan nienutup mata. Hal ini juga terjadi pada orang yang sudah mati. Jika tak ada yang menutup mata mayat seseorang yang sudah mati, maka pandangannya akan menjadi menyeramkan.
Ketika Rasulullah saww ditanya tentang ketakutan beliau terhadap Allah Swt, beliau saww bersabda: “Karena aku tidak memiliki kemampuan untuk menutup mataku tanpa kekuatan-Nya, begitu pula manusia tak memiliki kemampuan untuk sampai kepada air yang diminumnya.” 105 Tak ada satupun yang tunduk kepada selain kepada Allah Swt. Segala sesuatu adalah ciptaan-Nya yang pada akhirnya merupakan hamba-Nya.
Imam Ali pernah berkata, perhatikanlah perbuatan kalian, karena seluruh anggota tubuh kalian adalah prajurit-prajurit Allah Swt. Jika Allah ingin mengambil tindakan terhadap seseorang, maka Dia akan mengambil kesaksian dari lisan, tangan, dan kaki orang tersebut: “Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah bahwa anggota tubuh kalian adalah prajurit-prajurit-Nya dan kesendirian kalian adalah mata-mata-Nya.”106
Jika Allah ingin menghisab seseorang, maka tangan dan anggota tubuhnyalah yang akan bersaksi. Dengan demikian, Allah tidak memerlukan seorang saksi pun untuk memberi kesaksian terhadap orang tersebut. Akan tetapi, anggota tubuhnyalah yang memberi kesaksian. Imam Ali as berkata: “Jagalah diri kalian ketika kalian sendiri, karena kalian berada di hadapan Allah dan di bawah pengawasan-Nya.”
Allah Swt memiliki prajurit-prajurit yang menghitung setiap nafas yang dihembuskan seluruh makhluk demi mengetahui alasan untuk apa mereka bernafas. Kenapa nafas-nafas yang dihembuskan harus dijadikan sebagai tasbih kedukaan atas kesyahidan Imam Husain dan para maksum selainnya? “Nafas orang yang bersedih karena kami adalah tasbih.”107 Apabila seseorang bersedih karena kezaliman yang diderita Ahlul Bait, maka kesedihannya akan dihisab sebagai ibadah.
Suatu ketika, Ammar bin Yasir menghirup nafas dalam-dalam di hadapan Imam Ali as. Serta merta maka Imam as berkata: “Karena apa engkau bernafas dengan dalam? Nafasmu ini menggambarkan suatu penyesalan dan kesedihan. Jika itu dikarenakan akhirat, maka itu adalah hal yang baik dan jika itu dikarenakan dunia, maka aku akan menjelaskan kepadamu keadaan dunia. Agar engkau tahu bahwa dunia tidak pantas untuk disesali dan orang yang mengetahui dunia tidak akan menyesalinya.”
Wahai Ammar, seluruh kelezatan dunia bercampur dengan kepedihan dan azab. Paling baiknya kelezatan dunia adalah makan, minum, dan pakaian. Paling baik dan paling bagusnya pakaian adalah sutera yang dibuat oleh ulat sutera. Paling baiknya santapan yang dimakan seseorang adalah madu yang dibersihkan yang keluar dari perot lebah. Jika engkau bersedih karena makanan, maka engkau akan diazab karena lebah.108
Orang yang berakal tidak akan menyesal karena dunia. Jika menyesal karena akhirat, ia akan menemui keselamatan. Seluruh ahlul ma’rifah akan mengingat Allah dalam setiap hembusan nafas mereka. Lantas, di manakah posisi kita di antara mereka? Pada suatu ketika salah seorang sahabat Imam terbaring sakit. Imam kemudian menziarahinya bersama serombongan sahabat beliau. Mereka melihat orang sakit yang sedang terbaring di atas ranjang itu melontarkan kata: “Ah!” Seorang sahabat Imam berkata kepadanya: “Kenapa engkau tidak berkata, Ya Allah?” Imam berkata: “Ah adalah nama di antara asma Allah Swt.”109 Ketika seseorang berkata ah, sesungguhnya ia tengah menyebut nama Allah, di samping meminta seorang dokter untuk mengobatinya, sadar atau tidak.
Penyair Sabziwari ―semoga Allah meridhainya― berkata: “Setiap nafas adalah zikir kepada Allah.”110 Tak ada satu makhluk pun yang tidak berzikir kepada Allah. Malaikat akan menghitung nafas-nafas yang dihembuskan. Mereka juga mengetahui untuk apa kita bernafas. Seluruh yang ada di jagat alam merupakan milik Allah dan seluruh anggota tubuh kita merupakan penjaga dari Allah Swt. Sehingga jika Allah ingin menghisab seseorang, cukup bagi-Nya mengambil saksi dari anggota tubuh orang tersebut, Segala sesuatu milik Allah Swt.
Kalimat “puasa itu milik-Ku” adalah keistimewaan yang ingin dijelaskan Allah Swt. Bahwa ibadah puasa merupakan milik Allah dan orang yang menjaga puasanya sejak dari fajar sampai waktu berbuka. Demikianlah derajat orang yang berpuasa yang dengannya ia berusaha mencapai surga dan terhindar dari neraka.”Bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.”(al-Imran: 198) Surga yang disebut: “Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.”(al-Fajr: 29-30)
Orang-orang yang keinginan dan pikirannya hanya diarahkan kepada datangnya waktu berbuka dan ia merasa lapang diwaktu berbukanya, seolah-olah ia barn saja selesai dari siksaan puasa. Ia tidak akan mencapai kehonnatan Ilahi dan tidak akan berjumpa dengan Allah Swt. Maka, dengan memasuki sisi hukum puasa serta adabnya yang khas di dalamnya, akan ditemukan suatu rahasia yaitu perjumpaan dengan Dzat yang dikasihi, yang tidak lain adalah Allah Swt. Hadis ini menunjukkan bagaimana kerinduan dalam diri seseorang menjadikan dirinya ‘asyiq. Tanpa adanya kerinduan, seseorang tidak akan pernah bergerak dan berusaha. Ketika puasa dilakukan untuk Allah Swt, maka apakah yang diberikan kepada orang yang berpuasa? Allah sendirilah yang memberikan pahala bagi orang yang berpuasa.
Muhammad Taqi al-Majlisi ―semoga Allah mensucikan jiwanya― dalam kitabnya Raudhatu al-Muttaqin, ketika menjelaskan kitab Man La Yahdhuru al-Faqih yang merupakan buku Imamiyah yang amat berharga111, berkata: Allah tidak cukup berfirman “puasa itu untuk-Ku“, tetapi menambahkannya dengan: “Aku sendiri yang akan memberikan pahala“. Di sini kata ganti nama yang berbicara mendahului kata kerja. Allah tidak berfirman: “Aku yang akan memberikannya pahala,“ kecuali didahului dengan firman: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikannya pahala.”
Aku sendiri yang memberi ganjaran bagi orang yang berpuasa. Allah Swt tidak berfirman kepada para malaikat: “Aku masukkan kalian ke dalam surga,“ tetapi berfirman: “Aku sendiri yang memberi upah bagi orang yang berpuasa.” Bagaimana cara Allah memberikan upah bagi orang yang berpuasa? Allah berkata kepada sekelompok manusia: “Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”(al-Fajr: 29-30). Mereka adalah para wali yang berpuasa sunnah dan menghadiahkan makanan berbukanya kepada yatim, miskin, dan tawanan.112 “Bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.”(Ali Imran: 198) Semua itu ditundukan di bawah ikhtiar dan cita-cita mereka, karena usaha mereka hanya diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Adapun orang yang berpuasa dengan harapan masuk surga dan memakan buah-buahan di sana, tidak akan mendapatkan apapun kecuali hanya hidangan semata.
Ada sebuah kisah tentang puasanya Ahlul Bait yang maksum dan suci, yaitu berkenaan dengan sakitnya Imam Hasan dan Imam Husain. Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah as bernazar untuk melakukan puasa karena Allah Swt jika keduanya disembuhkan. Tatkala keduanya disembuhkan Allah Swt, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah as, Imam Hasan as, dan Imam Husain as pun berpuasa. Inilah kisah keagungan mereka serta pelayannya yang dibesarkan dalam madrasah Ahlul Bait. Sang pelayan dalam rumah mereka pun telah mencapai maqam yang tinggi sehingga dirinya disertakan dalam kisah mulia tersebut. Penyebutan maqam Ahlul Bait daIam surat al-Dahr merupakan bukti tingginya kedudukan mereka. Kedudukan mereka merupakan kedudukan orang-orang yang berbakti. Mereka adalah orang-orang suci yang kedudukannya sangat dekat dengan Allah Swt.
Berkenaan dengan kisah puasa yang mereka lakukan, al-Quran merekamnya dalam ayat: “...dan mereka memberikan makanan mereka karena cinta kepada orang miskin, yatim, dan tawanan.” Suatu ketika, Imam Ali membawa sedikit gandum kemudian mereka menggiling dan membuatnya menjadi roti yang akan dijadikan makanan untuk berbuka puasa. Ketika akan berbuka puasa di hari pertama, datanglah seorang fakir miskin yang meminta makanan. Mereka pun segera memberikan seluruh makanan itu kepada si miskin tersebut. Sementara mereka sendiri hanya berbuka dengan air putih.
Pada hari kedua puasanya, mereka membuat roti dari sisa gilingan. Saat hendak berbuka, datanglah seorang yatim yang meminta makanan. Mereka pun menyerahkan seluruh makanan yang ada. Dan mereka kembali berbuka dengan air putih.
Kejadian serupa kembali terjadi pada puasa di hari ketiga. Tatkala hendak berbuka, datanglah seorang tawanan.113 Mereka memberikan makanan yang ada dan lagi-lagi mereka berbuka dengan air putih. Berkenaan dengan itu, turunlah ayat-ayat yang mulia dalam surat Hal Ata. Kehadiran Fidhah (pelayan Ahlul Bait as) yang ikut bersama mereka dalam peristiwa tersebut, mencerminkan bahwasannya orang biasa pun bisa melakukan perbuatan seperti ini.
Kedudukan para imam tidak bisa dipandang sebagai hal yang sepele. Kita tidak cukup hanya menyebut mereka sebagai orang-orang yang baik. Imam Ridha as berkata: “Kalian tidak mungkin bisa mengetahui imam, imam seperti matahari yang bersinar di ufuk, tempat di mana tangan dan pandangan seseorang tak mampu menggapainya. Di manakah letak akal terhadap hal ini? Di manakah letak ikhtiar?”114 Sebagaimana tidak satupun tangan manusia mampu mencapai bintang-bintang di langit, begitu pula akal manusia tidak akan mampu mengetahui kedudukan imam.
Ketika Imam Baqir as wafat, datanglah Salim bin Abi Hafshah menemui imam Shadiq as dan berkata: “Telah pergi orang yang meriwayatkan dari Rasulullah tanpa perantara kendati ia belum melihat Nabi dan dari sisi ini ia tidak menyampaikan hal yang bertentangan yang bisa menimbulkan pertanyaan. Kini ia telah wafat dan tak ada orang yang seperti dirinya.” Imam Shadiq as terdiam sejenak, kemudian berkata: “Allah berkata begini.” Salim bin Abi Hafshah berkata: “Imam Baqir meriwayatkan dari Nabi tanpa perantara dan Imam Shadiq meriwayatkan dari Allah tanpa perantara.”115
Maksud ayat yang terdapat dalam Surat al-Dahr bukan untuk menjelaskan kedudukan yang agung dan tinggi bagi para imam. Sebabnya, keistimewaan semacam ini juga dimiliki murid-muridnya. Mereka mengucapkan ayat di bawah ini tatkala mereka memberi makan anak yatim, tawanan, dan orang miskin: “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”(al-Insan: 9) Dan Fidhah pun mengucapkan hal yang sama.
Karena itu, orang umum yang memperoleh pengajaran yang sesuai dengan garis Ahlul Bait as juga mampu mencapai rahasia puasa: “Puasa itu untuk-Ku.” Kita memberi bukan dikarenakan diri kita. Minimal kita bisa meneladani Fidhah, seorang wanita yang ditempa dalam rumah para imam tersebut. Tidak layak apabila kita mengatakan bahwa jalan untuk itu telah tertutup dan tidak mungkin untuk mencapainya. Atau kita katakan: “Di mana kedudukan kita dibanding mereka?” Ya, di manakah kedudukan kita dibanding para imam. Itulah pernyataan yang benar. Tetapi tidak dibenarkan kalau kita mengatakan, di mana kedudukan kita dibanding murid-murid para imam.
Kalimat yang difirmankan Allah Swt dengan “Puasa itu untuk-Ku”, maksudnya adalah: Puasa itu milik-Ku dan Aku sendiri yang akan mernberi ganjaran kepada orang-orang yang berpuasa. Aku, dan bukan selain-Ku, yang akan memberikan pahala kepada mereka. Dalam riwayat yang lain, dikisahkan bahwa ketika orang-orang mukmin akan meninggal dunia, malaikat datang menyambut mereka dan berkata: “Pintu-pintu surga telah terbuka bagi ka1ian. maka masuklah dari pintu mana yang kalian inginkan.”116 Tetapi khusus berkenaan dengan ibadah puasa, dikatakan: “Aku sendiri yang akan memberiknya ganjaran.”
Semua itu bukanlah hukum-hukum puasa, bukan pula adabnya. Juga bukan termasuk pembahasan fiqh yang berkenaan dengan perkara wajib dan sunnah. Tetapi ini merupakan rahasia ibadah yang berada di bawah tanggungjawab ilmu yang lain, bukan ilmu fiqh. Bagaimanakah seseorang bisa mencapai kedudukan yang dijanjikan Allah yakni ketika Dia sendirilah yang akan memberikan pahala? Ketika memberikan sifat bagi orang-orang yang bertakwa, Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa.”(al-Qamar: 54-55)
Jika ibadah puasa dimaksudkan untuk menjadikan orang bertakwa, maka ketakwaan akan menjadikan seseorang memperoleh dua derajat. Derajat pertama adalah surga yang di dalamnya terdapat banyak sekali nikmat-nikmat dari Allah Swt: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai.” Di dalamnya, berbagai kelezatan akan nampak dengan jelas. Derajat yang kedua adalah berada di sisi Allah: “Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa.” Semuanya beramal demi mencapai derajat ini dan pada saat itu pula, makanan dan minuman tidak lagi mendapat tempat atau menjadi bahan pembicaraan. Buah-buahan yang bermacam-macam itu disajikan untuk memenuhi kebutuhan badan; surga dan sungai-sungai juga disediakan untuk tubuh. Adapun bertemu dengan Allah merupakan kebutuhan ruh. Inilah rahasia dan aspek batin puasa.
Allah Swt berkata kepada nabi Musa: “Kenapa engkau tidak bermunajat kepada-Ku, wahai Musa?”Musa berkata seraya bermunajat kepada Tuhannya: “Aku berpuasa dan orang yang berpuasa mengeluarkan bau yang tidak enak dari mulutnya.”117 Maka Allah berfirman kepadanya sambil menjelaskan masalah ini: “Bau ini wangi di sisi para malaikat, maka tidak ada yang mencegahmu dari bermunajat.”
Riwayat ini berasal dari Rasulullah saww, begitu pula tentang hadits qudsi: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.” Rasul saww bersabda: “Orang yang berpuasa, merasa bahagia dikarenakan dua hal, ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.” Kemudian Nabi saww bersabda: “Demi yang jiwa Muhammad di tangan-Nya bahwa bau busuk dari mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum dari misk (minyak wangi).”118 Rasul saww bersumpah atas Dzat Allah bahwa bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum dari bau misk. Ini merupakan bukti-bukti yang nyata.
Adapun jika hadis itu dibaca dengan kalimat pasif: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.” Maka artinya menjadi: Akulah yang memberikan ganjaran bagi orang yang berpuasa dan ganjarannya adalah bertemu dengan-Ku. Ini merupakan bukti yang jelas, namun bacaan yang pertama lebih luas maknanya dari yang kedua.
Dalam doa Sahur di bulan Ramadhan yang mulia, seseorang memohon agar mendapatkan kedudukan ini. Orang yang berpuasa meminta kepada Allah Swt: “Ya Allah, aku minta dari keindahan-Mu dari yang paling indah dan seluruh keindahan-Mu adalah indah.”
Nizhami Ganjawi, seorang penyair yang populer dengan sajak bersuku lima ―kerinduan yang bersifat kiasan dan kenyataan―menggambarkan dan berkata: Ketika pada akhirnya Laila sakit, ia mewasiatkan kepada ibunya untuk mengatakan kepada Majnun: “Jika engkau ingin mengikat hatimu dengan sesuatu yang ada, tak ada sesuatu yang ada itu mati karena sakit panas.”119
Sangatlah rugi bagi seseorang yang mengikat hatinya dengan sesuatu yang berubah, yang hakikatnya ia tidak memiliki hubungan dengannya, juga tidak dengan Allah. Selain Allah, tidak ada yang bisa menjadi pemberi ganjaran bagi manusia. Tetapi ganjaran bagi manusia adalah perjumpaannya dengan Allah.
Karena itu, dalam doa Sahur di bulan Ramadhan, kita membaca: “Kami minta kepada Allah dari keindahan-Nya yang mutlak.” Maka wajib bagi seseorang untuk tidak puas hanya dengan mendengarkan doa saja. Sebab, mendengarkan bukanlah meminta. Kedudukan macam apakah ini, yang memberi kemudahan bagi seseorang, sebagaimana yang terkandung dalam doa ini: “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari cahaya-Mu yang paling terang dan seluruh cahaya-Mu adalah terang.” Kenapa doa ini diajarkan kepada kita di bulan puasa? Karena doa ini pantas dilantunkan oleh orang yang berpuasa dan mulutnya bisa berkata: “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari keagungan-Mu yang paling agung dan setiap keagungan-Mu adalah agung.”120
Pembicaraan kita kali ini bukan lagi menyangkut bidadari, buah-buahan, juga bukan tentang taman-taman dan sungai-sungai. Akan tetapi, ini merupakan pembicaraan tentang kesempurnaan spiritual dan inilah kedudukan yang pantas diraih.
Para imam berada di atas seluruh kedudukan ini. Seandainya maqam ini bukan diperuntukkan untuk kita, maka kita tidak dianjurkan untuk membaca doa seperti ini. Seandainya orang biasa tidak bisa mcncapai kedudukan ini, maka pembantu wanita yang bernama Fidhah pun tidak mungkin bisa mencapainya. Karena itu, adalah mungkin untuk mencapai kedudukan ini. Manusia yang sedang berpuasa sunnah bisa memberikan makanan berbukanya kepada orang selain muslim, karena Islam tidak pernah rela membiarkan seseorang kelaparan kendati ia bukan seorang muslim.
Masalah wakaf merupakan bagian dari pembahasan hukum fiqih Islam121: seseorang bisa mewakafkan taman, toko, atau rumah kepada orang-orang kafir agar mereka tidak kelaparan. Jika seseorang memberikan minum kepada orang yang haus ―walaupun ia seekor anjing―maka pahalanya adalah surga.
Jika seseorang berpuasa sunah dan memberikan makanan yang dibuatnya untuk berbuka kepada tawanan, kemudian berkata: “Sesungguhnya kami memberikan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah,“ dan jika pembantu di rumah para imam itu telah mencapai kedudukan itu, maka kita juga bisa sampai pada kedudukan tersebut. Janganlah kita menganggap remeh diri kita karena itu akan menjadikan kita termasuk ke dalam orang-orang yang merugi.
Almarhum Kulayni, dalam bukunya yang berharga al-Kafi meriwayatkan sebuah kisah yang indah tentang Imam Kazhim as dan disyarahi oleh al-Muhaqqiq Damad dengan penjelasan yang indah.
Imam as berkata: “Janganlah kalian menjual diri kalian kecuali dengan surga.”122 Almarhum Damad berkata: “Ini adalah contoh bagi ruh manusia. Ruh manusia berada di alas surga, maka juallah ruh-ruh kalian dengan surga pertemuan.”123
Ruh-ruh kalian harus menjadi: “Di sisi Tuhan yang Maha Berkuasa.” Dan puasa adalah cara yang paling baik untuk sampai kepada Allah Swt.
“Orang yang berpuasa memiliki dua kesenangan: ketika berbuka dan ketika bertemu dengan Allah.” Orang yang berpuasa akan mengalami kesenangan sebanyak dua kali. Pertama, ketika berbuka. Kedua, tatkala berjumpa dengan Allah. Jika orang yang berpuasa bertemu dengan Allah Swt, maka ia akan mendapatkan kesenangan yang kedua. Ketika berbuka, orang yang berpuasa akan berterima-kasih atas taufiq yang diberikan Allah sehingga ia bisa menjadi taat. Ia berterima kasih kepada Allah karena dirinya tidak sampai bepergian (melakukan safar), tidak menderita sakit, dan tidak dikuasai oleh setan, sehingga ia tidak sampai memenuhi perutnya dengan makanan. Dan kesenangan kedua dialami tatkala dirinya berjumpa dengan Allah Swt.
Referensi:
91. Abu Hilal al-Askari, Al-Farauq al-Lughawiyah, “al-Farqu Baina al-Kabir wa al-Adhim”, hal. 150. Maksudnya, al-Karamah kembali pada keutamaan yang bersifat spiritual. Manusia yang karim adalah manusia yang memiliki prinsip akhlak dan kemanusiaan. Walaupun tidak memiliki karamah insaniah, ia tetap dihormati banyak orang.
92. Doa hari ke-9 dalam bulan Ramadhan.
93. Aku tidak menyembah-Mu karena takut akan neraka-Mu dan karena tamak akan surga-Mu, tetapi aku mendapatkan-Mu pantas untuk disembah, maka aku menyembah-Mu. al-Faidh al-Khasyani, al-Wafi, juz 3, hal. 70; Al-Haqaiq al-Faifh, hal. 103.
94. Tuhfa al-Uqul, Bab “Wasiat-wasiat Imam Ali”, hal. 8; Bihar al-Anwar, juz 94, hal. 54; Al-Kulaini, al-Kafi, juz 2, hal. 491; Al-Asfar, juz 4, hal. 34.
95. Al-isqu adalah salah satu jenis tanaman. Dalam peristilahannya adalah “cinta yang melampaui batas”. Sementara al-sauqu memiliki arti kecenderungan tanpa melampaui batas. Al-sauq merupakan keadaan “sebelum sampai”, sedangkan al-isqu merupakan keadaan “setelah sampai”. Asas al-Lughah dan Sahahu al-Jauhari, dalam topik “isqun wa sauqun”.
96. Ibid.
97. Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “al-Ibadah”, hadis ke-3.
98. Ilal al-Syara’i, Bab CVIII.
99. Raudatu al-Mutaqin, juz 3, hal. 225.
100. Ila al-Syara’i.
101. Ibid.
102. Syaikh al-Saduq, al-Amuli, pertemuan ke-42; al-Barqi, al-Mahasin, Bab ''as-Syara'i“, hadis ke-430.
103. Raudatu al-Mutaqin, juz 3, hal. 225.
104. Ibid.
105. Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “as-Sukru”, hadis ke-6; Bihar al-Anwar (cetakan lama), juz 6; Makarim al-Akhlaq.
106. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-157 dan ke-199.
107. Dan Imam Shadiq berkata: “Hati yang sedih karena musibah yang kami dapatkan adalah tasbih dan perhatianya kepada kami adalah ibadah dan menjaga rahasia kami adalahjihad dijalan Allah Swt.” Syaikh al-Mufid, al-Amuli, pertemuan ke-40, hadis ke-3.
108. Ghazali, Mizanu al-Amal, hal. 309.
109. Al-saduq, at-Tauhid, Bab “AsmaAllah Taala”, hal. 219.
110. Diwan as-Sabziwary.
111. Raudatu al-Mutaqin, juz 3, ha. 225.
112. Sebagai isyarat tentang kejadian yang berhubungan dengan surat ad-Dahr.
113. Tawanan yang di penjara. Nampaknya tawanan tersebut bukan seorang muslim, lantaran tidak berada di Madinah, melainkan tawanan orang-orang kafir yang kemudian ditebus kaum muslimin, yang kemudian menjadi gelandangan di kota Madinah.
114. Ar-Ridho, ‘Uyun Akbar; Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-97.
115. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-42, hadis ke- 7.
116. Lihat “Riwayat al-Barzah” dalam Tafsir Nur al-Saqalain, juz 4, hal. 506-507; Bihar al-Anwar, juz 6, hal. 139; Faidh al-Khasany, Ilmu al-Yaqin, hal. 869.
117. Raudhatu al-Mutaqin, juz 3, hal. 229.
118. Ibid., hal. 225.
119. Diwan an-Nidhomy Ghanwy, mengenai kisah Majenun dan Laila.
120. Doa Sahur.
121. Al-Muhaqiq al-Hily berkata dalam al-Syara’i Kitab al-Waqfu: “Kedati diwakatkan untuk orang kafir yang berada di bawah kekuasaan muslim.”
122. Al-Mawa’izd al-Adaniyah, hal. 4.
123. Wahai Hisam! Tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki kejantanan dan tidak ada kejantanan bagi orang yang tidak berakal. Paling agungnya manusia adalah orang yang tidak melihat dunia itu berbahaya bagi dirinya. Adapun tubuh kalian tidaklah bernilai kecuali dengan surga, maka janganlah kalian jual kecuali dengannya.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email