Pada hari kiamat, manusia akan dibangkitkan dalam bentuk batiniah. Baik secara rahasia, misalnya yang tampak dalam bentuk badan mitsali di alam barzah, maupun dalam bentuk batin dan rahasia aqli-nya. Pada waktu itu. tak ada lagi pembicaraan tentang bentuk tubuh. Masing-masing ibadah memiliki rahasia dan manusia akan dibangkitkan bersamanya.
Aspek batin terbagi menjadi dua, mitsali dan aqli. Misalnya, sebagian dari rahasia batin puasa berhubungan dengan alam mitsal, dan sebagian lagi berhubungan dengan keberadaan alam di atas alam mitsal. Allah Swt berfirman: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.” Puasa diperuntukan bagi Allah Swt dan Dia-lah yang memberikan pahala bagi orang yang berpuasa. Artinya, aspek batin puasa akan tampak dengan cara bertemu dengan Allah Swt. Tidak ada kedudukan yang lebih tinggi dari perjumpaan dengan Allah Swt.
Dengan demikian, puasa memiliki aspek batin. Apabila seseorang berpuasa dan mencapai aspek batin tersebut, maka ganjaran dan hadiahnya adalah berjumpa dengan Allah Swt. Maka orang yang berpuasa akan senantiasa berjumpa dengan Allah. Itu dikarenakan keberadaan manusia bersifat abadi, tidak pernah lenyap hilang dan tidak bersifat fana ― kehidupannya hanya berpindah dari satu alam ke alam yang lain. Kehidupan di surga, baik yang bersifat lahiriah ―bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.(al-Baqarah: 25)― maupun yang bersifat maknawi, bebas dari gangguan ataupun kebosanan.
Berbeda dengan kehidupan di dunia, manusia merasakan kenyang dan kenikmatan makanan di surga tanpa merasa letih ataupun terganggu. Di dunia, manusia akan tersiksa oleh lapar dan haus sebelum merasakan nikmatnya kenyang. Air yang segar akan menyegarkan dan melezatkan seseorang yang sedang kehausan dan keletihan. Di dunia, orang yang tidak mampu menanggung beratnya rasa lapar dan haus tidak akan merasakan lezatnya kepuasan minum air dan lezatnya makanan. Namun tidak demikian halnya dengan keadaan di surga.
Nabi saww bersabda: “Wahai manusia, telah datang kepada kalian bulan Allah.”144 Kata-kata: “Wahai manusia,” merupakan peringatan Allah bagi seluruh umat manusia. Pembicaraan tentang hal ini bukan berkisar tentang menjelangnya waktu berpuasa. Melainkan tentang bulan Allah di mana Dia tengah menyambut sahabat-sahabat bulan ini dengan barakah, rahmat, dan ampunan (maghfirah). Maka perhatikan, bangkit, dan sambutlah bulan itu dan bersiap-siaplah. Jadilah orang-orang yang mengetahui keutamaan bulan ini.
Barakah merupakan kebaikan yang mengalir secara terus-menerus. Kebaikan merupakan sesuatu yang tetap. Lubang tempat berkumpulnya air, dan air itu tetap berada di dalamnya disebut dengan barakah. Bulan ini datang dengan barakah, rahmat, dan maghfirah. Yang dimaksud dengan rahmat bukanlah pengampunan dosa-dosa, melainkan penganugerahan derajat yang tinggi oleh Allah Swt. Dan seorang mukmin akan mendapatkan rahmat yang bersifat khusus.”Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”(al-A’raf: 56). Jelas, bahwa seseorang akan lebih mudah mendapatkan rahmat dalam bulan Ramadhan.
“Bulan di sisi Allah adalah bulan yang paling baik.” Bulan Ramadhan merupakan bulan yang paling baik dibanding dengan bulan-bulan selainnya. Adapun mengenai nilai kebaikannya, Allah sendirilah yang akan menentukan. Bulan ini paling afdhal di sisi Allah, sebagaimana kemuliaan orang yang bertakwa di sisi Allah. Maka bulan yang di dalamnya terdapat rahmat, barakah, dan pengampunan dosa-dosa yang lebih banyak, merupakan bulan yang paling baik di sisi Allah Swt.
Berpuasa di bulan Ramadhan memiliki dua hukum. Pertama, hukum yang bersifat universal, yakni kita berniat satu kali pada satu malam untuk berpuasa satu bulan penuh. Kedua, yang bersifat khusus, yaitu berniat setiap kali hendak berpuasa pada hari dimaksud.”Hari-harinya paling afdhal dibandingkan dengan hari-hari lainnya dan malam-malamnya paling afdhal dibandingkan dengan malam-malam lainnya.”
Seluruh hari yang ada di bulan Ramadhan lebih afdhal ketimbang hari-hari di bulan lainnya. Dan seluruh malamnya lebih afdhal daripada malam-malam yang ada di bulan lain.
“Waktunya lebih afdhal dari waktu-waktu yang lain.” Artinya, detik-detik waktu di bulan Ramadhan merupakan detik-detik waktu yang paling baik.
Rasul saww bersabda: “Telah datang kepada kalian (bulannya Allah).” Isi pernyataan hadis ini selaras dengan hadis qudsi yang menyatakan: “Puasa itu untuk-Ku.” Jika puasa diperuntukan bagi Allah, maka bulan ini pun milik Allah. Dengan demikian, bulan puasa pun akan menjadi milik Allah. Tidak hanya puasa, doa-doa, dan ibadah-ibadah di bulan tersebut yang menjadi milik Allah. Tapi apapun ibadah yang dilakukan dalam keseluruhan bulan yang lain merupakan milik Allah. Seluruh amal di dalamnya, mulai dari doa, shalat, atau ibadah, juga milik Allah Swt semata.
“Bulan itu kalian dipanggil sebagai tamu Allah.” Pada bulan ini, kalian adalah tamu-tamu Allah. Seyogianya, orang yang bertamu berperilaku seperti pemilik rumah. Dalam menyambut para tamu-Nya, Allah Swt sendirilah yang memberi makan. Sementara Dia tidak makan. Manusia pun harus berperilaku demikian. Dikarenakan Allah memiliki sifat pemberi, maka manusia pun harus memiliki sifat demikian. Tak ada yang lebih baik daripada tangan yang dermawan. Sementara tangan yang menerima adalah tangan yang hina. Allah Swt hanya menyukai tangan yang dermawan dan tidak menyukai tangan yang meminta-minta. Orang yang berusaha memberi makan orang lain merupakan pemilik tangan yang mulia di dalam surga.”Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”145
Inilah doa-doa bulan Ramadhan yang mengajarkan kepada kita bagaimana cara memohon di bulan yang mulia ini.”Ilahi, Engkau menjaga agama-Mu dan tidak mungkin Engkau tinggalkan agama-Mu, maka berilah aku taufik dan jadikanlah penjagaan agama-Mu di atas tangan saya.” Ya Allah, jadikanlah agama-Mu tinggi dengan darahku agar orang-orang lain menjadi tamu-tamuku, dan aku tidak menjadi orang yang meminta manfaat dari perjuangan orang lain, dan jadikanlah darah-darah mereka murah agar agama-Mu menjadi tinggi.”Dan jadikanlah aku orang yang membela agama-Mu dan jangan Engkau ganti aku dengan orang lain.” Wahai Tuhanku, janganlah Engkau ganti aku dengan orang lain, sehingga aku menjadi orang yang meminta dan orang lain sebagai pemberi.
Allah Swt telah menyebutkan dalam kitab-Nya tentang ancaman terhadap orang-orang yang berpaling dari agama-Nya. “Dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).”(Muhammad: 38) Allah tidak akan meninggalkan agama-Nya jika musuh-musuh berdiri dalam satu barisan untuk memerangi Islam. Jika kalian tidak membela Islam, Allah akan menolong agama-Nya dengan orang-orang pilihan selain kalian.
Al-Quran mengajarkan kita bagaimana cara berdoa di hadapan ancaman ini. Katakanlah di bulan Ramadhan: “Ya Allah, Engkau jaga agama-Mu, maka berikanlah aku taufiq agar aku dapat membela agama-Mu dengan tanganku.” Doa ini muncul dari jiwa yang kuat yang kemudian menjadikan seseorang bertangan dermawan. Pemilik rumahlah yang mengajarkan kita untuk berdoa di bulan ini. “Dia yang memberikan makan dan Dia tidak makan, Dia menolong dan Dia tidak ditolong, serta Dia menghancurkan kerajaan dan menggantinya dengan yang lain.”146 Dan masih banyak doa lain yang sejenis dengannya. Kemudian Allah berkata kepada kita: “Kalian adalah tamu-tamu Allah.” Demikianlah sifat-sifat yang dimiliki Tuhan.
Doa Amirul Mukminin Ali as merupakan tanda keagungan serta kemulian ruhaninya. Sebabnya beliau merupakan tamu Allah. Dan beliau mengenal Allah dengan pengetahuan yang benar. Semua ini merupakan hasil permintaannya kepada Allah. Ia memohon kepada Allah untuk dianugerahi kecukupan dalam kehidupannya sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain. Ia berkata: “Ya Allah, jadikanlah aku orang yang pertama kali dermawan yang keluar dari kebaikan-kebaikanku dan orang yang pertama kali mengembalikan simpanan nikmat-nikmat-Mu.”147 Ya Allah, jika Engkau ingin mengambil sesuatu dariku, maka yang pertama kali Engkau ambil adalah jiwaku dan jangan Kau ambil dariku anggota tubuhku sehingga aku memerlukan orang lain, aku tak ingin hidup dalam kehinaan. Doa-doa semacam ini juga diajarkan oleh beberapa imam yang lain.
Imam Sajjad as berkata: “Ya Allah, jagalah air mukaku dan jangan Engkau jatuhkan kehormatanku, maka aku meminta rizkiku dan aku tergiur memuji orang yang memberiku dan aku mencoba menjelekkan orang yang tidak memberiku, sedangkan Engkau adalah sebaik-baik pemberi dan pencegah.”148 Ya Allah, sesungguhnya segala pemberian bersumber dari tangan-Mu dan melalui tangan-Mu. Maka, janganlah Engkau jadikan aku merasa perlu kepada selain-Mu dan aku harus memujinya di saat Engkau lebih layak dipuji dan disyukuri, dan aku mencela orang yang tidak memberiku di saat Engkau adalah sebab pemberian dan pencegahan.
Inilah wujud dari seseorang yang memiliki budi bahasa yang tinggi dan karakter yang mulia, yang mengajarkan kepada kita bagaimana cara berdoa. Janganlah meminta harta yang banyak dariAllah Swt. Tapi mintalah kepada-Nya untuk menjaga air muka kita.
Abdurrahman bin Auf datang kepada Ummu Salamah dan berkata: “Keadaan ekonomiku baik dan aku memiliki banyak harta dan aku takut tertimpa bencana.” Ummu Salamah berkata: “Berinfaklah dan berikanlah hartamu di jalan Allah, karena aku mendengar Rasulullah berkata: ‘Sebagian sahabat-sahabatku tidak melihatku lagi setelah aku meninggalkan mereka.’”149 Sebagian dari sahabatku tidak lagi melihatku di hari kiamat, karena Allah berfirman: “Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir): Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat.”(Yasin: 59) Di hari kiamat, orang-orang yang berbuat jahat akan dipisahkan oleh-Nya. Karena itu, mereka tidak dapat melihat nabi saww yang mulia.
Bagi orang yang menjadi tamu Allah, mintalah kepada-Nya segenap sifat pemilik rumah. Manusia adalah ruh yang kosong. Karenanya mintalah keagungan kepada yang menjamu para hamba. Jika Allah menerima hamba-Nya, maka Allah akan menjadikannya tamu diri-Nya, dan menjadi tamu Allah berarti berjumpa dengan Allah.
“Dan kalian di bulan ini menjadi orang yang mendapatkan kemuliaan dari Allah.” Pada bulan ini, kalian menjadi orang-orang yang mulia. Orang yang mulia merupakan orang besar yang wataknya baik dan jiwanya bersih dari polusi dosa-dosa kecil.
Dalam kitabnya, al-Kafi, Almarhum Kulainy ―semoga Allah meridhainya― meriwayatkan: Dalam salah satu peperangan, Rasulullah terpisah dengan pasukannya, entah dikarenakan terjadinya banjir atau selainnya. Saat itu pasukannya berada di suatu tempat dan Rasul di tempat yang lain. Rasul saww duduk beristirahat di kaki gunung. Ketika beliau tengah beristirahat, sekonyong-konyong salah seorang dari kaum musyrikin memanfaatkan keadaan tersebut dan berdiri di atas kepala Nabi sambil menghunus pedangnya. Kemudian ia berkata: “Sekarang siapa yang dapat menyelamatkanmu?” Sekarang kamu sedang terlentang, sedangkan para prajurit sedang berada jauh darimu. Dalam keadaan ini, siapakah yang dapat menyelamatkanmu?
Nabi saww bersabda: “Antara kepalaku dan ujung pedang ini ada kekuatan yang sangat besar yang kamu tidak melihatnya.” Mendengar itu, orang kafir tersebut tertawa mengejek Nabi saww dan mengangkat pedang untuk memukul beliau. Namun tiba-tiba kakinya terpeleset, dan ia pun terjerembab di satu sisi dan pedangnya terpental ke sisi yang lain. Nabi saww bangkit dan mengambil pedang itu sambil bersabda: “Sekarang siapa yang bisa menyelamatkanmu? Aku meyakini adanya Allah dan Dialah yang menyelamatkanku. Tetapi kamu, kepada siapa kamu berkeyakinan?” Orang kafir itu berkata: “Jadilah sebaik-baik orang yang mengambil, aku berkeyakinan dengan kemuliaanmu.” Nabi saww berkata: “Bangunlah, aku telah mengampunimu.” Inilah budi baik yang mulia yang dimiliki orang yang paling sempurna.
Dalam khutbah di bulan Sya’ban, kita tidak menemukan adanya permintaan yang bersifat duniawi dan untuk kesenangan hidup. Sebab, Allah Swt memberikan segala apa yang ada di dunia ini kepada seluruh umat manusia, walaupun ia seorang kafir, munafik, atau penguasa yang kejam sekalipun. Pendek kata, Allah tetap akan memberinya. Kalajengking atau ular manakah yang tidak mendapat makanannya? Meskipun kita boleh meminta kehidupan dan kesenangan kepada Allah ―dan sewajarnyalah seseorang meminta hal ini dari Allah Swt, karena kita mutlak memerlukan-Nya― namun apa yang semestinya diminta seseorang di bulan Allah? Apakah layak jika ia meminta kesenangan dunia? Di bulan Ramadhan, manusia akan menjadi orang-orang yang mulia. Karenanya, janganlah meminta apapun kecuali sesuatu yang memiliki kemuliaan.
Sekelompok orang yang datang ke Mekah untuk melaksanakan Haji, datang kepada Imam Sajjad as dan berkata: “Kebunmu telah diambil oleh penguasa dan khalifah Ahdul Malik yang ada di Mekah, maka temuilah dia dan ceritakanlah keluhanmu agar hakmu dikembalikan kepadamu.” Imam as berkata: “Aku di rumah Allah, sedangkan aku tidak meminta dunia dari-Nya, maka bagaimana mungkin aku meminta dunia dari Abdul Malik?”150
Sepantasnyalah manusia tidak meminta kepada Allah Swt segala sesuatu yang bcrsifat duniawi, karena manusia tidak layak meminta hal-hal yang remeh kepada-Nya di hari yang paling afdhal sepanjang hidupnya, seraya berkata: “Ya Allah, berilah aku rizki berupa harta, rumah, atau kesenangan hidup.” Seharusnya manusia pada bulan penuh keagungan ini, manusia meminta kemuliaan kepada Allah Swt. Dan Allah Swt tidak akan menumpahkan air muka orang yang mulia melainkan akan menjaganya.
Seharusnya, persoalan yang kita hadapi bukanlah tentang bagaimana tidak terjerumus ke dalam neraka atau agar masuk surga. Melainkan bagaimana agar kita memperoleh kemuliaan. Rasul saww bersabda: Mintalah kalian kepada Allah berupa kemuliaan yang merupakan sifat para malaikat. Jika malaikat ―‘Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan.’(al-Anbiya: 26)― diundang dalam perjamuan Allah, maka kalian juga diundang untuk menghadiri hidangan kemuliaan. Karena itu, berusahalah untuk menjadi orang-orang yang mulia.
“Nafas-nafas kalian adalah tasbih.” Nafas kalian di bulan ini seolah-olah mengatakan: “Subbuh Quddus.” “Tidur kalian adalah ibadah.” dan “Amal ibadah kalian diterima.”
Diterimanya amal perbuatan merupakan pintu gerbang bagi diterimanya manusia di sisi Allah Swt. Dalam al-Quran, kita temukan dua perumpamaan: Pertama, diterimanya amal perbuatan sebagian manusia. Dan, kedua, diterimanya sebagian manusia, bukan semata amal perbuatannya. Nilai perumpamaan yang terakhir disebutkan tentu lebih utama dibanding yang pertama. Sebagian orang memiliki amal perbuatan yang baik, sementara sebagian lainnya adalah orang-orang yang baik. Mereka ―“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan”― merupakan orang-orang yang mendapatkan pahala dari Allah Swt.
Namun, kedati memiliki sebagian amal perbuatan yang baik, mereka belum mencapai maqam kebaikan jiwa (baru mencapai maqam kebaikan amal perbuatan). Karenanya, mereka mungkin masih berada dalam ancaman bahaya. Lain hal dengan kelompok kedua ―“Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang shalih”(al-Baqarah: 130) Jiwa merekalah yang memiliki kebaikan, dan Allah Swt telah menerima mereka.
Khusus tentang Maryam, Allah Swt berfirman: “Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik.”(al-Imran: 37) Allah Swt tidak hanya menerima ibadah yang dilakukan orang-orang yang mulia― mengingat Allah juga akan menerima ibadah orang-orang selain mereka. Lebih dari itu, Allah Swt akan menerima jiwa-jiwa mereka. Allah Swt menerima mereka dikarenakan mereka adalah orang-orang yang mulia.
“Dan doa-doa kalian dikabulkan.” Hal pertama yang harus kita perhatikan adalah bahwa doa yang dipanjatkan haruslah bersifat umum dan diperuntukan bagi semua orang. Dengan kata lain, doa tersebut tidak hanya diperuntukan semata-mata bagi diri kita. Di hadapan Nabi saww, seseorang berdoa dan berkata: “Ya Allah, ampunilah Nabi dan aku.” Nabi saww bersabda:.”Kenapa kau batasi rahmat Allah? Kenapa hanya aku dan kamu? Katakanlah untuk seluruh orang-orang mukmin.” Nabi saww bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berdoa, maka berdoalah untuk orang banyak, sesungguhnya itu cepat dikabulkan.”151
Imam Ridha as berkata: “Dan ampunilah orang-orang yang di Timur dan di Barat bumi, dari orang-orang mukmin dan mukminah.”152 Seorang bijak, Ibnu Sina, menjelaskan arti dari doa tersebut. Ia berkata:
“Perluaslah rahmat Allah.”153 Ungkapan ini diakui sangat menawan serta memiliki arti yang sangat indah dan mendalam. Syeikh Thusi berkata: “Ungkapan tersebut menyerupai riwayat-riwayat karena kedalaman artinya dan keindahan ungkapannya.” Mintalah rahmat yang mencakup orang-orang lain, “perluaslah rahmat Allah.” Agar diterima, panjatkanlah doa yang diperuntukan bagi orang banyak.
Pada sebuah sore di hari Arafah, seseorang turun dari Arafah. Salah satu matanya rusak dan satunya lagi memerah. Sebagian sahabatnya berkata: “Kenapa azab, ratapan, dan tangisan ini begitu mendalam?” Ia berkata: “Tidak, semua ratapan ini bukan untukku dan aku tidak meminta sedikit pun untuk diriku.” Seluruh tangisannya dipersembahkan bagi saudara-saudaranya yang mukmin. Inilah hasil didikan para imam yang menjadi keistimewaan sahabat para imam.
Agama memerintahkan kita untuk memintakan ampun dan mendoakan minimal154 empat puluh orang mukmin di dalam shalat malam. Jika dirasakan belum mencukupi, maka perbanyaklah jumlah mukminin yang didoakan. Agama juga mengajak kita untuk berpikir tentang keadaan kaum mukminin serta membantu untuk mencarikan celah penyelesaian bagi segenap problem yang mereka hadapi: Karena itu, ketika agama mengatakan: “Bangunlah di malam hari dan doakanlah orang-orang mukmin.” sesungguhnya kita diajak untuk memikirkan nasib kaum mukminin. Dan pada siang hari, kita harus membantu menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Agama ini mengajarkan kepada manusia berbagai pelajaran yang mulia. Abu Hamzah al-Tsimaly, salah seorang murid Imam Sajjad as, meriwayatkan doa Imam Sajjad as yang terkenal: “Ya Allah, pemilik yang besar dan yang kecil, pemilik laki-laki dan perempuan, pemilik pedalaman dan perkotaan, dan pemilik yang jauh dan yang dekat, dan seluruh makhluk, ampunilah semuanya.”155
Semestinya seseorang berdoa untuk orang banyak dan tidak mengkhususkan semata untuk dirinya, teman-temannya, maupun kerabatnya. Ini dikarenakan bulan Ramadhan merupakan bulan yang mulia. Rasul saww bersabda: “Pergilah dan persiapkanlah diri kalian untuk menyambut bulannya Allah, karena bulan itu datang dengan membawa rahmat dan maghfirah.”
Karenanya, Nabi saww bersabda: “Mintalah kepada Allah, Tuhan kalian dengan niat-niat yang benar dan hati yang suci agar Allah memberikan taufik kepada kalian untuk berpuasa dan membaca kitab-Nya. Sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang tidak mendapatkan ampunan dari Allah di bulan yang mulia ini. Dan ingatlah, dengan rasa lapar dan rasa haus kalian di bulan ini, untuk mengingat lapar dan haus di hari kiamat.” Orang yang celaka adalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah Swt di bulan yang mulia ini.
Dalam sebagian riwayat yang berkenaan dengan fadhilah puasa, disebutkan156: “Berpuasalah kalian agar kalian merasakan lapar dan hausnya orang-orang miskin.” Inilah tingkatan puasa yang pertama. Apa alasan kita membiarkan orang-orang kelaparan sementara perut kita Senan1tiasa kenyang? Inilah peringatan bagi manusia tentang apa yang akan terjadi di hari kiamat. Pada hari kiamat kelak, sebagian manusia akan senantiasa kelaparan, sekalipun menyantap makanan. Mereka tidak merasa kenyang sedikitpun, sebagaimana tatkala hidup di dunia mereka banyak menyantap makanan namun tidak pernah merasa kenyang.
Memang, ketamakan di dunia tidak memiliki batas. Namun di akhirat, ketamakan akan memiliki bentuk yang khas.”Masih adakah tambahan.” (Qaf: 30) Imam berkata: “Pikirkanlah rasa lapar dan rasa haus di hari kiamat.” Rasa haus dan lapar yang diderita seseorang di dunia ini merupakan langkah awal untuk berjalan menuju kebaikan. “...Dan bersedekahlah kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin....” Salah satu tujuan berpuasa adalah meminta keselamatan di hari kiamat. Karenanya, dalam berpuasa, seyogianya kita memberikan bantuan kepada faqir miskin dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan dilakukan dengan cara yang lemah lembut.
“...Muliakanlah orang-orang yang lebih besar dari kalian dan sayangilah yang lebih kecil dari kalian....” Muliakanlah orang-orang yang besar dan yang kecil serta muliakanlah guru-guru kalian. Kata ‘besar’ di sini bukanlah identik dengan lebih tua, melainkan yang telah membesarkan kalian dalam hal kedudukan spiritual.
Abbas ditanya: “Apakah engkau yang lebih besar ataukah Rasulullah?” Ibnu Abbas berkata: “Dia lebih besar sedangkan aku lebih tua.”157 Dia lebih besar iman dan akalnya ketimbang diriku, sedangkan aku lebih tua darinya. Ini merupakan sopan santun dalam berbicara. Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Dia lebih besar dan aku dilahirkan sebelumnya.” Orang-orang berkedudukan tinggi haruslah dihormati.
Sebaliknya, ia juga harus menghormati orang-orang yang lebih rendah kedudukannya. Jika kalian mengetahui sesuatu, berusahalah untuk mengajarkannya kepada orang lain. Jangan merasa sungkan sedikitpun. Sebab, persoalannya bukan cuma terkait dengan masalah Perasaan semata, melainkan juga pikiran. Perlu diperhatikan bahwa pendidikan, pengajaran, penyucian, dan sejenisnya merupakan bagian dari rahmat Allah Swt yang paling afdhal.
Referensi:
144. Syaikh al-Baha’i, Arbain: al-Khutbah al-Sya’baniyah, hadis ke-9.
145. Dari wasiat-wasiat Rasul kepada Muadz bin Jabal. Liliat, ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub, Bab XVIII.
146. Doa Iftitah.
147. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-215.
148. As-Sahifah as-Sajadiyah, dalam doa “Makarim al-Akhlaq”.
149. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-5, hal. 38, hadis ke-5.
150. Bihar al-Anwar, juz 46, ha. 120, dan juz 42, hal. 76; Ila al-Syara’i, hal. 87-88.
151. Thabarsi, Majma al-Bayan.
152. Bihar al-Anwar, juz 12, hal. 23.
153. Dan janganlah Anda berdiri memperdengarkan munajat kepada musuh dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh serta keliru selamanya, dan perluaslah rahmat Allah Swt. Lihat, al-Irsyad, bentuk ke- 7, Bab XXV, juz 3, hal. 328.
154. Man la Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab LXV, hal. 298; al-Saduq, Sawabu al-A’mal, hal. 63.
155. Lihat, Abu Hamzah as-Simali, Safinah al-Bihar, Bab “Hamaza”.
156. Ila al-Syara’i, Bab CVIII
157. Muhaddis Qummi, al-Aqd al-Farid: Kuhlu al-Basar fi Sirah Sa’d al-Basar, hal. 58.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email