Pesan Rahbar

Home » » Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 4

Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 4

Written By Unknown on Wednesday 26 October 2016 | 19:14:00


Sesungguhnya seluruh ibadah yang merupakan tujuan penciptaan, memiliki rahasianya masing-masing. Rahasia-rahasia ibadah bukanlah adab, bukan pula hukum. Ibadah memiliki serangkaian hukum, sekumpulan adab, juga rahasia-rahasia. Hukum-hukumnya berupa kewajiban-kewajiban yang disebutkan dalam buku-buku fiqh. Seperti bagaimana berwudu, bagaimana shalat, juga penjelasan tentang kewajiban-kewajiban shalat dan rukun- rukunnya.

Adapun adab ibadah dibahas dalam buku-buku fiqh di bawah topik yang berkenaan dengan sunah-sunahnya. Sebagian lagi disebutkan dalam buku-buku akhlak.

Sedangkan rahasia-rahasia ibadah tidak disebutkan dalam buku-buku fiqh maupun buku-buku akhlak. Ia merupakan hal-hal yang bersifat batin dan berhubungan dengan ruh manusia.

Doa, misalnya, memiliki hukum-hukum, adab-adab, dan rahasia-rahasia. Hukum doa berkenaan dengan apa yang diminta manusia dari Allah Swt. Seperti tidak boleh meminta sesuatu yang haram serta tidak bermaksud mencelakakan orang lain. Adapun adab berdoa adalah ketenangan dan tidak mengeraskan suara sampai batasan makruh. Karena suara yang keras tidak sesuai dengan adab. Sedangkan rahasia-rahasia doa terletak pada ruh doa itu sendiri, di mana orang yang berdoa merasa bahwa doanya bersemayam di sisi Allah dan Allah melihatnya. Rahasia-rahasia ibadah ini dibahas secara rinci dalam berbagai kitab irfan.

Allah berfirnan: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara. di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”(al-A’raf: 205)

Ingatlah Allah selalu dan kuatkan ingatanmu dengan hatimu serta dengan kedua bibirmu. Lakukanlah semua itu dengan tenang sepanjang malam dan siang. Ini adalah kiasan tentang pengingatan terus-menerus... dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai.

Ketika orang-orang menggelar demonstrasi atau pawai, mereka tentu akan meneriakkan yel-yel. Hal itu seyogianya tidak dilakukan dengan cara berbisik-bisik atau bergumam. Teriakan takbir harus dilakukan dengan suara yang lantang. Rasulullah saww mewasiatkan kepada orang-orang yang berperang agar tidak tinggal diam. Mereka harus mengangkat suara mereka dengan berbagai syiar.48

Syiar yang dilakukan pada waktu peperangan berbeda dengan syiar yang diteriakkan oleh orang-orang yang berdemonstrasi. Ketika melaksanakan shalat dan sesudahnya, orang yang shalat harus berdoa dengan tenang, doa yang dapat meluluhkan hati. Inilah adab berdoa.

Berkenaan dengan adab shalat, Rasul saww bersabda: “Barangsiapa yang dalam shalatnya menghindar untuk berpakaian maka Allah tidak akan mengenakannya pakaian.”49 Apabila seseorang memiliki dua potong pakaian, yang satu baru dan yang lainnya sudah lama dan tampak lusuh, namun ketika menunaikan shalat ia tidak mengenakan pakaiannya kecuali yang lama dan sudah lusuh, maka motif orang tersebut dalam berpakaian bukan karena Allah, tetapi karena manusia. Sebabnya, ia lebih menghargai baju barunya ketimbang Allah Swt sendiri. Seperti itulah orang yang shalat di tempat-tempat yang kotor. Juga orang yang melaksanakan shalat dengan penuh kehati-hatian namun melambat-lambatkannya hingga ke waktu qadha ―semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan ini. Semuanya ini merupakan adab shalat, bukan rahasia shalat. Karena rahasia shalat berkenaan dengan semua hal yang bersifat batin.

Setiap ibadah ―baik shalat maupun yang lainnya― memiliki aspek batin mitsali dan aqli. Aspek batin mitsali bisa dilihat oleh manusia di alam barzah ―alam kubur. Alam kehidupan yang diarungi manusia bukan terdiri dari empat jenis (dunia, kubur, barzah, dan kiamat besar). Sebab pada prinsipnya, alam kubur identik dengan alam barzah. Karenanya, manusia hanya memiliki tiga bentuk alam kehidupan, yakni dunia, barzah, dan kiamat. Imam maksum as pernah ditanya tentang kapan dimulainya alam barzah. Imam as menjawab: “Mulai di dalam kubur.”50 Barzah adalah alam kubur. Ketika manusia masuk ke dalam kubur, maka alam barzah pun dimulai. Adapun aspek batin aqli yang dikandang dalam ibadah dapat dilihat oleh manusia setelah alam barzah. Banyak sekali riwayat yang mengungkapkan hal ini.

Dari Abi Bashir, murid Imam Shadiq as, berkata Imam Baqir as: “Jika seorang mukmin meninggal dunia dan memasuki alam kubur, berbarengan dengan itu masuk pula bersama dirinya enam bentuk yang menempati posisinya masing-masing. Di antaranya terdapat satu bentuk yang memiliki wajah paling bagus, paling berwibawa, paling wangi, dan paling bersih ketimbang yang lain.” Selanjutnya Beliau mengatakan: “Ada satu bentuk yang berdiri di samping kanan hamba tersebut, satunya lagi di samping kirinya, di antara kedua tangannya, di belakangnya, di antara kedua kakinya, dan yang paling bagus berada di atas kepalanya. Kemudian dia datang ke kanannya, dan bentuk yang menempati posisi di kanan tersebut menolaknya. Begitulah seterusnya ketika dia mendatangi ke keenam sisi tersebut. Bentuk yang paling baik kemudian berkata: ‘Siapakah kalian? Semoga Allah memberikan kebaikan kepada kalian.’ Yang berada di kanan hamba itu berkata: ‘Aku adalah shalat.’ Yang di kirinya berkata: ‘Aku adalah zakat.’ Yang di antara kedua tangannya berkata: ‘Aku adalah puasa.’ Yang di belakangnya berkata: ‘Aku adalah haji dan umrah.’ Yang berada di antara kedua kakinya berkata: ‘Aku adalah kebaikan dari silaturrahmimu kepada saudara-saudaramu.’ Kemudian bentuk-bentuk tersebut balik bertanya: ‘Siapakah kamu? Engkau paling bagus, paling wangi, dan paling berwibawa di antara kami.’ Dia berkata: “Aku adalah wilayah kepada keluarga Muhammad saww.”51

Dari sini menjadi jelas bahwa shalat memiliki hukum-hukum, adab, rahasia, dan batin. Adapun aspek batin shalat berbentuk cahaya. Inilah yang kelak menjadi teman yang mendampingi hamba yang mukmin di dalam kuburnya. Manusia bisa melihat shalatnya dan berbicara dengannya. Shalatnya akan memberikan syafa’at jika ditunaikan dengan cara dan bentuk seperti ini. Seluruh ibadah memiliki bentuk khas masing-masing dan dilakukan dengan cara-cara seperti ini.

Hadis-hadis yang penuh cahaya ini tidak terdapat dalam buku-buku fiqh ataupun buku-buku akhlak. Pembahasan yang berkenaan dengan aspek batin ibadah berhubungan dengan ilmu-ilmu khusus. Hadis-hadis tersebut disampaikan oleh sebagian murid-murid para imam, kedati masih banyak hadis lain yang juga berbicara tentang tema ini.

Seorang laki-laki berkunjung kepada Imam Ridha as dan berkata kepada beliau: “Apa bukti bahwa Allah itu satu dan bukan dua?“ Imam as menjawab: “Ucapanmu bahwa Dia dua adalah bukti bahwa Dia adalah satu karena engkau tidak mungkin mengatakan dua kecuali setelah engkau buktikan satu. Maka satu adalah kumpulan dari dua dan yang lebih dari satu berbeda.”52

Pada kesempatan lain, Rasul saww ditanya: “Apa bukti atas keesaan Allah Swt?” Rasul saww bersabda: “Berhubungannya pengaturan dan sempurnanya penciptaan, sebagaimana firman Allah: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.”53

Bentuk ucapan Rasul saww ini bukanlah sebuah argumentasi, melainkan sekadar untuk memuaskan orang-orang yang memiliki pengetahuan yang minim. Pada kesempatan lain, rasul saww menjelaskan berbagai masalah tauhid dengan cara yang lebih mendalam kepada muridnya yang lain. Seperti sabda beliau dalam sebuah hadis: “Sesungguhnya shalat memiliki batin dan bentuk.” Ungkapan ini tidaklah ditujukan kepada setiap orang. Juga tidak diutarakan dalam setiap majelis. Bahkan, ulama-ulama besar yang senantiasa mengumpulkan hadis-hadis pun akan melakukan seleksi sehingga diperoleh sejumlah hadis yang sesuai dengan selera dan spesialisasi keilmuan masing-masing.

Di sini Rasul saww menjelaskan makna dari bentuk-bentuk tersebut melalui sabdanya: Bentuk cahaya yang ada di sisi kanan seorang mukmin di dalam kuburnya adalah aspek batin shalat dan yang berada di kirinya adalah zakat. Yang dimaksud dengan zakat tidak hanya harta benda. Tetapi seluruh nikmat yang diberikan Allah atas hamba-Nya (ada zakatnya). Manusia diperintahkan untuk menunaikan zakat yang berbentuk berbagai kenikmatan. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Zakatnya ilmu adalah mengajarkannya54, zakat harta adalah menginfakkannya55, zakat kecantikan adalah menjaga kesucian tubuhnya56, dan zakat keberanian adalah berjihad di jalan Allah57.”

Jika dianugerahkan ilmu, seseorang harus mengajarkannya kepada manusia. Dan bila diberikan harta, ia wajib menginfakkannya dijalan Allah Swt. Jika diberi kecantikan, seseorang harus lebih menjaga kesuciannya daripada yang lain. Dan bagi yang memiliki keberanian, harus lebih banyak hadir dalam peperangan. Apabila Allah memberikan nikmat keberanian kepada seseorang, ia harus lebih bertanggungjawab untuk berkorban di jalan Allah. Semua itu merupakan zakat, yang apabila ditunaikan akan berubah di dalam kubur menjadi cahaya yang dibangkitkan bersama orang yang menunaikannya. Ia kemudian akan berdiri di samping kiri si pelaku dan menjaganya dari segala keburukan.

Bentuk yang berkata, “Aku adalah puasa,“ akan berdiri di hadapan orang yang melaksanakannya. Cahaya ini terbentuk dari aspek batin puasa yang dilakukan orang yang berpuasa karena Allah Swt. Inilah rahasia puasa.

Adapun bentuk yang berdiri di belakang dan menjaganya dari berbagai gangguan adalah haji dan umrah. Pada musim haji, seseorang datang kepada Imam Sajjad as dan berkata: “Alangkah banyaknya teriakan dan alangkah sedikitnya orang yang berhaji.” Imam Sajjad as berkata: “Bukan seperti itu. Tapi katakanlah: alangkah sedikitnya orang yang berhaji dan alangkah banyaknya teriakan.”58 Orang yang berhaji pada hakikatnya hanya segelintir saja, tetapi teriakan yang terdengar sangat banyak. Setelah itu imam menyingkapkan kepada orang tersebut, keadaan batin dari orang-orang yang sedang berhaji. Ternyata mereka tak lebih dari sekumpulan binatang yang bergerak di tanah Arafah. Sementara di antara mereka yang berbentuk manusia sangat sedikit sekali.

Setiap orang memiliki batin yang menyatu dengan amalnya. Imam telah menunjukkan keadaan batin orang-orang yang sedang berhaji waktu itu. Maksudnya agar orang yang bertanya di tanah Arafah tersebut memahami bahwa pada hakikatnya, kebanyakan dari mereka yang berhaji itu bukanlah manusia. Keberadaan manusia menyatu dengan amalnya: “Manusia dibangkitkan berdasarkan niat mereka.”59 Setiap orang dibangkitkan berdasarkan niatnya dan Imam mengetahui hakikat manusia. Dalam satu atau dua kesempatan, beliau akan menyingkapkan hakikat tersebut.

Kemudian, bentuk yang berdiri di antara kedua kakinya juga berkata: “Aku adalah kebaikan yang kau berikan kepada saudara-saudaramu.” Setiap kebaikan yang diberikan manusia kepada saudara-saudaranya akan membentuk cahaya yang kelak menjaganya. Karenanya segala keburukan tidak akan bisa menyentuhnya. Ketika kelima bentuk ini menyingkapkan dirinya, mereka pun mengutus salah satu dari mereka yang menanyakan: “Siapakah engkau, wahai yang seluruh cahaya dan kecantikan ada di atasmu?” Dia berkata: “Aku adalah wilayah kepada Ahlul Bait.” Kecintaan kepada Ahlul Bait akan menjelma sebagai cahaya yang indah. Kecintaan kepada Ali dan anak-anaknya yang suci, juga kepada para pengikutnya, akan menjadi bentuk yang bercahaya dan menguasai manusia. Inilah rahasia cinta.

Kadangkala manusia memiliki gambaran tentang keberadaan para imam suci. Dan terkadang pula mereka memiliki hubungan dengan para imam. Ini merupakan rahasia ber-wilayah. Ketika seseorang bersedih untuk para imam dan cintanya kepada mereka sudah tidak lagi obyektif, niscaya ia akan dibangkitkan bersama-sama dengan orang-orang suci ini.

Suatu ketika, seseorang melontarkan protes kepada Imam Ali as di siang hari bolong yang sangat panas dan berkata: “Nasihatilah aku.” Imam Ali as berkata: “Engkau telah menghadiri majelis-majelis kami dan mendengarkan ucapan-ucapan kami, maka apa manfaat dari mendengarkan nasihat pada waktu yang panas seperti ini?” Ia berkata: “Saya tidak akan meninggalkanrnu sampai aku mendengarkan nasihat darimu.” Imam Ali as berkata: “Engkau bersama orang yang engkau cintai.”60

Imam berkata: “Manusia akan dibangkitkan dengan orang yang dicintainya.” Maka lihatlah hatimu, dengan apa ia berhubungan? Dan apa yang dicintainya? Apa yang diinginkannya? Kita tidak boleh berfikir tentang segala sesuatu dan kita jangan memikirkan diri kita sendiri. Mungkin saja manusia menghabiskan umumya tetapi tidak tahu apa yang diinginkannya. Janganlah kalian menginginkan agar setelah mati tidak masuk neraka. Kita harus menginginkan diri kita sampai pada rahasia-rahasia batin dan aqli.

Mungkin kamu bertanya: Mungkinkah kita mampu melihat aspek batin shalat? Dengan kata lain, bentuk cahaya itu? Ya, manusia bisa melihat bentuk shalat, haji, dan jihadnya. Ya, jika memiliki mata malakuti, mereka akan sanggup melihat banyak hal. Ketika itu ia tidak akan menyesal di hari kiamat. Mengapa manusia lupa terhadap seluruh nikmat ini? Mengapa manusia hanya puas dengan terhindar dari neraka?

Dikatakan bahwa tingkatan surga laksana hilangan ayat-ayat dalam al-Quran. Manusia memiliki rumah di surga. Seandainya seluruh penduduk dunia ini tinggal di dalam surga, mereka akan tetap merasa leluasa.61 Alam apakah ini? Akan sampai manakah ruh manusia? Maqam manakah yang akan diraih manusia? Apakah rahasia ibadah itu? Rahasianya tak lain dari bentuk-bentuk cahaya tadi. Segenap amal ini memiliki bentuk-bentuk cahaya yang akan dibangkitkan bersama manusia yang melakukannya. Bentuk-bentuk ini akan tetap bersama kita. Mereka tidak terpisahkan dari diri kita. Menunaikan taklif yang datangnya dari syariat atau melakukan adab dari suatu ibadah hanya akan memotong sebagian jalan. Adapun pengetahuan tentang rahasia-rahasia ibadah akan memotong seluruh jalan dan akan menghantarkan seseorang pada akhir perjalanan. Ini merupakan sebagian dari aspek batin shalat yang termaktub dalam sejumlah hadis.

Imam Ali as berkata kepada muridnya, Haris al-Hamadani: “Setiap orang yang wafat akan melihat aku.”62 Sebelum mengatakan ini, Imam Ali as memperkenalkan dirinya dan berkata: “Aku adalah saudara Rasulullah, orang yang pertama beriman kepadanya dan mempercayainya, sedangkan nabi Adam, ayah manusia, belum diciptakan.” Alam apakah ini? Dengan alam manakah beliau berhubungan? Apakah alam ini merupakan alam tabiat?

Orang yang naza’ (sudah dekat ajalnya) akan memasuki alam barzah. Pada saat itu, ia tidak lagi melihat dengan matanya dan tidak mendengar melalui telinganya. Keberadaan indranya, juga ruhnya, telah terputus dengan alam dunia. Ia akan melihat beberapa tamu yang mulia dan bercahaya di sampingnya. Sedangkan anak-anak dan sanak familinya tak lagi diingatnya, mengingat mata tabiatnya telah terpejam. Sekarang Ia hanya melihat tamu-tamu yang mulia. Namun ia sama sekali tidak mengenal mereka, tidak mengenal wajah-wajah bercahaya ini. Orang-orang mulia tersebut kemudian memperkenalkan diri: Yang pertama ini adalah Rasulullah dan di sebelahnya adalah Imam Ali. Di samping Ali adalah Fathimah, dan di samping keduanya adalah al-Hasan dan al-Husain63, dan mereka menyebutkan nama para imam satu persatu.

Bentuk cahaya inilah yang akan pertama kali dilihat manusia di alam barzah. Banyak sekali pertanyaan yang muncul tentang hal ini. Umpama, apakah seluruh ahli kubur bisa melihat bentuk-bentuk ini, atau hanya orang-orang mukmin saja yang mampu melihatnya? Dan jika seluruhnya mampu melihat Amirul Mukminin, apakah mereka akan melihatnya dengan bentuk yang serupa atau dengan bentuk yang bermacam-macam?

Manusia harus menumbuhkan dan menguatkan keinginan akan cinta dan permusuhan yang diperoleh dari dalam dirinya sendiri, agar ia bisa mencicipi manisnya rasa cinta. Kalau tidak, cinta dan permusuhan pada kebanyakan manusia tidak akan memiliki kekuatan menarik dan mendorong, negatif dan positif, di dalam kehidupannya. Keberadaan keduanya akan sangat kuat dalam diri seorang mukmin.

Berkenaan dengan persoalan ini, terdapat sebuah risalah yang disandarkan kepada Khawajah Nashiruddin at-Thusi ―semoga Allah merahmatinya―. Di situ beliau mengatakan: “Kekuatan menarik dan menolak terdapat pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, dan manusia.”64 Demikian pula halnya dengan batu atau tanah. Jika ingin menjadi yaqut atau akik, tanah yang memiliki potensi untuknya akan menariknya. Adapun tanah yang tidak memiliki potensi akan menolaknya. Itu dikarenakan tidak semua tanah berpotensi menjadi batu yaqut atau akik. Menarik dan menolak terdapat dalam setiap benda, tumbuh-tumbuhan, dan tanah. Tumbuh-tumbuhan tidak menarik setiap materi. Ia memilih materi-materi yang bermanfaat dan menolak materi-materi yang merusak.”

Potensi untuk menarik dan menolak dalam diri binatang berbentuk hawa nafsu dan emosi. Bila dihilangkan, semua itu akan menjadi cinta dan permusuhan. Jika dihilangkan secara sempurna, ia akan menjelma sebagai keinginan dan keengganan. Dan apabila lebih banyak belas kasih dan ketegasannya, ia akan menjadi tawalli dan tabarri. Semua itu merupakan keistimewaan-keistimewaan dan sifat-sifat yang dimiliki orang-orang mukmin.

Seorang mukmin harus menjaga tawalli dan tabarri-nya, yakni dengan mencintai seluruh ibadah, terutama shalat. Imam Husain as berkata kepada Abul Fadl al-Abbas: “Katakan kepada mereka untuk membiarkan kita pada malam ini ―malam ke sepuluh bulan Muharram― karena Allah mengetahui (saya mencintai shalat).”65

Banyak orang yang menunaikan shalat secara lahiriah serta mengetahui adabnya. Namun Imam Husain as mencintai hakikat shalat dan batinnya.

Diriwayatkan dari Imam Sajjad as dan sebagian imam suci as lainnya: “Jika kau shalat, maka shalatlah shalat perpisahan.”66 Ketika engkau menunaikan shalat, lakukanlah layaknya engkau tengah berada pada detik-detik terakhir dari kehidupanmu. Lakukanlah shalat tersebut seolah-olah engkau tidak akan mendapatkan shalat yang lain.

Bagi kita, yang penting bukanlah shalatnya, tetapi menumbuhkan kecintaan pada batin shalat. Yang penting bukan bagaimana berjihad, tetapi bagaimana kita mencintai jihad. Mengapa nama-nama orang yang berperang di dunia tidak sampai terdengar dan lenyap begitu saja? Sebaliknya, mengapa nama orang-orang muslim yang berjihad menjadi kekal sepanjang masa dan akan tetap dikenang sepanjang hari dan malam?

Bukankah penyerangan yang disertai pembunuhan manusia dengan cara yang keji sangat gampang dilakukan oleh orang semacam Mighwal? Bukankah mereka membunuh orang-orang tua dan orang-orang dewasa? Tidakkah mereka mengangkat kepala manusia di atas khirab yang dipenuhi dengan srigala setelah mencabuti kulit-kulitnya?Bukankah mereka mengirimkan potongan-potongan badan si terbunuh ke Baghdad, Tabriz, dan Syiraz untuk meneror manusia lain? Kejahatan dan kekejian semacam ini terkubur begitu saja dalam berbagai buku dan tidak lagi diingat, Mengapa? Sebabnya, peperangan semacam itu tidak memiliki batin atau ruh, dan tidak lagi orisinil. Peperangan tersebut hanya didorong oleh syahwat dan motif duniawi. Darah orang yang berperang demi seorang anak dipersembahkan tidak lain kecuali untuk tanah belaka. Adapun orang yang berperang karena Allah dan kemudian terbunuh, akan hidup kekal. Orang yang melaksanakan shalat akan hidup kekal, begitu pula dengan orang yang berpuasa. Tentunya terdapat perbedaan antara ucapan seseorang yang mengatakan ‘aku shalat’ dengan ucapan Imam Husain as yang mengatakan: “Aku mencintai shalat.”

Dikisahkan, rumah Imam Sajjad as terbakar, sementara beliau tengah sibuk dengan shalatnya. Setelah orang-orang usai memadamkan api tersebut, mereka berkata kepada Imam: “Rumahmu terbakar dan engkau tidak memperhatkannya. Apakah engkau tidak mendengar jeritan?” Imam berkata: “Tidak.” Mereka berkata: “Bagaimana engkau bisa tidak mendengar?” Imam berkata: “Aku sedang sibuk dengan api akhirat daripada api dunia.”67

Mungkinkah manusia mampu melihat api akhirat? Ya, manusia mampu melihat api tersebut. Al-Quran mengatakan: jika manusia sampai kepada suatu amal yang diyakininya, ketika itulah ia melihat api kiamat:

“Janganlah begtu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahanam, dan sesungguhnya kalau benar-benar akan melihatnya dengan ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”(al-Takatsur: 5-8)

Di sini jelas bahwa aspek batin dari kemaksiatan adalah neraka dan aspek batin dari ketaatan adalah surga. Aspek batin shalat dan puasa adalah surga. Jika kalian termasuk ahli suluk yang baik, maka kalian akan dapat melihat neraka sekarang juga. Jalaluddin Rumi berkata dalam syairnya, Matsnawi: “Pelajaran adalah dengan melihatnya seseorang ke neraka bukan dengan memalingkan wajahanya neraka.”

Pelajaran akan diperoleh seseorang dengan melihat api dosa-dosanya yang merupakan jahanam. Dosa-dosa pun memiliki hukum-hukum dan rahasia. Aspek batin dari dosa adalah neraka yang membara, sementara aspek batin shalat adalah surga.

Sebagian sahabat nabi dan para imam mendefinisikan rahasia-rahasia ini. Haris bin Malik berkata kepada Nabi: “Ya Rasulullah, aku melihat neraka jahanam dan penghuninya dan aku melihat surga beserta penghuninya dan aku mendengar suara-suara mereka.”68 Rahasia-rahasia ibadah tidak hanya khusus diketahui para imam atau para nabi. Kedati memiliki derajat-derajat kemuliaan yang sulit dijangkau akal kita, namun bukan berarti setiap orang yang mampu melihat neraka atau surga akan menjadi maksum.

Ketika menjelaskan kedudukan Imamah, Imam Ridha as berkata: “(Kedudukan Imam adalah tempat yang pikiran kalian tidak akan sampai ke tempat tersebut). Kedudukan tersebut ibarat matahari yang menyinari alam semesta. Matahari tersebut terletak di ufuk dan tak dapat digapai oleh tangan serta penglihatan.”69 Lantas, di manakah letak kemampuan akal dan ihtiyar? Imam seperti matahari di tengah langit. Sebagaimana manusia tidak mampu mencapai matahari, begitu pula akal manusia yang tidak akan mampu mengetahui hakikat Imam. Imam bukanlah manusia biasa sehingga kita mustahil mengetahui hakikatnya. Ia adalah pemimpin dan khalifah yang dipilih Allah Swt.

Murid-murid Imam mampu melihat surga dan neraka serta batin dari berbagai dosa. Minimal, mereka dapat melihatnya dalam mimpi. Adapun kita, pada saat sadar, kita malah tertidur. Tidur yang kita lakukan tidak memberikan pelajaran. Demikian pula dengan sadarnya kita. Sebab, tatkala kita sadar, kita malah lupa diri.

Almarhum Kulayni ―semoga Allah meridhainya― meriwayatkan bahwa ketika Rasul saww menghadiri suatu majelis, beliau bersabda: “Apakah kalian memiliki berita gembira?”70 Apakah semalam kalian bermimpi dalam tidur kalian? Manusia tidur agar mengetahui sesuatu. Bukan dengan cara memperbanyak makan sehingga menjadikannya tertidur. Untuk mengantuk, kita sibuk mengenyangkan perut dengan makanan. Perbuatan ini tidak lain hanya menyia-nyiakan umur belaka. Sesungguhnya orang yang membandingkan dirinya dengan orang fasik dan hina telah mencelakakan dirinya sendiri. Imam Hasan al-Mujtaba as berkata: “Janganlah kau bandingkan dirimu dengan orang-orang yang hina dan fasik.”

Kendati terdapat sejumlah rahasia ibadah yang bisa diketahui manusia, namun semua itu tidak bisa disifati. Makna berpuasa bukanlah menahan makan di siang hari. Pernah seseorang bersendawa di hadapan Rasul saww. Melihat itu, beliau saww bersabda: “Kurangilah sendawamu karena kebanyakan manusia yang kelaparan di hari kiamat selalu kenyang di dunianya.”71 Sungguh tidak pantas bagi seseorang yang memenuhi perutnya dengan makanan sampai-sampai ia bersendawa di hadapan orang lain. Makan yang banyak, selain dapat membahayakan kesehatan, akan menjadikan manusia mengabaikan sopan santun di dalam majelis. Rasulullah saww bersabda berkenaan dengan rahasia-rahasia ini: “Kalian bisa melihat surga dan neraka, tapi janganlah kalian mengatakan bahwa itu merupakan maqam seorang imam, karena maqam seorang imam sangatlah tinggi yang akal manusia tidak sanggup menjangkaunya.”

Rahasia-rahasia ibadah semacam ini merupakan rahasia mitsali dan bersifat barzahi. Lalu, bagaimana dengan rahasia-rahasia ibadah yang bersifat aqli?


Referensi:

48. Orang-orang kafir meneriakan yel-yel (a’la hubal) dan Rasul memerintabkan kaum muslimin untuk meneriakan Allah lebih tinggi dan lebih mulia, “Dia adalah pelindung kami dan bukan pelindung kalian.” (Sirah Ibnu Hisam, Bihar al-Anwar, Bab “Tarikh al-Nabi”, juz 5, hal. 488.
49. Man la-Yahdhuru al-Faqih, juz 1, Bab XXIX, hadis ke-20.
50. Tafsir al-Saqalain, juz 2, hal. 553; Bihar al-Anwar, hal. 214; As-Sahih Muslim, juz 4, hal. 2199.
51. Al-Barqi, al-Mahasih, hal. 232, hadis ke-432.
52. Ushul al-Kafi, juz 2; Syaikh al-Saduq, at-Tauhid, hal. 207, hadis ke-5.
53. Syaikh al-Saduq, at-Tauhid, Bab XXVI, hadis ke-2.
54. Qurar al-Hikam, Ihya al-Ulum lil al-Qazali, juz 5. Hal. 170.
55. Ibid.
56. Ibid.
57. Ibid.
58. Safinah al-Bihar, juz 2, hal. 71; Madah Dhajij isbhat al-Huda, juz 5, hal. 39; Tafsir al-Burhan, juz 2, hal. 350.
59. Al-Suyuti, Tafsir ad-Dur al-Mansur, juz 6, hal. 307; Majma al-bayan; Al-Mawaiz al-Adaniyah, bab 7, hal. 203, hadis ke-1.
60. Syaikh al-Mufid, al-Amali, hal. 6.
61. Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Keutamaan Membawa al-Quran”, hadis ke-10.
62. Syaikh al-Mufid, al-Amali, dalam pertemuan/pembahasan pertama.
63. Al-Sayyid Abdullah Subar, Masabih al-Anwar; Diriwayatkan dari al-Kafi, juz 2, hal. 172; Al-Dilmi, Irsyad al-Qulub, Bab XIV.
64. Nasirudin al-Tussi, Risalah at-Tawali wa Tabarri; Pada akhir kitab Akhlaq al-Mutasami, yang baru dicetak.
65. Abas menginformasikan kepada saudaranya, Abu Abdillah, mengenai musuh-musuh Imam Husain seraya berkata: “Pergi dan temuilah mereka dan mintalah agar mereka memberikan waktu malam ini sampai besok agar kita dapat shalat kepada tuhan kita malam ini, berdoa kepada-Nya dan beristighfar karena Dia tahu bahwa aku mencintai shalat, membaca kitab-Nya, banyak berdoa dan beristighfar.” Maqtal al-Muqarram, hal. 256.
66. Abu Abdillah berkata: “Jika Anda shalat, maka shalatlah pada waktunya sebagai shalat perpisahan lantaran ditakutkan Anda tidak akan shalat selamanya dan lihatlah ketempat sujud Anda, seandainya Anda mengetahui siapakah yang ada di kanan dan kiri Anda maka Anda akan memperbaiki shalat Anda, ketahuilah Anda berada di antara orang yang melihatmu sedangkan Anda tidak melihatnya.” Al-Saduq, al-Amuli, pertemuan ke-44.
67. Al-Muhaddis al-Qummi, al-Anwar al-Ilahiyah, hal. 49; Bihar al-Anwar, juz 46, hal. 78.
68. Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Haqiqat al-imam wa al-Yaqin”.
69. Uyunu Akbar ar-Ridha, juz 7, hal. 218; Syaikh al-Saduq, al-Amuli, pertemuan/pembahasan ke-97.
70. Ushul al-Kafi; Tafsir al-Burhan, juz 5, hal. 96; Tafsir al-Mizan, juz 10, hal. 100.
71. Al-Barqi, al-Mahasin, hal. 447; Wasail al-Syi’ah, juz 16, hal. 410; Al-Kunya wa al-Alqab, juz 1, hal. 35.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: