Pesan Rahbar

Home » » Tamparan Keras Cak Nun Soal Al-Maidah 51 : "Yang Bilang Gubernur Itu Pemimpin Siapa..?!"

Tamparan Keras Cak Nun Soal Al-Maidah 51 : "Yang Bilang Gubernur Itu Pemimpin Siapa..?!"

Written By Unknown on Thursday, 13 October 2016 | 18:18:00


Meski Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah meminta maaf secara terbuka, kontroversi soal surat Al-Maidah 51 belum tamat.

Pasalnya, penanganan pelaporan dari sejumlah ormas tentang dugaan penghinaan Agama di Bareskrim tetap berlanjut, kata Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri (10/10).

Seperti diketahui, surat Al-Maidah ayat 51 yang disebut Ahok diyakini sebagian orang sebagai ayat penolakan terhadap pemimpin kafir. Namun menurut Prof. Quraish Shihab, tafsir ayat itu tidak sesederhana itu. Tafsir kata ‘awliya’ dalam ayat itu saja tidak sebatas pemimpin.

Berbicara soal pemimpin kafir, di kesempatan berbeda, budayawan senior Emha Aiun Najib tidak setuju jika kafir dan Muslimnya seseorang dinilai seperti benda mati.

“Status Muslim dan kafir itu dinamis (pada setiap orang), tidak bisa dinilai dengan ukuran statis,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini sembari menegaskan bahwa pendapatnya tidak ada kaitannya dengan Gubernur Ahok.

Pandangan alternatif pria kelahiran Jombang ini mengingatkan juga pada hadist Nabi Saw yang bersabda: “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari)

Selain itu, lanjut Cak Nun, Muslim atau kafir tidak berdiri sendiri.
Kafir kepada siapa? Jika ia kafir dalam arti membangkang atau ingkar pada perintah Iblis, berarti sejatinya ia beriman pada Allah. Sebaliknya, jika ia berserah diri pada rayuan Iblis maka ia sejatinya orang yang ‘Muslim’ pada Iblis.

“Hukum tidak mengadili manusia, tapi yang diadili adalah perbuatannya,” kata penulis buku ‘Slilit Sang Kiayi’ ini menjelaskan filosofi hukum.

Karena itu, menghakimi seseorang bahwa ia Muslim dan kafir bukan dilihat dari identitasnya, tapi perbuatannya. Jadi orang yang sekarang disebut Muslim bisa kafir kapan saja.

“Toh Anda tidak bersyukur aja tergolong kufur ko,” katanya sambil menjelaskan ragam tingkatan kufur.

Jika kita ditinjau dari hadist-hadist Nabi, kekafiran itu identik dengan moral seseorang. Bukhari misalnya meriwayatkan, “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri.”

Cak Nun juga menyampaikan kritik soal dikotomi pemimpin kafir tapi adil dan pemimpin Muslim tapi dzalim. Pertama, keduanya bukanlah kriteria pemimpin. Muslim tapi dzalim tidak memenuhi kriteria kepemimpinan, sedemikian sehingga tidak bisa disebut pemimpin.

“Ini bertentangan satu sama lain. Ini kesalahan substantif dalam berfikir”

Cak Nun lalu mempertanyakan bagaimana mungkin ada Muslim tapi disebut dzalim. Baginya, jika dikaji makna substantifnya, kalau dzalim pasti bukan Muslim. “Gula ko pahit?,” katanya memberikan analogi.

Tidak berbeda dengan pernyataan tentang kafir itu adil. Kekufuran itu, kata Cak Nun, bahkan merupakan puncak ketidakadilan.

Kepada Tuhan saja ia tidak bersikap adil, bagaimana ia bisa disebut adil secara horizontal. Karena itu, dikotomi kesalehan individual dan kesalehan sosial juga terlalu dangkal. Bagi Cak Nun, jika perilakunya merusak di ranah sosial, sejatinya tidak layak disebut saleh meski secara lahir terlihat saleh. Karena orang saleh (secara individu) akan saleh secara sosial.

Penjelasan ini sejatinya mencerminkan hubungan identik antara keimanan dan empati sosial. Misalnya, dalam sebuah hadist, Nabi Saw bersabda: “Tak beriman seseorang dari kalian hingga dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri.”

Selanjutnya, kata Cak Nun, “Yang bilang gubernur itu pemimpin itu siapa?” Gubernur, bagi pria asal Jombang ini, bukanlah pemimpin tapi petugas. Gubernur sebagaimana pejabat lainnya ialah orang yang dibayar oleh rakyat untuk bekerja mengurus transportasi publik, kemacetan, banjir dan hal-hal semacamnya.

“Itu pembantu rumah tangga dalam skala provinsi. Ko’ disebut pemimpin,” katanya mengajak kembali menggali konsep hakiki ‘pemimpin’ dalam Islam.

(Islam-Indonesia/Berita-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: