Pesan Rahbar

Home » » Irfan Dalam Pandangan Ayatullah Mujtaba Tehrani (Murid Irfan Imam Khomeini qs)

Irfan Dalam Pandangan Ayatullah Mujtaba Tehrani (Murid Irfan Imam Khomeini qs)

Written By Unknown on Wednesday, 9 November 2016 | 22:43:00


Oleh: Ayatullah Mujtaba Tehrani

Hadits qudsi dari Imam Shadiq as: Allah berfirman:”Telah kuwajibkan kepada hamba Ku sepuluh kewajiban, apa bila mereka mengetahuinya maka bagi mereka adalah malakutKu, surgaKu, dan yang pertama adalah ma’rifahKu”.(Wasail us syiah jld 4 hal 674). Untuk memasuki alam irfani seorang perlu memahami dulu berbagai ragam muqadimah yang sangat diperlukan, karena tampa muqadimah manusia akan bermain pada makna kata dan bukan pada makna amal yang membawa hasil dari amal irfani.


Pengetahuan yang wajib diketahui oleh calon pesalik diantaanya adalah:

1. Ma’rifah pada tujuan penciptaan (hadaf khalqiayat)

Dalam hal ini maka ada lagi pecahannya yang dia wajib memahami dengan dalam tentang:
a. Dimensi manusia
b. Posisi penciptaan manusia dalam alam ciptaan.
c. Jalan untuk sampai pada alam ghaib.

2. Mangenai ma’rifah itu sendiri.

Maka dalam bab ini, akan dibahas dimulai dari masalah ma’rifah, karena ma’rifah adalah muqadimah penting dari pada seir (perjalanan irfani) amali.

Dalam riwayat banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa ma’rifah merupakan muqadimah dari amal saleh, dimana berdasarkan ulama kalam bahwa tanpa ma’rifah, amal seseorang tidak akan terkabul, karena dengan makrifah seseorang boleh dikatakan mukmin dan dengan iman dia baru dapat diterima amalnya.

Riwayatkan Abi Kahmas dari Imam Baqir as: “Saya bertanya kepadanya (Imam Baqir as):”Amal apa yang lebih Afdhal setelah ma’rifah?. Beliau menjawab: “Tidak ada amal yang lebih afdhal, setelah ma’rifah dibanding dengan shalat”. (Wasail us syiah jld 4 hal 674).

Yaitu nilai makrifah melebihi amal apapun yang dapat dicontohkan. Sebagaimana ditanyakan apa amal yang lebih adhal setelah ma’rifah?. Yaitu ma’rifah mendahuli dari setiap amal apapun, maka setelah shalat ada zakat yang lebih afdhal dari puasa dan selepas itu haji.

Di dalam Islam nilai suatu amal dilihat dari ma’rifahnya. Kalau amal bukan dari ahlil ma’rifah maka tidak akan ada artinya. Derajat amal tergantung pada tingkatan ma’rifatnya, bertambah tinggi nilai ma’rifatnya maka nilai amalnya lebih saleh.


Nilai ma’rifah pun terbagi dua macam:

Pertama: kembali pada nilai akal.

Ssebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Shadiq as ketika ada yang bertanya tentang salatnya seseorang, Imam bertanya:”Bagaimana dengan akalnya?”, orang itu berkata:”Saya tak tahu”. Kemudian Imam berkata:”Sesungguhnya pahala (tergantung) pada kadar (quality) akal”. Yaitu pahala terikat oleh kemampuan akal pelaku, quality, ma’rifah dan motivasinya.

Juga diriwayatkan oleh Imam Shadiq as:”Akal yang diciptakan Allah sebagai keindahan dan cahaya untuk makhluqNya, maka dengan akal hamba akan ma’rifah kepada Khaliq mereka, kalau mereka adalah makhluq dan Dia adalah pengatur bagi mereka”.

Kedua: nilai ilmu dan alim (pemilik ilmu).

Dari beberapa riwayat dijelaskan tentang pentingnya ilmu dan alim, sehingga nilai amal akan tergantung pada motivasi dan juga ma’rifahnya, diriwayatkan: Seorang alim yan g diikuti manusia akan lebih baik dari pada tujuh ribu ‘abid (orang yang banyak ibadah)”.(Tahful ukul : 294). Tentu sebagaimana diketahui bahwa ketaatan padanya terikat dan tergantung dari makrifahnya sehingga lupa bagi ahlil ma’rifah(seorang arif) lebih buruk dari dosanya orang jahil.

Diriwayatkan juga oleh Imam Shadiq as tentang derajat seorang Syiah yang tergantung dengan ma’rifah dan pengetahuan mereka; berkata Abu Ja’far Al Baqir as:” Wahai anakku,kadar dan posisi/derajat syiah tergantung dari kadar/posisi ma’rifahnya, saya dapatkan dari buku Ali as yang saya lihat dimana harga atau nilai setiap seseorang dan kadarnya tergantung pada ma’rifahnya”.

Mungkin ada orang yang mempermasalahkannya dengan membandingkan pandangan quran yang menyatakan bahwa nilai dasar adalah taqarrub (kedekatan dengan Allah) sebagaimana difirmankan dalam ayat:”Sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah adalah yang paling bertaqwa”(Hujarat 13) , jadi bagaimana ma’rifah melebihi nilai ini?!

Jawabnya adalah: Taqwa adalah hasil dari amal saleh. Dengan imannya dia memiliki keadaan ruh sehingga hendak beramal baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Sehingga dasar dari pada taqwa adalah ma’rifah. Ma’rifah merupakan dasar dan semua kebaikan akan bersumber (source) pada ma’rifah. Imam Shadiq berkata:”Taqwa terpancar dari mata air ma’rifah Allah yang semuanya memerlukan ilmu, Dia (Allah) tidak memerlukan apapunkcuali membenahi/membetulkan ma’rifah”. (Biharul anwar jld 10 hal 294).

Juga ada permasalahan lain yang menyatakan bahwa kalau ma’rifah Allah adalah tujuan maka bagaimana Allah menyatakan bahwa:”…tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”. (Az Zariyat 56).


Jawabnya adalah:

Pertama: Bahwa banyak riwayat yangmengatakan bahwa ubudiayah disini bermakna ma’rifah, ada riwayat yang disampaikan oleh Imam Shadiq dan Sajjad as:”Wahai manusia, sesungguhnya Allah tidak menciptakan hambaNya kecuali untuk mengetahuiNya”. (Biharul Anwar jld 15 hal 312). Dan Imam menjelaskan bahwa ayat yang mengatakan bahwa kata liya’budun (untuk beribadah) maksudnya adalah liya’rifun (untuk mengetahuiNya/ma’rifah padaNya).

Jadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa: tujuan dibagi menjadi tujuan antara dan tujuan akhir (hakiki), tujuan antara akan digunakan untuk sampai pada tujuan hakiki, maka ibadah tergantung dengan ma’rifah. Jadi ma’rifah memiliki dua fungsi, dia sebagai wasilah an juga sebagai tujuan hakiki (maqsad). Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi:”Saya adalah harta (berharga) yang tersembunyi, dan Saya mau/hendak untuk diketahui (dima’rifati), maka Ku ciptakan makhluq sehingga dimakrifahi/dikenal”. (Biharul anwar jld 78 hal 344).

Hadits ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan Allah sehinga dapat bersatu dengan kesempurnaan absolute. Sebagaimana ma’ruf dikatakan: “Sehinggalah sampai paa kepuncak keberadaan dan jadilah diri (ini) tidak ada”.


Maka perlu diketahui bahwa ada dua macam ma’rifah:
1. Ma’rifah ibtida’i (pemula), pemula sebagai muqadimah seir (perjalanan) maknawi.
2. Ma’rifah intahai (akhir/hakiki), yang merupakan buah dari ibadah.

Maka memang ibadah merupakan tujuan tapi ma’rifah merupakan tujuan hakiki, jadi ma’rifah awal akan memuat ibadah sehingga sampai pada ma’rifah hakiki.


Ilmu dan Irfan

Dalam artian lexical makna ma’rifah dan ilmu memiliki makna yang sama, yaitu menetahui, yaitu pengetahuan (tahu) manusia terhadap sesuatu, maka jahil berarti tidak tahu. Maka dalam artian bahasa keduanya memilikimkna yang sama, tapi dalam kita yang khusus akan terdapat perbedaan.

Raghib Isfahami dalam bukunya Mufradat mengatakan: ma’rifah adalah ilmu pada kesan sesuatu, yang lawannya (opposite) adalah inkar. Ilmu adalah tahu kepada zat sesautu. Kemudian melanjutkan tentang ma’rifah kepada Allah, dengan membandingkan bahwa manusia tidak akan sampai pada hakikat pengetahuan (pada Allah) dengan ilmu, tapi dapat dengan ma’rifah. Maka berdasarkan ahli bahasa ini ada perbedaan antara ilmu dan ma’rifah.

Tapi dalam istilah irfan ini dugunakan dengan makna yang berbeda lagi, yaitu sudah masuk dalam istilah yang lebih khusus. Syekh Bahai (tidak ada hubungannya dengan aliran Bahaiyah), seorang arif besar yang terkenal; mengatakan bahwa adanya perbedaan antara ilmu dan ma’rifah.

Ilmu kepada sesuatu merupakan gambaran pertama dan pengetahuan yang permulaan, yaitu awal hasil pengetahuan yang sampai pada manusia dari sesuatu, inilah ilmu. Tapi kalau pengetahuan pada peringkat kedua, dan diantara pengetahuan awal dan tahu kedua terjadi kealpaan (lupa/tidak tahu) maka pengetahuan yang dihasilkan pada peringkat kedua dinamakan ma’rifah.

Maka pada permasalahan ma’rifah Allah, beliau menafsirkan: penciptaan arwah (jamak:ruh)telah terjadi sebelum jasad dan badan. Ketika arwah telah diciptakan, mereka bersyahadah (bersaksi) tentang ke rububiyahan Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam quran:”Bukankah Aku adalah Rabb (Tuhan) kamu?. Mereka menjawab: Iya”.(Al A’raf 172). Ini tejadi dialam ruh.

Ahlil Ma’rifah mengatakan: ketika ruh datang ke alam kegelapan ini, dan berjumpa dengan jasad. Karena terbenam dalam sisi materi mereka melupakan janii dengan Allah. Dengan riadhah syar’i dan amal pada taklif Ilahi maka belenggu penjara dunia akan hancur, dan akan melihat janji awalnya. Melihat kembali (untuk kedua kalinya) janji (syahadah) disebut irfan dan ma’rifat.


Pembahagian ma’rifah tehadap manusia

Pengetahuan manusia terhadap sesuatu ada dua bentuknya:
1. Pengetahuan Mafhumi
2. Pengetahuan Misdaqi

Pengetahuan Mafhumi adalah dimana insan tidak berhubungan secara langsung dengan objek (pengetahuan), tapi dengan sifat yang diberikan kepadanya sehingga terbentuklah kefahaman di dalam akal, dengan itu diistilahkan telah mengetahui. Sehingga dengan ini, ilmu adalah suatu sisi pengetahuan dari aspek kefahaman.

Ma’rifat, adalah pengetahuan misdaq. Maka dengan ini dapat dibedakan; dimana mengetahui tidak sama dengan mengenal. Misalnya: ketika seseorang mensifatkan (menjelaskan) sesuatu kepada kita, maka akan terbentuklah gambaran di dalam akal kita, kemudian kita mengatakan saya sudah faham. Tapi ketika kita berhadapan dengan orangnya langsung, dan mengenalnya dari dekat, maka kemudian kita mengatakan: sekarang saya mengenalnya !.

Dalam falsafah hal ini juga dikembangkan. Falsafah berkeyakinan ilmu terhadap sesuatu dibagimenjadi dua bentukan:
a. Ilmu Husuli.
b. Ilmu Hudhuri.

Ilmu Hudhuri adalah pandangan ilmu manusia terhadap diri dan pandangan serta pemikirannya. Pada ilmu hudhuri –syuhudi- tidak ada perantara. Kenyataan ma’lum (objek ilmu) dan alim (subjek) adalah satu. Dalam istilah irfan terhadap Allah SWT; ketika dengan berusaha maka insan menyaksikan kefahaman Allah tampa adanya perantara. Dengan kata lain, dalam sitilah irfan hal ini disebut dengan mukasafah dan musyahadah. Dalam riwayat hal ini disebutkan dimana adanya pemagian yang diutarakan oleh Imam Ali as:” Ilmu ada dua (ilmu), ilmu mathbu’ (fitri, ilmu hudhuri)dan ilmu masmu’ (ilmu hushuli), kalau tidak ada matbu’ tidak akan ada artinya masmu’”.(Nahjul balaghah, hikmah 331).

Dengan dasar inilah mengenal Tuhan dibagi menjadi dua jalan: jalan dhahir dan bathin.

Pertama {Jalan dhahiri (lahiriyah)}: kefahaman yang didapatkan dengan proses ilmu hushuli. Kedua {jalan bathini}, berdasarkan ilmu hudhuri. Berkenaan dengan ini terdapat riwayat lain yang sama maknanya, dimana Rasulullah bersabda:”Ilmu ada dua (ilmu). Ilmu lisan, maka dia menjadi hujjah bagi anak Adam as. Dan Ilmu dihati dan inilah ilmu yang berfaedah”. (Biharul Anwar jld 1 hal 225) Mungkin yang pertama adalah ilmu husuli dan yang kedua adalah ilmu hudhuri.

Ilmu adalah penghidup diri (nafs) dan penerang akal:”Ilmu adalah ahaya yang dihidupkan Allah dihati siapapun”. (Biharul Anwar jld 70 hal 140).

Seseorang yangmemasuki pembahasan ma’rifat Allah, yang dimasksudnya adalah irfan, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu Hudhuri.

(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: