Shalat merupakan kewajiban umat muslim, baik dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit. Baik ketika menetap di suatu tempat maupun sedang dalam perjalanan. Tidak ada kondisi yang mengizinkan seorang muslim untuk meninggalkan shalat.
Berhubung saat ini isu “mudik” sedang in, maka saya hendak menyampaikan bagaimana kita shalat dikala sedang melakukan perjalanan.
Apa yang saya sampaikan disini tidak berdasarkan ilmu saya sendiri, tetapi saya kutip dari pendapat para ulama yang jauuh lebih ahli daripada saya. Paparan di bawah ini merupakan ringkasan dari pendapat-pendapat lima mazhab, yaitu: Imamiyah, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Berikut paparan mengenai shalat bagi musafir:
Para ulama sepakat bahwa qashar shalat itu khusus untuk shalat-shalat rubai’yah (yang jumlah rakaatnya empat). Jadi shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’ dikerjakan dua rakaat saja seperti shalat Subuh.
Ada perselisihan pendapat tentang, apakah qashar shalat dalam perjalanan itu suatu ‘azimah (keharusan mutlak) yang tidak boleh ditinggalkan, atau hanya merupakan rukhshah (keringanan) yang menjadi pilihan antara meng-qashar dan menyempurnakan? Dalam hal ini Hanafi dan Imamiyah berkata: Ia merupakan ‘azimah (sesuatu yang diharuskan). Jadi qashar adalah ketentuan. Sedangkan mazhab-mazhab lainnya mengatakan: Ia hanya rukhshah (keringanan). Jika mau dikerjakan qashar, dan kalau tidak, boleh menyempurnakan shalat.
Syarat-Syarat Qashar
Qashar shalat itu mempunyai beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
(1) Menempuh jarak yang tertentu
Menurut mazhab Hanafi syarat qashar adalah 107,5 km ditambah 20 meter.
Menurut ketiga mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hambali) syarat qashar adalah 80,5 km ditambah 140 meter.
Menurut Imamiyah syarat qashar adalah 40 km ditambah 320 meter.
(2) Harus berniat menempuh jarak yang telah ditetapkan itu dari mulai berangkatnya. Demikian menurut kesepakatan ulama.
(3) Tidak boleh meng-qashar shalat kecuali bila sudah meninggalkan bangunan kota (tugu batas). Demikian pendapat empat mazhab. Sedangkan Imamiyah berpendapat hal itu masih cukup, tetapi harus benar-benar jauh dari bangunan kota.
(4) Perjalanan itu haruslah perjalanan yang mubah. Seluruh ulama kecuali Hanafi sepakat bila perjalanan tersebut adalah perjalanan haram (misalnya untuk mencuri), maka qashar tidak boleh dilakukan.
(5) Orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) tidak boleh bermakmum kepada orang yang dalam perjalanan, atau kepada musafir yang mengerjakan shalat dengan teman (sempurna). Kalau dilakukan juga, maka ia harus mengerjakan shalat dengan sempurna, demikian menurut empat mazhab. Sedangkan Imamiyah mengatakan bahwa orang yang shalat sempurna boleh bermakmum kepada yang shalat qashar dan sebaliknya dengan catatan masing-masing melaksanakan kewajibannya.
(6) Hendaklah berniat qashar pada shalat yang dilaksanakannya.
(7) Tidak boleh berniat akan menetap selama lima belas hari berturut-turut, demikian menurut mazhab Hanafi. Atau sepuluh hari menurut Imamiyah, atau empat hari menurut Maliki dan Syafi’i, atau masa wajib atasnya lebih dari dua puluh shalat menurut Hambali.
(8) Menurut Hambali dan Imamiyah, pekerjaan musafir itu menuntut untuk tidak sering bepergian. Pada mazhab yang lainnya, pendapat ini tidak ada.
(9) Mazhab Imamiyah mengatakan rumah tinggalnya harus berbeda dengan golongan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, yang selalu berpindah tempat.
(10) Hanafi, Hambali dan Maliki mengatakan: jika seorang musafir pulang dari perjalanannya dan bermaksud kembali ke tempat ia berangkat dari perjalanannya, maka dalam hal ini harus diperhatikan, jika ia melakukan sebelum menempuh jarak qashar, maka batallah perjalanannya, dan wajib atasnya menyempurnakan shalat. Dan jika ia telah menempuh jarak yang telah ditetapkan syara’, maka ia boleh meng-qashar hingga kembali ke negerinya.
Sedangkan Syafi’i mengatakan: bilamana terlintas dalam benaknya hendak kembali di tengah-tengah perjalanannya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.
Imamiyah mengatakan: jika seseorang bermaksud membatalkan perjalanannya atau merasa bimbang sebelum menempuh jarak yang mewajibkannya qashar, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya. Tetapi kalau ia sudah menempuh jarak qashar, maka ia wajib meng-qashar shalatnya. Kelangsungan niat safar itu termasuk syarat selama belum menempuh jarak yang ditetapkan. Apabila jarak qashar itu sudah ditempuh, maka tidak tergantung lagi pada niat.
Seluruh ulama sepakat bahwa semua syarat yang ditetapkan untuk qashar, menjadi syarat pula bagi bolehnya membatalkan puasa. Imamiyah mengatakan: orang yang berbuka, wajib qashar, orang yang meng-qashar wajib berbuka.
Jama’ Antara Dua Shalat
Boleh men-jama’ antara shalat Dzuhur dan Ashar, dan antara shalat Maghrib dan Isya’, taqdiman (didahulukan) dan ta’khira (diakhirkan), disebabkan oleh halangan safar. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berkata: Tidak boleh sama sekali men-jama’ antara dua shalat karena halangan safar. Maksud taqdiman (didahulukan) itu ialah men-jama’ shalat Dzuhur dan Ashar, dikerjakan di waktu Dzuhur. Dan maksud ta’khiran (diakhirkan) itu ialah men-jama’ Dzuhur dan Ashar dan dikerjakan di waktu Ashar.
Hukum Orang Yang Tidak Tahu dan Orang Lupa
Imamiyah berkata: Orang yang mengerjakan shalat tamam (sempurna) di dalam perjalanannya dengan sengaja, maka shalatnya menjadi batal. Dan ia wajib mengulang pada waktunya sudah habis, kalau seseorang mengerjakan shalat tamam karena tidak tahu wajibnya shalat qashar itu, maka secara mutlak ia tidak wajib mengulang shalatnya, baik masih ada waktu maupun sudah habis waktunya. Kalau seseorang mengerjakan shalat tamam karena lupa, kemudian ia ingat, sedangkan ia masih dalam waktu maka ia harus mengulang shalatnya, dan kalau ia mengingatnya di luar waktu shalat maka ia tidak perlu mengulang.
Dan selanjutnya Imamiyah mengatakan: barangsiapa memasuki waktu shalat, sedangkan ia bukan dalam keadaan safar dan memungkinkan untuk dia melakukan shalat, kemudian dia safar sebelum mengerjakan shalat, maka ia wajib shalat qashar. Jika telah masuk waktu shalat, sedangkan ia dalam keadaan musafir dan belum melakukan shalat sehingga ia sampai ke negerinya atau tempat ia mukim selama sepuluh hari, maka ia wajib mengerjakan shalat secara tamam (sempurna). Hukum yang berlaku baginya adalah ketika ia menunaikannya, bukan ketika diwajibkannya.
Sumber: Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff.
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email