Oleh : Rasul Ja’farian
Semua mazhab dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin ajaran Islam – termasuk tafsir, fiqih (hukum), dan akhlak (etika), dan seterusnya. Dewasa ini , sulit menemukan seorang individu yang mengklaim bahwa Al-Quran sudah menjabarkan seluruh prinsip-umum ajaran Islam berikut rinciannya tanpa bantuan Sunnah dan Hadis. Lagi pula, banyak pernyataan yang gamblang dari Nabi, dan beberapa pernyataan Al-Quran sendiri yang menunjukkan pentingnya petunjuk dan amalan Nabi. Karena pentingnya Sunnah dan Hadis ini, sudah jelas, maka tak perlu bukti lagi.
Maksud tulisan ini ialah hendak mengkaji bagaimana kumpulan hadis yang ada mulai ditulis dan berapa lama diperlukan untuk menjadikannya sebagai suatu laporan ucapan (qawl), perilaku (fi’l), dan persetujuan (taqrir) Nabi dalam bentuk tertulisnya. Tak pelak lagi, masalah ini mempunyai pengaruh penting dalam menentukan otentitas kumpulan hadis secara umum.
Dalam kasus Al-Quran , kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan keaslian Al-Quran, lantaran Nabi sudah menunjuk para pencatatnyasejak turunnya wahyu pertama dan mereka ditugasi untuk menghimpun dan menuliskannya. Tetapi praktek ini tidak diikuti dalam kasus hadis, yang mendapat perlakuan berbeda.
Pentingnya hadis dan peranannya dalam berbagai masalah politik dan sosial, menyebabkan berbagai kelompok memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya. Kepekaan ini berakibat pada tertundanya penulisan hadis, meskipun ada perintah Nabi untuk melakukan penulisan dan penyebarluasan hadis. Sayangnya, penundaan ini menciptakan kerumitan kepada generasi berikutnya dalam hal penilaian hadis.
Sungguhpun begitu, perlu ditunjukkan di sini bahwa keadaan hadis Syi’ah berbeda dengan hadis Sunni. Perbedaan ini timbul karena orang Syi’ah terdahulu bersiteguh untuk menuliskan hadis dengan suatu penekanan pada keyakinannya atas kepemimpinan para Imam dan Ahl al-Bait yang kehadirannya berlanjut hingga pertengahan abad ke-3 H/9M. Dengan demikian, hadis Syi’ah tidak mengalami sejenis kelemahan yang berkaitan dengan penundaan penulisan hadis.3)
Disini kita akan meninjau secara singkat keterangan berkenaan dengan masalah ini. Tetapi bagian terbesar penelaahan ini akan membahas sejarah hadis tertulis dikalangan Ahl al-Sunnah. Sejarah tersebut menunjukkan bahwa hadis ternyata tidak tertulis selama masa tertentu. Bahkan tak cuma itu saja, untuk beberapa masa hadis dilarang untuk disampaikan. Selama masa pealing kurang satu abad, hadis–hadis disampaikan lewat tradisi lisan. Meskipun sebagian hadis ditulis selama abad ke-2/8, namun bagian terbesarnya baru ditulis setelah masa yang cukup lama.
Pertama-tama kita akan menyebut pandangan para Imam Syi’ah yang menekankan pada penulisan hadis. Lalu kita akan membahas sejarah hadis tertulis dikalangan Ahl al-Sunnah. Penelaahan semacam ini dapat berfungsi sebagai petunjuk umum guna menilai asas-asas mazhab-mazhab Islam yang resmi dan teradisional dan mengungkapkan mazhab yang memiliki dukungan tradisi penulisan yang tak terputus. Yang terpenting dalam penelaahan semacam ini adalah penilaian yang terinci tentang isnad (garis periwayatan) dan matan (teks), yang merupakan suatu tugas yang membutuhkan usaha penelitian mendalam, dan meskipun sejumlah karya telah ditulis mengenai masalah tersebut, tetap masih terbuka kemungkinan bagi penelitian lebih lanjut.
Para Imam Syi’ah dan Penulisan serta Penyampaian Hadis
Dalam bagian ini, kami bermaksud membicarakan secara singkat pandangan Syi’ah mengenai hadis sejak permulaan. Nanti akan terlihat bahwa pandangan Syi’ah akan berbeda, atau bahkan bertentangan, dengan pandangan lainnya. Para Imam Syi’ah memerintahkan penulisan hadis pada saat tokoh ulama Sunni ternama, yaitu menjelang abad 3/9, enggan menuliskan hadis. Dan kalaupun mereka menuliskannya, maka hal itu hanya untuk membantu hapalan saja. Barulah setelah penulisan itu menjadi merata, mereka pun mulai melakukan usaha penulisan hadis dengan melanggar tradisi yang dirawikan oleh mereka sendiri yang melarang penulisan hadis.
‘Alba ibn Al-‘Ahmar meriwayatkan bahwa suatu ketika Ali ibn Abi Thalib dalam khutbahnya yang disampaikan dari mimbar menyatakan: "Siapa yang membeli pengetahuan dengan sedirham?" Al-Harits ibn Al-A’war membeli kertas seharga satu dirham lalu datang ke pada Ali dan menulis sejumlah besar pengetahuan di kertas tersebut. Tradisi ini menunjukan penekanan Imam tentang penulisan.
Al-Hasan ibn Ali diriwayatkan pernah menasehati putranya sebagai berikut:
Sekarang kamu putra ummat yang akan menjadi pemukanya di masa depan. Pelajarilah ilmu; dan siapapun di antara kamu yang tak sanggup menghapal ilmu (yaitu hadis), catalah dan peliharalah hadis itu di rumahmu.5)
Diriwayatkan bahwa Hujr ibn Adi, salah seorang di antara sahabat Nabi saw. dan Ali menuliskan hadis Ali dalam sebuah buku dan ia akan merujuk pada buku tersebut kapan pun ia butuhkan sebagi petunjuk dalam hubungannya dengan masalah tertentu. Contoh-contoh ini mengetengahkan betapa pentingnya penulisan hadis dalam pandangan Ali, para putra dan sahabatnya. Berikut ini dua contoh yang menunjukkan pentingnya apa yang dilakukan oleh Ali terhadap hadis dan pemeliharaannya.
‘Umar ibn ‘Ali meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Ali bagaimana ia mampu meriwayatkan lebih banyak hadis Nabi jika dibandingkan dengan para sahabat lainnya. Ali menjawab:"Ini karena setiap aku bertanya, Nabi saw. selalu menjawabnya. Dan jika aku diam, ia sendiri yang akan mulai berpidato."
‘Ali ibn Hawshab meriwayatkan dari Makhul, seorang alim dari Syiria bahwa Nabi Suci saw. membaca ayat: "Dan agar diterimanya melalui telinga yang suka menerimanya." (QS 69 : 12). Lalu beliau berkata kepada Ali:"Aku memohon kepada Allah agar telinga demikian itu merupakan telingamu." Dan kemudian Ali berkata:"Aku tak akan pernah melupakan hadis atau apapun yang kudengar dari Nabi saw."
‘Umar ibn Al-Harits berkata:
Suatu saat Ali menengadahkan wajahnya ke langit, lalu menundukkannya seraya berkata:’Allah dan Rasulnya telah mengatakan kebenaran. ‘Apakah itu?’ tanya sekelompok orang yang ingin mengetahuinya. Imam lalu berkata:’Aku adalah prajurit, dan perang mengandung tipuan. Tapi seandainya aku jatuh dari langit, lalu dicengkeram oleh burung, maka itu lebih aku senangi dari pada menisbahkan suatu kepalsuan atau kebohongan kepada Rasul Allah. Karena itu, laksanakan apapun yang kamu dengar dariku.
Berbagai pernyataan tentang penulisan hadis juga diriwayatkan dari para Imam yang lain.Al-Imam ash-Shadiq berkata :"Tulis dan sebarkan ilmumu di antara saudaramu. Jika kamu mati, maka anak –anakmu akan mewarisi kitab –kitabmu.kelak,akan tibasuatu masa yang didalamnya terjadi kekaacuan dan orang-oraang tk lagi memiliki sahabat yang melindungi dan tak ada penolong kecuali buku-buku. Imam Al-shadiq juga telah menyatakan:peliharalah buku –bukumu,karena suatu saat kalian akan membutuhkannya."juga beliau diriwayatkan telah berkata bahwa kekuatan jiwa dan ingatan bergantung pada tulisan. Abu Basir meriwayatkan bahwa Imam Al shadiq berkata kepadnya:"Sejumlah orang yang datang dari basrah bertanya kepadaku tentang beberapa hadits, lalu menuliskannya.kenapa anda tidak menuliskannya juga?kemudian menambahkan:kethuilah bahwa anda tidak akan menjaga hadis tanpa menuliskannya."Sejumlah tradusi besar menunjukkan bahwa para Imam mempunyai buku buku dan tulisan tulisan yang mereka warisi dari para leluhurnya. Dalam tradisi lain, diriwayatkan bahwa Ali pernah membuat pernyataan "ikatlah ilmu"(lewat penulisan), yang diulangnya sampai dua kali. Telah diriwayatkandari jabir bahwaAbu Hanifah memanggil Imam Al-Shadiq dengan kutubi(kutu buku ),sehubungan dengan kepercayaannya kepada buku- buku,dan Imam bangga dengan julukan itu.
Diriwayyatkanjuga bahwa Imam Al-Muhammad ibn Ali Al-baqir mencatat suatu hadis Nabi yang dirawikan oleh jabir ibn Abdullah Al-Anshari. Meskipun pernyataan ini agaknya keliru,sebab jabir wafat ketika Imam berusaha lima tahun,tapi mungkin saja bahwa tradisi tersebut telah menulis melalui perantara.
Syi’ah dan Penulisan Hadis
Karena tradisi penulisan hadis sudah ada di kalangan Syi’ah sejak permulaan, maka mereka pelopor tradisi tertulis dalam hadis dan fikih. Dr. Syawqi Dayf menulis:
Perhatian Syi’ah terhadap penulisan fikih sangatlah kuat. Alasan dibaliknya adalah keyakinannya terhadap Imam mereka, bahwa mereka adalah pembimbing (hadi) dan yang diberi petunjuk oleh Tuhan (mahdi) dan seluruh fatwanya bersifat mengikat. Karena itu, mereka memberikan perhatian kepada fatwa dan keputusan Ali. Dengan alasan inilah, kompilasi pertama dilakukan di kalangan Syi’ah oleh Sulayman ibn Qays Al-Hilali, seorang yang hidup sezaman dengan Al-Hajjaj.
Allamah Sayyid Syarif Al-Din menulis:
"Imam Ali dan para pengikutnya menaruh perhatian terhadap masalah ini sejak awal. Hal pertama yang diperintahkan oleh Ali adalah menulis Al-Quran secara utuh yang dilakukannya setelah wafatnya Nabi, sesuai urutan kronologis turunnya wahyu. Dalam penulisan itu, dia pun menunjukkan ayat-ayat yang amm atau khashsh, mutlaq atau muqayyad, muhkam atau mutasyabih.Setelah proses kompilasi itu, dia mulai menghimpun sebuah buku untuk Fatimah. Setelah itu, dia menulis buku yang kemudian dikenal sebagai Shahifah. Ibn Sa’ad telah mengisahkan dalam sebuah musnad dari Ali di akhir karyanya yang terkenal Al-Jami. Pengarang Syi’ah yang lain ialah Abu Rafi, yang menghimpun sebuah karya yang disebut kitab Al-Sunan wa Al-Ahkam wa Al-Qatada."
Almarhum Sayyid Hasan Al-Shadr menulis bahwa Abu Rafi, maula dari Nabi, adalah orang pertama dari kaum Syi’ah yang menyusun buku. Al-Najasi dalam Fihrist –nya, menyebutkan bahwa Abu Rafi adalah salah seorang generasi pertama diantara pengarang Syi’ah. Sebagai Syi’ah Ali, Abu Rafi ikut serta dalam peperangan Ali dan mengepalai Bait Al-Mal di Kufah. Karyanya, Al-Sunan, yang dimulai dengan bab tentang shalat, diikuti oleh bab tentang puasa, haji, zakat dan penilaian hukum yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Ubayd Allah ibn Abi Rafi, dari bapaknya yang diriwayatkan dari ayahnya, Abu Rafi, dari Ali. Di kufah, buku ini diceritakan pada zaman Al-Najashi oleh Zaid ibn Muhammad ibn Ja’far ibn Al-Mubarak
Ali ibn Abi Rafi, putranya Abu Rafi, seorang tabi’it dan Syi’ah yang terkenal, juga telah menyusun sebuah buku yang berisikan bab-bab tentang berbagai tema hukum, seperti wudhu’, shalat, dan sebagainya.
Sepert telahdisebutkan di atas , abu Hanifah memanggil Imam Ash-Shadiq dengan julukan ‘kutubi" (ucapan dari dia adalah "innahu kutubi"), dan ini merupakan suatu karakter yang membedankannya dari yanglkaihn. Ketika mendengar hal itu, dia tertawa dan berkata: "Yang benar adalah perkataannya bahwa aku adalah seorang suhufi: karena saya telah membaca menunjukkan bahwa Imam memiliki
Catatan Kaki:
1. Meskipun dapat kita lihat beberapa cendekiawan Muslim Mesir menyatakan bahwa pada masa ini, seharusnya, slogan kita sekali lagi adalah "Cukup bagi kita Kitab Allah".
2. Sebagai contoh, ayat berikut ini:Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu ada suri-tauladan yang baik bagimu…………………………….(QS 33:21)………………….apapun yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah; dan apapun yang dilarangnya,tinggalkanlah………………..(QS 59:7)Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang Mukmin dan bagi perempuan yang Mukmin, jika Allah danRasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, bagi mereka akan ada pilihan (yang lain) tentang Urusan mereka…………………….(QS 33:36).
3. Lihat buku berjudul Ukdzubat Tahrif Al-Qur’an bayna Al-Syi’ah wa Al-Sunnah oleh Rasul Ja’fariyan.
4. Al-Tabaqat Al- Kubra, vol. 6, hal. 168; Taqyid Al-‘Ilm, hal. 89,90; Kanz Al-‘Ummal,vol. 10, hal. 156; Rabi’Al-Abrar, vol. 3, hal. 294.
5. Bihar Al-Anwar,vol. 2, hal.152;Al-Taratib Al-Dariyyah,vol. 2, hal. 246; Sunan Al-Darimi, vol. 1, hal.130; ‘Illal Al-Hadith,vol. 2, hal. 438; Taqyid Al-‘Ilm, hal. 91; Jami’ Bayan Al-‘Ilm,vol. 1, hal. 99; Kanz Al-‘ummal, vol. 1, hal. 193; Rabi’Al-Abrar, vol. 3, hal. 326; Tarjumat Al-‘Imam al-Hasan dlm Tarikh Dimasyq.
6. Al-Tabaqat Al-Kubra, vol. 6, hal. 220.
7. Ansab Al-Ashraf, vol. 2, hal. 98; dan hadis no. 980 dari pembahasan biografi Imam Ali dalam Tarikh Dimasyq;Bihar Al-Anwarvol. 2. Hal. 230; Al-Fadha’il oleh Ibn Hanbal, hadis No. 222.
8. Ansab Al-Asyraf, vol. 1 , hal. 121; Tarikh Dimasyq, vol. 38, hal. 202; Hilyat Al-Awliya,vol.. 1, hal. 67; Syawahid Al-Tanzil,hadis No. 1009.
9. Ansab Al-Asyraf, vol. 2, hal. 145.
10. Bihar Al-Anwar,vol 2,hal.50,dari Kasyf Al-Mahajjah.
11. Bihar Al-Anwar,vol.2,hal 152.
12. Bihar Al-Anwar, vol. hal 153.
13. Untuk informasi tentang hadis dalam hubungannya dengan masalah ini, lihat makatib AL-Rasul,vol. 1,hal71dan 89 olehAli Ahmad Miyanji.
14. Taqyid Al-Ilm,hal.89.
15. Radwat Aljannat,vol.8hal.169.
16. Taqyid Al-Ilm. hal.104.
17. Tarikh Al-Adab Al-Arabi,"Al-Asr Al-Islami",hal. 453, sementara pernyataan yang sama juga dibuat oleh Mustafa ‘Abd Al –Razaq; lihat Tahmid li-Tarikh al-Islamiyah, hal. 202, 203.
18. Al-Muraja’at, hal. 305,306, diterbitkan oleh Al-A’lami, Beirut.
19. Ta’sis Al-Syi’ah li-‘Ulum Al-Islam,hal. 280, diterbitkan oleh Al-A’lami, Beirut.
20. Rijal Al-Najasi,hal. 3,4, diterbitkan di Qum.
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email