Menyusul sejumlah ahli tata negara yang menegaskan fatwa bukan hukum positif dan tidak mengikat, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin angkat bicara. Menurut Din, sikap keagamaan atau fatwa MUI dikeluarkan untuk membentuk watak bangsa Indonesia yang berakhlak dan tanggung jawab dari pembentukan MUI.
“MUI ini dilahirkan dari pemerintah maupun umat Islam tahun 75. Menjadi jembatan perantara dan kemudian berperan untuk bisa membentuk watak bangsa berakhlak, maka keluarlah fatwa MUI dan kegiatan MUI lain. Ini perlu dipahami sebagai manifestasi, tanggung jawab MUI terhadap bangsa,” kata Din di Kantor Pusat MUI, Menteng, Jakarta Pusat, seperti dilansir viva.co.id, 18 Januari 2017.
Din tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa bangsa Indonesia bila tidak ada lembaga seperti MUI. MUI, kata dia, merupakan organisasi yang legal dan independen.
Ia menjelaskan bahwa fatwa MUI sifatnya adalah pandangan keagamaan untuk umat Islam. Fatwa merupakan moral rebonding bagi umat Islam di Indonesia, meski di Indonesia memiliki hukum positif.
“Fatwa-fatwa MUI sifatnya merupakan pandangan keagamaan untuk umat Islam, sifatnya dia memang tidak legally. Tapi jangan karena bukan hukum positif, MUI tidak boleh mengeluarkan pandangan keagamaan. Rusak negara ini kalau tidak boleh mengeluarkan pandangan keagamaan,” katanya.
Sebelumnya, akibat ditegurnya dua Kapolres terkait surat edaran yang merujuk fatwa MUI, pandangan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian soal fatwa bukan hukum positif jadi perbincangan netizen. Bahkan, khusus pandangan keagamaan MUI soal kasus Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama, lahir gerakan pengawal fatwa MUI.
Menanggapi hal ini, KH. Ahmad ‘Gus Mus’ Mustafa Bisri mengatakan, fatwa dikeluarkan mufti yang punya kriteria jelas, tapi tak mengikat. Orang yang bertanya tentang suatu persoalan kepada mufti pun tidak harus mengikutinya, karena bisa berbeda antara mufti A dan B.
“Berbeda dengan keputusan qadi (hakim agama), yang mengikat. Sedangkan fatwa MUI kriterianya longgar sekali. Belakangan, ada pengawalan fatwa agar bisa diikuti. Fatwa kok dikawal. Dasarnya dari kitab apa?” katanya seperti dikutip majalah Tempo.
Di media sosial, sebagian netizen mempertanyakan sikap Kapolri ini ke Prof. Mohammad Mahfud M.D, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
“Kapolri benar, fatwa bukan hukum positif sehingga penegakannya tidak bisa menggunakan Polri sebagai aparat penegak hukum,” kata pria yang aktif di twitter ini.
Di harian Media Indonesia (26/12), kembali Mahfud menegaskan, “Saya mengatakan bahwa dari sudut konstitusi dan hukum, fatwa MUI tidak mengikat dan tidak bisa dipaksakan melalui penegak hukum.”
Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie juga berpendapat, fatwa MUI seharusnya tak digunakan penegak hukum sebagai dasar untuk penindakan. Sebab, fatwa MUI bukan hukum positif.
“Polisi juga tidak usah menjadikan (fatwa MUI) rujukan. Ini kan bukan hukum positif, supaya tidak menjadi kacau,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu di Kantor ICMI, Jakarta Pusat, seperti dikutip kompas.com (3/1).[]
(Kompas/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email