Pesan Rahbar

Home » » Fakta logika Syiah, Ternyata Syiah Tidak Sesat. Hanya Oknum Muawiyyah Saja Yang Mengatakan Sesat. Syi’ah Tidak Sesat Karena Rasulullah SAW Bersabda, “Sesungguhnya Aku Tinggalkan Pada Kalian Dua Perkara Yang Amat Berharga, Yaitu Kitab Allah dan Ahlul Baitku” (Shahih Muslim Juz 4 Hal 123 Terbitan Dar al-Ma’rif Beirut Lebanon)

Fakta logika Syiah, Ternyata Syiah Tidak Sesat. Hanya Oknum Muawiyyah Saja Yang Mengatakan Sesat. Syi’ah Tidak Sesat Karena Rasulullah SAW Bersabda, “Sesungguhnya Aku Tinggalkan Pada Kalian Dua Perkara Yang Amat Berharga, Yaitu Kitab Allah dan Ahlul Baitku” (Shahih Muslim Juz 4 Hal 123 Terbitan Dar al-Ma’rif Beirut Lebanon)

Written By Unknown on Tuesday 3 January 2017 | 23:21:00


Pengangkatan Ali; Jelas atawa Samar?

Oleh: Sayid Muhammad Rizvi

Kita berkumpul malam ini di sini dalam rangka mengenang seseorang yang telah memberikan identitas kepada kita sebagai ” Muslim Syiah “. Kita merasa bangga atas gelar “Syiah Ali” yang kita sematkan pada diri kita. Malam ini saya akan berbicara tentang Khalifah Imam Ali bin Abi Talib karena beberapa pertanyaan yang diajukan ihwal kontroversi “pengangkatan yang jelas” kedudukan Imam Ali sebagai khalifah versus “pengangkatan yang samar”. Tidak hanya orang-orang dewasa, tetapi juga para pemuda datang mendekat dan bertanya kepada kami pertanyaan ini; dan sudah menjadi tugas saya untuk meyakinkan bahwa keyakinan-keyakinan kaum muda dalam masalah Imamah dan Khalifah Amirul Mukminin tetap tegar tanpa ada sedikit pun kabut keraguan yang menyelubunginya.

Kontroversi ini bermula pada ucapan seorang sarjana Syiah yang diterbitkan dalam Bio Ethics Encylopedia di bawah kepala judul (entry) “Islam”. Di dalam buku itu ia menulis:

“Muhammad wafat pada tahun 632 M telah membawa seluruh bangsa Arab berada di bawah pemerintahan Madinah. Namun, ia tidak meninggalkan satu pun perintah yang jelas seputar masalah penggantian kepada orang yang berwenang secara religius-politis.”[1]

Semula, ketika saya diberikan kopian dari artikel tersebut, saya tidak berpikir banyak tentang hal ini karena saya menyadari bahwa artikel itu adalah sebuah tulisan yang ditulis untuk pemirsa yang banyak. (meskipun idealnya masalah penggantian seyogyanya tidak disebutkan dalam artikel itu sama sekali, penghapusannya toh tidak akan mencederai artikel itu secara keseluruhan). Akan tetapi, jawaban penulis atas pertanyaan-pertanyaan yang dikirimkan kepadanya melalui internet oleh beberapa orang Syiah dari Inggris menjadi sebuah masalah yang perlu mendapatkan perhatian dari kami. Ia menjawab sebagai berikut::

Pertanyaan apakah tidak ada perintah yang jelas (eksplisit) tentang penggantian Nabi Saw dalam wewenang agama dan politik agar menjadi jelas bahwa ucapan yang asserting tidak ada ucapan yang eksplisit (yakni, diucapkan dengan terang, tidak hanya mengandungi) perintah dalam masalah penggantian peran Nabi dalam urusan agama dan politik, ditegaskan oleh implikasi adanya ucapan yang makna implisit (yakni, perlu dilibatkan meskipun tidak jelas diucapkan) dalam masalah ini. Arahan tersirat Nabi ini disampaikan pada beberapa peristiwa selama masa hidupnya, termasuk, akhirnya pada peristiwa al-Ghadir sebagai arahan Nabi.

“Juga karena tidak adanya ucapan yang tersirat pada peristiwa ini bahwa Imam Ali tidak pernah digunakan untuknya dalam peristiwa-peristiwa ini, termasuk pada peristiwa al-Ghadir, ia diajukan sebagai calon Nabi hanya sebagai penggantinya yang sah. “[2]

Setelah 21 Ramadan 1418, tokoh kita ini mengeluarkan komentar yang lain yang didalamnya ia menegaskan kembali keyakinannya tentang tidak adanya ucapan yang tersurat atas pengangakatan Imam Ali dalam tulisannya: “Asas dari keimanan kita, adalah bahwa keyakinan Syiah berlandaskan pada pengangkatan tersirat ini. Menurut sejarah (satu-satunya kedudukan yang dapat diambil dari artikel ini) sumber-sumber perpecahan umat pada masa-masa awal adalah tidak adanya arahan tersurat dari Nabi ihwal suksesi di dalam umat.”

“Ucapan Wilayah(man kuntu mawla[hu] fa hadza Aliyyun mawla[hu], yang merupakan dokumentasi bagi aklamasi Syiah dalam mendukung Imamah Imam Ali adalah dipandang sebagai sebuah ucapan yang tersirat ketimbang sebuah ucapan yang tersurat tentang masalah penggantian wewenang yang komprehensif.” Alasannya adalah kata mawla dalam bahasa Arab bersifat kabur sepanjang berhubungan dengan “suksesi” itu sendiri.”[3]


1.1. Jelas vs Samar (eksplisit vs implisit)

Pertama-tama mari kita amati apakah pembagian kalimat pengangakatan khalifah ini dibagi menjadi “implisit dan eksplisit ” memiliki latar belakang sejarah dalam sejarah ilmu kalam Islam atau tidak. Mengingat terbatasnya waktu, kami hanya akan menyebut beberapa fakta sejarah berikut ini :
1. Dalam masalah khalifah, kaum muslimin memiliki pandangan yang berbeda. Ahli Sunnah tidak meyakini bahwa Nabi Saw telah menunjuk seseorang sebagai penggantinya, baik tersurat maupun tersirat; dan masalah ini diserahkan kepada umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki. Sebaliknya, Syiah berkeyakinan bahwa Nabi telah menunjuk Ali sebagai khalifah dan pengganti beliau setelah wafatnya.
2. Seluruh mazhab dalam Syiah (Imamiyah Itsna Asyariyya dan dua mazhab Ismai’liyyah : Bohras dan Agha Khan) meyakini bahwa Nabi Saw secara tersurat (jelas) menunjuk Imam Ali dalam berbagai kesempatan sebagai khalifahnya dan penggantinya.
3. Mazhab Zaidiyyah memiliki keyakinan yang berbeda dengan Ahli Sunnah dan Syiah. Meskipun mereka percaya bahwa Ali adalah yang terbaik dan yang paling pantas untuk menjadi khalifah, mereka masih menerima Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai khalifah Rasulullah yang pertama dan kedua, namun mereka tidak menerima Ustman sebagai khalifah ketiga.
4. Menurut sejarah, Jarudiyyah (sekte didalam mazhab Zaidiyyah) meyakini bahwa Nabi Saw telah menunjuk Ali tidak dengan menyebutkan namanya tapi hanya menjelaskan keutamaanya: “nassa bil wasf duna tasmiyya ” (Dia [Nabi] menunjuk dengan penjelasan tanpa menyebut namanya.”[4]

Berangkat dari keyakinan ini bahwa nass (petunjuk pengangkatan) dibagi kedalam “an-nass al-jali – petunjuk yang jelas/eksplisit – dan “an-nass al-khafi – tersembunyi dan implisit.”

Namun Syiah Imamiyah Itsna Asyariyyah tidak pernah mengabulkan pendapat ini bahwa ” azas keyakinan kami dibangun di atas pengertian yang tersirat.” Mereka percaya sepenuhnya bahwa Nabi Muhammad Saw dalam beberapa kesempatan, secara jelas dan terbuka mengangkat Ali bin Abi Talib sebagai pengganti, khalifah dan imam kaum muslimin selepas beliau.[5] Hanya bila para ahli kalam Syiah berdebat melawan musuh-musuhnya (termasuk Zaidiyyyah), mereka menggunakan istilah “an-nass al-jali” dalam prinsip berhadapan dengan musuh-musuhnya dengan istilah mereka sendiri.[6]

Jadi, menurut catatan sejarah, tidak ada ahli kalam Syiah Imamayiah yang menggunakan cara implisit atau ekplisit dalam pengangakatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib As sebagai “azas keimanan kami ” dan tidak satu pun dari mereka yang menganggap bahwa hadis al-Ghadir sebagai sebuah pengangkatan yang tersirat.

- Mengapa Zaidiyyah bersikeras dalam mengimplisitkan pengangakatan Ali sebagai khalifah? Karena beberapa sekte di dalamnnya menerima kekhalifaan Abu Bakar dan Umar, meyakini pengangkatan Ali dengan menggunakan ungkapan eksplisit (tersurat) akan memberikan gambaran negatif terhadap dua khalifah ini – akan berarti bahwa dua khalifah ini menentang perkataan jelas Nabi Saw. Sehingga untuk menjaga wibawa kedua khalifah ini, pengangkatan Ali terselubung dan bersifat kabur dengan mengatakan bahwa sabda Nabi tersebut tidak tersurat melainkan tersirat. Dan karena sabda Nabi tersebut tidak jelas, kedua khalifah ini tidak akan disalahkan karena merampas kekhalifaan dari Amirul Mukminin!

Ini menunjukkan implikasi serius terhadap keyakinan bahwa pengangkatan imam hanya pengangkatan yang bersifat tersirat, berarti kesalahan yang terjadi setelah Nabi wafat dipulangkan kepada Nabi sendiri, tidak kepada khalifah. Ini akan bermakna bahwa kedua khalifah itu tidak merampas kekhalifaan dari Imam Ali karena apa yang mereka lakukan berdasarkan pikiran mereka, karena tidak ada perintah tersurat, dan inilah yang terbaik bagi Islam.

Jadi ketika keberatan-keberatan Syiah terhadap cendekia ini semakin bertambah, pada hari-hari terakhir Ramadan 1418, ia mengeluarkan sebuah surat edaran umum yang ditujukan kepada seluruh pengikut Syiah di seluruh dunia melalui internet :

“Saya dalam kesempatan ini menyampaikan dalam istilah yang paling mutlak bahwa saya tidak hanya meyakini kebenaran dari peristiwa al-Ghadir yang terjadi pada 18 Dzulhijjah 11 H/632 M; tetapi juga saya meyakini bahwa sabda Nabi “Barang siapa yang menjadikan aku mawlanya, maka Ali adalah mawlanya” adalah penunjukan yang jelas, tersurat (eskplisit) bagi Imam Ali sebagai pemimpin kaum muslimin, sebagaimana ditopang oleh keyakinan Syiah Imamiyah Itsna Asayariyyah.”[7]


1.2. Penunjukan Eksplisit Pertama

Islam bermula ketika Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Sebelumnya dakwah Rasulullah Saw bersifat sembunyi-sembunyi. Kemudian tiga tahun selepas kemunculan Islam, Nabi Saw diperintahkan supaya memulai dakwah terbuka untuk menyampaikan pesan-pesan samawi. Kejadian ini berlangsung ketika Allah Swt mewahyukan ayat: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Qs. Asy-Syu’araa:214)

Ketika ayat ini turun, Rasulullah Saw mengadakan sebuah perjamuan yang dikenal dalam sejarah sebagai ” Da’wat dzu ‘l Asyira“. Rasulullah Saw mengundang sekitar empat puluh laki-laki kerabatnya dari Bani Hasyim dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan jamuan makan malam. Setelah menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman, Rasulullah Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka tentang Islam, Abu Lahab mendahuluinya sambil berkata kepada para tamu ketika itu, katanya: “Tuan rumahnya telah lama menyihir Anda”. Seluruh tamu membubarkan diri sebelum Rasulullah Saw menyampaikan pesannya.

Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, ia berkata kepada mereka: “Wahai Bani Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian dunia dan akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), penggantiku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?

Nabi Saw menggunakan kata “saudaraku, penggantiku, khalifahku.” Sabda Nabi ini adalah sabda yang jelas karena digunakan sebagai ajakan pertama untuk memeluk Islam! Tidak ada yang menjawab seruan itu, kecuali Ali bin Abi Thalib yang ketika itu hanya berusia lima belas tahun. Nabi Saw meminta Ali untuk mendekat kepadanya, menepuk leher Ali dan berkata:

“Sesungguhnya ia ini adalah saudaraku, penggantiku, khalifahku di antara kalian. Oleh karena itu, dengarkan dan taati ia.”[8]

Proklamasi ini merupakan perkataan yang terang karena hadirin memahami penunjukan Ali sangat jelas. Beberapa di antara hadirin, termasuk Abu Lahab, bahkan dengan bercanda ia berkata kepada Abu Talib bahwa kemenakanmu, Muhammad, memerintahkanmu untuk mendengarkan anakmu dan mentaatinya! Setidaknya, seloroh Abu Lahab ini menunjukkan bahwa pengangkatan Ali bin Abi Talib adalah masalah yang terang dan jelas (eksplisit) dan tidak samar (implisit).

Bukti yang paling nyata atas kewajaran tersuratnya pengangkatan ini pada masa-masa awal misi Nabi Saw adalah upaya penulis Ahli Sunnah menyembunyikan kalimat yang digunakan oleh Nabi Saw. Sebagai contoh, sejarawan Islam yang terkenal, Ibnu Jarir at-Tabari (wafat 310 Setelah Hijrah), telah mencatat peristiwa ini dengan kalimat krusial yang utuh dan lengkap dalam Târikhul Umam wal Muluk-nya. Edisi 1879 dari Târikh-nya yang diterbitkan di Leiden (Belanda) dengan kalimat: “….inilah saudaraku, penggantiku dan khalifahku….” Namun sewaktu melangkah kepada Tafsir Tabari, ketika ia sampai pada tafsir “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat “ (Qs Asy Syu’araa:214), barangkali Tabari sendiri atau editornya yang melakukan perubahan di dalamnya dengan kalimat: “Inilah saudaraku, demikian dan demikian..”

Seluruh upaya untuk menghilangkan peristiwa ini secara keseluruhan dari halaman sejarah atau merubah kata-kata pentingnya “penggantiku dan khalifahku” menjadi “demikian dan demikian” secara nyata menunjukkan bahwa istilah yang digunakan dalam hadis itu adalah bersifat tersurat yang mendukung pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti Nabi Saw. Jika sebaliknya, maka tidak perlu bagi musuh-musuh Syiah menyembunyikan atau merubah kata-kata tersebut.


1. 3. Abu Sufyan Mengerti, Yang Lain Tidak?

Bersikeras terhadap anggapan bahwa pengangkatan Imam Ali tersebut adalah pengangkatan yang bersifat implisit demi menjaga dua khalifah pertama. Alih-alih mencari kebenaran atas cerita ini dan kemudian memberikan penilaian terhadapnya, sebaliknya mereka memutarbalikkan kebenaran untuk menjaga kedudukan kedua orang tersebut.

Sulit untuk dipahami bahwa para sahabat Nabi tidak mendengar Nabi mengangkat Ali As dalam beberapa kesempatan yang berlainan, dan tahu bahwa mereka adalah suku Quraisy yang berbahasa Arab, tidak dapat diterima oleh akal bahwa mereka tidak memahami secara jelas pengangkatan ini. Satu cara untuk mengetahui kebohongan ini adalah mengambil jalur menarik terhadap peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi Saw.

Ketika Ali dan Bani Hasyim sibuk dengan urusan pemakaman Nabi Saw, seseorang datang mengetuk pintu dan menawarkan bantuan untuk menjaga kursi khalifah. Orang itu adalah Abu Sufyan. Iya, Abu Sufyan musuh besar Nabi yang berperang melawan Islam dan kaum muslimin dan hanya menyerah ketika ia tidak dapat lagi memberikan perlawanan. Ia menyerah selang dua tahun sebelum wafatnya Nabi.

Ia datang ke rumah Ali dan mendendangkan sajak yang memuji keluarga Nabi. Ia berkata: “Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani Abdul Manaf! Apakah kalian menerima Abu Fasil memerintah kalian? Demi Allah, jika kalian ingin, aku bersedia memenuhi kota Madinah ini dengan kuda-kuda dan pasukan.

Ali bin Abi Thalib kenal siapa Abu Sufyan. Ia tahu bahwa niat Abu Sufyan itu tidak tulus, ia hanya mengambil manfaat dari perseteruan tentang masalah pengganti setelah Nabi. Abu Sufyan menginginkan Bani Hasyim dan kelompok Abu Bakar/Umar berperang dan melemahkan satu sama lainnya sehingga Bani Umayya dapat meraih supremasinya kembali atas bangsa Arab. Dan Imam Ali menjawab: “Pergilah, Wahai Abu Sufyan! Demi Allah engkau tidak sungguh-sungguh dengan apa yang engkau katakan! Engkau selalu memperdaya Islam dan umatnya dan kami sedang sibuk dengan [pemakaman] Rasulullah Saw. Dan [mereka yang berkomplot untuk merebut kursi khalifah], mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan.”[9]

Memang tidak dapat dipercaya bahwa Abu Sufyan, dengan latar belakangnya, tahu bahwa Ali memiliki hak untuk menjabat sebagai khalifah umat sementara sahabat-sahabat “besar” lainnya tidak tahu atau tidak mengerti sabda Nabi dengan jelas.

Nampaknya Abu Sufyan bermaksud menghasut Ali untuk angkat senjata demi merebut kembali haknya sebagai khalifah. Pada saat itu, Ali menanggapinya dengan berkata: “Jika aku berbicara [demi menuntut hakku], mereka berkata, ia haus kekuasaan.” Dan bila aku berdiam diri, mereka berkata, “Ia takut mati.” Tidak, tidak sama sekali; setelah kekisruhan itu. Demi Allah, ini putra Abu Talib lebih bergembira terhadap kematian melebihi kegemibraan seorang anak yang menyusu pada ibunya!”[10]


1. 4. Mengapa Ali tidak menggunakan Dalil-dalil ini?

Apakah Imam Ali tidak menggunakan dalil Da’wat dzil ‘Asyira atau hadis al-Ghadir segera setelah wafatnya Nabi Saw karena ucapan-ucapan Nabi tersebut hanyalah sebuah ucapan yang tersirat? Seorang Ulama Syiah menulis: “Juga karena tidak adanya ucapan yang tersurat yang digunakan oleh Imam Ali dari peristiwa-peristiwa ini, termasuk al-Ghadir, untuk ia ajukan sebagai satu-satunya orang yang berhak untuk menjadi khalifah Rasulullah Saw.”[11] Perkataan ini benar-benar sebuah cara novel dalam melihat perseteruan tentang masalah khalifah. Ahli Sunnah akan melebarkan masalah ini sedikit lebih jauh dan berkata bahwa Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini karena memang tidak dapat dijadikan sebagai dalil sama sekali.

Untuk dapat memahami mengapa Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini pada waktu itu, kita harus mengerti keadaan yang sebenarnya, musuh-musuhnya, dan akibat-akibat dari tindakan Imam Ali ini.


Beberapa Kondisi

Ketika Nabi Saw wafat, dalam komunitas muslim saat itu terdapat beberapa orang yang berlainan satu sama lain.

Pertama, ada beberapa so-called pengadu domba dalam diri kaum muslimin yang menantikan perang saudara untuk memadamkan cahaya Islam dan meraih kekuasaan atas bangsa-bangsa Arab. Abu Sufyan dan sukunya termasuk dalam kategori ini. Mereka tidak berada di Saqifah (bersama Abu Bakar, ‘Umar dll, AK.) juga tidak berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Al-Quran juga mengatakan ihwal wujudnya orang-orang munafik di antara kaum muslimin: “Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafirannya dan kemunafikannya dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah dan Rasulnuya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. “ (Qs. at-Taubah [9]:97) Lalu ada Musalyma al-Kadzdzab dan Sajjah bint al-Harats yang mengklaim sebagai Nabi dan mendapatkan beberapa pengikut dari orang-orang Badui.

Setelah melakukan tinjauan atas peristiwa-peristiwa ini, apa yang dapat dilakukan oleh Ali?

Sebagai sebuah contoh, mari kita gambarkan keputusan Imam Ali dalam benak kita. Selama masa khalifah Umar, ada sebuah cerita tentang dua orang ibu yang bertengkar tentang siapa sebenarnya ibu dari bayi itu. Keputusannya diserahkan kepada Imam Ali. Ketika Imam Ali melihat kedua ibu ini sama-sama ngotot untuk mendapatkan bayi itu, ia memutuskan untuk membelah bayi tersebut dan dibagikan masing-masing kepada kedua ibu tersebut. Bagaiamana reaksi kedua ibu (yang sebenarnya dan yang gadungan) tadi? Ibu gadungan mengusulkan agar bayi itu dibelah dua saja, sementara ibu yang sebenarnya memutuskan untuk merelakan bayi itu diambil olehnya.

Islam adalah ibarat bayi dalam pembahasan kita kali ini; para penjarah itu akan melakukan apa saja untuk menjaga kekuasaan, hatta kalau bisa Islam dikorbankan. Ali –di sisi lain– rela untuk melepaskan haknya demi menyelamatkan Islam dari kehancuran total. Inilah filsafat mengapa Imam Ali tidak mengakhiri kisah ini dengan pedang atau memberikan kesempatan kepada Abu Sufyan dan yang lainnya untuk angkat senjata. Ia rela haknya dikebiri demi menjaga Islam dari kehancuran.

Ali rela disingkirkan, tapi ia tidak berhenti memprotes dimana dan bilamana saja ada kesempatan. Ketika ia disingkirkan lagi setelah kematian Umar, ia menyampaikan pidato kepada dewan musyawarah yang telah memilih Utsman, ia berkata: “Kalian pasti mengetahui bahwa akulah yang paling pantas untuk menjadi khalifah daripada yang lain. Demi Allah, sepanjang keutuhan dan persatuan kaum muslimin tetap terjaga dan tidak ada kezaliman di dalamnya kecuali diriku yang terzalimi, maka Aku akan diam….”[12]


Musuh-musuh

Berkenaan dengan musuh-musuh Syiah, mereka tidak bersedia mendengarkan sepatah-kata pun alasan tentangnya. Ketika anda mengetahui bahwa musuh anda tidak menentang anda karena keawamannya – dan bahkan mereka bersedia untuk membunuh anda – maka tidak ada gunanya untuk menyebutkan seluruh bukti yang ada kepada mereka. Anda boleh bertanya-tanya mengapa saya berkata seperti ini.

Anda mengingat kembali Da’wat dzul Asyira, Nabi Saw menggunakan tiga kata untuk Imam Ali. ” Saudaraku, penggantiku, dan khalifahku .” Kedua kata terakhir bersifat krusial dan penting atas klaim Ali sebagai khalifah. Kata yang pertama ” saudaraku ” tidak begitu berbahaya dan mengancam pihak musuh-musuh. Atas alasan ini mengapa, bahkan, penulis Ahli Sunnah menyembunyikan hadis Nabi Saw, mereka membiarkan kata “saudaraku” utuh tapi mengganti kata-kata “penggantiku, khalifahku” dengan kata “demikian dan demikian.”

Kini, untuk dapat mengerti sikap keras kepala musuh-musuh Ali, mari kita satu bagian saja dari obrolan sengit antara Imam Ali dan Umar bin Khattab selama hari-hari pertama khalifah.

Saya hanya akan meringkaskan apa yang terjadi sebelum obrolan yang sebenarnya: Setelah Umar dan kelompoknya yang memaksa kaum Ansar (Penduduk Madinah) untuk membai’at Abu Bakar di Saqifah, mereka datang ke Masjid Nabi dan mengumumkan bahwa Abu Bakar telah dipilih sebagai khalifah dan meminta semua orang untuk membaiatnya. Mereka diberitahu bahwa Ali dan anggota lain dari Bani Hasyim dan beberapa sahabat utama Nabi berkumpul di rumah Fatimah, menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar mengirim pesan tapi tidak ada satu pun dari mereka (orang-orang yang berkumpul di rumah Fatimah, –AK.) yang membaiatnya. Lalu Umar dengan orang-orangnya mendatangi mereka dan bahkan mengancam akan membakar rumah itu jika tidak ada yang mau keluar! Mereka akhirnya mendobrak pintu, mencederai Fatimah yang saat itu lagi hamil, dan memaksa orang-orang yang ada di rumah itu ke masjid dan membaiat Abu Bakar.

Imam Ali juga ditawan dan dibawa ke masjid. Di sini terjadi obrolan antara Imam dan Abu Bakar yang isinya Imam Ali hanya digunakan oleh Quraisy Mekkah terhadap orang Ansar. Quraisy memiliki keutamaan daripada Ansar karena Nabi berasal dari suku mereka, oleh karena itu, mereka lebih berhak untuk menjabat sebagai khalifah; Imam Ali melebarkan adu argumen itu dengan mengatakan bahwa kami berasal dari keluarga Nabi, oleh karena itu, kami lebih berhak atas khalifah daripada engkau.[13]

Ibnu Qutayba ad-Dinwari, seorang sejarawan Sunni tentang masalah khalifah, melanjutkan cerita ini :
Mereka berkata kepada Ali: Nyatakan Baiat!
Ali menjawab: “Jika aku tidak mau, lalu apa?
Mereka berkata: “Kalau begitu, Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, kami akan menggorok lehermu!”
Ali berkata: “Kalau begitu, kalian ingin membunuh seorang hamba Allah dan saudara Nabi-Nya!”
‘Umar berkata: “Sebagai hamba Allah, iya; tapi sebagai saudara Nabi-Nya, tidak!”[14]

Apa yang dikatakan oleh Umar ini? Di luar dari ketiga hal yang disabdakan oleh Nabi tentang Ali, ancaman terakhir adalah “saudaraku ” namun hari itu, ‘Umar bahkan tidak bersedia menerima Ali sebagai “saudara Nabi”! Sekarang katakan kepadaku mengapa Ali tidak berkata: ” Aku juga adalah wasiy Nabi dan khalifahnya”?

Ibnu Qutaybah meneruskan ceritanya: Selagi percakapan antara Imam Ali dan ‘Umar berlangsung, ” Abu Bakar tutup mulut, dan tidak berkata sepatah-kata pun. Lalu Umar berbalik padanya dan berkata : “Mengapa engkau tidak mengeluarkan perintah untuk menghukumnya? Abu Bakar berkata : ” Aku tidak ingin memaksakan segala sesuatunya selagi Fatimah berada di sisinya.”

Iya, Fatimahlah yang melindungi Ali selama hari kelabu itu dalam sejarah Islam. Ali dalam ketertindasannya, ia pergi ke pusara Nabi dan mengeluhkan dukanya kepada Nabi: “Wahai putra ibuku! Orang-orang menindasku dan hampir saja membunuhku.” Ucapan ini adalah ucapan yang sama yang digunakan oleh Harun ketika ia mengeluhkan Bani Israil kala Nabi Musa kembali dengan Taurat sesuai dengan firman Allah Swt: “Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah ia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?” Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat)itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: ” Duhai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. al-A’raaf [7]:150) Ingatlah Rasulullah Saw sendiri bersabda: “Wahai Ali, engkau bagiku seperti Harun bagi Musa; hanya saja tidak ada nabi setelahku.”[15]


1.5. Apakah Ali Menggunakan Dalil-dalil Ini?

Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini pada hari-hari awal khalifah ini berkuasa karena dua alasan : 1. Demi menjaga keselamatan dan kelestarian Islam, 2. Karena tahu sikap keras kepala musuh-musuhnya. Sikap Ali ini tidak ada hubungannya dengan implisit vs eksplisit sama sekali. Yang benar adalah bahwa kapan saja ada kesempatan, Imam Ali selalu membicarakan haknya sebagai Khalifah Rasulullah Saw.

Tidak seorang pun yang menyalahkan Ali karena klaim atau menyodorkan bukti-buktinya hingga hari ini. Ia sendiri berkata: “Tidak seorang pun yang dapat disalahkan atas terlambatnya (menjaga) ia meraih haknya, namun kesalahan terletak pada orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya.”[16]

Pada tahun 35 SH, sewaktu Imam berada di Kufah, ia mendengar bawha orang-orang sangsi atas klaimnya sebagai lebih utama dan lebih prioritas atas ketiga khalifah sebelumnya. Oleh karena itu, ia mendatangi majelis di Masjid dan memohon kepada saksi-saksi yang hadir di Ghadir Khum untuk menyatakan kebenaran deklarasi Nabi Saw tentang dirinya sebagai “mawla (tuan, pemimpin, junjungan) bagi mereka yang menjadikan Nabi sebagai mawlanya sendiri. Dalam banyak kitab, kita mempunyai dua puluh empat sahabat Nabi yang menyatakan kesaksian akan kebenaran klaim Imam Ali ini. Sumber-sumber lain seperti Musnad Ahmad bin Hanbal dan Majmâ az-Zawâid karya al-Haytami menyebutkan sebanyak tiga puluh.[17]

Anda harus ingat bahwa peristiwa ini terjadi dua puluh lima tahun setelah peristiwa Ghadir Khum, dan selama berabad-abad saksi-saksi sejarah telah meninggal dunia atau gugur dalam medan perang. Dan sebagai tambahan bahwa kejadian ini terjadi di Kufa yang jauh dari Madinah, pusat para sahabat.


Referensi:

[1] . Abdulaziz Sachedina, “Islam”, The Bio Ethics Encylopedia, vol. 3 (1995) hal. 1289.
[2] . Lihat jawaban Dr. Sachedina yang secara luas didistribusikan di internet untuk kalangan Syiah.
[3] . Lihat edaran Sachedina yang ditujukan kepada “seluruh pengikut Ahlulbait.”
[4] . Lihat, Allamah al-Hilli, Manâhij al-Yaqin, editor M.R. al-Ansari (Qum, 1416) hal. 306; al-Mufid, Awâil al-Maqâlat, hal. 41-42. Zaidiyyah beranggapan bahwa setelah Ali, Hasan dan Husain, yang menjadi imam adalah Zaid bin Ali. Setelah Zaid, seluruh keturunan Ali dan Fatimah yang melakukan jihad dan angkat senjata melawan para penguasa zalim, bertakwa dan alim maka ia dapat menjadi imam mereka.
[5] . Lihat an-Nawbakhti, (edaran. Abad ketiga Hijriah), Firâq as-Syiah, (Beirut, 1984) hal. 19. buku ini sebenarnya merupakan ringkasan dari Maqalat al-Imamiyah karya Sa’ad bin ‘Abdullah al-Anshari al-Qummi dan secara keliru telah dinisbahkan kepada an-Nawbakhti. Lihat S. M. Riza al-Husaini al-Jalali, “Firâq as-Syiah aw “Maqâlat al-Imâmiyah li an-Nawbakhti am li al-Anshâri?” dalam keluaran pertama Turatsuna, (Qum: Muassasa Ali al-Bait 1504) hal-hal. 24-49.
[6] . Lihat sebagai contoh, salah satu buku kalam Syiah yang masyhur, Kasyf al-Murâd, ulasan (syarah) Allamah Hilli atas Tajrid al-I’tiqâdât karya Muhaqqiq at-Tusi terjemahan Abul Hasan Sya’rani (Tehran: Islamiyyah, tanpa tahun) hal. 516-518. Dalam Usul Fiqih, terma “an-Nass” berarti ucapan yang memiliki arti jelas dan terang. Dalam istilah ini, an-nass, secara definisi ia tidak dapat bersifat kabur dan tersirat. Dan dengan demikian tidak dapat dibagi menjadi jali dan khafi.
[7]. Dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan atau awal Syawal 1418 H di internet.
[8]. Untuk penjelasan lebih lanjut atas peristiwa ini silahkan lihat bagian “Sensor-diri dalam Sejarah Islam di atas.
[9]. Al-Mufid al-Irsyâd, hal. 190; al-Ya’qubi, at-Târikh, vol. 2 (Beirut: Dar Sadir) hal. 126; Sibt ibn al-Jauzi, Tadzkira al-Khawwâsh al-Ummah, hal. 121; Ibn ‘Abdi Rabbih, al-‘Iqdu al-Farid, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983) hal. 257; al-Aqdi Abdul Jabbar, Al-Mughni fi at-Tauhid wa al-‘Adl, vol. 2 (Kairo: Dar al-Mishriyyah li at-Ta’lif) hal. 121; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, vol. 6 (Kairo: Dar Ihya Kutub al-Arabiyyah, 1959) hal. 17.
[10] . Lihat, Nahj al-Balâghah, khutbah No. 5.
[11] . Lihat kutipan pada bagian pertama dari bagian keempat ini.
[12]. Nahj al-Balâghah, khutbah 74; Lihat juga at-Tabari dalam Târikh-nya dan Ibn al-Atsir dalam Kâmil ihwal peristiwa 23 H; al-Azhari, Tahdzib al-Lugha, vol. 1 (edisi Kairo) hal. 341.
[13] . Apa yang telah saya tulis di atas bahkan tidak dapat dipandang sebagai ringkasan dari peristiwa Saqifah dan akibat-akibatnya. Untuk lebih detilnya peristiwa ini, lihat Rizvi, Imamate, hal-hal. 113-126; al-Askari, S. Murtadha, ‘Abdullah ibn Saba and Other Myths (Tehran: WOFIS, 1984) hal-hal. 69-95; Jafri, The Origin & Early Development, hal-hal. 27-53.
[14]. Untuk mengetahui percakapan yang disebutkan di sini lebih lanjut Lihat Ibn Qutaibah ad-Dinwari, al-Imâmah wa as-Siyâsah, bagian 1 (Kairo: al-Halabi Publications, tanpa tahun) hal. 20, berikut ini adalah ucapan Ibn Qutaibah sendiri:

فقالوا: “بايع. ” فقال: “ان انا لم افعل فمه؟”
فقالوا: “اذاً و الله الذی لا اله الا هو¸نضرب عنقك!”
فقال: “اذاً تقتلون عبدالله و اخا رسوله!”
فقال عمر: “اما عبدالله ، فنعم. اما اخو رسول الله، فلا!”
و ابو بکر ساکت لا یتکلم. فقال له عمر: “الا تامر فيه بامرك؟”
فقال: “لا اكرهه علی شئ ما کانت فاطمه الی جنبه.”

[15] . Imam al-Bukhari telah meriwayatkan hadis ini pada dua tempat dalam kitab Shahih-nya, satu dalam bentuk ringkas (tanpa “hanya saja tiada nabi selepasku”) dan kemudian dalam bentuk yang lengkap. Lihat Shahih, vol. 5, Arab dengan terjemahan Inggris oleh M. Mohsin Khan (Beirut: Dar al-Anbiyya, tanpa tahun) hal. 47, 492-493).
[16] . Nahj al-Balaghah, ucapan # 166.
[17] . Peristiwa Kufa ini telah diriwayatkan oleh empat sahabat Nabi Saw dan empat belas thabi’in, dan telah tercatat pada kebanyakan buku-buku sunan dan sejarah. Lihat al-Amini, al-Ghadir, vol. 1 (Tehran: Muassasat al-Muwahidi, 1976) hal-hal. 166-186.


Fakta logika Syiah

Adakah 500 juta penganut mazhab syi’ah imamiyah yang bersolat setiap hari, berpuasa, mengakui ketauhidan Allah swt dan kerasulan Muhammad ini sesat?

Adakah semua ini palsu belaka?

Adakah 500 juta orang ini bertaqiah dan berpura-pura dalam aqidah mereka?

Kalau betul, maka Bravo!!!

Mereka melakukan sesuatu yang paling ajaib di dalam dunia, kerana begitu organized sekali lakonan mereka, dari yang tua hinggalah yang muda.

Movie awards patutnya diberi kepada orang-orang Syiah kerana kehebatan mereka ini melampaui batas logika. hehe.


Solawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, yang telah Allah swt sucikan seperti dalam firmannya: “Sesungguhnya Allah (perintahkan kamu dengan semuanya itu) hanyalah kerana hendak menghapuskan perkara-perkara yang mencemarkan diri kamu – wahai “AhlulBait” dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya (dari segala perkara yang keji).”(33:33).

Di dalam suasana masyarakat Malaysia ini, bila disebut sahaja perkataan Syiah, majoriti orang (yang informed) akan mempunyai pandangan negatif berkenaan dengannya. Perkataan Syiah menjadi satu perkataan yang “Taboo”, atau terlarang, dan orang-orang yang berkaitan dengannya akan dipandang dengan penuh prejudis dan syakwasangka serta penuh penghinaan yang tidak berasas.

Page ini, bukanlah untuk menerangkan apa itu Syiah, atau menjawab segala fitnah tentangnya, tetapi bertujuan, dengan seringkas mungkin, menceritakan pengalaman aku dalam mencari kebenaran sehingga akhirnya bertemu jalan ini, jalan Ahlul Bait nabi(sawa).

Biarlah aku mulakan dengan latar belakang hidup ku. Nama ku Amin Farazala Al Malaya, berasal dari keluarga yang pendidikan agamanya hanyalah sederhana, tetapi alhamdulillah, mengamalkan ajaran Islam dengan kuat, bermazhab Imam Syafie. Aku bukanlah ulama, atau ustaz, atau orang alim, hanyalah seorang hamba Allah yang ikhlas mencari kebenaran duniawi dengan mengikuti jalan Allah dan RasulNya. Latar belakang pendidikan aku pun tak pernah belajar di sekolah agama, mahupun mengikuti kursus major agama Islam di universiti. Aku hanya mempunyai sarjana muda dan Diploma Perakaunan dari sebuah universiti tempatan, bukan jugak UIA.

Jadi, macam mana aku kenal Syiah ni? Satu jalan yang aku yakini ialah Islam yang sebenar. Dua jalan yang paling banyak membantu aku menemui jalan ini ialah, membaca dan berdialog, samada dari sumber Sunni atau Syiah.

Buku syiah yang pertama aku baca tapi aku tak tahu itu buku Syiah ialah ketika aku tingkatan 4, buku tentang perang Iraq dan Iran, Aku mula berkenalan dengan perkataan Syiah ketika itu. dalam buku itu juga, aku diperkenalkan dengan sikap masyarakat Syiah dan pemimpin mereka. Pada pandangan aku ketika itu, aku berasa marah, kenapa perlu adanya Sunni dan Syiah ni? sampai nak bergaduh-gaduh, tak boleh ke wujudnya satu ISLAM?

Sentimen ini berterusan sehinggalah aku diterima belajar di sebuah Universiti. Bersamaan dengan dasar di negara ini, maka banyaklah tohmahan dan fitnah yang disebarkan terhadap Syiah, yang turut membuatkan aku konfius. Antara fitnah yang dilemparkan ialah:
1. Syiah menyembah Ali.
2. Syiah terlampau mengagungkan Ali.
3. Syiah ada Quran sendiri.
3. Syiah ini tentera dajjal.
4. Syiah diasaskan oleh si Yahudi Abdullah Ibn Saba.

Aku tak boleh terima dan keliru. Adakah 500 juta penganut mazhab syi’ah imamiyah yang bersolat setiap hari, berpuasa, mengakui ketauhidan Allah swt dan kerasulan Muhammad ini sesat? Adakah semua ini palsu belaka? Adakah 500 juta orang ini bertaqiah dan berpura-pura dalam aqidah mereka? Kalau betul, maka Bravo!!! Mereka melakukan sesuatu yang paling ajaib di dalam dunia, kerana begitu organized sekali lakonan mereka, dari yang tua hinggalah yang muda. Movie awards patutnya diberi kepada orang-orang Syiah kerana kehebatan mereka ini melampaui batas logika. hehe.

Seperti yang aku cakap awal tadi, aku bukanlah alim, tapi aku sangat berminat dalam agama Islam ni. Terutamanya dalam dua bidang utama iaitu Sirah . Banyak buku-buku berkaitan yang aku baca, serta aku kaji personliti-personaliti utama agama Islam. Bagaimanapun semakin lama aku mengkaji, semakin banyak aku dapati percanggahan dan keganjilan di dalam sejarah agama Islam ni, terutamanya berkaitan para sahabat, yang aku dapati banyak melakukan perkara-perkara yang bercanggah dengan agama Islam dan prinsip aku iaitu bahawa semua para sahabat itu adil dan bergerak dalam kerangka demi kepentingan agama(walaupun berbunuhan sesama sendiri).

Dan disebabkan minat aku pada Imam Mahdi, maka turut menarik minat aku kepada satu kelompok istimewa dari para sahabat yang digelar Ahlul bait. Atas dasar itu, aku memulakan kajian aku dengan memenuhkan masa aku membaca buku Sunni dan Syiah, menonton video mereka serta yang paling penting berdialog dengan mereka. Setelah aku mendalami hujah hujah, dari Sunni dan Syiah, aku menggunakan akal yang Allah swt berikan pada ku untuk memilih mana yang di fikirkan paling logik serta dekat kepada Allah swt. Setelah 5 tahun, kini aku bertemu, Islam sejati, Syiah Ahlul Bait.

Berikut ialah beberapa perkara yang membuatkan aku menjadi pengikut kepada Ahlul Bait(as):
1. Rasulullah bersabda: Aku tinggalkan kalian 2 perkara berat, yang pertama ialah Al Quran yang ada padanya cahaya dan pedoman, yang kedua ialah itratku dari Ahlul Bait. Sahih Muslim, At Tarmizi, Mustadrak, Fadhail As Sahabah, Musnad Ibnu Hanbal dan banyak lagi(banyak sangat).
2. Dari Ummu Salamah, Rasulullah bersabda: Ali itu bersama Quran dan Quran itu bersama Ali, keduanya tidak akan terpisah sehingga mereka sampai di Kausar. Al Mustadrak, Al Sawaiq al Muhriqah, Tarikh Al Khulafa.
3. Barangsiapa yang mahu hidup dan matinya seperti ku dan memasuki syurga yang telah dijanjikan kepadaku, hendaklah dia mengiktiraf Ali sebagai walinya selepas ku, dan selepas Ali hendaklah mengiktiraf anak-anak Ali, kerana mereka tidak akan membiarkan kamu di luar pintu petunjuk, dan tidak pula membiarkan kamu memasuki pintu kejahatan. Kanz Al Ummal.
4. Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang kepadanya aku ialah maula, maka Ali ialah maula bagi beliau. At Tarmizi, Sunan Ibnu Majah, Khasa’is an Nisai, Al Mustadrak Al Hakim, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, Fadhail as Sahaba, al Bidayah wa Al Nihayah, Tarikh Al Khulafa.
5. ” Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil Amri dari kalangan kamu.”(4;59).
6. Fakhruddin Ar Razi di dalam Tafsir Al Kabir memberi komentar, bahawa ulil Amri perlu maksum kerana diletakkan setaraf dengan rasul, maka ketaatan kepada mereka berdua adalah sama dan tanpa kompromi.
7. Dari hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, di dalam buku Kifayatul Athar di mana di dalam komentar untuk ayat ini, Rasulullah menyebut nama 12 Imam Syiah. Al Khazzz, Kifayatul Athar.
8. Selepasku akan ada 12 Imam/khalifah. Bukhari, Muslim, Tarmizi, Sunan Abu Daud, Musnad Ibnu Hanbal.
9. Rasulullah bersabda: Aku adalah kota ilmu, dan Ali ialah gerbangnya, jadi barangsiapa yang ingin memasuki kota ini perlu melalui gerbangnya. Tarmizi, Mustadrak, Fadhail as Sahaba.
10. “Tidakku meminta sebarang upah(atas tugas kenabian ini) melainkan cinta kepada keluarga ku.” (42:23).
11. Sesungguhnya Allah menetapkan upah atas tugas kenabian ku ini, ialah cinta kepada keluarga ku. (Muhibbuddin Al Tabari).
12. Ibnu Abbas meriwayatkan apabila ayat 42:23 diturunkan, para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, siapakah Ahlul Bait mu yang Allah wajibkan kami mencintai mereka?” Rasulullah berkata: Ali, Fatimah, Hassan dan Hussain.Tafsir al Kabir, Musnad Ibnu Hanbal, al Sawaiq al Muhriqah.
13. Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, rasulnya serta orang2 yang beriman, yang mendirikan solat dan menunaikan zakat ketika sedang rukuk. (5:55).
14. Para ulama merekodkan ayat ini diturunkan kepada Ali yang memberi zakaat cincin beliau ketika rukuk. Tafsir al kabir, Tafsir ad Dhur al Manthur, Musnad Ibn Hanbal, Kanz ul Ummal.
15. Sesungguhnya kau hanyalah pemberi amaran, dan bagi tiap2 kaum ada penunjuknya. (18:7).
16. Ibnu Abbas meriwayatkan ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah meletakkan tangannya di dada dan berkata: Aku adalah pemberi amaran.” dan menunding kepada Ali, kamu adalah pemimpin kaum muslimin selepas ku.”.

Dan kini aku telah menjumpai Islam sebenar. Tidak lagi aku keliru, yang mana satu sunnah asli, Syafi’i ke, atau maliki, atau Hanbali atau Hanafi atau wahabi. Aku sudah sedar sekarang bahawa Allah swt telah melantik penunjuk bagi kaum kita, umat Muhammad, bagi menggantikan Rasulullah dalam segala hal kecuali kenabian. Mereke pemegang sunnah yang asli, penjaga agama Islam dari segala bidaah, dan memahami ilmu Al Quran dengan sempurna. Aku yakin dengan jalan ini. Ya Allah, hidupkanlah aku dan matikanlah aku di jalan Ahlul Bait.

Tulisan ini bukan berniat untuk menyebar Syiah, tetapi lebih kepada menjawab fitnah yang dilemparkan terhadap mazhab ini dan penganutnya. Fitnah wajib dijawab dan saya tidak akan biarkan ia berterusan. Jika tidak suka saya membongkar fitnah ini, mulakanlah dengan berhenti menebar fitnah. Kepada yang bukan Syiah, anda dilarang melawat laman ini, jika anda berkeras, maka saya tidak akan bertanggungjawab atas pencerobohan akidah anda.


Penyimpangan Khawarij dan Muslihat Mu’awiyah

Khawarij dulunya adalah pengikut Imam Ali kemudian berpisah dengan beliau pasca perang Shiffin karena penentangan mereka terhadap Imam Ali terkait dengan masalah tahkim atau hakamiyah (arbitrase). Mereka yang tadinya patuh dan taat di jalan Imam Ali kemudian keluar (kharij) dan membangkang melawan baginda Ali As. Atas dasar ini mereka juga disebut sebagai Mâriqin.

Sangat banyak penyimpangan yang dilakukan kelompok Khawarij. Di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa dari peyimpangan tersebut:

1. Berdasarkan keyakinan Ahlusunnah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Khalifah Keempat Nabi Saw dan berdasarkan keyakinan Syiah, Baginda Ali adalah imam, washi dan khalifah pertama Rasulullah Saw yang wajib dipatuhi dan seluruh perintahnya harus ditaati. Akan tetapi orang-orang Nahrawan menentang beliau dan keluar dari jalan ketaatan kepadanya serta pada akhirnya berperang melawan baginda Ali. Inilah sebesar-besar penyimpangan yang mereka lakukan.

2. Kelompok Khawarij yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan pandangan pada perang Shiffin setelah orang-orang Syam (Suriah), dengan maksud mengecoh, meletakkan al-Qur'an di atas tombak. Mereka berkata: Mereka ini juga adalah seperti kita kaum Muslimin. Kita tidak boleh berperang melawan mereka. Imam Ali yang tadinya tidak bersedia berdamai dengan Mu'awiyah mereka paksa untuk menerima tahkim (arbitrase), namun setelah menerima arbitrase ini, kaum Khawarij malah menentang baginda Ali As.

3. Salah satu kritikan Khawarij kepada Imam Ali As, seperti yang mereka katakan berdasarkan ayat, "Inil Hukum illaLâh." (Sesungguhnya hukum hanya berasal dari Allah). Karena itu menerima tahkim dan hakamiyah artinya tidak mengindahkan al-Qur'an dan ayat yang disebutkan!. Kesimpulan keliru seperti ini disebutkan sebagai salah satu penyimpangan firkah Khawarij.

4. Penyimpang lain yang mereka lakukan adalah ketika mereka berkata: Barang siapa yang melakukan dosa besar maka ia adalah kafir dan telah keluar dari Islam (murtad) kecuali ia bertobat dan kembali menjadi seorang Muslim. Berdasarkan hal ini, jiwa dan harta kaum Muslimin (yang menurut mereka adalah orang-orang kafir) menjadi mubah dan boleh diambil.

Adapun keraguan Baginda Ali terkait dengan perang melawan Mu'awiyah kami kira cukup Anda memperhatikan penjelasan beliau tatkala orang-orang Syam kabur dan lari dari perang Shiffin dimana beliau bersabda kepada para pengikutnya: (Pergilah) Bunuh orang-orang yang tersisa yang merupakan kawan-kawan setan. Bunuhlah orang-orang yang berkata bahwa Tuhan dan Nabi-Nya berkata dusta. Karena itu, Imam Ali sama sekali tidak memiliki keraguan melainkan merasa mantap dan memotivasi para sahabatnya untuk berlaku demikian.


Untuk memperoleh jawaban yang sesuai kita akan membahas masalah ini menjadi dua bagian:

Pertama: Apakah Khawarij terkait dengan perang Nahrawan telah mengalami penyimpangan?

Kedua: Apakah Imam Ali As bersikap ragu dalam memadamkan api fitnah yang disulut oleh Mu'awiyah; artinya beliau tidak yakin bahwa apakah Mu'awiyah itu munafik sehingga harus dibunuh?

Sebelum memasuki pembahasan kiranya kita perlu menyodorkan beberapan penjelasan terkait dengan kelompok Khawarij ini.

Kelompok ini dikenal sebagai Mariqin, Khawarij dan Nahrawaniyun.

Ma-ra-q secara leksikal bermakna keluar (membelot) sebagaimana disebutkan, "Yamruqu al-sahma min al-Ramiyya; artinya anak panah keluar dari busurnya.[1] Dalam mendeskripsikan para Imam Maksum juga kita menjumpai redaksi ma-ra-q ini dengan membaca, "al-Raghib 'ankum Mariq."[2]

Mâriqin adalah orang-orang yang telah keluar dan membelot dari agama Allah dan memandang boleh berperang dengan khalifah Rasulullah Saw.[3] Dengan kata lain, sekelompok pengikut Imam Ali yang berpisah dari beliau pada perang Shiffin lantaran penentangan mereka dengan beliau pada kasus tahkim (arbitrase). Mereka keluar dari jalan ketaatan kepada Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib. Atas dasar ini mereka disebut sebagai Mâriqin.[4]


Khawarij dalam lisan Rasulullah Saw

Dengan memperhatikan bahwa kelompok Khawarij secara lahir adalah Muslim, gemar mengerjakan shalat, puasa dan tahajjud dan sebagaiya, sehingga bagi sebagian Muslim untuk mengenal kelompok ini dan berperang melawan mereka merupakan pekerjaan yang sulit dan pelik. Karena itu, Rasulullah Saw telah memberikan peringatan ihwal bahaya kelompok ini. dan Rasulullah Saw menjelaskan tanda-tanda mereka untuk dikenal. Misalnya:

A. Rasulullah Saw bersabda ihwal Khawarij: Segera pada umatku akan muncul sekelompok orang yang baik tutur-bahasanya namun buruk perilakunya. Mereka menyeru masyarakat kepada Kitabullah (al-Qur'an) sementara mereka sama sekali tidak mengetahui al-Qur'an. Mereka membaca al-Qur'an namun mereka tidak mendapatkan manfaat dari bacaannya. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepada agama, sebagaimana anak panah tidak akan kembali kepada busurnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk. Alangkah beruntungnya mereka yang terbunuh oleh orang-orang ini. Atau berperang melawan mereka dan membunuhnya. Dan barang siapa yang membunuh orang-orang ini maka kedudukannya di hadapan Tuhan akan lebih baik dan layak daripada mereka. Ketika itu, seseorang berkata: Ya Rasulullah! Bagaimanakah tanda-tanda orang-orang ini? Rasulullah Saw bersabda: Tanda-tanda orang ini adalah mereka menggundul kepala mereka. Hadis ini dinukil dari Anas bin Malik dari Rasulullah Saw.[5]

B. Rasulullah Saw bersabda kepada Ali As: Selepasku engkau akan berperang melawan Nâkitisin (orang-orang yang meletuskan perang Jamal), Qâsithin (para antek Mu'awiyah) dan Mâriqin (Khawarij).[6]

C. Ali bin Abi Thalib As tatkala berangkat bertempur melawan Khawarij bersabda: "Sekiranya aku tidak kuatir bahwa dengan bersandar pada ganjaran yang banyak atas jihad ini, kalian meninggalkan ibadah lainnya, sungguh aku akan beritahu kepada kalian dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw tentang peperangan dengan orang-orang menyimpang ini (Khawarij) yang didasari oleh petunjuk dan bashirat. Sesungguhnya di sekeliling Rasulullah Saw ada seorang yang tangangnya pendek dan cacat, dadanya seperti dada wanita. Mereka adalah seburuk-buruk hamba Tuhan dan makhluk. Orang-orang yang membunuh mereka adalah sedekat-dekat hamba Tuhan. Orang itu memiliki julukan Makhdaj (cacat) dan tidak begitu dikenal pada kelompok itu. Karena sudah terbunuh, Ali As mencari orang itu di antara orang-orang yang terbunuh dan bersabda: Demi Tuhan! Saya tidak berkata dusta dan tiada yang berkata dusta kepadaku (sembari masih terus mencari) hingga akhirnya beliau menemukannya di antara orang-orang yang terbunuh. Bajunya terkoyak dan dadanya terdapat benjolan (sehingga membuat dadanya) seperti dada wanita… Lantaran Ali menemukannya, beliau bertakbir dan berkata: Jelas bahwa orang ini adalah sebuah pelajaran bagi mereka yang mencari petunjuk.”[7]


Pelbagai penyimpangan Khawarij

Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Khawarij sangatlah banyak. Di sini kita hanya akan menyebutkan sebagian dengan memanfaatkan beberapa riwayat dari para Imam Maksum As.[8] Setelah itu mengkaji dan membahas riwayat-riwayat tersebut.

1. Keluar melawan khalifah Rasulullah Saw dan Imam Maksum As

Berdasarkan keyakinan Ahlusunnah Ali As adalah khalifah keempat Rasulullah Saw dan berdasrkan akidah Syiah, Imam Ali As adalah imam pertama maksum, washi dan khalifah Rasulullah Saw dan seluruh titahnya harus ditaati akan tetapi Khawarij keluar (khuruj) dan menentang beliau. Dan pada akhirnya berperang melawan Imam Ali dan hal ini merupakan sebesar-besarnya penyimpangan. Oleh itu, kita saksikan bahwa bahkan kelompok Muktazilah dan Asyairah dari mazhab Ahlusunnah juga memandang Khawarij sebagai kafir.[9]

Tatkala Ali mengutus Abdullah bin Abbas untuk mendatangi kaum Khawarij dan Abdullah bin Abbas pergi ke hadapan mereka dan berkata: Wahai para sahabatku! Alangkah anehnya orang-orang seperti kalian yang berhadapan dengan perkara yang kurang menyenangkan seperti ini dan kalian berontak melawan imam kalian dan berpaling darinya?[10]


2. Mendesak diterimanya tahkim berdasarkan pemahaman keliru tentang agama

Kaum Khawarij yang merupakan output dari tiadanya program yang jelas pada pelbagai penaklukan sebagian negeri. Mereka hanya memahami secara lahir dan mereka senantiasa memahaminya sedemikian dan tidak secuil pun pandangan keagamaan yang mereka manfaatkan, pada perang Shiffin, setelah orang-orang Syam dengan penuh muslihat mengangkat al-Qur'an di atas tombak dan berkata, "Mereka ini adalah kaum Muslimin sebagaimana kita. Karena itu kita tidak boleh berperang dengan mereka." Dan Ali yang tidak sedia berdamai dengan Mu'awiyah terpaksa menerima tahkim (arbitrase) ini.

Ali ketika memberi nasihat kepada Khawarij bersabda: "Bukankah pada waktu (orang-orang Syam) dengan maksud muslihat mengangkat al-Qur'an di atas tombak, kalian tidak berkata, "Orang-orang ini adalah saudara-saudara kita dan satu keyakinan? Mereka meminta jaminan keamanan dari kita dan berlindung kepada al-Qur'an, karena itu pendapat kami adalah kita menerima pendapatnya dan berdamai dengan mereka? Dan aku berkata dalam menjawab pertanyaan kalian: "Perbuatan ini secara lahir adalah iman namun batinnya adalah permusuhan dan kebencian. Permulaannya adalah belas kasihan dan kesudahannya adalah penyesalan! Karena itu tetaplah pada sikap semula kalian dan tidak menyimpang dari jalan semula. Kencangkan geraham kalian dan jangan pedulikan setiap suara; karena apabila kalian menjawab suara-suara tersebut maka kalian akan tersesat dan apabila kalian tidak mengindahkan mereka maka mereka akan binasa dan terhinakan![11]

Namun kembali kita menjadi saksi bahw mereka tidak memperdulikan nasihat imam mereka dan memilih jalan sesat.


3. Penyimpangan dengan bersandar pada ayat "Inil hukmu illaLah."

Salah satu penyimpangan penting kaum Khawarij adalah kritikan yang dilontarkan kepada Imam Ali As. Mereka berkata, berdasarkan ayat, ”Inil hukum illaLlah." (Qs. Yusuf [11]:67) Hukum hanya berasal dari Tuhan. Dengan demikian, menerima tahkim (arbitrase) bermakna tidak adanya perhatian pada al-Qur’an dan ayat yang disebutkan! Kendati kerapuhan argumentasi atas ayat ini dalam menolak tawaran arbitrase sangat jelas dan terang, akan tetapi di sini kami akan menyebutkan dalil-dalil ringkas halli dan naqdhi mengingat pentingnya persoalan ini.


Jawaban Halli (Solutif):

Ali As dalam masalah tahkim bersabda: Kami tidak mengambil manusia, melainkan kami mengambil Al-Qur'an (menjadi) hakim. Al-Qur'an adalah sebuah Kitab, bersampul, di antara dua sampul, dan ia tidak bercakap-cakap. Karena itu maka perlu ada juru bicara. Hanya manusia yang dapat menjadi juru bicara itu. Ketika orang-orang itu mengundang kita untuk mengambil Al-Qur'an sebagai pen-tahkim di antara kita, kita tidak boleh menjadi pihak yang berpaling dari Kitab Allah, karena Allah telah bersabda, "Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. (QS. 4:59) Rujukan kepada Allah berarti bahwa kita memutuskan menurut Al-Qur'an, sedang rujukan kepada Rasul berarti bahwa kita mengikuti sunah beliau. Oleh karena itu, apabila tahkim dilakukan dengan sebenarnya melalui Kitab Allah (Al-Qur'an) maka kamilah yang sebenarnya paling berhak dari semua manusia atas tahkim; atau apabila itu dilakukan dengan sunah Rasul maka kamilah yang amat lebih laik untuk itu. (karena itu dalam dua kondisi kebenran bersama kami).[12]

Dalam sebuah penjelasan lain, Imam Ali As dalam menjawab ucapan mereka, bersabda: "Kalimatu haqqin yuradu biha al-Bathil." (Ucapan yang benar tapi untuk maksud bathil). [13]

Mengingat pandangan Khawarij di antaranya adalah "Laa hukma illaLlah" Setiap hukum yang tidak terdapat pada kitab Allah maka tidak dibolehkan mengikutinya dan mengamalkan hukum tersebut tidak dibenarkan. Baginda Ali As bersabda: Benar bahwa tiada hokum selain hukum Allah, tetapi orang-orang ini me-ngatakan (tugas) pemerintahan hanya pada Allah. Kaum Khawarij dengan menafikan hokum selain Tuhan ingin menafikan pemerintahan selain Tuhan. Ketika tiada pemerintahan dari selain Tuhan maka pemerintahan dan hukum selian Tuhan juga akan ternafikan. Lantaran istinbath hukum dan memperhatikan kebaikan masyarakat merupakan salah satu tugas pemerintahan dan berhubungan dengan pemenuhan hak-hak rakyat. Menafikan hukum selain Tuhan yang dilakukan Khawarij menyebabkan penafian terhadap pemerintahan manusia. Penafian pemerintahan oleh kaum Khawarij menjadi sebab sehingga Imam Ali mendustakan mereka dengan berkata: "Nyatanya tak ada jalan lepas bagi manusia dari penguasa, apakah penguasa itu bertakwa atau ahli maksiat.” Dengan kata lain, karena kaum Khawarij menafikan hukum selain Allah sejatinya mereka menafikan pemerintahan. Namun menafikan pemerintahan selain Tuhan merupakan sebuah perkara yang batil. Kesimpulannya bahwa klaim kaum Khawarij juga sebuah perkara yang batil. Kemudian Baginda Ali As bersabda: Akan tetapi mau-tak-mau masyarakat harus memiliki serang pemimpin, apakah ia adalah pemimpin bertakwa atau pemimpin durjana. Karena itu, ucapan Khawarij yang menandaskan bahwa tiada hukum selain hukum Allah tidak dapat diterima dan dijalankan. Sesungguhnya ucapan ini adalah ucapan yang tertolak. [14]


Jawaban Naqdhi (Kritis):

Apabila kita menerima ayat ini, ”Inil hukum illaliLlah, " sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum Khawarij maka kita akan berhadapan dengan selaksa persoalan dalam keseharian kita, keseharian para nabi dan para imam yang akan kita singgung beberapa di antaranya di sini.

Imam Baqir bersabda kepada Nafi': Katakanlah kepada Mâriqah (Khawarij) ini bagaimana Anda memandang boleh berpisah dari Amirulmukminin As sementara dengan mengikutinya dan taqarrub kepada Tuhan kalian menumpahkan darah (berperang) di sisinya untuk menolongnya (sebelum proses arbitrase)? Maka mereka akan menjawab pertanyaanmu: Ia meletakkan seorang hakam tentang agama Allah." Katakanlah kepada mereka:

A. Allah Swt sendiri dalam syariat Rasul-Nya menyerahkan urusan pengadilan kepada dua orang dari hamba-Nya terkait dengan masalah akhlak di antara istri dan suami bersabda: “Pilihlah hakam dari kerabat suami dan hakam dari pihak keluarga wanita. Apabila keduanya (suami dan istri) ingin berdamai maka Allah Swt akan menciptakan perdamaian di antara keduanya.”[15]

B. Rasulullah Saw menyerahkan urusan peradilan kepada Sa’ad bin Muadz pada peristiwa perang Bani Quraizha.[16]

Karena itu, sama sekali tiada kritikan yang dapat ditujukan kepada Ali As bahkan beliau beramal berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.[17]


Penyimpangan lain dan memandang kafir orang-orang yang mengerjakan dosa besar

Mereka berkata: Barang siapa yang mengerjakan dosa besar maka ia telah kafir dan telah keluar dari Islam, kecuali ia bertaubat dan kembali memeluk Islam. Atas dasar ini, mereka memandang boleh mengambil jiwa dan harta kaum Muslimin (karena telah kafir menurut anggapan mereka).

Ali As dalam hal ini berkata kepada kaum Khawarij: Kalaupun Anda tak berhenti mempercayai bahwa saya telah salah dan tersesat, mengapa maka Anda menganggap bahwa kalangan pengikut Nabi Muhammad (saw) umumnya telah tersesat seperti saya, dan menuduh mereka dengan kesalahan saya, dan menganggap mereka kafir karena dosa-dosa saya? Anda memanggul pedang dan menggunakannya dengan benar ataupun salah. Anda mengacaukan orang yang telah berbuat dosa dengan yang tidak. Anda tahu bahwa Nabi merajam pezina yang terlindung (yang telah kawin), kemudian beliau juga menyembahyanginya dan mengijinkan para pelanjutnya mewarisi dari dia. Beliau memotong (tangan) pencuri dan mencambuki pezina yang tak terlindung (yang belum kawin), tetapi setelah itu mengizinkan bagian mereka dari pampasan dan mengawini wanita Muslim. Jadi, Nabi menuntut mereka bertanggung jawab atas dosa mereka dan juga menaati perintah Allah tentang mereka, tetapi tidak melarang mereka atas haknya yang diberikan Islam, tidak pula menyingkirkan nama mereka dari para pengikutnya. Sesungguhnya Anda adalah yang terburuk dari semua orang dan (Anda) adalah orang yang telah ditempatkan iblis pada garis-garisnya dan dijerumuskan ke dalam negerinya yang tanpa jalan. [18]


Adapun pertanyaan kedua:

Apakah Ali As merasa yakin untuk memadamkan api fitnah Mua’wiyah?

Untuk menjawab bagian pertanyaan ini, mau tak mau kita harus menjelaskan pandangan Baginda Ali terkait dengan Mua’wiyah sehingga menjadi terang bahwa apakah Imam Ali As merasa ragu untuk memadamkan api fitnah Mua’wiyah atau tidak?

Pertama: Ibnu Abil Hadid menukil: Banyak dari sahabat Rasulullah Saw berada di barisan Ali As yang mendengar dari Nabi Saw melaknat Mua’wiyah setelah menjadi Muslim dan bersabda: “Mu’awiyah adalah seorang munafik, kafir dan ahli neraka. Riwayat tentang hal ini sangat masyhur.

Bagaimana mungkin sahabat-sahabat Ali As mendengar hadis ini namun Ali sendiri tidak mendengarnya?

Kedua: Imam dalam menjawab ancaman Mu’awiyah dalam suratnya kepada Mu’awiyah menulis: Kemudian daripada itu, sesungguhnya kami dan engkau (dulu) berada dalam ketentuan yang bersahabat sebagaimana engkau katakan, tetapi perselisihan timbul antara kami dan engkau di hari lain, ketika kami menerima iman dan engkau menolaknya. Situasinya sekarang ialah bahwa kami sabar (dalam iman) tetapi engkau telah menyimpang. Orang-orang di antara engkau yang menerima Islam mereka menerimanya dengan terpaksa; karena pada permulaan Islam engkau berperang dengan Rasulullah Saw.

Ketiga: Pertanyaan yang diajukan oleh Khawarij kepada Abdullah bin Abbas tatkala didengar oleh Baginda Ali As, beliau menjawabnya demikian: “Apa yang kalian katakan dimana kalian meragukan sendiri terhadap masalah tahkim dimana kalian memandang pada hak Mu’awiyah dan hak kami. Apabila kalian memandang Mu’awiyah lebih layak dari kami maka kalian akan menjadikannya sebagai pemimpin. Dan apabila saya yang lebih baik atas wilayah dan khilafah umat dan kalian menyokong saya maka ucapan saya ini bukan berasal dari tiadanya pengetahuan ihwal keutamaanku atas Mu’awiyah dan orang lain; melainkan bersumber dari sikap adil dalam ucapan dan tindakan sebagaimana Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Saba [34]:24) Allah Swt sama sekali tidak memiliki keraguan dan dengan yakin mengetahui bahwa Hadhrat Rasulullah Saw berada dalam kebenaran namun Allah Swt berfirman demikian. Khawarij berkata: Wahai Ali! Hal ini juga merupakan dalil dan keterangan nyata bagi Anda dalam menguburkan protes kami.”[19]

Dengan dua hadis dari Ali As secara jelas dan terang menjelaskan sikap beliau pada perang Shiffin kami sudahi pembahasan ini.

Baginda Ali As di atas mimbar masjid Kufah bersabda: “Wahai warga Kufah! Apakah kalian tidak dapat bersabar berperang dengan musuh-musuh kalian. Apabila kalian tidak bersabar maka Allah Swt akan menjadikan sekelompok orang berkuasa atas kalian padahal kalian lebih pantas daripada mereka.”[20]

Dan dalam penjelasan lainnya, tatkala orang-orang Suriah lari dari perang Shiffin, Baginda Ali As bersabda kepada para pengikutnya: (Pergilah) Bunuhlah orang-orang yang tersisa dari mereka yang merupakan kawanan setan. Bunuhlah orang-orang yang berkata bahwa Allah dan Rasul-Nya berkata dusta.[21]

Karena itu, Baginda Ali As pada perang dengan Mu’awiyah sama sekali tidak memiliki keraguan bahkan keputusannya bulat dan memotivasi para pengikutnya dalam urusan ini. Pelbagai penyimpangan ini pada akhirnya berujung pada kesyahidan Baginda Ali oleh kelompok Khawarij ini (yang dilakukan Ibnu Muljam dan Asy’ats bin Qais).[22]


Referensi:

[1]. Khalil Ahmad Farahidi, Kitâb al-‘Ain, jil. 15, hal. 160, Intisyarat-e Hijrat, Qum, cetakan kedua, 1410 H.
[2]. Barangsiapa yang berpaling dari kalian maka sesungguhnya ia telah keluar dari agama Allah. Bihâr al-Anwâr, jil. 99, hal. 150 (Ziarah Jâmia’ al-Kabira)
[3]. Fakhruddin Tharihi, Majma’ al-Bahrain, jil. 5, hal. 235, Kitab Purusyi Murtazawi, Teheran, cetakan ketiga, 1375 S.
[4]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ghaffari Mazandarani, Nizhamuddin Ahmad, jil. 1, hal. 229-230, Murtazawi, cetakan pertama, Teheran.
[5]. Thabarsi, I’lâm al-Warâ bi ’Alam al-Hudâ, hal. 33 (Zendegâni Chârda Ma’shum As), Azizullah ‘Athardi, hal. 46-47, Islamiyah, Teheran, cetakan pertama, 1390 H.
[6]. Thabarsi, I’lâm al-Warâ bi ’Alam al-Hudâ, hal. 33.
[7]. Mufid, Irsyâd, Rasul Mahallati, jil. 1, hal. 317, Islamiyah, Teheran, Cetakan Kedua.
[8]. Bersandar pada sebagian riwayat Ahlulbait pada riset ini lantaran argumen yang terpendam di dalamnya bukan semata-mata taken for granted.
[9]. Hilli, Alfain, Wijdani, hal. 7, Sa’di wa Mahmudi, Teheran, Cetakan Pertama.
[10]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ghaffari Mazandarani, jil. 2, hal. 254.
[11]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, jil. 1, hal. 403-404, Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1381 S.
[12]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ja’fari, Behrad, jil. 1, hal. 404-405.
[13]. Nahj al-Balâghah, hal. 61, Khutbah 40, Bunyad-e Nahj al-Balagha, Cetakan Pertama, 1372.
[14]. Terjemahan Syarh-e Nahj al-Balâghah, Ibnu Maitsam, jil. 2, hal. 220, Daftar Nasyr-e al-Kitab, Cetakan Kedua, 1362 S.
[15]. “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada mereka dalam hal ini.” (Qs. Al-Nisa [4]:35)
[16]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ja’fari, jil. 2, hal. 162-163.
[17]. Nahj al-Balâgha, terjemahan Dasyti, hal. 241, Muassasah Intisyarat-e Masyhur, Cetakan Pertama, Qum, 1379.
[18]. Jelwe-ye Târikh dar Syarh-e Nahj al-Balâgha Ibn Abil Hadid, jil. 7, hal. 220, Nasyrani, Teheran, Cetakan Kedua, 1375 S.
[19]. Terjemahan Nahj al-Balâgha (Zamani), hal. 819-820, Surat 64, Muassasah Intisyarat-e Nabawi, Cetakan Keduabelas, 1378 S.
[20]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ghaffari Mazandarani, jil. 2, hal. 254.
[21]. Naqawi, Qaini, Khurasani, Muhammad Taqi, Miftah al-Sa’âdah fii Syarhi Nahj al-Balâghah, jil. 5, hal. 248, Maktab al-Mustafawi, Teheran; Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 11, hal. 66. 12441-12442, Muassasah Alil Bait As, Qum, 1408 H.
[22]. Mufid, Irsyâd, Rasul Mahallati, jil. 1, hal. 18.


Muawiyah dan Mereka Juga Mengadakan Perlawanan Terhadap Pemerintahan Yang Lain

Kaum Khawarij tidak pernah menganggap bahwa Muawiyah berada dalam pihak yang benar. Mereka, meskipun berlawanan dengan Imam Ali dan bahkan berkeyakinan atas kekafiran kepada Imam Ali, namun mereka tidak pernah menerima Muawiyah dan berkeyakinan akan kemelencengan Muawiyah dan batilnya ia, yang merupakan titik kesamaan antara kaum Khawarij dan pasukan Imam Ali.

Khawarij, pada zaman Muawiyah dan Yazid, mengadakan berbagai perlawanan. Abdullah bin Ziyad sangat banyak membunuh golongan hawarij dan sangat banyak dari mereka yang dijebloskan ke penjara.
Firkah Khawarij terbentuk pada dekade ke-4 H. Perlawanan mereka juga berlanjut hingga pemerintahan-pemerintahan selanjutnya. Mereka berlindung ke kota-kota lain dan dengan alasan orang-orang lain telah kafir, mereka merampok. Jejak mereka hingga sekarang masih tertulis dalam sejarah, bahkan pemikiran mereka masih terpelihara pada kelompok-kelompok radikal dan takfiri.


Khawarij adalah sekelompok dari pasukan Imam Ali As yang memisahkan diri dari pasukan Imam Ali As setelah perang Shifin karena adanya perbedaan pendapat dengan Imam Ali.[1] Khawarij menurut Imam Ali As dan para Imam As adalah orang-orang yang tersesat dan melenceng (mariqin).[2]


Khawarij dan Kepercayaannya terhadap Kesesatan Muawiyah

Dikatakan bahwa kaum Khawarij tidak pernah menilai bahwa Muawiyah berada dalam kebenaran. Mereka, meskipun dengan alasan tertentu melawan Imam Ali, bahkan menganggap bahwa beliau telah kafir, namun tidak pernah sekalipun menerima Muawiyah dan menganggap bahwa Muawiyah berada dalam pihak yang batil, dan hal ini adalah titik kesamaan antara khawarij dan pasukan Imam Ali As.

Terdapat dua nukilan sejarah yang patut kita perhatikan:
Khawarij setelah berpisah dengan pasukan Imam Ali As, kepada beliau, berkata: Kami menerima bahwa kami telah kafir (isyarat tidak menerima adanya peristiwa hakamiyah/arbitrase) namun sekarang kami telah bertaubat. Anda juga seperti kami, akuilah kesalahan Anda dan bertaubatlah! Jika demikian, kami akan bersama dengan Anda akan berjihad dan bergerak ke arah Suriah.[3]

Ketika Imam Ali As datang ke Kufah dan kaum Khawarij berpisah darinya, kaum Syiah menemui Imam Ali As dan berkata: “Kami adalah teman-teman orang yang berteman dengan Anda dan musuh orang-orang yang memusuhi Anda.” Ketika itu, kaum Khawarij berkata: “Anda dan masyarakat Suriah karena kuda-kuda Anda telah berlomba dalam jalan kekafiran, dan antara yang satu dengan yang lainnya saling mendahului: masyarakat Suriah telah berbaiat dengan Muawiyah baik dalam situasi yang menyenangkan maupun tidak, dan Anda berbaiat dengan Ali yang merupakan teman-teman bagi yang berteman dengannya dan musuh bagi orang-orang yang memusuhinya.”[4]

Imam Ali As dalam perkataannya tentang Khawarij berkata: “Setelahku, jangan berperang dengan kaum Khawarij karena orang-orang yang mencari kebenaran namun salah tidak sama dengan orang-orang yang mencari kebatilan kemudian menemukan kebatilannya.”[5]

Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayid Radhi: Yang dimaksud Imam atas kelompok kedua ini adalah menginginkan jalan kebatilan dan ia menjalani cara-cara itu, yaitu Muawiyah dan para pengikutnya.[6] Imam Ali As menilai bahwa berjihad melawan Muawiyah dan para pengikutnya lebih penting dari pada berjihad melawan Khawarij.[7]

Dengan memperhatikan analisa yang ada, Muawiyah lebih berbahaya dari pada kaum Khawarij. Meskipun demikian, setelah syahadah Imam Ali dan perjanjian damai Imam Hasan As Muawiyah dihancurkan oleh Khawarij dengan perantara pasukan Irak yang umumnya berada pada barisan kaum Syiah politik dan keyakinan Imam Ali. Oleh itu, terdapat kemungkinan bahwa perkataan Imam Ali As untuk mencegah terjadinya peperangan antara pasukan Irak dan Khawarij, dimana Muawiyah akan menuai keuntungan yang besar dari peperangan ini tanpa membayar biaya mahal.

Sekarang kita akan membahas mengenai sepak terjang dan perlawanan-perlawanan Khawarij pada berbagai pemerintahan:

Khawarij dan Keluarnya dari Bani Umayah

Setelah Imam Hasan As menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah, beberapa Khawarij berkata: Sekarang tidak ada seorang pun yang siap berperang dengannya. Sekarang bangunlah untuk berperang melawan Muawiyah! Mereka dengan semangat demikian, pergi melawan Muawiyah. Mereka dengan dipimpin oleh “Furuh bin Naufal” pergi hingga ke “Nahliyah” dekat Kufah. Dari sisi lain, Imam Hasan bin Ali pergi ke Madinah. Muawiyah memberi pesan supaya bersiap-siap berperang melawan Furuh, Imam tidak mengabulkan permintaan itu dan menjawab apabila aku ingin berperang, maka pertama kali yang akan kuperangi adalah kau, aku telah melepaskan kekhilafahan, karena merupakan senjata umat dan membuatku untuk menjauhinya. Muawiyah pun segera mengirim pasukan dari Suriah untuk dikirim berperang melawan Khawarij.[8]

Namun karena Khawarij berhasil mengalahkan pasukan Suriah, maka Muawiyah berkata kepada masyarakat Kufah: "Sesungguhnya kalian tidak akan aman bersamaku hingga kepala-kepala kalian akan dipenggal.” Pada akhirnya, masyarakat Kufah sendiri mengambil tindakan untuk tidak mengamalkan nasehat Imam Ali As dan pergi berperang melawan Khawarij." Khawarij berkata: "Celakalah kalian, kaliang menginginkan apa dari kami? Bukankan Muawiyah musuh bersama kita? Biarkan kami memeranginya sehingga mereka akan lenyap, musuh Anda telah kami habisi, dan jika kami yang lenyap, anda akan terbebas dari kami." Masyarakat Kufah berkata: "Kami tidak akan pernah menerima hal itu! Kami bersumpah demi Tuhan, kami akan memerangi kalian."[9]

Setelah kejadian ini, Abdullah bin Ziyad yang juga merupakan boneka Bani Umayah, sangat banyak membunuh kaum Khawarij dan menjebloskannya mereka ke penjara.[10]


Kelompok Zubair dan Khawarij

Salah satu persyaratan yang diterima oleh kaum Khawarij, mereka ikut berperang melawan orang-orang Suriah dengan bergabung dengan kelompok lain[11] pada masa pemerintahan Abdulah bin Zubair. Namun setelah kematian Yazid dan kembalinya pasukan Suriah, orang-orang dari pasukan Ibnu Zubair juga bubar. Akhirnya kaum Khawarij mengadakan perundingan dengan Ibnu Zubair dan meminta pendapat darinya tentan Umar. Pada akhirnya, terjadi persengketaan mengenai sikap keduanya tentang Umar dan akhirnya Khawarij pun memisahkan diri dari pasukan Zubair.[12]

Kemudian, Khawarij selama pemerintahan Ibnu Zubair, menimbulkan permasalahan dan mengadakan pemberontakan. Ibnu Zubair dalam perlawanan yang paling penting, Muhallab, mengirim Gubernur Khurasan ke medan peperangan untuk melawan Khawarij. Berdasarkan sumber-sumber sejarah, Ibnu Zubair menulis surat dan memerintahkan kepada Muhallab:

Bismillahirrahmanirrahim. Dari Abdullah Amirul Mukminin kepada Muhallab bin Abi Sahrah. Amma Ba’du. Harits bin Abdullah telah menulis surat kepadaku mengabarkan bahwa perang telah berkecamuk dan membuat mereka berada pada kondisi yang sulit, oleh itu aku melihat bahwa sebaiknya aku mengangkatmu untuk menjadi pimpinan perang atas mereka dan janganlah takut kepada mereka, angkatlah salah satu anggota keluargamu di Khurasan dan kau sendiri bergeraklah menuju Basrah dan persiapkan pasukanmu dengan sebaik-baik persenjataan dan bergeraklah menuju ke sana semoga Tuhanmu memenangkanmu. Wassalam.[13]

Pada akhirnya, Muhallab pergi menenmui Khawarij dan memerangi mereka dan berhasil menjadikan mereka tercerai berai.[14]

Kelompok Marwan dan Khawarij

Kelompok Marwan ketika memerangi Khwarij juga menderita kekalahan yang berat dalam berbagai kesempatan.[15] Dalam salah satu peperangan, Abdul Malik Marwan mengajak Muhallab yang memiliki pengalaman memerangi Khawarij dengan janji-janji tertentu dan ia juga dengan pertolongan Hujjaj berhasil menguasai Khawarij.[16]

Namun Khawarij yang terbentuk pada dekade ke-4 H, tidak pupus juga. Pada masa Imam Ali As, dan setelah selesainya perang Nahrawan, seseorang berkata kepada Imam Ali As: Wahai Amirul Mukminin! Semua Khawarij telah sirna. Imam Ali As bersabda: Tidak, aku bersumpah demi Tuhan, mereka tidak akan pernah punah. Mereka memiliki nutfah yang tersimpan pada ayah dan rahim-rahim ibu mereka.[17]

Ini adalah prediksi Imam akan kenyataan yang yang ada dan mereka pada akhirnya akan pergi tempat yang terpencil untuk berlindung, dengan alasan orang lain kafir, mereka melakukan perampokan pada semua tempat.[18]

Bekas-bekas mereka hingga kini masih ada dalam kitab-kitab sejarah dan bahkan pikiran mereka masih hidup pada kelompok-kelompok radikal dan takfiri. Hingga sekarang, mereka menganggap orang-orang yang berada diluar kelompoknya adalah kafir dan bahkan harta benda dan jiwa-jiwa kaum Muslimin adalah halal bagi mereka.

Referensi:

[1] Cara-cara tablig Imam Ali As dalam menghadapi fitnah Khawarij, pertanyaan 69994, Perang Shiffin dan adanya peristiwa hakamiyah, pertanyaan 78193.
[2] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Al-Kāfi, Periset: Ghafari, Ali Akbar, Akhundi, Muhammad, jil. 2, hal. 409, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cet. Ke-4, 1407 H.
[3] Pengarang tidak diketahui, Akhbār al-Daulah al-Abasiyah wa fihi Akhbār al-Abas wa Waladahu, Periset: Ad Dawari, Abdul Aziz, Mathtabi, Abdul Jabbar, hal. 40, Beirut, Dar al-Thali’ah, 1391 S.
[4] Miskawaih, Razi, Abu Ali, Tajārib al-Umam, Periset: Imami, Abul Qasim, jil. 1, hal. 555, Tehran, Surusy, cet. Ke-2, 1379 S.
[5] Syarif Radhi, Muhammad bin Husain, Nahj al-Balāghah, Periset: Subhi Salehi, hal. 94, Qum, Hijrat, cet. 1, 1414 H.
[6] Ibid, hal. 94.
[7] Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, jil. 33, hal. 434, Beirut, Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, cet. 2, 1403 H.
[8] Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Insāb al-Asyrāf, periset: Zakar, Suhail, Riyadh, jil. 5, hal. 63-164, Beirut, Dar al-Fikr, Cet. 1, 1417 H.
[9] Thabari, Muhammad bin Jarir, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, (Tārikh Thabari), Periset: Ibrahim, Muhammad Abul Fadzl, jil. 5, hal 166, Beirut, Dar al-Tsurats, cet. Ke-2, 1387 H.
[10] Ibnu Jauzi, Abdurahman bin Ali, Al-Muntadhām, Periset: Atha, Muhammad Abdul Qadir, Atha, Musthafa Abdul Qadir, jil. 5, hal. 295, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, cet. 1, 1412 H, Tārikh al-Thabari, jil. 5, hal. 524.
[11] Ibnu Atsir Jazri, Ali bin Muhammad, Al-Kāmil fi al-Tārikh, jil. 4, hal. 165 Beirut, Dar Shadir, 1385 H.
[12] Al-Laitsi, Khalifah bi Khayāth bin Abi Hubairah, Tārikh Khalifah bin Khayath, hal. 157, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, cet. 1, 1415 H.
[13] Dinawari, Ahmad bin Dawud, Al-Akhbār al-Thiwāl, Abdul Mun’im Amir, Jamaluddin Syayal, hal. 271, Qum, Mansyurat al-Radhi, 1368 S.
[14] Akhbar al-Thiwāl, hal. 272.
[15] Ibnu Khaldun, Abdurahman bin Muhammad, Diwān al-Mubtadā wa al-Khabar fi Tārikh al-Arab wa al-Barbar wa min Asiruhum min dzawi Sya’n al-Akbar (Tarikh Ibnu Khaldun), Periset: Khalil Syahadah, jil. 3, hal. 88, jil. 3, hal. 57, Beirut, Dar al-Fikr, cet. Ke-2, 1408 H.
[16] Mas’udi, Abul Hasan Ali bin Husain, Muruj al-Dzahab wa Ma’ādin al-Jauhar, periset: Daghir, As’ad, jil. 3, hal. 126, Qum, Dar al-Hijrah, cet. Ke-2, 1409 H.
[17] Nahj al-Balāghah, hal. 93-94.
[18] Ja’fariyan Rasul, Tārikh Khulafa az Rihlat Payāmbar ta Zawal Umawiyān, hal. 315, Qum, Dalil Ma, 1382 S.

Syi’ah Tidak Sesat Karena Rasulullah SAW Bersabda, “Sesungguhnya Aku Tinggalkan Pada Kalian Dua Perkara Yang Amat Berharga, Yaitu Kitab Allah dan Ahlul Baitku” (Shahih Muslim Juz 4 Hal 123 Terbitan Dar al-Ma’rif Beirut Lebanon) 


Mazhab Syiah dalam Sorotan.Hal lain yang selalu dijadikan tuduhan kepada muslim Syi’i yang membuat mereka dinyatakan kafir dan keluar dari agama Islam adalah adanya keyakinan kaum Syiah bahwa Al-Qur’an mengalami perubahan atau kaum Syiah memiliki Al-Qur’an yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Ini hanyalah fitnah belaka, sebab sampai saat ini tak ada seorangpun yang mampu menunjukkan Al-Qur’an Syiah yang berbeda dengan Al-Qur’an ummat Islam pada umumnya. Perbedaan pendapat tentang Al-Qur’an hanyalah berkisar kapan dan siapa yang mengumpulkan Al-Qur’an.

3-4 April 2007 Indonesia menjadi tuan rumah sebuah event internasional bertajuk Konferensi Ulama Sunni-Syiah di Istana Bogor, yang diprakarsai oleh NU dan Muhammadiyah, dua ormas besar yang lebih berhak mengatasnamakan ummat Islam Indonesia bukan hanya karena perintis organisasi keagamaan di Indonesia melainkan juga memiliki massa dan pendukung yang lebih besar dibandingkan ormas-ormas Islam lainnya. 3 bulan sebelumnya telah diadakan pula Muktamar Internasional antar Berbagai Madhzab Islam di Qatar, yang dihadiri 216 tokoh pemikir, ulama, pengamat dan menteri dari 44 negara dunia. Muktamar ini diprakarsai Universitas Qatar dan Universitas Al-Azhar Mesir. Kedua pertemuan ini bertujuan untuk menghasilkan piagam persatuan ummat Islam. Seruan persatuan Islam memang sangat dibutuhkan ditengah konflik horizontal yang terjadi berlarut-larut yang masing-masing kelompok mengatasnamakan Islam. Namun yang patut disayangkan, masih saja ada segelintir orang yang melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan semangat persatuan ini. Seperti penyerangan pengajian Syiah di Bondowoso, Bangil dan Sampang serta penyerangan pesantren YAPI tepat di hari maulid Nabi, ataupun menggelar kegiatan-kegiatan sepihak yang menghakimi madhzab lain secara in-absentia. Seorang matematikawan yang menulis buku tentang ilmu farmasi dan kesehatan tentu banyak mengalami kesalahan dalam penulisan bukunya, kalaupun benar, orang tetap meragukan kredibilitasnya.

Begitupun tentang Syiah, muslim Syi’i lah yang lebih berhak untuk berbicara tentang madhzab yang diyakininya. Mengenai hal ini, saya sebagai mahasiswa yang belajar langsung di Iran (Negara yang penduduknya mayoritas bermahdzab Syiah) ingin memberi sedikit tanggapan tentang sebagian kaum muslim yang masih memberi pengklaiman sesat bahkan kafir kepada kaum Syiah, yang oleh Mufti Universitas Al-Azhar Mesir Syaikh Muhammad Tantawi mengeluarkan fatwa bolehnya muslim Sunni shalat berjama’ah dengan Syiah, mengikuti Mufti Al-Azhar pendahulunya, almarhum Syaikh Muhammad Shaltut yang mengeluarkan fatwa penganut mazhab Syiah sah dan diakui sebagai keluarga besar kaum muslimin. Perselisihan pendapat Syiah dengan Ahli Sunnah hanya seputar persoalan-persoalan yang masih berada di bawah dataran prinsip agama. Sebagai bukti, akan saya paparkan beberapa keyakinan Syiah yang justru landasan teologisnya dalam keyakinan Ahlus Sunnah mendapatkan legitimasi dan pembenaran.


Kontroversi Aqidah Syiah

Perbedaan pendapat antar madhzab dalam Islam bukan sesuatu yang baru. Jika kita menelusuri sejarah, akan ditemukan perselisihan antara kelompok fiqh dan ushul Sunni, misalnya antara Asyariah dan Mu’tazilah atau antara pengikut Hanbali, Hanafi dan Syafi’i dan begitu pula pada kelompok-kelompok Syi’ah. Perbedaan yang paling mendasar antara madhzab Syiah dengan yang lainnya adalah loyalitas kepada keluarga Nabi (Ahlul Bait) sehingga madhzab Syiah juga dikenal sebagai madhzab Ahlul Bait. Kaum Syiah meyakini hak kekhalifahaan ada pada Ahlul Bait Nabi. Kekhalifahan yang dimaksud bukan sekedar sebagai pemimpin ummat melainkan sebagai pelanjut tugas kenabian, memberikan bimbingan dan petunjuk kepada ummat.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang amat berharga, yaitu kitab Allah dan Ahlul Baitku” (Shahih Muslim Juz 4 hal 123 terbitan Dar al-Ma’rif Beirut Lebanon ).

Dalam hadits ini Rasulullah mengingatkan tentang Ahlul Bait sebanyak tiga kali. Ibnu Hajar juga meriwayatkan dalam kitabnya ash-Shawa’iq dengan lafadz sedikit berbeda. Rasul menamakan keduanya, Al-Qur’an dan Ahlul Bait sebagai ats-Tsaqalain, ats-Tsaql berarti sesuatu yang berharga, mulia, terjaga dan suci karena keduanya adalah tambang ilmu-ilmu agama, hikmah dan hukum syariat. Mengapa tidak cukup hanya dengan Al-Qur’an ?. Allah SWT berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang Kami luputkan dalam Kitab.” (Qs. Al-An’am : 38). Dengan ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa tidak ada yang tertinggal dan semuanya telah tersampaikan dalam Al-Qur’an. Namun, bukankah ayat-ayat Al-Qur’an tidak terjelaskan secara terperinci ?. Sewaktu Rasul masih hidup, Rasullah yang menjelaskan secara terperinci hukum-hukum Islam yang disebutkan secara umum dalam Al-Qur’an. Namun, apakah semuanya telah dijelaskan oleh Rasul ? Karenanya sepeninggal Rasul harus ada yang tahu interpretasi Al-Qur’an dan makna sejatinya, bukan berdasarkan logika sendiri, yang terkadang benar dan juga bisa salah, namun berdasarkan pengetahuan ilahiahnya tentang karakter esensi Islam. Al-Qur’an dan Ahlul Bait adalah dua pusaka Nabi yang suci, Allah menjelaskan kesucian Ahlul Bait dalam Surah Al-Ahzab ayat 33. Dan setelah Rasul merekalah yang lebih banyak memahami Al-Qur’an, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah” (Qs. Al-Ahzab:34) dan merekalah yang pertama-tama mendapatkan ilmu langsung dari Rasulullah, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Qs. Asy-Syu’ara : 214). Dengan demikian, maka mengikuti Ahlul Bait sepeninggal Rasul SAW adalah sesuatu yang wajib, sebagaimana mengikuti Al-Qur’an, terlepas siapa yang dimaksud Ahlul Bait, hal ini membutuhkan pembahasan yang lebih lanjut. Yang penting disini adalah keberadaan Ahlul Bait (Itrah) Nabi di sisi kitab Allah akan tetap berlangsung hingga datangnya hari kiamat dan tidak ada satupun masa yang kosong dari kehadiran mereka.

Tidak ada yang memiliki keyakinan seperti ini selain Syiah, dimana mereka mengatakan wajib adanya imam dari kalangan Ahlul Bait pada setiap zaman, yang telah disucikan oleh Allah SWT sesuci-sucinya, dan kaum muslimin wajib untuk mengenal dan mengikuti mereka, “Siapa yang mati sementara ia tidak tahu imamnya, maka ia akan mati bagai matinya jahiliyah.” (HR. Bukhari-Muslim) dan “Pada hari Kami panggil seluruh manusia bersama imamnya masing-masing” (Qs. 17:71). Oleh karena itu, Muslim Syi’i meyakini, Imam Ali bin Abi Thalib as yang berhak menjadi khalifah sebagaimana sabda Rasulullah, “Ali di sisiku ibarat Harun di sisi Musa kecuali kenabian, karena tidak ada Nabi setelahku.” (Shahih Bukhari, 5 : 129 dan Shahih Muslim 2 : 360). Dan bukankah Nabi Musa as pernah berpesan kepada Nabi Harun as, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku.” (Qs. Al-A’raf : 142). Dan kepemimpinan setelah Imam Ali dilanjutkan oleh keturunannya yang berasal dari Bani Quraisy, “Setelah aku ada 12 imam, semuanya dari Quraisy.” (HR. Bukhari-Muslim).

Hal lain yang selalu dijadikan tuduhan kepada muslim Syi’i yang membuat mereka dinyatakan kafir dan keluar dari agama Islam adalah adanya keyakinan kaum Syiah bahwa Al-Qur’an mengalami perubahan atau kaum Syiah memiliki Al-Qur’an yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Ini hanyalah fitnah belaka, sebab sampai saat ini tak ada seorangpun yang mampu menunjukkan Al-Qur’an Syiah yang berbeda dengan Al-Qur’an ummat Islam pada umumnya. Perbedaan pendapat tentang Al-Qur’an hanyalah berkisar kapan dan siapa yang mengumpulkan Al-Qur’an. Kaum Sunni meyakini, pada zaman Rasulullah Al-Qur’an masih dalam berbentuk lembaran-lembaran yang ditulis pada batu, kulit binatang dan pada tulang-tulang yang kemudian disatukan dan dijadikan satu kitab yang utuh pada zaman kekhalifaan Usman bin Affan. Kaum Syiah meyakini, Allah SWT sendirilah yang menurunkan, menjaga dan mengumpulkan Al-Qur’an sehingga tersusun menjadi ayat-ayat dalam sebuah kitab yang sebagaimana kita baca. Allah SWT berfirman, “Sungguh, Kamilah yang menurunkannya (Al-Qur’an) dan Kamilah yang menjaganya.” (Qs. Al-Hijr :9).

dan ayat lain, “Sungguh, Kamilah yang akan mengumpulkannya (ayat-ayat Al-Qur’an) dan membacakannya, maka apabila telah Kami bacakan ikutilah pembacaannya, kemudian Kamilah yang akan menjelaskan.” (Qs. Al-Qiyamah : 17-19). Sebab menurut Syiah, jika dalam penyusunan Al-Qur’an ada campur tangan selain Allah dan Rasul-Nya maka kitab itu tidak akan suci lagi dan akan menimbulkan banyak perselisihan dalam penyusunannya sebab siapapun merasa berhak menyusun ayat-ayat Al-Qur’an sesuai yang dikehendaki. Kalaupun dalam kitab-kitab hadits Syiah didapatkan hadits yang terkesan meragukan kesucian Al-Qur’an, ulama-ulama Syiah sudah berkali-kali memberikan bantahan dan penjelasan bahwa hadits tersebut dha’if dan tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab keberadaan hadits-hadits dha’if dan maudhu juga terdapat pada kitab-kitab hadits Ahlus Sunnah. Justru, bagi kaum Syiah hadits yang meskipun dari segi sanad dinyatakan shahih namun jika bertentangan dengan pesan Al-Qur’an maka kaum Syiah membuangnya. Kaum Syiahpun meyakini, apa yang telah dihalalkan oleh Rasulullah akan tetap halal sampai kiamat, dan semuanya sepakat Nikah Mut’ah dan ziarah kubur pernah dihalalkan oleh Rasulullah untuk diamalkan kaum muslimin. Kalaupun ada yang menyalahgunakan nikah mut’ah ataupun melakukan praktik kesyirikan dan kebid’ahan dalam ziarah kubur itu lain soal, bukan menjadi dalil berubahnya hukum sesuatu menjadi haram dan terlarang.


Sunni-Syiah Bersatu, Mungkinkah ?

Senjata paling ampuh yang ada di tangan musuh-musuh Islam adalah mengobarkan koflik lama antara Sunni dan Syiah. Di semua negeri muslim tanpa kecuali, abdi kolonialisme sibuk menciptakan perselisihan di kalangan kaum muslimin atas nama agama dan simpati kepada Islam. Cukuplah Irak, Afganistan dan Lebanon menjadi korban provokasi itu. Bukankah kita sudah cukup menderita akibat perselisihan lama ini, sehingga lebih bijak untuk menahan diri dan menghormati pendapat yang berseberangan dengan kita. Konflik horizontal yang terjadi berlarut-larut di negeri ini salah satu penyebabnya karena kurangnya rasa toleransi. Intoleransi melemahkan kekuatan, merusak martabat dan menyebabkan bangsa kita tetap dalam keterjajahan kekuatan asing. Karenanya persatuan adalah sebuah keniscayaan. Namun patut diketahui, persatuan muslim yang dikehendaki tidaklah berarti madhzab-madhzab muslim harus mengabaikan keyakinan-keyakinan prinsipil mereka demi persatuan dan mengesampingkan kekhasan madhzab. Keyakinan dan prinsip praktis adalah hak asasi yang tidak boleh diganggu gugat.

Kita dituntut untuk mengembangkan keagamaan dalam konstruk pemahaman seperti itu sehingga dapat memberikan tawaran segar dan mencerahkan bagi Indonesia hari ini dan masa depan. Karenanya, keberadaan kelompok-kelompok yang tidak tertarik membahas ikhtilaf madhzab secara ilmiah sangat disayangkan. Yang dibutuhkan adalah keberanian memandang perspektif mazhab lainnya selayaknya orang alim yang sedang mencari kebenaran, dan menyadari bahwa hanya kebenaranlah yang sepatutnya diikuti. Orang yang berakal tidak akan menentukan kebenaran atas dasar figur seseorang, akan tetapi atas dasar bukti dan argumentasi. Maka dengan mengenal kebenaran, ia juga akan mengenal orang-orang yang benar. Dalam subjek apa saja, tidak tahu adalah sikap yang paling aman. Namun haruskah kita tetap berkubang dalam ketidaktahuan sementara keimanan membutuhkan semangat Horace: Sapere aude!, yakni berani tahu. Sebab, sebagaimana pesan Imam Ali, “Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya.”.

ALLAH dan Rasulullah menggunakan kosa kata SAHABAT untuk orang2 yang masuk surga (Jannah) dan orang2 yang masuk api neraka
SHOHIB = kawan, teman, penghuni, pemilik dll
ASHABU = kawan2, teman2, penghuni2, pemilik2 dll

ALQURAN 7:50:
Ahabu Nar (sahabat2 di api neraka) berkata kepada Ashabu Jannah (sahabat2 di dalam surga): “Berikanlah kami sedikit air atau makanan yang telah diberikan oleh ALLAH kepada kamu!”

ALQURAN 5:10:
Orang2 Kafir yang mendustakan ayat ayat kami (AlQuran); sesungguhnya mereka Ashabu Al Jahim (sahabat2 di dalam neraka Jahim)

Jika kita membaca semua kosa kata ASHABU (sahabat2, kawan2, teman2) di dalam AlQuran dengan teliti; maka kita bisa melihat bahwa ALLAH menggunakan kosa kata SAHABAT untuk mereka yang masuk api neraka dan juga untuk mereka yang masuk surga.

Ulama Sunni sengaja memutar-balikan ayat ayat AlQuran untuk membodohi ummat Islam.

SYIRIK (dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh ALLAH); adalah aqidah (kepercayaan & keyakinan) kaum Sunni; karena Kaum Sunni rajin memuji para sahabat; sehingga Kaum Sunni tidak bisa melihat dan tidak bisa mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para sahabat; padahal semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH.

Kaum Syiah sengaja mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para sahabat setelah Rasulullah wafat; supaya kamu Syiah tidak mengulangi kesalahan2 yang sama; karena Kaum Syiah tidak mau dihukum oleh ALLAH di dunia ini dan di akhirat nanti.

ASHABI (kawan-kawanku, teman-temanku, sahabat-sahabatku)

SHOHIH BUKHARI, Kitab 60 no 149:
Ibn Abbas melaporkan bahwa Rasulullah berkata (di depan para sahabatnya): “Ya manusia, kamu akan dikumpulkan pada hari Qiyammah di depan ALLAH dalam keadaan telanjang, tidak ada alas kaki dan tidak disunat. Rasulullah mengucapkan ayat ayat ALLAH.

ALQURAN 21:104:
Pada hari kami gulung langit seperti kami gulung lembaran lembaran kertas; sebagaimana kami telah menciptaan ciptaan kami yang pertama; kami akan mengulanginya; karena itu adalah janji kami; sesungguhnya akan terjadi karena kami akan melaksanakannya

Rasulullah melanjutkan dan berkata: “Orang pertama yang akan diberikan pakaian adalah Nabi Ibrahim pada hari kebangkitan. Banyak orang yang mengikuti saya akan dibawa kepada saya; kemudian mereka dimasukan ke dalam api neraka!”

Rasulullah akan berkata (kepada ALLAH): “Mereka adalah ASHABI (sahabat-sahabatku, kawan-kawnku, teman-temanku)!”

ALLAH akan berkata (kepada Nabi Muhammad): “Kamu tidak mengetahui perbuatan mereka setelah kepergianmu (setelah Muhammad wafat); mereka telah MURTAD setelah kepergian kamu!”

Rasulullah akan mengutip ayat AlQuran yang diucapkan oleh Nabi Isa Al Masih

ALQURAN 5:118:
Jika anda menyiksa mereka; sesungguhnya mereka adalah hamba-hambamu; jika anda mengampuni mereka; sesungguhnya anda maha perkasa dan maha bijaksana.


KESIMPULAN:

Perhatikan kosa kata ASHABI (sahabat-sahabatku, kawan-kawanku, teman-temanku) dipergunakan oleh Rasulullah untuk para sahabat yang akan dimasukan ke dalam api neraka.

Ulama Sunni sengaja menyembunyikan atau rajin menutup-nutupi Hadith ini; supaya SYIRIK (dosa terbesar) tersebar di dalam kalangan Kaum Ahlul Sunnah Wal Jamaah.

Ulama Sunnah sengaja menyembunyika Hadith tersebut; supaya semua sahabat bisa dipuji oleh ummat Islam; ini adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh Ulama Sunnah; karena semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH; bukan dimiliki oleh para sahabat.

Tidakkah mereka membaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Ali : “Tidaklah seseorang yang mencintaimu kecuali dia adalah seorang mukmin dan tidak membencimu kecuali dia adalah seorang munafik”?

Anehnya hadits ini selalu terpampang di salah blog nashibi.

Definisi keadilan cuma satu yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Mengenai masalah munafik ini adalah masalah hati, makanya Nabi tidak menghukum Abdullah bin Ubay padahal nabi mengetahui tentang kemunafikannya. Terus saya koreksi sedikit bahwa memang sahabat itu manusia biasa dan tidak maksum. Jadi sahabat bisa melakukan kesalahan dan dosa.

Siapa nama-nama kaum munafik yang hidup di madinah di zaman Nabi saw seperti yang disebutkan oleh ayat Qs. At taubah 101 biar sunni tidak terkena hadis-hadis palsu yang mereka susupkan, yang terlanjur tercantum dikitab-kitab hadis/shahih sunni.

Saya juga minta tolong kepada syekh-syekh salafiyun barangkali tau atau dapat wangsit tentang siapa nama-nama kaum munafik yang hidup di madinah di zaman Nabi saw… seperti yang disebutkan oleh ayat ini (biar kami tidak terkena hadis-hadis palsu yg mereka susupkan, yg terlanjur tercantum dikitab-kitab hadis/shahih sunni :

وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ الأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُواْ عَلَى النِّفَاقِ لاَ تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ

Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar (Al Qur’an, S. At Taubah[9]: 101).


bacalah ALQURAN 25:30-31:
30. Rasulullah berkata: “Ya Tuhanku, KAUMKU telah meninggalkan AlQuran!”
31. ALLAH berkata: “dan seperti itulah (yang terjadi); telah kami adakan untuk semua nabi; musuh dari orang orang yang berdosa; dan cukuplah ALLAH menjadi penolong dan pemberi petunjuk

Perhatikanlah kosa kata KAUMKU di dalam ayat ayat AlQuran tersebut. Para sahabat juga termasuk KAUM MUHAMMAD. Sebagian dari para sahabat melanggar AlQuran setelah kepergian Rasulullah (setelah Nabi Muhammad wafat).

Mereka yang melanggar Al-Quran akan dijadikan musuh2 Nabi Muhammad pada hari Qiyammah nanti. Berapa banyak sahabat yang melanggar AlQuran; sehingga mereka saling membunuh di dalam perang Riddah, perang Siffin, perang Jamal dan perang perang yang lain.

Mayoritas Ulama Sunni adalah orang2 yang pintar dan yang mengagumkan; tetapi minoritas Ulama Sunni adalah orang2 yang sombong.

Minoritas Ulama Sunni inggin ummat Islam memuji para sahabat; dengan alasan semua sahabat adalah manusia yang sempurna; padahal semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH; sehingga tidak mungkin para sahabat melakukan kesalahan2.

Jika Kaum Syiah mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para sahabat setelah Rasulullah wafat; supaya Kaum Syiah tidak mengulangi kesalahan2 yang sama;

maka Ulama Sunni tersebut akan marah dan akan tersinggung; kemudian Ulama Sunni tersebut menuduh Kaum Syiah sebagai orang2 yang suka menghamun (mencela, menghina) para sahabat; padahal SYIRIK (dosa terbesar) adalah keyakinan Kaum Sunni.

Apa yang dimaksud “wafat dalam keadaan islam”?. Apakah setiap orang yang dinyatakan sahabat oleh Ibnu Hajar [dalam Al Ishabah] memiliki data riwayat bahwa mereka wafat dalam keadaan islam.

ucapan anda dipertanggungjawabkan di hadapan Allah lho…jangan asal ucap, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar!”(QS. AlBaqarah: 111).

Di dalam Bab II, “Sawaiq al-Muhriqah”, Ibn Hajar mencatatkan Hafiz Jamaluddin Mohammad bin Yusuf Zarandi Madani (seorang faqih dan ulama di kalangan mazhab Sunni) yang mengatakan, “… tatkala engkau dan pengikut-pengikut (Syi’ah) engkau akan datang pada Hari Pembalasan kelak di dalam keadaan diridhai Allah dan Allah ridha terhadap kamu semua. Musuh-musuh engkau akan berasa cemburu dan tangan mereka akan dibelenggu ke leher mereka.” Kemudian Ali as bertanya siapakah musuhnya. Rasulullah saww menjawab, “Orang-orang yang memusuhi engkau dan yang menghina engkau.” Allamah Samhudi di dalam “Jawahirul”, dengan pengesahan Hafiz Jamaluddin Zarandi Madani dan Nuruddin Ali bin Mohammad bin Ahmad Maliki Makki yang terkenal sebagai Ibn Sabbagh, yang dianggap sebagai ulama yang berwibawa dari kalangan ulama Sunni dan juga seorang ahli ilmu kalam, di dalam bukunya “Fusul al-Muhimmah”, pada halaman 122, memetik dari Abdullah bin Abbas bahwa, ketika ayat tersebut diwahyukan Rasulullah saww bersabda kepada Ali as, “Engkau dan Syi’ahmu. Engkau dan merekalah yang akan datang di Hari Pembalasan kelak dengan penuh keridhaan dan kepuasan, manakala musuh-musuh engkau akan datang dengan kesedihan dan terbelenggu tangan-tangan mereka.”

Mir Syed Ali Hamdani Syafie, salah seorang daripada ulama Sunni yang terpercaya, menyebut di dalam bukunya “Mawaddatul Qurba.” Juga Ibn Hajar, seorang yang terkenal sebagai anti-Syi’ah di dalam bukunya “Sawaiq al-Muhriqah” meriwayatkan dari Ummul Mukminin Ummu Salamah, isteri Nabi saww, bahwa Rasulullah saww bersabda, “Hai Ali, engkau dan Syi’ahmu akan kekal di dalam Syurga, engkau dan Syi’ahmu akan kekal di dalam Syurga.”.

Seorang ulama yang terkemuka, Khawarazim Muaffaq bin Ahmad di dalam “Manqib”nya, Bab 19, meriwayatkan dari Rasulullah saww di atas pengesahan yang tidak dapat diragukan, bahwa Baginda Nabi bersabda kepada Ali as, “Di kalangan umatku, engkau adalah seumpama Isa al-Masih Ibn Mariam as, yakni sebagaimana pengikut Nabi Isa as yang telah berpecah kepada tiga kelompok, yaitu yang benar-benar beriman yang dikenali sebagai Hawariyyin, penentangnya yaitu orang-orang Yahudi dan satu lagi golongan yang melampaui batas, yang menyamakan beliau dengan sifat-sifat ketuhanan. Seperti itu juga umat Muslim, yang akan berpecah kepada tiga kelompok terhadap engkau. Salah satu dari mereka adalah Syi’ahmu, dan mereka inilah golongan yang benar-benar beriman. Yang lainnya adalah musuh-musuh engkau dan mereka itulah yang memungkiri janji-janji untuk taat setia kepadamu, dan yang ketiganya adalah golongan yang melampaui batas mengenai kedudukan engkau dan mereka adalah orang-orang yang menolak kebenaran serta tersesat. Jadi, engkau, hai Ali, dan juga Syi’ahmu akan berada di dalam Syurga, dan juga orang-orang yang mencintaimu akan berada di dalam Syurga sedangkan musuh-musuhmu dan mereka yang berlebih-lebihan terhadapmu akan berada di dalam Neraka.”.

Biarin aja mas. Konsekuensi dari kalimat tsb adalah;
(1) Bahwa tidak selalu orang2 yang beserta Nabi saw akan mati dalam keadaan Islam.
Bagaimana kalau nashibi maksa semuanya harus atau pasti mati dalam keadaan Islam? Wah kalau udah gitu sy nyerah deh.
(2) Bahwa sebelum mereka mati, mereka belum bisa disebut sahabat. Jadi nanti saat mati baru ketahuan mana sahabat mana yang bukan.
(3) Bahkan yang mati pun belum bisa disebut sahabat kalau ga ketahuan matinya kapan, dimana dan bagaimana.
Nah, tinggal nanya ke nashibi: “berapa banyak data yang mereka punyai mengenai orang2 di sekitar Nabi saw yang matinya ketahuan dalam keadaan Islam?”

Malah bagus kan?

Perawi-perawi dan para ulama telah memberitakan bahwa terdapat sahabat Nabi saw yang munafik serta macam2 prilaku buruk. Ayat2 Alquran sdh memastikan adanya orang2 di sekitar Nabi saw yang munafik. Hanya salafiyyun yang bersikeras dan ngotot bahwa sahabat Nabi saw tidak ada yang munafik, bahwa semua sahabat ‘adil. Bagi mereka yang mau membaca dan menggunakan akal sehatnya akan mampu melihat secara terang benderang mana pemahaman yang benar mana yang keliru.

Semoga Allah swt memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.


Rektor Al Azhar:
Al-Qur’an Sunni dan Syiah Tidak Ada Bedanya.“Al-Qur’an yang digunakan oleh Ahlus Sunnah dan Syiah tidak memiliki perbedaan sedikitpun, meskipun hanya satu huruf. Karenanya pernyataan bahwa Al-Qur’an di sisi umat Syiah berbeda dengan yang digunakan dikalangan Ahlus Sunnah adalah pernyataan dusta dan bohong belaka.”

Menurut Kantor Berita ABNA, Syaikh Ahmad Tayyib, dalam acara pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an Internasional ke 19 di Kairo Mesir menyinggung adanya isu negatif yang dihembuskan kelompok pemecah belah Islam menyatakan, “Al-Qur’an yang digunakan oleh Ahlus Sunnah dan Syiah tidak memiliki perbedaan sedikitpun, meskipun hanya satu huruf. Karenanya pernyataan bahwa Al-Qur’an di sisi umat Syiah berbeda dengan yang digunakan dikalangan Ahlus Sunnah adalah pernyataan dusta dan bohong belaka.”

Rektor Universitas Al Azhar ini kemudian meminta kepada ulama-ulama kedua mazhab besar ini untuk menepis kabar dusta tersebut. Ia berkata, “Sangat disayangkan, saat ini banyak stasiun TV yang menyiarkan acara-acara yang menyulut perselisihan, satu sama lain saling mengkafirkan. Tugas ulama-ulama Rabbani dari kedua mazhab besar Sunni dan Syiah adalah menunjukkan kebenaran dengan penuh hikmah dan memberikan bantahan terhadap kelompok-kelompok ekstrim tersebut.”.

Ulama Mesir ini kemudian menyatakan bahwa Al-Qur’an sesungguhnya adalah pemersatu antara Sunni dan Syiah, “Al-Qur’an diantara kedua mazhab besar ini sama, tidak ada perbedaan sama sekali, karenanya sudah semestinya menjadi pegangan kita bersama untuk menjalin persatuan umat Islam.”

“Al-Qur’an adalah jantung Islam, akal peradaban Islam dan satu-satunya sumber Islam yang diterima oleh semua kelompok Islam tanpa perbedaan sepanjang sejarah.” Lanjutnya lagi.

DR. Ahmad At Tayyib dalam lanjutan ceramahnya mengatakan, “Allah Azza wa Jalla menjaga Al-Qur’an dari perubahan dan penyelewengan, bukan hanya umat Islam yang mengakui keterjagaan Al-Qur’an namun juga orientalis sendiri. Seorang orientalis Perancis pernah berkata, Al-Qur’an satu-satunya kitab langit yang tidak mengalami penyimpangan sedikitpun dan itu berlangsung sampai saat ini.”

(Haidari/Israq/Islam-Quest/Syiah-Ali/Tour-Mazhab/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: