Oleh: Umar Al Habsyi
Aku berbagi maka aku ada (I share, therefore I am). Pernyataan itu sebenarnya merupakan plesetan dari pernyataan terkenal filusuf Descartes yang berbunyi: “Aku berfikir, maka aku ada”.
Pernyataan ini digunakan oleh Sherly Turkle, ahli Psikologi dan peneliti Internet, untuk menyebutkan kondisi orang pada zaman maraknya Media Sosial seperti belakangan ini. Banyak orang menulis status atau menyebar berita hanya sekedar untuk meneguhkan eksistensi dan identitas mereka saja. Bahkan seringkali tanpa terlalu peduli apakah yang disampaikannya itu adalah hoax atau rumor.
Suller, ahli Psikologi Internet yang lain, mengungkapkan bagaimana ketika sedang online, orang bisa mengatakan atau melakukan tindakan yang mungkin tidak akan mereka lakukan dalam komunikasi tatap muka. Alasannya, mereka lebih bebas, merasa tidak terkekang, dan dapat mengekspresikan diri lebih terbuka.
Fenomena ini, dia sebut dengan online disinhibition effect. Karena efek ini, orang bisa menjadi lebih mudah menunjukkan simpati dan murah hati yang dalam dunia nyata sulit mereka ungkapkan. Dan sebaliknya, kita juga sering melihat digunakannya secara terbuka kata-kata kasar, kemarahan, kebencian, bahkan ancaman yang sulit mereka keluarkan di dunia nyata.
Karakter seseorang menjadi seperti berbeda sama sekali dengan di dunia nyatanya. Media sosial memungkinkan orang-orang yang tadinya tidak memiliki hubungan apa-apa menjadi tergabung dalam jaringan orang-orang yang berfikiran sama.
Sebuah kajian menunjukkan semakin intensif orang berhubungan dengan kelompok orang yang memiliki pikiran yang sama, pandangan yang sebelumnya dipegang pun akan menjadi semakin ekstrem. Maka terciptalah apa yang disebut dengan ruang gema (echo chamber), yaitu ketika orang hanya berkomunikasi dengan dengan orang-orang lain yang sudah sepikiran sehingga memperkuat dan memperteguh pikiran-pikiran tersebut.
Seperti halnya gema, pikiran-pikiran tersebut tersebar berulang-ulang dalam pelbagai variasi dalam sistem “yang tertutup”. Dalam kondisi seperti ini, informasi yang salah, hoax, dan rumor akhirnya akan dianggap sebagai kebenaran.
Para psikolog juga mengenal fenomena yang disebut dengan bias konfirmasi, yaitu kecenderungan orang untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi, mengkonfirmasi, atau meneguhkan pandangan yang dimiliki sebelumnya. Hoax atau rumor segera dianggap sebagai kebenaran jika sesuai dengan pandangan sebelumnya. Fenomena ini sangat kentara dalam persoalan yang bermuatan emosi, misalnya soal politik dan, tentu saja, agama.
Lebih jauh lagi orang juga akan cenderung untuk dengan serta-merta membagi (share) atau menyiarkan (broadcast) informasi yang diterimanya tersebut. Akibatnya informasi yang belum tentu benar tersebut menjadi tersebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia melalui berbagai saluran media sosial.
Apalagi sejumlah studi menyebutkan bahwa postingan yang vulgar, marah, agresif, sensasional, atau bias akan mendapatkan perhatian lebih banyak di dunia Internet yang banjir informasi ini. Sehingga karenanya informasi seperti itu akan menyebar lebih cepat.
Percakapan hal-hal emosional di media sosial bisa cepat meluncur menjadi pertarungan kerumunan yang marah satu sama lain. Akibatnya bisa teramat sangat fatal yang menimbulkan korban yang sangat besar baik berupa harta, jiwa, hingga masa depan sebuah masyarakat dan negara. Seperti kita lihat yang terjadi di Mesir, Suriah, Amerika Serikat, dan berbagai penjuru dunia yang lain.
Bagaimana Al-Qur’an menyikapi Fenomena ini?
Al-Qur’an sangat menaruh perhatian besar pada penyebaran berita/informasi yang bohong, fitnah, dan negatif dari seseorang (kelompok) mengenai seseorang (kelompok) yang lain.
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.an-Nur:19)
Ayat ini adalah ancaman bagi orang-orang yang hobi dan senang menyebar aib orang lain (baik itu benar, apalagi kalau itu bohong/fitnah). Dan ancaman Allah dalam ayat ini sangatlah tegas, “mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat.”
Ancaman dalam ayat ini adalah siksaan di dunia dan akhirat. Jangan-jangan semua kesengsaraan yang menimpa kita di dunia ini diakibatkan karena kita senang menyebarkan aib dan kesalahan orang lain.
Sementara kita tidak sadar bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang besar. Allah berfirman, “(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (QS.an-Nur:15)
Kita menganggapnya hal remeh padahal di sisi Allah sangatlah besar. Karena itulah Allah mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya, “Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Mungkin kita tidak tahu bahwa berbagai siksaan dan kesengsaraan hidup ini bermula dari kebiasaan kita yang sering mengumbar aib dan keburukan orang lain.
Semoga lisan dan jari-jari (di era media sosial ini, jari-jari kita menggantikan peran lisan kita untuk dengan cepat dapat menyebarkan berbagai berita dan informasi) kita terjaga dari kebiasaan untuk menyebarkan informasi yang negatif dan tidak kita ketahui dengan jelas kebenarannya, karena sungguh siksaan Allah menanti orang-orang yang seperti ini. Siksaan yang amat pedih di dunia maupun di akhirat kelak. Na’udzu biLlahi min dzaalik. [Al-Abror/Januari-2017].
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email