Pesan Rahbar

Home » » Mahfud MD: GNPF-MUI Tak Punya Akta Pendirian, Bagaimana Mau Dibubarkan?

Mahfud MD: GNPF-MUI Tak Punya Akta Pendirian, Bagaimana Mau Dibubarkan?

Written By Unknown on Thursday 19 January 2017 | 23:11:00


Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD mengatakan bahwa tidak mungkin pihak berwenang dapat membubarkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Pasalnya, GNPF-MUI bukanlah organisasi massa yang memiliki akta pendirian organisasi yang tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM ataupun Kementerian Dalam Negeri.

“Tidak mungkin bubarkan GNPF-MUI. Bagaimana mau bubarkan? Mereka gerakan situasional yang tidak memiliki akta pendirian organisasi dan tidak terdaftar dimanapun,” jelas Mahfud di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, seperti dilaporkan tribunnews.com, (17/1).

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin menegaskan bahwa Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI tidak ada kaitannya dengan lembaga MUI baik secara struktur maupun non-struktur. Gerakan itu, kata Ma’ruf, murni dibentuk dan dijalankan oleh sekelompok masyarakat.

“Tidak ada urusannya GNPF dengan MUI itu sendiri. Mereka itu murni dari masyarakat,” jelasnya saat diskusi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Selasa (17/1/2017)

Dijelaskan olehnya, apa yang dijalankan oleh GNPF bukanlah aturan atau instruksi yang diberikan oleh MUI untuk langsung dijalankan ketika sebuah Fatwa sudah keluar.

Sebelumnya, gerakan pengawalan fatwa ini muncul seiring dengan keluarnya pernyataan sikap MUI soal kasus Gubernur nonaktif Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama. Yang menjadi pertanyaan sebagian pihak ialah mengapa fatwa perlu dikawal? Apakah fatwa itu mengikat bagi Muslimin sehingga harus dikawal?

Di salah satu harian nasional, Mahfud MD menulis, pendapat bahwa fatwa bukan hukum positif dan tidak mengikat merupakan dalil yang tidak perlu persetujuan dari siapa pun. Kalau ada yang tidak setuju pun, dalil itu tetap berlaku: fatwa tidak mengikat.

“Jangankan hanya fatwa MUI, fatwa Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembaga yudikatif tertinggi pun tidak mengikat, tidak harus diikuti. Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu sendiri,” katanya.

Mengenai konsep fatwa itu sendiri, KH. Ahmad ‘Gus Mus’ Mustafa Bisri memandang, dalam istilah agama – sempitnya: fikih – fatwa mirip dengan pengertian bahasanya, yakni jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu -dan sampai sekarang di beberapa negara Timur Tengah- fatwa memang diminta dan diberikan oleh mufti secara perorangan.

“Dalam kitab-kitab fikih, mufti atau pemberi fatwa dibedakan dengan hakim,” katanya.

Mufti hanya memberikan informasi kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta fatwa. Sementara itu, hakim memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak, seperti penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi.

“Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa. Ia tidak mengikat, kecuali bagi si peminta fatwa.”

Fatwa itu dikeluarkan mufti yang punya kriteria jelas, tapi tak mengikat. Orang yang bertanya tentang suatu persoalan kepada mufti pun tidak harus mengikutinya, karena bisa berbeda antara mufti A dan B.

“Berbeda dengan keputusan qadi (hakim agama), yang mengikat. Sedangkan fatwa MUI kriterianya longgar sekali. Belakangan, ada pengawalan fatwa agar bisa diikuti. Fatwa kok dikawal. Dasarnya dari kitab apa?” kata Gus Mus seperti dikutip di Majalah Tempo.[]

(Tribun-News/Tempo/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: