Pesan Rahbar

Home » » Analisis Mistis-Filosofis Kehidupan Fathimah Az-Zahra ra

Analisis Mistis-Filosofis Kehidupan Fathimah Az-Zahra ra

Written By Unknown on Monday, 27 February 2017 | 12:05:00

Ilustrasi

Ditulis  Oleh: Siti Indah Azzahrah
Sebuah Pengantar 

Satu hal yang tak mungkin dapat teringkari bahwa al-Qur’an meletakkan wanita sejajar dengan laki-laki. Firman Tuhan pada Qur’an surah al-Ahzab ayat 35 menegaskan bahwa sebaik-baik bukti adalah di mata Allah kualitas iman dan amal-amal hamba-Nya berkedudukan sama, baik laki-laki maupun perempuan.
Sejarah telah mencatat secara paralel sejumlah tokoh wanita kekasih Tuhan (awliya Allah) di samping laki-laki yang menjadi kekasih-Nya. Bersama Nabi Ibrahim as yang digelari sebagai Abul Muwahhiddin-bapak monoteisme berdirilah Siti Hajar satu shaf di belakangnya. Beliau merupakan satu-satunya wanita yang memperoleh kehormatan dari Tuhan untuk dikuburkan di dalam rumah-Nya. Bersama Nabi Musa Kalimullah as berdiri seorang wanita kekasih Allah, Asiyah binti Muzahim, yang dengan ketegaran imannya di sekitar Fir'aun bermunajat ke hadirat Ilahi : Rabbi, bangunkan untukku sebuah rumah di surga-Mu, dan selamatkan aku dari Fir'aun dan aksi-aksinya (Qs. at-Tahrim, ayat 11). Di samping Isa Ruhullah as berdiri bundanya, Maryam binti 'Imran yang berkemamampuan berkomunikasi dengan alam gaib dan para malaikat. Bahkan beliau satu-satunya makhluk manusia yang memperoleh keistimewaan dari Allah dengan hidangan makanan surga saat berada di mihrabnya. Hal tersebut dapat dilihat di Qs. Ali Imran ayat 37.

Bersama Nabi Muhammad Saw ada Siti Khadijah yang sangat setia mendampinginya, di saat suka maupun duka. Di saat-saat getir periode awal dakwahnya dan saat-saat mobilisasi pengikut setianya sedemikian rupa sehingga Nabi berkata : "Dialah orang yang pertama kali beriman kepadaku, ketika semua orang kufur terhadap ajaranku. Dialah orang pertama yang mengulurkan bantuannya kepadaku, ketika semua orang memboikotku. Dialah satu-satunya wanita yang diizinkan Tuhan untuk mengandungkan anak keturunanku." Dan karenanya Nabi kemudian menempatkannya sejajar dengan Maryam, Asiyah, dan putrinya Fathimah Az-Zahra ra. Nabi Saw selanjutnya bersabda : "Sebaik-baik wanita alam semesta ada empat, diantaranya: Maryam binti 'Imran, Asiyah binti Muzahim, Khadijah binti Khuwailid, dan Fathimah binti Muhammad."
Pada periode awal Islam dapat pula kita menyaksikan sufi-sufi wanita kenamaan yang selevel dengan tokoh-tokoh sufi pria. Selain dari Hasan al-Bashri, Malik bin Adham, al-Hallaj, al-Hujwiri, Ibnu Arabi, dan sebagainya. Sufi wanita berikutnya meliputi Rabi'ah Syamiyyah (istri Ahmad bin Abi al-Hawari), Rabi'ah al-Adawiyyah dan Rabi'ah binti Isma'il. Kontribusi mereka pada umat Islam baik dari aspek intelektual-mistikal, ataupun sosio-kultural merupakan fakta yang tak terbantah.

Berdasarkan bukti-bukti tersebut, menunjukkan kepada kita bahwa pada hakikatnya potensi laki-laki dan wanita dalam perjalanannya melakukan pendekatan kepada Tuhan adalah sama. Tidak ada diskriminasi gender dalam meraih kesuksesan perjalanan ruhani. Tidak ada perbedaan potensi yang tersirat dalam jenis kelamin. Sehingga misalnya, laki-laki akan lebih mungkin mengaktualisasikan dirinya ketimbang wanita. Hal ini bukan saja diakui oleh sarjana-sarjana Muslim, tetapi juga terbukti secara demonstratif filosofis.


Insan dalam Perspektif Mistis-Filosofis

Dalam logika Aristoteles dikenal istilah genus (jins) dan differentia (fashl) untuk keabsahan sebuah definisi. Ketika manusia didefinisikan sebagai makhluk (hewan) yang berjalan misalnya, maka definisi tersebut tidak dianggap valid, karena meskipun jins-nya benar (makhluk-hewan), akan tetapi fashl-nya salah. Sebab yang berjalan bukan hanya karakter manusia saja, namun juga makhluk-hewan yang lain. Definisi yang benar untuk objek manusia adalah makhluk-hewan yang berakal (rational animal), sebab ia menggunakan fashl yang benar, dimana karakter (yang berakal) ini adalah karakter khusus manusia yang tidak sharing dengan makhluk lain. Dengan demikian, untuk membuat sebuah definisi yang valid diperlukan jins dan fashl yang benar-benar valid juga, sehingga keabsahan objek yang didefinisikan tidak dipertikaikan lagi.

Selanjutnya, dapatkah kita mengatakan bahwa laki-laki ataupun wanita adalah fashl manusia? Jelas tidak bisa. Manusia (sebagai objek) tidak bisa ditakrifkan-didefinisikan sebagai makhluk laki-laki atau wanita. Sebab definisi tersebut tidak komprehensif dan karenanya invalid. Makhluk yang mempunyai gender laki-laki dan wanita bukan hanya dominasi manusia, akan tetapi termasuk pula makhluk yang lebih inferior, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dari sini dapat kita memahami bahwa dikotomi antara laki-laki dan perempuan cukup pada realitasnya, bukan pada substansi kemanusiaannya. Sedangkan dikotomi yang dimaksud sekadar secara biologis. Dengan kata lain, terdapat dua unsur substansial yang menjadi "struktur" manusia, yakni materi dan forma. Dalam bahasa Qur’an, disebut jisim dan ruh.

Pada level materi, manusia sama saja dengan hewan bahkan tumbuh-tumbuhan. Di sana terdapat perbedaan jenis antara laki-laki dan perempuan. Tuhan berfirman: "Dari segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan" (Qs. adz-Dzariyat ayat 49). Pada tataran ini terjadi perbedaan dan diskriminasi. Laki-laki lebih mampu mencari nafkah, sedangkan wanita lebih mampu merawat rumah tangga. Laki-laki berperang dan wanita merawat. Laki-laki berperan sebagai kuli, sedangkan wanita menjadi pelayan, dan seterusnya.
Pada tataran forma, tidaklah terdapat diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagaimana pada level materi tadi. Seluruhnya merupakan "ruh yang ditiupkan oleh Tuhan" Hal tersebut dapat dibuktikan pada Qs. 15 : 29, 32 : 9, dan 38 : 72. Lebih jauh, pada level ini tidak lagi terdapat pengistilahan apalagi perbedaan antara laki-laki ataupun perempuan. Semuanya adalah insan. Serupa seperti malaikat, semua adalah malaikat. Karenanya, istilah insan kamil adalah istilah mistis-filosofis yang mengacu pada level ini, level insaniyyah yang tidak lagi terjerat oleh dikotomi gender. Siapapun menyandang potensi menjadi insan kamil (manusia sempurna). Entah itu dari jenis laki-laki ataupun wanita. Insan kamil dapat terwujud dalam diri Nabi Muhammad, dapat pula dalam diri Khadijah binti Khuwailid, dalam diri Ali bin Abi Thalib ataupun Fathimah Az-Zahra, dalam diri Hasan Bashri ataupun Rabi'ah al-Adawiyyah, dan sebagainya. Perbedaan hanya dapat terjadi pada kadar kualitas, bukan pada perbedaan jenis gender.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa nilai lebih pada manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya terletak pada sisi formanya atau aspek ruhaniahnya. Inilah identitas manusia yang sesungguhnya. Ruh atau nafs yang merupakan esensi manusia berpotensi menjadi sedemikian sempurnanya, sehingga makhluk malaikat pun mesti menunduk dan bersujud di hadapannya (Qs. al-Baqarah ayat 34). Sebaliknya, berpotensi pula menjadi sedemikian rendahnya sehingga hewan pun dapat lebih mulia darinya (Qs. al-A’raaf ayat 179). Oleh karena jiwa (nafs) manusia menyimpan potensi yang begitu besar, maka siapa saja yang mengembangkannya secara optimal niscaya sampai pada level yang optimal pula. Dan siapa saja yang mengabaikannya secara total niscaya turun pada level yang paling rendah dari hirarki eksistensi ciptaan Tuhan.

Fathimah Az-Zahra ra yang menjadi fokus perbincangan kita kali ini, tergolong manusia yang telah sukses mengembangkan potensi ruhaninya secara optimal. Dan pula telah mencapai level insaniyyah-nya secara optimal. Demikian juga dengan Siti Khadijah ra, Maryam binti Imran ra, dan Asiyah binti Muzahim, istri raja Fir'aun yang kafir. Sebaliknya, istri para Nabi seperti Nabi Nuh as dan Nabi Luth as, meski berada di sekitar para kekasih Tuhan, namun karena mereka telah mengabaikan aspek ruhani dan insani yang amat sangat krusial ini, maka Tuhan pada akhirnya tetap mengutuk keduanya dan menjatuhkannya pada serendah-rendah gradasi. Buktikan pada Qs. At-Tahrim ayat 10.


Sisi Mistis dari Kehidupan Fathimah Az-Zahra ra.

Aqqad, sang penulis Islam kontemporer dari Mesir dalam bukunya Fathimah wa al-Fathimiyyun pernah menuturkan. "Dalam setiap agama, terdapat model wanitanya yang ideal-sempurna lagi suci yang kemudian menjadi sanjungan bagi pengikut-pengikutnya yang mukmin. Mereka adalah simbol-simbol kebesaran Tuhan. Dalam agama Islam, wanita seumpama demikian terjelma dalam diri Fathimah Az-Zahra." Kesempurnaan diri Fathimah terlalu tinggi untuk bisa kita diskusikan dalam forum yang terbatas ini. Deretan kalimat dalam tulisan ini sekedar menyanjung sebagian kecil dari sisi ruhani kehidupan Fathimah Az-Zahra sejauh yang teramati oleh penulis dalam sejumlah riwayat yang relevan.

Ibnu Abbas, seperti yang dikutip dari kitab Al-Bihar meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda. "Putriku Fathimah adalah penghulu wanita alam semesta, dahulu dan sekarang. Dia adalah bagian dariku dan cahaya mataku. Dialah belahan nyawaku, dialah bidadari insani (haura' insiyyah) yang ketika berdiri shalat di mihrabnya di hadapan Tuhan Azza wa Jalla, cahayanya kian memancar menerpa seluruh penghuni langit sebagaimana cahaya bintang gemintang memancar dan menerangi penghuni bumi."

Ummu Salamah, Asma binti Umais dan Ummu Sulaim menyaksikan bahwa Fathimah putri Nabi adalah wanita suci yang tidak pernah mengalami masa haidh dan nifas, yang dalam bahasa Arabnya disebut sebagai Al-Batul. Rasulullah Saw bersabda, "Fathimah bergelar al-batul adalah karena ia tidak pernah mengalami haidh dan nifas.

Zaid bin Ali meriwayatkan dari Imam Ja'far ash-Shadiq yang berkata bahwa dari sekian banyak gelar Fathimah juga bergelar al-muhaddatsah-yang diajak bicara. Hal ini karena Fathimah berkemampuan berkomunikasi dengan malaikat sebagaimana Maryam binti Imran.

Imam Ja'far ash-Shadiq ra berkata. "Kami (Ahlul Bait) menyimpan secara turun temurun mushhaf Fathimah. Tebalnya sekitar tiga kali lipat dari ukuran al-Qur’an yang ada."

Husain bin Abi al-Ala yang mengutip Imam Ash-Shadiq ra berkata bahwa mushhaf tersebut mengandung segala sesuatu yang diperlukan oleh umat manusia. Mulai dari berita-berita tentang dinasti-dinasti yang akan dibangun sampai hari kiamat, hingga pada hukum-hukum (syariat) Islam yang sangat terperinci. Inilah kitab yang terhimpun selama 75 hari dari usianya setelah kewafatan ayahandanya Rasulullah Saw. Di sana penuh dengan catatan-catatan ilmu yang diperolehnya dari malaikat yang datang "menghiburnya" di saat-saat duka panjang merangkul jiwanya.

Kemampuan Fathimah berkomunikasi dengan para malaikat tidaklah berimplikasi kerancuan teologis. Sebab, berkata al-Qazwini, wanita-wanita suci sebelum Fathimah, seperti Maryam binti Imran, Sarah istri Nabi Ibrahim, dan ibunda Nabi Musa berkemampuan pula berkomunikasi dengan para malaikat. Hal ini tidaklah terlalu rumit untuk dapat kita pahami apabila kita sedikit lebih bertafakur akan keluasan potensi manusia yang sebagian darinya berunsur Ilahi. Interaksi dan komunikasi dengan alam gaib pasti membuahkan hasil-hasil yang besar, baik secara kognitif, spiritual, maupun mental. Hal itu dibukukan oleh Ali, suami Fathimah, yang kemudian dikenal dengan nama mushhaf Fathimah.

Ketekunan ibadah mahdhah Fathimah bukanlah sesuatu yang baru dalam lingkungan keluarga Nabi. Imam Hasan al-Bashri misalnya, pernah mengatakan. "Tidak terdapat manusia di antara umat ini yang lebih banyak ibadahnya daripada Fathimah. Sedemikian banyaknya, ia berdiri shalat hingga kedua kakinya membengkak." Salman al-Farisi pernah menangis melihat "onggokan" jasad Fathimah di atas tikar sajadahnya. Jasad kurus itu diam dan sepertinya tak bernafas. Ketika hal itu dilaporkan kepada suaminya, Ali hanya menjawab, "Begitulah keadaan Fathimah tatkala ia berada dalam pelukan Sang Maha Kekasih."
Khusyu’, fana, baqa dalam fana dan ikhlas yang dialami putri Khadijah ini bukan hanya pada ibadah mahdhah-nya saja, namun juga dalam ibadah ghairul mahdhah-nya atau ibadah sosialnya. Sebagian mufassir menisbahkan fakta ini pada Qs. al-Insan ayat 7-9 sebagai sebaik-baik bukti betapa besar nilai ibadah sosialnya di sisi Tuhan.

Dalam kitab al-Bihar tertulis sebuah riwayat yang berasal dari Furat bin Ibrahim, dari Abu Said al-Khudri yang mengabarkan bahwa suatu ketika Ali bin Abi Thalib ra memberikan sedekah kepada Miqdad bin al-Aswad yang sangat memerlukan bantuan. Padahal Ali dan keluarganya pada saat itu berada dalam keadaan yang sama pula. Al-Khudri kemudian berkata. "Ali keluar dari rumahnya dengan niat meminjam uang satu dinar untuk keperluan keluarganya. Setelah diperoleh uang tersebut, ia lalu memberikan kepada Miqdad karena kondisinya yang lebih memerlukan. Sesampainya di masjid dan usai shalat berjamaah bersama Nabi, Ali kemudian pulang ke rumahnya bersama dengan Nabi yang ingin mengunjungi putrinya. Di rumah, Nabi dan Ali menjumpai berbagai jenis makanan yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan heran Ali bertanya kepada Fathimah, "Darimana gerangan makanan ini datang? Nabi kemudian menjawab, Wahai Ali, inilah balasan Tuhan atas sedekahmu yang satu dinar itu. Sungguh Tuhan memberikan rezeki-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Sambil menangis Nabi kemudian memuji-muji Tuhan sembari berkata. Segala puji bagi Tuhan yang telah membalas amal-amal kebajikan kalian sebelum kelak di hari kemudian. Ya Ali, sungguh Tuhan telah membalas amal baikmu sebagaimana yang telah Dia berikan kepada Nabi Zakaria, dan sungguh Tuhan juga telah membalas amal baik Fathimah sebagaimana yang telah Dia berikan kepada Maryam binti Imran. Nabi kemudian membaca ayat berikut. "Setiap kali Zakariyya masuk ke mihrabnya (Maryam), maka dia akan mendapati di dalamnya (terhidang) berbagai rezeki." Lihat pada Qs Ali Imran ayat 37.

Filosof Jawadi Amuli memberikan analisis sufistik yang tajam dalam memahami riwayat-riwayat seperti yang disebutkan terakhir ini. Apakah mungkin manusia dapat memperoleh hidangan surga sementara dirinya berada di alam dunia? Bagaimana mengkomunikasikan alam fisik yang material dengan alam "surgawi" yang immaterial? Dalam sebuah riwayat sufi, kata Jawadi Amuli, Rabi’ah Shamiyah menghidangkan makanan yang beraneka ragam kepada suaminya Ahmad bin Abi Al-Hawari. Katanya, "Innaha ma nadhijat illa bi tasbih, makanan ini dimasak dengan tasbih."

Lalu apa yang dimaksudkan dengan kalimat dimasak dengan tasbih? Apakah selama ia memasak, ia senantiasa membaca tasbih? Bagi orang seperti Shamiyyah, membaca tasbih di saat masak sekalipun adalah hal yang bukan istimewa. Lalu apa yang dimaksudkannya bahwa masakan tersebut dari tasbih? Dalam memahami ini kata Amuli, marilah melihat ayat al-Qur’an yang bercerita menyangkut bagaimana penghuni-penghuni surga memperoleh makanan. Tuhan berfirman, "Doa-doa mereka di dalam surga adalah kalimat Mahasuci Engkau Ya Allah-Subhanakallahuma, ucapan selamat diantara mereka di dalam surga-tahiyyatuhum adalah kalimat salam, dan doa mereka yang terakhir adalah Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam-Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. (Qs. Yunus ayat 10).

Ayat di atas dalam perspektif Amuli, mengilustrasikan salah satu dari cara hidup penghuni-penghuni surga. Pertama, mereka akan mengucapkan tasbih pada setiap saat mereka membutuhkan sesuatu. Kedua, menebarkan salam sesama mereka. Ketiga, mengucapkan kalimat tahmid pada akhir setiap nikmat yang diperolehnya. Karena pada realitasnya penghuni-penghuni surga adalah makhluk-makhluk yang mumkin al-wujud, maka kebutuhan-kebutuhan manusiawinya tetap ada. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut di surga, mereka akan memperolehnya hanya dengan mengucapkan tasbih, tanpa harus melakukan aktivitas organik. Dengan kata lain, apapun yang diinginkan oleh penghuni surga, maka mereka bisa memperolehnya dengan ucapan tasbih semata. Mengapa tasbih? Karena dengan ucapan tasbih tersirat sebuah makna bahwa Tuhan adalah Maha suci dari memerlukan segala sesuatu. Manusialah yang butuh makan, minum, dan sebagainya. Dan Tuhan Mahasuci dari segala itu. Dengan istilah lain, apapun yang mereka inginkan, maka pertama-tama yang mereka lihat adalah Tuhan dahulu. Kendatipun yang mereka butuhkan tersebut adalah hal-hal yang berupa materi sekalipun.

Sifat dan tindakan seumpama itu bukan hanya milik penghuni-penghuni surga kelak di akhirat semata. Namun pula mereka yang suci di dunia ini. Apapun yang mereka inginkan, mereka hanya akan menyebutnya dengan ucapan tasbih (subhanallah). Karena bagi mereka, setiap nikmat yang datang dari Tuhan menyimpan suatu kekudusan yang di dalamnya mengandung kesucian dari Tuhan. Barangkali pada konteks inilah kita dapat memahami mengapa Rasulullah menghadiahkan bacaan tasbih, tahmid, dan takbir kepada Fathimah ketika putrinya meminta bantuan dari Nabi dalam bentuk materi. Entah itu pembantu untuk meringankan bebannya atau makanan yang dibutuhkannya. Sebuah riwayat mengatakan bahwa Nabi memberinya kalimat-kalimat tasbih yang berawal dengan kalimat Subhanallah sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali yang dibaca sebelum tidur. Riwayat lain mengatakan, diawali dengan kalimat takbir sebanyak 34 kali, tahmid 33 kali dan tasbih 33 kali serta diakhiri dengan kalimat tahlil La ilaha illa Allah sekali saja, yang pula dibaca pada setiap selesai shalat. Kata Nabi Saw, "Bacaan ini lebih baik bagimu (Wahai Fathimah) daripada dunia dan seisinya."

Wallahu ‘alam bissawab.

(Sumber-ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: