Teror di Cicendo berulang. 36 tahun lalu Jamaah Imran dari Komando Jihad menyerang sebuah kantor polisi.
Sebuah bom panci berdaya ledak rendah diledakkan di Taman Pandawa di Jalan Pandawa Kecamatan Cicendo Kota Bandung, pada 27 Februari 2017. Seorang pelaku melarikan diri dengan membawa motor, sedangkan satu pelaku lagi lari ke kantor Kelurahan Arjuna. Pelaku itu tewas oleh tembakan dari aparat keamanan.
Teror di Cicendo itu mengingatkan kita pada Peristiwa Cicendo pada 11 Maret 1981 pukul 00.30 WIB. Sekitar 14 anggota Jamaah Imran dari Komando Jihad menyerbu kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung. Mereka dipimpin oleh Salman Hafidz, datang dengan menggunakan sebuah truk. Kala itu, hanya ada empat anggota polisi yang berjaga: Sertu Suhendrik, Bharatu Zul Iskandar, Bharada Andi, dan komandan jaga Serka Suryana.
Tiga orang penyerbu turun dari truk lantas berpura-pura menanyakan salah seorang anggota jamaah yang ditahan. Tanpa disangka, mereka menodongkan senjata api Garrand. Menghadapi sergapan tak terduga itu, keempat polisi itu tak berdaya dan dimasukkan ke dalam tahanan yang terletak di belakang kantor. Mereka kemudian membebaskan empat tahanan anggota Jamaah Imran.
“Atas perintah Salman Hafidz, Maman Kusmayadi lantas memberondong keempat polisi itu. Tiga orang seketika tewas, dan seorang luka berat,” tulis Tempo, 27 September 1986. Mereka kemudian mengobrak-abrik pos polisi itu dan membakar arsip yang mereka temukan. Mereka lantas melarikan diri dengan membawa dua pistol kaliber 38.
Setelah para pelaku tertangkap, diketahui bahwa otak penyerbuan adalah Imran bin Muhammad Zein, pimpinan Komando Jihad di Jawa Barat. Imran menyuruh Salman, untuk mencari senjata dalam waktu dua minggu. Imran kemudian mendalangi pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, pada 28 Maret 1981.
Pembajak menuntut kepada pemerintah agar membebaskan 80 tahanan, terdiri dari tahanan yang menyerang kantor Polisi Kosekta 8606, tahanan “Teror Warman”, dan tahanan dalam teror Komando Jihad pada 1977-1978. Para pembajak juga menuntut agar para tahanan tersebut diterbangkan ke luar negeri dengan tujuan negara tertentu yang akan disebutkan kemudian. Selain itu, mereka meminta tebusan US$1,5 juta tunai. Apabila tuntutan tidak dipenuhi hingga 30 Maret 1981, mereka akan meledakkan pesawat beserta sandera.
Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo memerintahkan Asisten Intelijen Hankam/Kepala Pusat Intelijen Strategis/Asisten Intelijen Kopkamtib, Letjen TNI Benny Moerdani sebagai penanggungjawab operasi pembebasan sandera. Dalam operasi penyelamatan yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan ini, lima orang tewas: tiga pembajak tewas seketika, yaitu pimpinan pembajak Mahrizal, Zulfikar T. Djohan Mirza, Abu Sofian alias Sofyan Effendy; dua orang terluka kopilot Herman Rante dan Letnan Satu Achmad Kirang, keduanya kemudian meninggal. Dua pembajak, Abdullah Muljono dan Wendy Mohammad Zein dieksekusi mati di suatu tempat yang rahasia setelah dikuras seluruh informasinya.
Siapakah Imran bin Muhammad Zein?
Manurut Busyro Muqqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen, Imran memimpin Komando Jihad di Jawa Barat dan menamakan dirinya Dewan Revolusi Islam Indonesia yang menentang Pancasila dan UUD 1945. “Dalam jangka panjang kelompok ini berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia, sementara tujuan jangka pendekanya adalah menghancurkan komunisme,” tulis Busyro.
Selain penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla, sebelumnya Jamaah Imran terlibat perampokan toko emas Sinar Jaya di Tasikmalaya pada 9 April 1979, perampokan koperasi simpan pinjam di Kecamatan Sikijang, perampokan gaji pegawai Dinas P&K di Kecamatan Banjarsari Ciamis, perampokan toko emas di Subang pada 9 Juli 1980, dan peledakan mesjid dan gereja.
Menurut Busyro penyulut Peristiwa Cicendo adalah Najamuddin yang disusupkan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Indonesia) ke dalam Jamaah Imran pada 1981. Untuk memprovokasi, Najamuddin menyerahkan setumpuk dokumen yang berisi rencana menindas Islam pasca Pemilu 1982. Berkat pembusukan dan pematangan situasi dan kondisi yang dilakukan oleh Najamuddin, rekayasa tersebut berhasil memicu aksi radikal dalam bentuk kekerasan bersenjata. Dengan modal senjata dari Najamuddin, mereka menyerang kantor Polisi Kosekta 8606. Sementara Tempo menyebut “senjata api Garrand hasil curian dari Pusat Pendidikan Perhubungan Angkatan Darat di Cimahi, Bandung.”
Aksi spionase Najamuddin tercium. Jamaah Imran mengeksekusinya dan menemukan surat penangkapan terhadap Imran. Imran sendiri tidak ikut dalam penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan Garuda DC-9 Woyla. Imran ditangkap pada 7 April 1981 dan dieksekusi mati pada akhir 1983.
Pada awal Februari 1985, Salman Hafidz, pemimpin penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606, dieksekusi mati. Salman menyebut bahwa Maman Kusmayadi yang membunuh tiga polisi di kantor Polisi Kosekta 8606. Maman selalu membantah tuduhan itu. Namun, hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Maman. Dia dieksekusi mati di suatu tempat di kaki Gunung Tangkuban Perahu pada 12 September 1986.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, pada 28 Maret 1981. Inset: Imran bin Muhammad Zein, pimpinan Komando Jihad di Jawa Barat sebagai otak pembajakan dan penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung.
Sebuah bom panci berdaya ledak rendah diledakkan di Taman Pandawa di Jalan Pandawa Kecamatan Cicendo Kota Bandung, pada 27 Februari 2017. Seorang pelaku melarikan diri dengan membawa motor, sedangkan satu pelaku lagi lari ke kantor Kelurahan Arjuna. Pelaku itu tewas oleh tembakan dari aparat keamanan.
Teror di Cicendo itu mengingatkan kita pada Peristiwa Cicendo pada 11 Maret 1981 pukul 00.30 WIB. Sekitar 14 anggota Jamaah Imran dari Komando Jihad menyerbu kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung. Mereka dipimpin oleh Salman Hafidz, datang dengan menggunakan sebuah truk. Kala itu, hanya ada empat anggota polisi yang berjaga: Sertu Suhendrik, Bharatu Zul Iskandar, Bharada Andi, dan komandan jaga Serka Suryana.
Tiga orang penyerbu turun dari truk lantas berpura-pura menanyakan salah seorang anggota jamaah yang ditahan. Tanpa disangka, mereka menodongkan senjata api Garrand. Menghadapi sergapan tak terduga itu, keempat polisi itu tak berdaya dan dimasukkan ke dalam tahanan yang terletak di belakang kantor. Mereka kemudian membebaskan empat tahanan anggota Jamaah Imran.
“Atas perintah Salman Hafidz, Maman Kusmayadi lantas memberondong keempat polisi itu. Tiga orang seketika tewas, dan seorang luka berat,” tulis Tempo, 27 September 1986. Mereka kemudian mengobrak-abrik pos polisi itu dan membakar arsip yang mereka temukan. Mereka lantas melarikan diri dengan membawa dua pistol kaliber 38.
Setelah para pelaku tertangkap, diketahui bahwa otak penyerbuan adalah Imran bin Muhammad Zein, pimpinan Komando Jihad di Jawa Barat. Imran menyuruh Salman, untuk mencari senjata dalam waktu dua minggu. Imran kemudian mendalangi pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, pada 28 Maret 1981.
Pembajak menuntut kepada pemerintah agar membebaskan 80 tahanan, terdiri dari tahanan yang menyerang kantor Polisi Kosekta 8606, tahanan “Teror Warman”, dan tahanan dalam teror Komando Jihad pada 1977-1978. Para pembajak juga menuntut agar para tahanan tersebut diterbangkan ke luar negeri dengan tujuan negara tertentu yang akan disebutkan kemudian. Selain itu, mereka meminta tebusan US$1,5 juta tunai. Apabila tuntutan tidak dipenuhi hingga 30 Maret 1981, mereka akan meledakkan pesawat beserta sandera.
Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo memerintahkan Asisten Intelijen Hankam/Kepala Pusat Intelijen Strategis/Asisten Intelijen Kopkamtib, Letjen TNI Benny Moerdani sebagai penanggungjawab operasi pembebasan sandera. Dalam operasi penyelamatan yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan ini, lima orang tewas: tiga pembajak tewas seketika, yaitu pimpinan pembajak Mahrizal, Zulfikar T. Djohan Mirza, Abu Sofian alias Sofyan Effendy; dua orang terluka kopilot Herman Rante dan Letnan Satu Achmad Kirang, keduanya kemudian meninggal. Dua pembajak, Abdullah Muljono dan Wendy Mohammad Zein dieksekusi mati di suatu tempat yang rahasia setelah dikuras seluruh informasinya.
Siapakah Imran bin Muhammad Zein?
Manurut Busyro Muqqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen, Imran memimpin Komando Jihad di Jawa Barat dan menamakan dirinya Dewan Revolusi Islam Indonesia yang menentang Pancasila dan UUD 1945. “Dalam jangka panjang kelompok ini berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia, sementara tujuan jangka pendekanya adalah menghancurkan komunisme,” tulis Busyro.
Selain penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla, sebelumnya Jamaah Imran terlibat perampokan toko emas Sinar Jaya di Tasikmalaya pada 9 April 1979, perampokan koperasi simpan pinjam di Kecamatan Sikijang, perampokan gaji pegawai Dinas P&K di Kecamatan Banjarsari Ciamis, perampokan toko emas di Subang pada 9 Juli 1980, dan peledakan mesjid dan gereja.
Menurut Busyro penyulut Peristiwa Cicendo adalah Najamuddin yang disusupkan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Indonesia) ke dalam Jamaah Imran pada 1981. Untuk memprovokasi, Najamuddin menyerahkan setumpuk dokumen yang berisi rencana menindas Islam pasca Pemilu 1982. Berkat pembusukan dan pematangan situasi dan kondisi yang dilakukan oleh Najamuddin, rekayasa tersebut berhasil memicu aksi radikal dalam bentuk kekerasan bersenjata. Dengan modal senjata dari Najamuddin, mereka menyerang kantor Polisi Kosekta 8606. Sementara Tempo menyebut “senjata api Garrand hasil curian dari Pusat Pendidikan Perhubungan Angkatan Darat di Cimahi, Bandung.”
Aksi spionase Najamuddin tercium. Jamaah Imran mengeksekusinya dan menemukan surat penangkapan terhadap Imran. Imran sendiri tidak ikut dalam penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan Garuda DC-9 Woyla. Imran ditangkap pada 7 April 1981 dan dieksekusi mati pada akhir 1983.
Pada awal Februari 1985, Salman Hafidz, pemimpin penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606, dieksekusi mati. Salman menyebut bahwa Maman Kusmayadi yang membunuh tiga polisi di kantor Polisi Kosekta 8606. Maman selalu membantah tuduhan itu. Namun, hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Maman. Dia dieksekusi mati di suatu tempat di kaki Gunung Tangkuban Perahu pada 12 September 1986.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email