Pesan Rahbar

Home » » Empat Partai Ini Terjerat Korupsi (PNI, PNU, PSI dan PRN)

Empat Partai Ini Terjerat Korupsi (PNI, PNU, PSI dan PRN)

Written By Unknown on Wednesday, 19 April 2017 | 23:40:00

Para petinggi partai politik ini terjerat korupsi untuk memperkaya diri sendiri dan membiayai partainya.

Ketua Umum Partai Rakyat Nasional Djody Gondokusumo didakwa bersalah karena korupsi.

Setiap partai politik berusaha untuk berkuasa. Ketika kekuasaan diraih, mereka mencari keuntungan untuk dirinya, kelompoknya, dan partainya, dengan cara korupsi. Praktik merugikan negara dan rakyat ini terjadi di setiap pemerintahan, mulai dari Sukarno hingga sekarang.

Berikut ini empat partai politik (Partai Nasional Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Rakyat Nasional), yang terjerat korupsi.


Partai Nasional Indonesia

Ketua Umum PNI, Ali Sastroamidjojo menjabat perdana menteri pada Juli 1953. Dia menempatkan orang-orang pentingnya di pos-pos strategis. Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai menteri perekonomian dan Ong Eng Die sebagai menteri keuangan. Dalam struktur partai, Iskaq sebagai ketua Komite Dana Partai sedangkan Ong Eng Die anggotanya. Dengan jabatan di pemerintahan itulah mereka mengumpulkan dana partai.

“Dengan kedua kementerian yang mengurusi masalah ekonomi ada di tangan partai, para pengusaha PNI mulai menikmati dua tahun kejayaan yang tidak pernah diperoleh sebelumnya,” tulis Jose Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi. Selain itu, Iskaq dan Ong Eng Die menjabat dewan direksi dan wakil direktur Bank Umum Nasional (BUN), yang dibentuk untuk melayani kebutuhan partai dan pengusaha PNI.

Selain mengisi lembaga-lembaga strategis, PNI membuat sejumlah kebijakan yang menguntungkan pengusaha PNI. Antara lain dengan mengeluarkan surat izin devisa atau lisensi impor. Pada November 1954, jumlah perusahaan impor lokal meningkat lebih dari 2.000 buah, delapan kali lebih banyak daripada akhir 1950. PNI meraup banyak keuntungan dari pemberian lisensi tersebut.

“Lisensi istimewa diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang sanggup memberikan 10% dari harga lisensi kepada kas partai PNI,” tulis Soebagijo IN dalam biografi Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang. Jusuf yang merupakan tokoh Masyumi mencibir “lisensi istimewa” Iskaq bukanlah kebijakan ekonomi “nasional” tapi “nasionalis”, merujuk pada PNI.

Cara-cara yang dilakukan PNI menuai kecaman dari partai lain. Sejumlah partai koalisi menentang kebijakan ekonomi Iskaq. Karena desakan begitu kuat, pemerintah mengadakan reshuffle kabinet. Iskaq meletakkan jabatan sebagai menteri perekonomian pada 8 November 1954. Iskaq lantas dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan korupsi dan dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan dan denda Rp200.000. Dia bebas setelah mendapat grasi presiden. Ong Eng Die sempat ditahan dan hendak dituntut tapi kabur ke Belanda, tanah air istrinya.


Partai Nahdlatul Ulama

Menurut sejarawan Greg Fealy dalam Itjihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, setelah PNI, NU merupakan partai yang paling banyak dikotori skandal korupsi. Selama pertengahan hingga akhir 1950-an, sejumlah petinggi NU menghadapi berbagai pengungkapan skandal korupsi di media, penyelidikan polisi, dan proses pengadilan tindak pidana korupsi.

Zainul Arifin ditahan pada April 1957 setelah terbukti menerima pinjaman dari Bank Negara sebesar Rp2,5 juta saat menjabat pembantu perdana menteri. Meskipun polisi menyatakan akan menuntutnya, namun perkaranya tidak sampai disidangkan dan penuntut umum membebaskannya pada 1959.

Pada 1957, Ketua III NU Djamaludin Malik ditahan atas tuduhan pinjaman uang negara sebesar Rp45 juta yang diperoleh selama pemerintahan Kabinet Ali II. Hal ini terkait dengan aktivitasnya dalam Bank Masjarakat, dan upaya pengambilalihan perusahaan Belanda, Stroohoeden Veem.

Sekjen Departemen Agama Fachruddin Kafrawi diadili pada 1959 atas tuduhan penggelapan dana Rp8 juta dari kas departemen agama untuk kepentingan pribadi. Dana tersebut juga digunakan untuk modal Bank Masjarakat yang berafiliasi dengan NU.

Tan Eng Hong, anggota Fraksi NU di DPR, ditahan atas tuduhan melanggar undang-undang tentang mata uang asing. Dachlan dan Masykur diperiksa polisi mengenai keterlibatannya dalam transaksi di Bank Masjarakat. Idham Chalid dan Mohammad Ilyas diduga ikut terlibat dalam penjualan tekstil yang semula dimaksudkan untuk dibagi-bagikan secara gratis selama bulan Ramadan.

“Sulit membuktikan semua tuduhan tersebut mengingat hanya sedikit kasus yang berlanjut hingga pengadilan, penyelidikan polisi juga seringkali terhambat oleh campur tangan politik,” tulis Greg Fealy.

Menurut Greg, satu kasus paling serius dan sampai ke pengadilan menimpa Wahib Wahab. Pada 1962, dia dicopot dari jabatannya sebagai menteri agama karena terbukti bersalah atas pelanggaran kepemilikan mata uang asing sebesar 40.900 dollar Malaysia. Dia juga mengadakan transaksi dagang di Singapura tanpa memberitahu pemerintah Indonesia. Dia dikenakan hukuman penjara selama enam tahun dan denda sebesar Rp5 juta. Namun, Sukarno mengubah hukumannya menjadi tahanan rumah.


Partai Sosialis Indonesia

Sepanjang Mei 1957, sudah tiga kali Corps Polisi Militer Bandung memanggil tokoh Partai Sosialis Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo untuk diperiksa namun selalu mangkir. Panggilan itu untuk meminta keterangan seputar perannya dalam aksi pengumpulan dana untuk partai jelang Pemilu 1955. Pemeriksaan juga untuk mengorek keterangan tentang pemberian kredit saat dia menjabat menteri keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap.

“Diduga keras Sumitro menyalahgunakan kedudukannya di pemerintah dengan bertindak pada waktu yang sama sebagai ketua panitia PSI untuk pemilihan, dan menyelewengkan uang negara untuk partainya,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir Politik dan Pengasingan di Indonesia.

Menurut politisi Masyumi Jusuf Wibisono, Khouw Kim Eng, anggota PSI yang tinggal di Cirebon mengaku menyumbang uang ke PSI lewat Sumitro. “Pemeriksa menyita dua buah kuitansi sebagai tanda penerimaan beberapa juta rupiah yang diberikan Sumitro kepada Khouw Kim Eng. Tetapi tersangka waktu itu ternyata sudah ada di Sumatra Barat,” kata Jusuf.

Khouw Kim Eng, direktur NV Libra, menjadi tahanan Kejaksaan Agung pada penghujung 1955. Dia dituduh melakukan kecurangan perdagangan barter dengan Hongkong yang merugikan negara puluhan juta rupiah. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta melepaskannya dan menjadi tahanan luar dengan jaminan uang jutaan rupiah, mobil, rumah, tanah, sawah, dan tokoh penting seperti Iwa Kusumasumantri.

Sumitro menerima panggilan terakhir pada 8 Mei 1957. Sumitro lagi-lagi mangkir. Menurut informasi dari sumber yang dipercayainya, kali itu dia bakal ditahan. Kepada Sutan Sjahrir, Sumitro pamit meninggalkan Jakarta untuk bergabung dengan perjuangan daerah yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat. Dia bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).


Partai Rakyat Nasional

Pada Agustus 1955, Ketua Umum Partai Rakyat Nasional Djody Gondokusumo diciduk di kediamannya oleh Corps Polisi Militer. Beberapa jam setelah penangkapan, petugas Kejaksaan Agung menggeledah sebuah rumah yang biasa dikunjungi Djody. Dalam brankas ditemukan uang sebesar Rp135.000. Jaksa Agung Soeprapto menyatakan perintah penangkapan terhadap Djody terkait korupsi selama menjabat Menteri Kehakiman Kabinet Ali Sastroamidjojo I.

Menurut Deliar Noer dalam Partai Islam dalam Pentas Nasional, sekelompok anggota parlemen dari pihak oposisi menuding Djody melanggar peraturan dalam pemberian visa dan izin masuk ke Indonesia bagi orang-orang asing. Persidangan di Mahkamah Agung memutuskan Djody bersalah. Dia didakwa menerima hadiah sebesar Rp40.000 dari warga asing bernama Bom Kim Tjhong. Dana tersebut sebagai pelicin untuk meluluskan permohonan visa Bong Kim Tjhong.

Keterangan para saksi juga memperkuat dakwaan jaksa penuntut umum. Diketahui kemudian bahwa sebagai Menteri Kehakiman, Djody meminta sesama pengurus PRN untuk mencari sumbangan bagi partai. Uang sebesar Rp40.000 yang menyeretnya ke meja hijau juga untuk mengisi kas partai. Djody dikenakan hukuman dua tahun penjara, namun hanya menjalani masa penahanan sebulan di penjara Cipinang. Djody bebas pada 26 September 1956 setelah mendapat grasi dari Sukarno.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: