Banyak pelajaran yang didapat dari selesainya Pilkada DKI 2017 yang – menurut Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif – menguras banyak tenaga, perhatian dan biaya. Setelah Ibu Kota Indonesia, sejumlah provinsi seperti Jawa Barat dan Jawa Timur akan menggelar pilkada serupa. Dalam konteks ini, para ulama seperti Prof Dr Quraish Shihab senantiasa mengingatkan untuk berhati-hati dalam menentukan pemangku kekuasaan, baik itu dalam skala nasional maupun daerah.
Di depan jemaah Istighosah, pakar tafsir Al-Qur’an ini pernah menyampaikan nasehat yang mengutip sabda Nabi Muhammad Saw. Di antaranya, Nabi mengingatkan “Siapa yang menggebu-gebu untuk meraih kekuasaan, jangan pilih dia.”
Cendekiawan Muslim asal Sulawesi Selatan ini menuturkan, orang yang menggebu-gebu menjadi pemangku kekuasaan sampai memfitnah, melakukan cara-cara yang tidak benar, bisa jadi berhasil mengumpulkan suara rakyat terbanyak, tapi Allah tidak merestuinya.
“Allah membiarkan dia sendiri. Sedang siapa yang melakukan, berusaha, untuk meraih kekuasaan dan kepemimpinan dengan cara-cara yang tepat dan dibenarkan oleh agama, maka Allah yang akan mendukungnya,” katanya.
Raja Namrud di masa Nabi Ibrahim diizinkan oleh Allah untuk berkuasa. Namun siapa saja yang melakukan penganiayaan, maka sejatinya Allah telah menanamkan di hati setiap insan kebencian kepada pelaku penganiayaan walaupun ia bukan penguasa.
“Apalagi kalau ia adalah penguasa. Itu pesan agama,” katanya.
Lebih luas lagi, jika berbicara soal pemimpin ―apa pun bidang kepemimpinannya, baik politik maupun sosial, bahkan keagamaan―Quraish Shihab menjelaskan pentingnya memperhatikan kondisi yang dipimpinnya. Secara umum orang berkata, pemimpin itu berusaha untuk memenuhi keinginan yang dipimpinnya.
Tetapi, itu tidak selalu demikian karena yang dituntut dari pemimpin sebelum memenuhi keinginan itu adalah mengetahui kondisi mereka lalu memilihkan apa yang terbaik buat mereka.
“Memang, boleh jadi pada mulanya apa yang dipilihkan oleh sang pemimpin itu tidak disambut oleh masyarakatnya, tetapi ia harus berusaha dan di sinilah salah satu fungsi kepemimpinan, yaitu memengaruhi yang dipimpin menuju yang terbaik,” katanya seperti dikutip dalam situs resmi Quraish Shihab.
Seorang penganjur agama misalnya, mestinya tidak menghidangkan buat jamaahnya apa yang menyenangkan mereka bila itu tidak berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan tujuan dakwah, bahkan tidak memilih topik pembicaraan jika ada topik yang lebih penting. Sementara penganjur agama dewasa ini turun ke tingkat sementara jamaahnya yang senang mendengar uraian yang mengundang tawa, padahal tujuan dakwah bukan tawa atau tangis pendengar, tapi tujuan utamanya adalah menambah pengetahuan dan atau kesadaran beragama pendengarnya.
“Pemimpin politik pun mestinya demikian. Ia tidak boleh mengikuti kehendak masyarakatnya, apalagi kalau hanya sebagian yang berdemo jika kehendak itu bertentangan dengan sikap dasar negara atau menimbulkan pelanggaran terhadap kebebasan yang diakui oleh negara, bahkan yang bertentangan dengan kemaslahatan negara,” katanya.
Kalau ada sekumpulan anggota masyarakat yang mendesaknya melakukan hal itu, maka di sanalah diuji kepemimpinannya dan sampai di mana ia berhasil memengaruhi mereka agar mereka dapat menerima ajakan sang pemimpin, apalagi jika hal tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Keliru, bahkan sangat tercela dan tidak pantas menjadi pemimpin, siapa yang mengikuti begitu saja desakan sebagian masyarakat dengan dalih atau alasan apa pun.[]
Baca: http://ahlulbaitnabisaw.blogspot.com/2017/04/bikin-haru-tak-cuma-karangan-bunga-3.html
Cuplikan ceramah Quraish Shihab soal kekuasaan:
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email