Rakyat Turki menjalani sebuah referendum untuk memilih apakah negerinya akan dikelola tetap dengan politik parlementer atau menjadi presidensial pada Minggu (16/4/2017). Sebanyak 51 persen rakyat Turki memilih “YA”, sedangkan para penolak yang memilih “TIDAK” harus rela mengalah.
Proposal ini memiliki konsekuensi serius terhadap politik dalam negeri Turki. Diberitakan Reuters, proposal referendum berisi penambahan kewenangan sekaligus jumlah masa jabatan presiden Turki yang kelak memenangkan Pemilu 2019. Erdogan sebagai tokoh sentral koalisi penguasa bisa menjadi presiden hingga tahun 2029. Sebab, siapapun mereka yang menjadi presiden bisa memegang kekuasaannya hingga dua periode.
Di tengah masa pembahasan proposal referendum pada tahun 2016, banyak orang ramai-ramai menentang gagasan referendum Erdogan. Dengan disepakatinya sistem baru, presiden Turki akan menjadi sosok yang super berkuasa.
Otoritas presiden menguat seiring penurunan kekuasaan parlemen dan yudisial. Terdapat hak prerogatif untuk mengangkat jabatan penting di jajaran pemerintahan. Menurut ahli politik Arab dan Turki dari lembaga think tank Council of Foregin Relation, Steven A. Cook, dalam tulisannya di jurnal Foreign Policy, Senin (17/4/2017), menyatakan bahwa “kekuasan semacam itu di tanah Anatolia terakhir dimiliki Sultan Ottoman.”
Republik Turki mewarisi wilayah dan sejarah Kesultanan Ottoman. Sejak didirikan tahun 1301, tanah Anatolia dan bangsa Turki dipimpin oleh sistem sentralistik ala kesultanan.
Sistem pemerintahan berganti pada masa resistensi kaum Nasionalis. Sistem parlementer kemudian menjadi dasar tata negara Turki. Pada 20 Januari 1921, rancangan Republik dengan sistem parlementer disahkan yang kemudian disusul proklamasi oleh Mustafa Kemal Attaturk, Bapak Bangsa Turki. Legitimasi kekuasaan yang sebelumnya dipegang Sultan bergeser ke parlemen, atau dengan kalimat lain, “dari Rakyat Turki untuk Rakyat Turki.”
Dengan kemenangan referendum, para analis menganggap gagasan yang ditelurkan oleh Erdogan dan gerbong partai AKP miliknya diusung seirama dengan wacana politik yang mereka usung.
Erdogan dan AKP memiliki cita-cita kemakmuran dan pembangunan infrastruktur yang tertuang di Rencana 2023. Nilai yang diusung dalam pembangunan tersebut adalah paham konservatif dan Islamis.
Ideologi yang menaungi AKP dan Erdogan muncul sebagai respons kaum Islamis tertindas di masa lampau. AKP dibentuk pada tahun 2001 oleh Necmettin Erbakan, tokoh Islamis penentang paham sekuler Turki sejak tahun 1960. Gagasan AKP diusung dengan penuh dendam terhadap apa yang dilakukan oleh para tokoh sekuler Turki: penindasan, tekanan publik, dan aksi kekerasan.
Sejak menang pada tahun 2001, sepak terjang AKP sangat Nasionalis, Islamis dan anti-Barat. Erbakan pernah berujar bahwa Turki sejatinya ditakdirkan berada di Timur Tengah dan negara mayoritas Muslim lainnya, bukan di NATO atau Uni Eropa. Gagasan ini dilanjutkan oleh tokoh-tokoh dari AKP mulai Abdullah Gul hingga Erdogan terus mewacanakan wajah Turki sebagai negara Islam di tengah demokrasi yang diusung oleh negara-negara Eropa.
Namun, segala sentimen yang ia bangun diterima oleh sebagian warga Turki dan negara lain sebagai ancaman dan ketakutan. Dalam kekuasaan terbatas sekalipun, Turki di tangan Erdogan menjadi Turki yang penuh amarah. Tokoh yang menjadi Presiden Turki sejak tahun 2014 ini dikenal sebagai pemimpin bertangan besi.
Titik balik yang membuat citra Erdogan dari pemimpin sukses menjadi tokoh otoriter terjadi tahun 2016. Saat kudeta militer terjadi pada 26 Juli 2016, penanganan yang dilakukan Erdogan sangat berbeda. Erdogan menunjukkan ujung jarinya terhadap Fethullah Gulen, tokoh agama yang tinggal di AS yang juga musuh politiknya. Erdogan dikenal tak pandang bulu terhadap para musuhnya, entah itu benar-benar musuh atau dipersepsikan sebagai musuh.
Gerakan Gulenis yang diikuti banyak orang telah menjadi sasaran tembak. Hasilnya, 30 ribu orang dipenjara dan diikuti oleh pencabutan hak sipil terhadap 100 ribu orang, semata-mata karena tuduhan sebagai pemberontak.
Pada tahun 2016, Turki juga mendapat label sebagai negara dengan kebebasan pers terburuk. Tercatat sebanyak 148 jurnalis dipenjara. Kantor-kantor media dibredel habis. Lensa para pewarta yang menentukan bandul kebenaran absen di Turki.
Sehingga, gagasan referendum tidak hanya berdampak kepada sistem pemerintahan, tapi juga masa depan Turki di tangan pemimpin yang memiliki rekam jejak kelam. “Hasilnya akan berupa kepemimpinan satu orang. Dan hasil lainnya adalah penindasan,” ungkap pemimpin Partai Rakyat Republik (CHP), Haluk Koc, kepada Guardian.
(Foreign-Policy/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email