Demo Nasionalisasi Freeport
Ada Sindikat Amerika dalam Pilkada Jakarta?
Hujatan terhadap Amerika yang sebelumnya riuh bergemuruh dan bertiup kencang dihembuskan sejumlah kelompok ormas Islam radikal, belakangan sepi-sunyi nyaris tak terdengar entah kemana. Simak opini Sumanto al Qurtuby.
Sebagai gantinya, Cina belakangan (kembali) menjadi sasaran kambing hitam, provokasi dan propaganda kelompok ekstrimis-konservatif ini. Isu “Amerika kapitalis” (kadang-kadang ditambahi Zionis-Salibis) seolah lenyap kemudian diganti dengan “Cina komunis”.
Makian terhadap Amerika sebagai “rezim sekuler-liberal” yang memusuhi Islam dan kaum Muslim ajaibnya juga tak terdengar lagi (untuk sementara).
Kenapa tiba-tiba sejumlah kelompok politik-agama di Indonesia menghentikan (lagi, sementara) isu dan wacana tentang Amerika yang mereka anggap sebagai kapitalis, liberal, sekuler, Zionis, dan musuh Islam? Apakah Amerika (dalam hal ini Pemerintah Amerika Serikat) “ikut bermain” dalam konstelasi perpolitikan di Tanah Air, termasuk dalam Pilkada Jakarta, melalui “sindikatnya” di Indonesia?
Agak aneh terdengar di telinga, misalnya, ketika pemerintah Indonesia sedang berjuang keras melawan Freeport Indonesia, berbagai kelompok politik-agama (Islam) yang dulu begitu gencar dan heroik menyerukan anti-Amerika, tiba-tiba seperti “kerbau yang dicocok hidungnya” diam membisu seribu bahasa.
Bahkan tragisnya para pentolan ormas, elite politik dan elite agama yang selama ini bergaya dalam setiap pidato dan ceramahnya begitu bergemuruh melawan imperialisme, neokolonialisme, kapitalisme, hegemoni barat, dan lain sebagainya tidak membela sedikitpun upaya pemerintah RI untuk menegakkan “kedaulatan politik-ekonomi” dalam kasus Freeport ini. Sebaliknya, mereka malah berpangku tangan dan meminta Indonesia “kompromi” dengan Amerika soal negosiasi Freeport, sebuah “drama komedi” dan “dagelan politik” yang luar biasa lucunya.
Bermain di dua kaki
Jika dikaji secara seksama, Amerika memang selalu bermain di “dua kaki”: kaki (kubu) liberal dan kaki (kubu) radikal. Tujuannya tentu saja untuk melapangkan jalan bagi ideologi kapitalisme dan membungkam pengaruh ideologi komunisme. Itulah garis-garis besar haluan kebijakan politik luar negeri (foreign policy) pemerintah Amerika Serikat.
Simak misalnya studi yang ditulis oleh Perry Anderson (American Foreign Policy and Its Thinkers) atau Steven Hook dan John Spanier (American Foreign Policy since World War II). Kubu atau kelompok mana yang dipandang lebih menguntungkan (secara politik dan ekonomi) untuk “kepentingan nasional Amerika”, maka merekalah yang akan dijadikan sebagai sekutu. Tidak peduli, apakah itu “kaki/kubu liberal” atau “kaki/kubu radikal”. Yang penting menguntungkan.
Maka demikianlah, dalam sejarahnya, Amerika bukan hanya berpatron dengan kelompok atau rezim liberal-sekuler tetapi juga kelompok dan rezim konservatif-radikal. Negeri Paman Sam ini memang bersahabat dengan sejumlah rezim sekuler-liberal di Arab dan Timur Tengah seperti Iran (era rezim Pahlavi), Iraq (era rezim Saddam Hussein, meskipun belakangan digempur), Mesir (era Gamal Abdel Nasser, Anwar Saddat dan seterusnya), dlsb.
Tetapi, Amerika juga bersekutu dengan sejumlah kelompok radikal-konservatif. Sudah bukan rahasia lagi misalnya, pemerintah Amerika-lah dulu yang men-training dan mengfasilitasi kelompok radikal Mujahidin dari berbagai kelompok etnik (Arab, Pasthun, dlsb) di Afganistan, termasuk para pentolan ektremis-teroris yang kelak mendirikan Al-Qaedah, untuk mengusir “tentara merah” Uni Soviet sejak awal 1980-an (simak studi Thomas Barfield, Afghanistan: A Cultural and Political History).
Amerika pula yang awalnya disinyalir turut mendesain pendirian kelompok milisi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), meskipun belakangan mengecamnya karena ISIS “berselingkuh” dengan sejumlah negara lain, seperti ditulis oleh sejumlah sarjana seperti Lawrence Wright, Charles Rister, Ahmed Rashid, dlsb.
Pula, sudah menjadi rahasia umum jika AS menjalin koalisi dengan negara-negara di kawasan Arab Teluk, meskipun dari segi struktur dan praktek politik negara-negara ini dianggap tidak sesuai dengan “standar demokrasi” yang diterapkan di masyarakat Amerika. Tetapi itu tidak penting. Dan memang bukan tujuan utama kebijakan politik Luar Negeri Amerika. Demokrasi hanya “jalan” dan “sarana” saja untuk melapangkan kapitalisme global.
Pemerintah Amerika memang peduli dengan masalah demokrasi, kebebasan, pluralisme, toleransi, hak asasi manusia, perdamaian, dlsb, tetapi semua itu untuk “urusan domestik” di Amerika saja. Amerika juga, tentu saja, antikekerasan, militansi, radikalisme, dan terorisme tetapi kalau menyangkut urusan rumah tangga dalam negeri mereka. Sementara untuk urusan di negara-negara lain, Amerika tidak memperdulikan semua itu. Mereka hanya peduli dengan “kepentingan nasional” dan “kapitalisme global” tadi.
Dengan kata lain, sepanjang negara-negara lain mau berkompromi dan bersedia diajak bisnis atau “berkapitalis ria” dengan Amerika, maka selama itu pula mereka akan aman-aman saja, tidak akan diganggu. Sebaliknya, jika mereka tidak mau mengikuti “kehendak yang maha kuasa” Amerika, selama itu pula mereka akan terus diganggu dan direcoki. Itulah yang terjadi dan menimpa di berbagai kawasan: dari Asia Tengah dan Selatan, Arab dan Timur Tengah, sampai Amerika Latin dan Asia Tenggara.
Indonesia tak luput dari intervensi
Indonesia juga tidak luput dari intervensi Amerika. Ingat, Amerikalah yang dulu turut “menciptakan” rezim Orde Baru di bawah Soeharto dan menumbangkan Bung Karno karena dinilai “terlalu merah” (condong ke Soviet dan Tiongkok). Indonesia saat ini, di bawah Presiden Joko Widodo, juga tidak luput dari “intaian” Amerika, khususnya sejak RI menjalin hubungan erat dengan Rusia (misalnya dalam hal pengembangan alutsista TNI dari kapal selam, rudal, pesawat tempur, hingga tank perang) dan Cina (dalam berbagai investasi dan kerja sama perdagangan). Amerika juga tidak senang dengan Jokowi karena Freeport Indonesia (yang bermarkas di Phoenix, Arizona) diganggu, diturunkan statusnya dari Kontrak Karya ke Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Oleh Amerika, Pilkada Jakarta mungkin dinilai sebagai “pintu masuk” yang cukup baik untuk tangga politik berikutnya yang lebih besar atau sebagai “ajang tawar-menawar” dengan Pemerintah RI. Bukan sebuah kebetulan saya kira jika Wapres Amerika Mike Pence berkunjung ke Jakarta pada saat detik-detik Pilkada.
Kebetulan, paslon Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah “kader” atau “anak didik” Amerika. Anies adalah alumnus University of Maryland dan Northern Illinois University. Sedangkan Sandiaga alumnus Wickita State University dan George Washington University. Sementara itu, sejumlah elit politik dan bisnis seperti Fadli Zon dan Hary Tanoesoedibjo adalah “auliya” dan patron bisnis Presiden Donald Trump. Bukan hanya itu saja, konsultan dan penasehat politik Anies-Sandi, Eep Saefuloh Fatah, juga pernah belajar di Ohio meskipun tidak sampai lulus alias Drop Out. Buni Yani yang menjadi tersangka kasus “video Al-Madiah” juga pernah kuliah di Ohio. Denny JA yang menjadi “buzzer” anti-Ahok, juga alumnus Ohio. Munarman, elite FPI, sudah lama disinyalir sebagai pengacara Freeport. Para elite politik, agama, dan bisnis lain ikut bergabung dengan “grup Amerika” karena memiliki dendam kesumat, baik dengan Jokowi (Presiden Joko Widodo) maupun Ahok (Gubernur Basuki Tjahaja Purnama).
Karena memiliki kesamaan kepentingan dan tujuan (menggulingkan Ahok dan menggerogoti pemerintahan Jokowi), maka bergabunglah berbagai elemen dan elit tadi. Tentu saja isu yang dihembuskan ke publik masyarakat adalah Cina dan komunisme, bukan Amerika dan kapitalisme. Komunis Cina, bukan kapitalis Amerika. Ini persis seperti “drama sosial” saat penggulingan Bung Karno pada 1965/6. Padahal, PRC (People’s Republic of Cina) sekarang adalah negara gado-gado: setengah komunis dan kapitalis. Tidak valid lagi menyebut Cina kontemporer sebagai “rezim komunis”. Agak ironi juga mereka menyerukan bahaya “Cina komunis”. Padahal pada saat yang sama, banyak elit dan pebisnis Cina di belakang Anies-Sandi.
“Teror teologis”
Dalam rumus politik, kepentingan dan tujuan yang samalah yang bisa menyatukan berbagai elemen dan kelompok yang berbeda. Begitu pula dengan Pilkada Jakarta. Berbagai tokoh, kelompok, dan ormas Islam konservatif-esktremis yang sudah sejak lama bernafsu ingin menurunkan Ahok, merasa mendapat momentum. Mereka pun berusaha sekuat tenaga, mengerahkan massa, dan memakai segala cara, termasuk cara-cara kotor dan biadab.
Termasuk cara-cara kotor dan biadab ini misalnya “teror teologis” dengan mengancam tidak menyolatkan jenazah yang semasa hidupnya (maupun keluarganya) mendukung Ahok, kemudian ancaman neraka bagi yang mendukung dan memilih Ahok seraya “mengiming-imingi” surga bagi yang memilih “paslon” Muslim: Anies-Sandi. Demi menurunkan Ahok, mereka rela menyebar hoax dan fitnah keji. Mereka menggelar berbagai kegiatan “ibadah politik” seperti salat di jalan raya misalnya. Mereka juga menggunakan masjid-masjid untuk menyebarluaskan kampanye dan propaganda busuk.
Jadi, bukan sebuah kebetulan kalau sejumlah kelompok, parpol, dan ormas Islam konservatif-radikal untuk sementara “puasa” tidak mengungkit-ungkit Amerika seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Memusuhi Amerika tentu saja sama dengan “melempar kotoran” ke Anies-Sandi dan sangat tidak produktif.
Sebaliknya, bagi Amerika, siapapun “rezim” yang berkuasa di Indonesia tidak masalah, asal bisa diajak untuk kerja sama simbiosis mutualisme dan menguntungkan bagi kepentingan domestik Amerika. Bagi Amerika pula, bekerja sama dengan siapa saja dan kelompok mana saja (radikal atau liberal) di jagat raya ini juga tidak masalah, seperti yang selama ini mereka lakukan, asalkan mereka bisa diajak sama-sama untuk “berkapitalis” ria.
Saya berharap Presiden Jokowi dan elite politik lain bisa jeli membaca situasi dan bijak dalam mengambil keputusan demi kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang lebih luas.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby
*****
(DW/Geril-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email