Presiden Donald Trump Sabtu lalu tiba di Arab Saudi dalam kunjungan kenegaraan pertamanya di luar negeri. Penulis sekaligus wartawan investigasi Max Blumenthal dalam wawancara dengan laman Russia Today mengatakan kunci dari lawatan Trump ke Saudi ini adalah penjualan senjata. Trump tidak akan menyinggung soal pelanggaran hak asasi yang dilakukan Saudi selama ini, meski Negeri Petro Dolar itu tercatat sebagai negara dengan catatan terburuk pelanggaran hak asasi.
Amerika Serikat dan Saudi sudah menjalin hubungan erat selama beberapa dekade. Itu pula yang menjadi dasar perjanjian kerja sama persenjataan militer senilai USD 350 miliar antara kedua negara selama sepuluh tahun dan sebanyak USD 110 miliar akan segera dikucurkan.
Selama masa kampanye menuju kursi presiden, Trump selalu mengatakan Saudi harus bertanggung jawab atas peristiwa serangan 11 September 2001 di New York. Namun di saat yang sama Trump sedang menjalin kerja sama pembangunan hotelnya di Saudi.
Blumenthal menuturkan, Trump memang sudah piawai dalam urusan bisnis. Saudi di mata Trump dan menantunya Jared Kushner adalah ladang bagi pundi-pundi uang mereka. Jadi hubungan antara Trump dengan Saudi sudah lebih jauh dari yang orang kira.
Sebelum tiba di Saudi, Kushner meminta perusahaan teknologi pertahanan Lockheed Martin memberikan kerja sama senilai USD 100 miliar kepada Saudi.
“Angka itu disebut sebagai yang terbesar dalam sejarah dan persenjataan itu nantinya akan digunakan untuk membantai warga sipil di Yaman,” ujar Blumenthal, seperti dilansir laman Russia Today, Jumat (19/5).
Penjualan senjata ini jelas berhubungan dengan kawasan Timur Tengah yang selalu bergolak. Trump tidak akan mengangkat isu pelanggaran hak asasi di Saudi karena itu jelas bertentangan dengan perjanjian kerja sama senjata ini.
“Hubungan AS-Saudi selalu tidak jauh-jauh dari soal minyak. Saudi masih sebagai negara penghasil minyak terbesar di dunia, maka jelas ada hubungan dengan minyak dan penjualan senjata. Trump juga punya alasan bisnis pribadi dengan Saudi terkait hotel-hotelnya dan sebagainya.
Menurut kartunis politik Ted Rall, Trump bukanlah presiden AS pertama yang ‘menjilat Saudi’.
“Setiap presiden AS melakukannya: Demokrat, Republikan, Obama, George W Bush, Bill Clinton, mereka melakukannya sejak 1950-an. Tak ada yang baru. Ini hanya kelanjutan dari hubungan yang sudah terbangun lama. Di saat AS mengajari negara lain soal pelanggaran hak asasi, sementara Saudi adalah negara dengan catatan pelanggaran hak asasi terburuk di dunia,” ujar Rall.
(Merdeka/Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email