Sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara sangat lekat dengan Kudus. Ada dua Sunan yang bermukim di Kudus, yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria. Selain meninggalkan warisan tradisi Islam, Sunan Kudus juga mewariskan masjid yang kini berusia 468 tahun. Masjid yang memiliki menara berbentuk candi itu dikenal masyarakat sebagai Masjid Menara Kudus.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Menara Kudus menjadi simbol pengalaman ratusan tahun mengelola keberagaman etnis dan agama masyarakat Kudus.
“Menara Masjid Kudus yang merupakan menara Masjid tertua di Jawa juga berbentuk candi sebagai bentuk asimilasi budaya di masa lalu. Bahkan di depan Masjid Kudus, terdapat Klenteng tempat ibadah kawan-kawan yang beragama Budha. Semuanya berbaur dengan rukun selama ratusan tahun,” kata Bupati Kudus Musthofa, Jumat (24/5/2017) lalu.
Selain memiliki menara masjid tertua di pulau Jawa, Masjid Menara Kudus juga dihiasi ornamen yang kental dengan nuansa artikulasi budaya Hindu, Budha, Jawa, dan Tiongkok. Di dalam kompleks masjid terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadopsi keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika Marga.
Sementara menara masjid memiliki bentuk menyerupai candi Jawa-Hindu dan terbuat dari bata merah yang dipasang tanpa perekat semen. Menara setinggi 18 meter itu dihiasi 32 piring keramik bergambar yang semuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta, dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang.
Sunan Kudus juga meninggalkan warisan berupa tradisi mengonsumsi daging kerbau. Bagi sebagian besar warga Kudus, memotong sapi adalah hal yang dianggap melanggar tradisi. Menurut Bupati Musthofa, kebiasaan masyarakat Kudus yang lebih memilih mengonsumsi daging kerbau ketimbang sapi lantaran patuh pada anjuran Sunan Kudus agar menghormati masyarakat Hindu.
Musthofa mengaitkan keberagaman di Kudus dengan keyakinannya bahwa masyarakat Jawa Tengah (Jateng) tidak akan dilanda perpecahan akibat isu SARA, terutama ketika masa Pilkada 2018 mendatang. Sebab toleransi di masyarakat sudah sedemikian kuat.
“Jangan samakan Jateng dengan Jakarta, yang rakyatnya terbelah gara-gara isu SARA terbawa dalam Pilkada. Saya yakin Pilgub Jateng mendatang akan lebih damai, guyub rukun dan rakyat yang juara. Kearifan lokal yang ada di Jateng menjadi benteng menyikapi perbedaan kecil saat Pilgub 2018 mendatang,” ulas kandidat cagub Jawa Tengah ini.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email