Pesan Rahbar

Home » » Mengenal Khadijah Al-Kubra

Mengenal Khadijah Al-Kubra

Written By Unknown on Sunday 4 June 2017 | 20:30:00


Makkah pada abad VI Masehi tercatat sebagai salah satu jalur utama perdagangan internasional. Untuk mengekspor barang ke Suriah, pedagang dari India dan China harus berlayar hingga ke Yaman. Dari Yaman, barang dagangan diteruskan dengan armada ‘kereta’ unta ke negeri-negeri kawasan utara jazirah Arab via Makkah.

Dalam kafilah itu, pedagang Yaman sekalian mengikutsertakan barang dagangannya, berupa kopi, obat-obatan, parfum, dan masih banyak lainnya.

Sebaliknya, eksportir dari wilayah utara pun berdatangan melalui Makkah dengan tujuan pelabuhan Yaman yang terletak di selatan teluk Arab. Di Makkah, mereka menukar kuda dan unta serta menambah bekal untuk perjalanan selanjutnya ke Yaman.

Sementara itu, penduduk Arab dari berbagai suku yang mendiami bagian tengah dan timur jazirah, berdatangan ke Makkah untuk membeli barang dengan cara barter komoditi. Mereka membeli barang yang tidak dihasilkan di wilayahnya masing-masing. Oleh sebab itu, selain menjadi jalur utama perdagangan internasional, Makkah juga menjadi pusat pertukaran barang.

Penduduk Makkah sendiri memanfaatkan “bonus” keramaian ini dengan menjual berbagai bentuk jasa ekspor-impor ke para kafilah dagang. Suku Quraisy hampir tak tertandingi dalam soal ini. Mereka menguasai hampir semua jalur perdagangan dari India, Cina, Afrika dan Suriah.

Dengan modal ini, suku Quraisy melahirkan para pengusaha eksportir hingga menjadi industri utama di Makkah. Mereka menjual barang dagangan bukan hanya di sekitar Makkah, tapi juga ke luar jazirah Arab. Mereka membentuk kafilah dagang mulai dari yang kecil, dengan jumlah ratusan ekor unta, hingga kafilah dagang yang terdiri dari ribuan unta. Jumlah pasukan keamanan yang disewa pun tergantung nilai dan jumlah barang. Di antara pengusaha eksportir yang disegani dari suku Quraisy ialah Khuwaylid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qusay. Dari Bani Qusay jugalah keluarga Bani Hasyim dilahirkan termasuk, belakangan, Nabi yang dinantikan sebagai penutup kenabian, Muhammad bin Abdullah.

Sekitar 585 Masehi, Khuwaylid wafat dan meninggalkan harta warisan yang terbilang banyak pada anak-anaknya. Istri Khuwaylid telah wafat 10 tahun lebih dulu. Di antara anak-anaknya, hanya putrinya, Khadijah, yang mampu mewarisi keterampilan ayahnya dalam usaha eksportir. Usaha ayahnya diambil alih oleh Khadijah dan dikembangkan dengan jerih payahnya sendiri. Dengan kerja kerasnya, ia akhirnya mematahkan opini publik yang memandangnya kaya hanya karena warisan. Selain dikenal cerdas dan tidak suka berfoya-foya, Khadijah dikenal juga sebagai tokoh Quraisy yang peka terhadap masalah sosial.

Dari tangannya, banyak orang fikir-miskin Makkah, yatim piatu dan orang cacat terbantu kehidupannya. Dia juga memodali pernikahan gadis yang kurang mampu.

Sebagaimana ayahnya dan para pedagang Quraisy lainnya, Khadijah mengirim kafilah ke Suriah pada musim panas dan ke Yaman pada musim dingin. Untuk memastikan tidak terjadinya transaksi yang merugikan dalam perjalanan, para pemilik usaha dagang berusaha untuk ikut memimpin kafilah. Namun ketika mereka harus tinggal di Makkah, mereka harus menunjuk agen yang terpercaya, memiliki kompetensi dan kemampuan memimpin kafilah. Memilih agen level ekspor-impor tidaklah mudah karena tanggung jawabnya yang sangat tinggi. Minimal mengawal rombongan kafilah selama perjalanan hingga balik dengan selamat dan membawa keuntungan. Sebagai pengusaha besar yang lebih suka tinggal di rumah, Khadijah tidak pernah ceroboh dalam memilih agen untuk tiap kafilah dagangnya.

Dengan ketekunan, ketelitian dan kecerdasan, usaha dagang Khadijah senantiasa menghasilkan keuntungan berlipat-lipat. Dengan kepiawaian inilah sehingga setiap yang disentuh oleh Khadijah seolah “menjadi emas”. Dalam kitab Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, digambarkan barang dagangan Khadijah dalam sekali ekspor sama nilainya dengan barang dagangan seluruh pengusaha di Mekkah pada masa itu. Tak heran jika perempuan kaya raya dan berhati emas ini dijuluki “Ratu Makkah”.


Mayoritas masyarakat Arab pada abad VI Masehi meyakini patung berhala dapat mendatangkan keberuntungan. Mereka memahat patung, memberikan nama lalu menyembahnya. Berjudi, mabuk, perang, menyiksa binatang dan tawanan perang hingga mati adalah kegemaran suku-suku di Arab. Bahkan salah satu tradisi zaman itu ialah mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru lahir.

Sebagian dari mereka takut anak perempuannya kelak menjadi tawanan perang antar suku. Martabat mereka seolah diinjak-injak jika anaknya yang ditawan dijadikan budak oleh musuh. Sebagian juga menganggap perempuan sebagai pembawa nasib sial. Meskipun ada perempuan yang dibiarkan hidup, mereka tetap diperlakukan sebagai kelas terendah dalam masyarakat.

Meskipun masyarakat Arab kala itu identik dengan kasar, brutal, memandang rendah wanita dan penyembah berhala, namun tidak semua orang Arab berkarakter demikian. Segelintir dari mereka tidak percaya dengan berhala dan tidak pernah menyembahnya. Salah seorang di antara mereka ialah Waraqah bin Naufal yang menjadi pengikut setia ajaran Nabi Ibrahim.

Waraqah merupakah saudara sepupu Khadijah yang termasuk sanak keluarga tertua. Ajaran Tauhid yang diimaninya menjadikan ia sebagai orang Arab yang tidak pernah menyekutukan Tuhan, berjudi, mabuk, apalagi membunuh manusia yang tak berdosa. Sebaliknya, ia mengutuk penyembahan berhala, membela hak-hak anak perempuan, menyantuni yatim piatu, dan membantu orang-orang tertindas.

Sepupu Khadijah ini salah satu dari segelintir orang Arab yang terpelajar. Salah satu penulis buku biografi Khadijah menggambarkan Waraqah kerap membaca kitab-kitab yang ditulis teolog Yahudi dan Kristen. Selain itu, ia juga menerjemahkan kitab Injil dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab.

Di zamannya yang gelap dengan kebodohan dan kedzaliman, Waraqah memiliki cita-cita luhur untuk perubahan masyarakatnya. Gagasan-gagasannya senantiasa menginspirasi Khadijah yang juga penganut pandangan dunia Tauhid. Sayangnya, Waraqah belum menemukan cara bagaimana mewujudkan gagasannya itu hingga ia menghembuskan nafas yang terakhir.

Dengan iman yang teguh, kejernihan berpikirnya, ketekunan dan kedermawanannya, Khadijah hidup di tengah masyarakat yang memandang perempuan sebagai kelas terendah. Namun keberhasilannya yang gemilang dalam usaha ekspor-impor membuat Khadijah dihormati dan disegani oleh penduduk Makkah. Bahkan laki-laki yang mendominasi masyarakat Arab dengan keangkuhan itu menjuluki Khadijah sebagai ‘Ratu Makkah’.

Tidak hanya itu, mereka juga memberi gelar ‘Ath-Thahirah’ (yang suci) kepada putri Khuwaylid bin Asad ini. Selain dikenal sukses dalam bisnis, track record-nya di mata masyarakat tanpa cacat. Tidak seperti orang kaya lainnya, perempuan darah biru ini senantiasa bersikap rendah hati, suka menolong, hidup sederhana, dan jujur.

Keindahan dan keagungan akhlaknya membuat setiap pangeran dan bangsawan di Arab terpesona padanya. Satu per satu dari mereka datang melamar namun tidak satu pun yang membuat Khadijah jatuh cinta. Ada yang berusaha mengumpulkan harta sebanyak mungkin untuk memikat hati Khadijah. Ada juga berusaha melobi para sesepuh bangsawan untuk menundukkan Khadijah. Tapi semuanya tertolak. Sikap Khadijah yang dikenal tidak pernah ceroboh ini membuat masyarakat selalu bertanya-tanya; siapa sesungguhnya laki-laki pilihan Khadijah?


Di antara pengusaha ekspor-impor dari suku Quraisy yang sering ke Syiria ialah Abu Thalib bin Abdul Muthalib dari Bani Qusay. Selain dikenal sebagai pedagang, dia juga dikenal sebagai penjaga Ka’bah yang dibangun oleh kakeknya, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Abu Thalib punya empat orang saudara laki-laki, di antaranya ialah adiknya Abdullah.

Pada 570 Masehi, Abdullah menikah dengan seorang putri dari Yastrib bernama Aminah bin Wahab. Beberapa bulan setelah menikah, Abdullah berangkat ke Syria untuk berdagang. Ketika pulang dari Syria, putra Abdul Muthalib yang masih berusia 17 tahun ini jatuh sakit dan akhirnya meninggal.

Abdullah meninggalkan istrinya yang sedang mengandung di Makkah. Dua bulan setelah wafatnya, Aminah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Muhammad bin Abdullah. Ketika Muhammad berusia 6 tahun, ibunya menyusul ayahnya dan jadilah putra Abdullah ini yatim piatu.

Sepeninggal ibunya, kakeknya Abdul Muthalib mengasuh Muhammad. Setelah dua tahun diasuh, kakeknya meninggal dunia setelah mewasiatkan kepada Abu Thalib untuk menjaga Muhammad. Saat itu Abu Thalib yang dikenal sebagai penjaga Ka’bah dan pedagang, telah menjadi pemimpin Bani Hasyim menggantikan Abdul Muthalib. Di bawah asuhan pamannya, Muhammad kecil tumbuh remaja hingga kelak dikenal sebagai pembawa risalah Islam “rahmatan lil ‘alamiin”

Salah satu pelajaran yang banyak menginspirasi Muhamamad ialah ketika menemani pamannya berdagang ke Syria. Di sisi lain, semakin lama ia mengamati Muhammad dalam berbagai aktivitas, Abu Thalib semakin mencintai Muhammad.

Di mata Abu Thalib, Muhammad kecil tidak tampak berperilaku seperti anak-anak umumnya. Di masa remaja, Muhammad memiliki kematangan berpikir dan sikap bijaksana yang sangat menakjubkan. Cara pandang dan pola hidupnya tidak seperti anak remaja lainnya yang lebih suka bersenang-senang dalam kenikmatan duniawi.

Di usia 20 tahun, akhlak Muhammad semakin dikenal luas masyarakat. Lisannya senantiasa jujur, berbanding lurus dengan perbuatannya sehari-hari. Sedemikian sehingga masyarakat memanggilnya dengan “As Shadiq” (yang benar). Setiap barang yang dititipkan ke Muhammad senantiasa dijaga dengan hati-hati dan dikembalikan dengan utuh ketika diminta. Sikapnya yang amanah dan jauh dari sikap ceroboh membuat ia juga dipanggil “Al Amiin” (Yang dapat dipercaya).

Pada musim semi 595 Masehi, Khadijah mempersiapkan khafilah dagang anyar ke Syria. Sebagaimana musim-musim sebelumnya, Khadijah yang pandai dalam hal organisasi khafilah dagang, membentuk panitia penyeleksi agen. Setelah panitia terbentuk, pengumuman lowongan kerja agen ini dipublikasikan sebelum uji kelayakan diadakan.

Abu Thalib tertarik mengikutsertakan Muhammad dalam lowongan kerja ini. Meskipun Muhammad belum memiliki pengalaman sebagai agen, pamannya tetap percaya karena kecerdasan, kejujuran, keberanian dan sikap amanah pada diri Muhammad yang luar biasa. Muhammad yang berusia 25 tahun kala itu setuju dengan apa yang ditawarkan pamannya.

Muhammad yang nama baiknya dikenal luas oleh masyarakat itu juga tidak luput dari telinga Khadijah. Oleh karena itu, ketika Khadijah mengetahui Muhammad ikut melamar menjadi agen, Khadijah serta merta menerimanya tanpa uji seleksi. Setelah melakukan kontrak, Khadijah meminta sekeretarisnya Maysarah untuk menemani Muhammad dalam perjalanannya.

Sebelum malam tiba, bel dibunyikan tanda pemberangkatan unta-unta dengan seluruh muatannya dimulai. Kafilah menuju utara dan menempuh pejalanan selama sebulan untuk sampai di Syria. Sesampainya di Syria, rombongan beristirahat selama seminggu untuk melepaskan penat perjalanan. Setelah itu, mereka mulai berdagang dua hingga empat bulan lamanya. Khadijah yang dikenal tidak pernah ceroboh dalam memilih agen lagi-lagi telah diperhitungkan bakal mendulang keuntungan besar pada musim ini. Meskipun telah banyak mendengar tentang Muhammad, Khadijah terkejut dengan kuntungan melimpah yang dibawa Muhammad. Selama Khadijah memimpin usaha ekspor-impor, inilah keuntungan tertinggi yang diperolehnya dari Muhammad. Ia tak pernah melihat agen seperti Muhammad sebelumnya, dan tidak juga setelahnya. Jika Khadijah dikenal memiliki “sentuhan emas”, maka Muhammad memiliki “sentuhan yang diberkahi”….


Adalah tradisi bagi penduduk Makkah menyambut dengan meriah kepulangan kafilah yang berdagang berbulan-bulan di negeri seberang. Hampir semua penduduk Makkah menginvestasikan hartanya dalam industri ekpor-impor ini. Ribuan unta, ratusan budak, kuda dan keledai, kulit binatang, anggur kering, perak, yang diberangkatkan ke Syria kembali dengan bentuk minyak, parfum, dan barang-barang produksi Syria, Mesir, serta Persia. Adapun barang yang datang dari kawasan selatan biasanya berupa emas, dan rempah-rempah.

Kafilah besar yang dipimpin Muhammad pertama kalinya bukan hanya kembali dengan selamat tapi juga mendatangkan keuntungan paling yang tertinggi dalam sejarah bisnis Khadijah. Setelah tawaf tujuh kali di Ka’bah, Muhammad menemui Khadijah dengan membawa dokumen-dokumen penting. Pemuda berusia 25 tahun ini melaporkan catatan transaksinya dengan jelas, detail dan rapi.

Setelah Muhammad pulang ke rumah pamannya, Khadijah bertemu Maysarah. Selain bercerita tentang keuntungan yang dihasilkan, Maysarah lebih banyak bercerita tentang kepribadian Muhammad. Selama di perjalanan, sekretaris Khadijah ini memperhatikan Muhammad dari cara memimpin, berdagang, menyikapi masalah, memutuskan kebijakan dan segala karakternya yang amanah, berani dan santun. Apa yang Maysarah rekam selama menemani Muhammad didengarkan oleh Khadijah hingga Ratu Makkah ini pun terpesona dengan Muhammad.

Ketika Waraqah bin Naufal datang, Khadijah menceritakan tentang pemuda yang menjadi agen kafilah dagangnya. Setelah mendengar cerita Khadijah, Waraqah menemui Maysarah untuk mendapatkan cerita yang lebih detailnya. Mendengar cerita dari keduanya, saudara sepupu Khadijah ini terdiam dan merenung cukup lama. Penganut ajaran Tauhid dan pembaca naskah-naskah teolog Nasrani dan Yahudi ini berkata pada Khadijah:

“Mendengar cerita darimu dan Maysarah tentang Muhammad, dan juga apa yang kulihat sendiri, aku berpendapat ia memiliki semua sifat-sifat serta kemampuan sebagai utusan Allah. Mungkin beliaulah yang ditakdirkan untuk menjadi salah seorang di antara para rasul di masa yang akan datang.”

Kekaguman Khadijah pada agen kafilahnya tercium oleh sahabat karibnya, Nafisah (atau Nufaysah), yang juga perempuan bangsawan Makkah. Nafisah pernah terheran-heran pada Khadijah yang menolak para pangeran dan bangsawan Arab yang datang melamarnya. Hingga pada akhirnya Nafisah mengetahui bahwa laki-laki yang bergelimangan harta ataupun kekuasaan bukanlah kriteria menarik bagi Khadijah. Putri Khuwaylid ini hanya tertarik pada laki-laki yang memiliki akhlak yang mulia. Nafisah juga tidak ketinggalan berita tentang pemuda dari Bani Hasyim yang selama ini dikenal masyarakat sebagai Al Amiin (yang terpercaya) dan As Shadiq (yang jujur). Apalagi adanya kabar tentang kesuksesan Muhammad sebagai agen kafilah dagang Khadijah.

Diriwayatkan ketika Muhammad pulang dari Ka’bah, Nafisah menghentikan langkahnya. Setelah bertegur sapa, Nafisah memulai perbincangan,

“Wahai Muhammad, Anda adalah pemuda yang belum menikah. Banyak laki-laki yang lebih muda dari Anda dan sudah menikah. Sebagian di antaranya bahkan telah memiliki anak. Mengapa Anda belum menikah?”

“Aku belum mampu untuk menikah. Aku tidak memilik harta yang cukup untuk menikah,” jawab Muhammad.

“Apa jawaban Anda bila ada seorang wanita yang cantik, kaya, dan terhormat mau menikah dengan Anda walaupun Anda tidak memiliki harta yang cukup untuk menikah?” Nafisah ingin memancing isi hati Muhammad

“Siapakah wanita yang Anda maksud?”

“Wanita yang aku maksud ialah Khadijah putri Khuwaylid.”

“Khadijah? Bagaimana mungkin Khadijah mau menikah denganku? Bukankah Anda sendiri tahu bahwa banyak pangeran kaya raya, dan kepala suku yang datang untuk melamarnya. Apakah dia telah menolak semuanya?” Kata Muhammad seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Bila Anda mau menikah dengannya, katakan saja, dan serahkan kepadaku. Aku yang akan mengurus semuanya.” Nafisah kembali memancing Muhammad sambil menawarkan solusi yang kongkrit.

Muhammad tidak serta merta memberikan jawaban kepada Nafisah. Tawaran menikah dengan Ratu Makkah ini disampaikan Muhammad kepada pamannya Abu Thalib untuk mendapatkan pertimbangan. Muhammad yang bijak ini sangat paham jika pamannya telah mengenalnya sejak kecil dan juga lebih mengenal siapa sosok Khadijah binti Khuwaylid.


Setelah bertemu Nafisah, Muhammad pulang ke rumah pamannya Abu Thalib untuk meminta pendapat dan saran. Di rumah pamannya, ia ceritakan tawaran Nafisah untuk menikahi sahabatnya, Khadijah. Tanpa pikir panjang, Abu Thalib menyambut baik dan mendukung Muhammad untuk menikahi perempuan yang dikenal sebagai ‘Ratu Makkah’ ini.

Sebagai salah satu pemuka Bani Hasyim, Abu Thalib mengenal Khadijah dengan baik. Selain memiliki akhlak yang luhur, Khadijah juga termasuk segelintir penduduk Makkah yang memiliki keyakinan Tauhid dan tidak menyembah berhala. Abu Thalib mengutus adik perempuannya, Shafiyah, ke rumah Khadijah untuk menyampaikan jawaban Muhammad atas tawaran yang disampaikan Nafisah.

Khadijah, yang juga telah mendengar kabar dari Nafisah, sedang menantikan kedatangan utusan dari Muhammad. Di rumah Khadijah, Shafiyah disambut dengan ramah. Kepada Shafiyah, putri Khuwaylid ini menyampaikan bahwa ia telah bulat memilih putra Abdullah bin Abdul Muthalib itu sebagai calon pendamping hidupnya. Bahkan Khadijah menerima Muhammad untuk datang melamarnya tanpa syarat apapun.

Dengan rasa senang, Shafiyah pulang ke rumah kakaknya dan menyampaikan kabar gembira dari rumah Khadijah itu untuk Muhammad. Bahkan Khadijah memberikan adik Abu Thalib itu hadiah baju yang indah sebelum meninggalkan rumah.

Abu Thalib melangkah ke tahap selanjutnya. Ia mengajak saudara-saudaranya seperti Hamzah dan Abbas untuk menemani Muhammad melamar Khadijah.

Dengan membawa sejumlah hadiah, rombongan calon mempelai pria tiba di rumah Khadijah. Proses lamaran dilakukan dengan adat istiadat penduduk setempat. Khadijah yang ditemani para kerabatnya tentunya menerima lamaran Muhammad dan kedua belah pihak bermusyawarah untuk penentuan tanggal pernikahan.

Dengan diterimanya lamaran Muhammad oleh Khadijah, selangkah lagi kecemasan Abu Thalib akan hilang ditelan kebahagiaan tak terkira. Sebelumnya, Abu Thalib sering mencemaskan tentang sosok perempuan yang akan menjadi pendamping hidup Muhammad. Karena kesempurnaan akhlak Muhammad, kasih sayang Abu Thalib semakin tak terbatas kepada kemenakannya itu. Abu Thalib tidak meragukan lagi bahwa pasangan Muhammad dan Khadijah merupakan pasangan yang agung nan serasi. Tiada perempuan yang pantas bagi Muhammad kecuali Khadijah dan tiada laki-laki yang ideal bagi Khadijah melainkan Muhammad.

Tahap berikutnya, Abu Thalib mempersiapkan pernikahan kemenakannya yang tercinta, Muhammad. Barang-barang sakral seperti jubah dan tongkat yang diwariskan leluhur Bani Hasyim dikeluarkan untuk dipakai Muhammad. Pada momentum yang agung itu, Abu Thalib mengenakan sorban hitam lambang kaumnya di atas kepala Muhammad dan sebuah cincin akik hijau di jarinya.

Di pembukaan pernikahan, Abu Thalib menyampaikan pidato mewakili mempelai pria dilanjutkan Waraqah bin Naufal mewakili mempelai wanita. Ahli sejarah, M. Syibli menulis dalam syirah-nya bahwa mahar yang diberikan untuk Khadijah sebanyak lima ratus keping emas.

Setelah akad nikah ditunaikan, perayaan walimah selama tiga hari diadakan dengan mengundang seluruh penduduk Makkah. Semua orang terpesona melihat walimah, sebuah perayaan yang pertama kali diadakan di Makkah. Pada tahun-tahun berikutnya, perayaan pernikahan seperti yang diinisiasi Abu Thalib ini menjadi tradisi dalam Islam untuk mengenang pernikahan Muhammad dan Khadijah.

Setelah walimah di rumah Abu Thalib, giliran Khadijah merayakan di rumahnya. Seperti biasanya, Khadijah yang dikenal dermawan dan murah hati tidak melewatkan rasa bahagia dan kesyukurnya ini tanpa berbagi ke sesama penduduk Makkah. Karena itu, perempuan kaya Makkah ini mempersiapkan jamuan terbesar yang pernah ada dalam sejarah Makkah.

Sedemikian besarnya, pengemis Makkah dan musafir yang melewati kota ini tidak luput dalam daftar tamu. Mereka dijamu dengan berbagai menu makanan lezat yang mungkin tak pernah mereka rasakan sebelumnya.

Semua lapisan masyarakat, dari yang miskin hingga kaya menikmati jamuan Khadijah selama tiga hari di tempat yang sama. Kepada orang-orang miskin, Khadijah menambahkan dengan memberi beberapa keping emas dan pakaian. Demikian pula kepada para janda, Khadijah mencukupi beberapa kebutuhan hidup yang belum pernah mereka miliki sebelumnya.


Pertanyaan penduduk Makkah tentang siapa laki-laki idaman Khadijah telah terjawab. Setelah menolak lamaran para pangeran dan bangsawan Arab, hati Khadijah akhirnya berlabuh pada pemuda yang bernama Muhammad.

Nah, belum lama penduduk Makkah menyaksikan pernikahan agung dan walimah terbesar yang pernah mereka lihat, Khadijah kembali membuat sejarah. Mungkin tidak ada perempuan di tanah Arab yang membawa harta bendanya ke rumah suaminya sebanyak yang dibawa Khadijah.

Dia menyerahkan ke suaminya semua harta benda yang tak ternilai harganya, yang dihasilkan oleh usahanya sendiri dalam bidang ekspor-impor. Tentunya yang paling tak ternilai dibawa ke rumah Muhammad ialah kekayaan hati dan pikiran Khadijah.

Setelah mendapatkan kekayaan yang paling agung bernama Muhammad, harta benda seperti emas, perak, berlian, dll. seakan tak punya nilai lagi bagi kehidupannya. Laki-laki yang kelak terpilih sebagai pembawa risalah Ilahi ini menjadi satu-satunya yang disayangi, diperhatikan dan dicintai. Di sisinya, Khadijah kembali menyusun peta hidupnya. Khadijah menarik diri dari dunia bisnis secara bertahap.

Pada tahun-tahun awal setelah pernikahannya, Khadijah masih mengekspor barang ke Syria dan Yaman. Namun kali ini, keuntungannya tidak lagi digunakan untuk memperluas usahanya seperti sebelum menikah. Khadijah justru menjual barang dagangannya secara ecer sampai semua habis dan menarik kembali semua investasinya.

Memasuki kehidupan barunya, Khadijah mencurahkan perhatiannya, sebagai istri yang bertanggungjawab, untuk pengabdian pada suaminya yang tercinta. Baik Khadijah maupun Muhammad, keduanya mencari kebahagiaan yang paling suci melalui rumah tangga yang mereka bangun.

Lembaran demi lembaran kehidupan mereka jalani bersama dalam suka dan duka. Salah satu lembaran kebahagiaan ialah dikaruniakannya seorang putra bernama Qasim. Sejak kelahiran anak pertama ini, Muhammad kerab disapa dengan Abul Qasim (Ayahnya Qasim).

Kelahiran kedua, mereka dikaruniai kembali seorang putra yang diberi nama Abdullah. Kedua putra Muhammad ini meninggal dunia ketika masih bayi. Tuhan akhirnya memberikan seorang putri bernama Fatimah Azzahra, yang bertahan hidup menemani Khadijah dan Muhammad hingga kedua orangtuanya itu wafat.

Anak ketiga ini merupakan karunia terbesar dalam lembaran pernikahan mereka. Dialah yang menjadi “cahaya mata” bagi Muhammad dan Khadijah. Sedemikian cintanya, seluruh kasih sayang keduanya dicurahkan kepada putrinya ini. Meskipun menarik diri dari dunia bisnis ekspor-impor, ibu Fatimah Azzahra ini tidak berhenti mengejawantahkan kedalaman pemikirannya dan keluasan hatinya dalam kehidupan sehari-hari.


Lahirnya Fatimah az-Zahra tidak hanya mengobati duka Khadijah atas wafatnya kedua putranya. Anak ketiga ini juga menjadi anugerah “cahaya mata” bagi ayahnya, khususnya dalam masa-masa getir yang kelak dialami Muhammad saw. Fatimah tumbuh di antara kedua orang tuanya yang berakhlak agung dan mulia. Jauh sebelum Muhammad mendapatkan mandat ilahi ‘Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin’, sesungguhnya keduanya telah menjalankan ‘Islam’ yang penuh cinta dan bersendi rasionalitas. Keduanya tak pernah tercatat sebagai penyembah berhala dan akhlaknya di tengah-tengah masyarakat tanpa cacat.

Sejak usia muda, Muhammad telah dijuluki penduduk Makkah sebagai As Shodiq (yang benar) dan Al Amin (yang terpercaya). Di tengah masyarakat yang dikenal jahiliyah itu, Muhammad dan Khadijah menjalankan aktivitas sosial tanpa harus mengurung diri di dalam rumah. Dalam sejarah, setiap perilaku Muhammad merupakan khutbah ‘tanpa kata-kata’.

Pada usia 40 tahun, Muhammad diperintahkan oleh Tuhannya, melalui Malaikat Jibril, untuk menyampaikan risalah Islam ke umat manusia.

Mandat Ilahi itu ia terima dengan, mula-mula, menyampaikan tanggungjawab atas kerasulannya kepada istrinya yang tercinta, Khadijah. Perempuan yang dijuluki Al Kubra (yang agung) itu dilaporkan dengan tulus berkata, “Tuhan adalah pelindungku Wahai Abul Qasim!” Ibu Fatimah ini melanjutkan, “Bergembiralah. Ia yang menggenggam kehidupanku adalah saksiku bahwa kau akan menjadi Rasul umat-Nya…Bukankah kau selama ini bersikap baik kepada kaum dan tetanggamu, murah hari kepada orang-orang miskin, ramah terhadap orang asing, menepati setiap janjimu dan selalu membela kebenaran?”

Adalah wajar bila Khadijah langsung menerima kerasulan suaminya dengan mengucap dua kalimat syahadat. Putri Khuwaylid ini termasuk dari segelintir orang Makkah yang masih mengikuti ajaran Nabi Ibrahim. Selain itu, Khadijah banyak belajar dari saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang telah melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad kala masih muda. Oleh sejarah, Khadijah tercatat sebagai Muslimah pertama yang mengamini kenabian dan kerasulan Muhammad. Perempuan inilah yang pertama kali salat di belakang Rasul, setelah sebelumnya belajar tata cara wudhu dan salat.

Belajar dari nabi-nabi sebelumnya, Khadijah sangat menyadari apa yang akan dihadapi suaminya. Sebagai istri sekaligus mukmin sejati, ia telah mewakafkan seluruh harta dan jiwanya untuk mendukung perjuangan Muhammad. Memasuki periode perjuangan ini, Khadijah menggenggam erat-erat firman Ilahi;

Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.”

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta Alam. Tiada sekutu bagiNya, dan demikianlah itu yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyarankan diri (kepada Allah)” [QS. 6: 161-163].


Deklarasi dakwah Nabi dimulai. Satu demi satu penduduk Makkah, khususnya kerabatnya dari Bani Hasyim, mengikuti ajaran Muhammad Saw. Kabar tentang ‘ajaran baru’ yang dibawa Muhammad semakin tersiar. Sebagian penduduk mulai ragu dengan berhala yang mereka sembah selama ini. Kaum Quraisy, khususnya dari Bani Umayyah, terancam krisis upeti yang disajikan penduduk setiap pemujaan terhadap berhala.

Tahun ketiga dari dakwah Muhammad, kesabaran Bani Umayah habis melihat pengikut ajaran penyembah Tauhid semakin bertambah. Akhirnya mereka melakukan segala cara untuk menghentikan ajaran yang mereka anggap sesat itu. Tiga tahun mereka memprovokasi penduduk Makkah, bahkan mengancam dengan kekerasan, tapi ternyata hasilnya nihil.

Abu Thalib adalah orang yang paling berjasa melindungi Nabi dari gempuran orang-orang Bani Umayah. Paman Nabi itu menjadi benteng sekaligus orang terdepan menjaga keamanan Muhammad dari permainan kotor orang-orang yang memusuhinya. Sulitnya menembus Abu Thalib ini, membuat Bani Umayah harus mencari strategi jitu lainnya. Memasuki tahun ketujuh dari dakwah Islam di Mekkah, Bani Umayah mengumumkan boikot ekonomi dan sosial terhadap Bani Hasyim.

Merasa bahaya semakin terbuka lebar, khususnya bagi rumah keluarga Muhamamad, Abu Thalib memutuskan untuk meninggalkan kota Makkah. Sekitar 400 orang, kebanyakan berasal dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, mengungsi di sebuah lembah yang kelak disebut Syi’b Abu Thalib. Di lembah sempit itu, hubungan sosial dan ekonomi dengan penduduk kota Makkah diputus oleh Bani Umayah. Di lembah itu, Muhammad dan keluarga kecilnya; Khadijah, Fatimah dan sepupu Nabi, Ali bin Abi Thalib, berjuang bertahan hidup selama tiga tahun.

Selain Ali, kemenakan Khadijah yang non Muslim, Hakim bin Hizam, termasuk yang sering membawa pasokan makanan ke lembah. Langkah Hakim itu termasuk berbahaya karena dia harus melewati prajurit bayaran Bani Umayah yang menjaga ketat perbatasan. Sedemikian tragisnya suasana di lembah itu, menurut laporan sejarah, penduduk Makkah bisa mendengar koor tangisan anak-anak pada malam hari.

Salah satu yang menjadi spirit bagi pengungsi lembah adalah kehadiran Khadijah. Perempuan terkaya di Makkah itu rela meninggalkan rumahnya yang luas dan berfasilitas yang lengkap untuk hidup dan ikut berjuang menjaga Islam di lembah sempit yang serba kekurangan. Bagaimana pun, sebagai pendamping hidup seorang utusan Tuhan, ia telah siap menghadapi cobaan dan ujian yang keras sekalipun. Khadijah membagi-bagikan kepingan emasnya untuk pemuda yang berani menyusup ke kota dan kembali membawa pasokan air.

Ketika Ali atau Hakim datang membawa air, Khadijah yang mengatur pembagiannya. Istri Nabi itu mendahulukan anak-anak daripada orang tua mereka. Kemudian mendahulukan orang tua dari dirinya sendiri.

Tidak hanya ancaman kelaparan dan permusuhan nyata dari Bani Umayah, setiap musim dingin para pengungsi harus berhadapan dengan tusukan dingin yang luar biasa. Demikian pula pada musim panas yang lebih menyengat dibanding jika mereka tinggal di rumah mereka masing-masing di Makkah. Di malam-malam yang panjang dan dingin itu, Khadijah juga membagikan pakaian dan kayu bakar kepada anak-anak pengungsi yang kedinginan.

Dalam waktu tiga tahun di tempat pengungsian dan pengasingan itu, harta kekayaan Khadijah ludes. Sebagian besar hartanya habis untuk membeli pasokan air. Jiwa, raga dan harta yang dimiliki Khadijah benar-benar telah diwakafkan untuk perjuangan dakwah suaminya yang tercinta, Muhammad. Meskipun hari demi hari bencana senantiasa melanda, Khadijah tetap tegar dan tak tampak rasa takut darinya. Alih-alih menciut, keimanan Khadijah justru semakin kokoh dan tak tergoyah. …


Kurang lebih seribu hari, Muhammad dan Khadijah, beserta para pengikutnya diboikot di lembah ‘Sy’ib Abu Thalib’. Menariknya, dari 400 orang warga lembah, yang terdiri dari wanita, laki-laki dan anak-anak, tidak ada satu pun yang menyerah apalagi ‘membelot’ menyerahkan Muhammad Saw pada Bani Umayah. Padahal, tidak ada yang bisa memastikan kapan berakhirnya pengasingan yang membuat mereka selalu dalam kelaparan, kehausan, kepanasan, kedinginan dan kesakitan hampir setiap hari.

Bagi mereka, menjadi tawanan bersama Muhammad lebih mulia daripada hidup ‘bebas’ tanpa Muhammad. Hampir setiap malam, mata Abu Thalib tidak tidur demi keselamatan Muhammad. Untuk mengecoh musuh yang mungkin menyusup, tak jarang Abu Thalib mengangkat dan memindahkan Muhammad yang sedang tidur lalu menukarnya dengan putranya sendiri. Bahkan paman Muhammad yang bersikeras menolak menyerahkan keponakannya kepada Bani Umayah itu siap mengorbankan putranya.

Demikianlah gambaran orang-orang yang telah ‘tenggelam’ dalam kenikmatan bersama Muhammad meski harus menerima intimidasi dan pengasingan. Khadijah, sang Ratu Makkah, yang sebelumnya hidup ‘serba ada’ dan nyaman, menjelma menjadi sumber ketegaran bagi yang lain di tengah-tengah bencana dan kesusahan. Khadijah menjadikan shalat sebagai wasilah untuk menambah cahaya keimanan sebanyak-banyaknya. Sikapnya yang tenang dan santun secara tidak langsung menjadi pendidikan moral bagi orang-orang yang hidup bersamanya dalam pengasingan.

Dalam waktu tiga tahun, kekayaan Khadijah ludes diwakafkan untuk menyelamatkan orang-orang tertindas di lembah pengasingan. Sebagian besar kekayaannya untuk mendapatkan pasokan air dari kota Makkah. Alih-alih merasa merugi, Khadijah bahkan bersyukur karena kekayaannya digunakan untuk menyelamatkan hamba-Nya yang paling mulia, Muhammad Al Mustafa, keluarga dan pengikutnya yang setia. Suatu kehormatan besar bagi Khadijah yang diberikan kesempatan untuk turut berpartisipasi dalam mendukung misi agung yang diemban Muhammad.

Di luar lembah, sejarah mencatat setidaknya ada lima pejuang non-muslim yang setia membantu umat Islam yang diboikot ketika itu. Mereka adalah Mut’im bin Ady, Hisyam bin Amar, Zuhayr bin Abi Ummayah, Abul Bukhtari, dan Zama’ah bin Al Aswad. Berkat rasa kemanusiaan dan keberaniannya, mereka menginjak-injak perjanjian pemboikotan yang dibuat Quraisy-Bani Umayah hingga para pengungsi dapat kembali ke rumahnya masing-masing. Sayangnya, dampak pemboikotan selama tiga tahun itu tidak hilang begitu saja. Selain menghadapi kekurangan makan dan air setiap hari, para pengungsi harus menghadapi cuaca yang mencekam dengan fasilitas yang serba terbatas.

Ketika risalah Islam menghadapi tantangan yang berat, Khadijah mengorbankan kekayaannya, kenyamanannya, dan pikirannya untuk Islam. Lepas dari pengungsian, bukan hanya menjadikan Khadijah jatuh miskin tapi juga jatuh sakit.

Belakangan, pasca pemboikotan, Khadijah tampaknya harus mengorbankan hidupnya. Menjelang pagi, tubuhnya yang lemah tak mampu lagi menahan serangan demam. Meskipun sakitnya tidak lama, tapi kesehatannya sangat terpuruk hingga sang perempuan agung itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Ketika wafat, Khadijah tidak lagi memiliki harta benda bahkan untuk membeli sehelai kain kafan pun. Dengan jubah Muhammad, suaminya yang tercinta, jasad Khadijah dikafani lalu dimakamkan. Wafatnya Khadijah, perempuan yang selama ini membantu misi khususnya dalam keadaan derita dan kesulitan itu, telah membuat Muhammad sangat ‘terpukul’. Wanita pertama yang beriman pada keesaan Tuhan, kenabian Muhammad dan hari akhir itu wafat pada 10 Ramadhan, tahun kesepuluh Islam atau 619 M. Ibu Fatimah Azzahra ini dimakamkan oleh suaminya sendiri, Muhammad, di Hujun, Makkah.

Wahai jiwa yang tenang.

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan jiwa yang diridhai-Nya.

Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku.

Dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS. 89: 27-30)
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: