Kebanyakan dari kita, terbiasa tidur kembali setelah sahur dan shalat Subuh, karena merasa telah bangun lebih awal dari waktu hari-hari biasa di luar Ramadan. Padahal ada efek buruk tidur pasca sahur, berupa masalah pencernaan yang disebut GERD.
GERD (gastroesophageal reflux disease) merupakan masalah pencernaan yang kerap dikeluhkan banyak orang saat menjalani ibadah puasa. Kendati GERD bukan penyakit mematikan, namun penyakit ini bisa menyebabkan komplikasi.
Konsultan penyakit lambung dan pencernaan dari FKUI/RSCM Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH mengatakan naiknya asam lambung selama puasa disebabkan oleh kebiasaan tidur setelah sahur. Menurut Dr Ari, hal ini bisa menyebabkan asam lambung balik arah kembali ke kerongkongan yang memicu masalah pada saluran cerna atas.
“Selain itu ada kebiasaan buruk lain yang juga sering dilakukan pada saat Ramadan, yaitu makan terlalu berlebihan pada saat berbuka, diikuti dengan merokok. Dengan melakukan ini, Anda sebenarnya meningkatkan risiko untuk terjadinya masalah pada lambung seperti dyspepsia, terutama jika Anda sudah mengidap penyakit maag sebelumnya,” kata Dr Ari.
Untuk mencegah penyakit ini, Dr Ari menyarankan untuk berbuka puasa dengan porsi sedang. Misalnya dengan mengkonsumsi makanan ringan dalam porsi kecil, lalu menunggu hingga usai shalat magrib. Sebelum melanjutkan dengan makanan utama setelah magrib dan sebelum shalat tarawih. Namun, makanan yang dikonsumsi harus dalam jumlah yang tidak berlebihan.
“Budaya balas dendam dengan berpikir untuk menggandakan makan siang dan makan malam saat berbuka harus dihindari. Membiasakan diri untuk berhenti makan dua jam sebelum tidur agar pencernaan bisa bekerja optimal,” pungkasnya.
Seperti diketahui, GERD diderita oleh 10-20% populasi orang dewasa di dunia. Meningkatnya obesitas dan westernisasi di Asia, membuat prevalensi GERD meningkat dengan cepat. Dari studi berbasis populasi, prevalensi GERD berbasis gejala di Asia Timur sebesar 2,5%-4,8% sebelum 2005 dan 5,2%-8,5% dari 2005 sampai 2010.
Di Asia Tenggara dan Barat, prevalensinya mencapai 6,3% -18,3% setelah 2005, jauh lebih tinggi daripada angka di Asia Timur. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki data epidemiologi lengkap mengenai penyakit ini.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email