Pesan Rahbar

Home » » Orasi Sunan Kalijaga

Orasi Sunan Kalijaga

Written By Unknown on Monday, 12 June 2017 | 12:47:00


Oleh: Parni Hadi

Bicara baik, belum tentu benar.
Bicara benar, belum tentu baik.
Bicara baik dan benar belum tentu perlu.
Berpikirlah sebelum berbicara dan kemudian berbuat!

Itu mukadimah orasi Sunan Kalijaga dalam rapat para wali, penyebar agama Islam di Pulau Jawa abad ke-15 Masehi di bawah pimpinan Sunan Ampel dalam ketoprak dengan lakon Dakwah Sunan Kalijaga yang digelar di Rumah Budaya Nusantara, Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Ahad malam (21 Mei 2017).

Ada ungkapan: seperlunya, secukupnya, dan sebenarnya. Orang Jawa bilang: “Sak perlune, sak cukupe lan sak benere”, lanjut Sunan Kalijaga, wali termuda yang diminta pendapatnya tentang tata cara dakwah Islam di Pulau Jawa.

Bagaimana tahu batas-batasnya? Orang perlu bertanya kepada diri sendiri, orang lain yang sudah tahu, berguru dan membaca Al-Quran dan Hadist. Berusahalah mencari tahu agar faham atau karena diberitahu oleh Yang Maha Tahu, Allah, sumber segala pengetahuan.

(Lalu Sunan Kalijaga minta pengawalnya Ki Purwadi untuk melantun tembang petunjuk mencari guru berdasar ajaran wulangreh karya Pakubuwono IV dengan iringan gending. Inti tembang itu adalah: bergurulah kepada orang yang nyata-nyata tinggi martabatnya, menjalankan syariat agama dan mengerti hukum. Syukur, kalau mendapat seorang pertapa, orang yang sudah tidak berharap lagi pada pemberian orang lain).

Berpuasa adalah salah satu cara untuk mencapai kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan (perwujudan dari cipta, rasa dan karsa). Apakah ada jaminan usaha manusia akan berhasil? Manusia wajib berusaha, hasilnya tergantung kepada perkenan Allah, Tuhan Sang Maha Kasih dan Sayang.

Setelah berusaha sepenuh niat dengan segala daya dan upaya, kita pasrah, sumarah kepada Allah. Islam ada yang menafsirkan sebagai kepasrahan mutlak kepada kehendak Allah, Yang Maha Mutlak. Berusaha, bekerja keras, cerdas dan ikhlas, tanpa pamrih.“Sepi ing pamrih”. Kata orang Jawa: “Sepi ing pamrih, tebih ajrih” (tanpa pamrih membuat bebas dari rasa takut).

Puasa Ramadhan bisa jadi sarana pengendalian nafsu dengan melakukan pantang makan-minum dan hubungan suami-istri di siang hari dan pengendalian “cipta, rasa, karsa” sepanjang waktu, baik siang maupun malam. Tujuannya untuk mencapai : suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

“Sepi pamrih tebih ajrih” adalah ungkapan dalam bahasa Jawa. Ungkapan dalam berbagai bahasa lain dengan makna yang sama adalah bagian dari budaya suatu bangsa yang dipengaruhi oleh lingkungan, kondisi alam (geologi, topografi dan geografi). Sumbernya adalah satu, Yang Maha Satu (Esa), merujuk serat Kulhu (QS: Al Ikhlas), ujar Sunan Kalijaga.

Budaya adalah hasil budi dan daya manusia, yakni “cipta, rasa, karsa”oleh jiwa yang telah masak. Bentuknya adalah serangkaian pedoman perilaku hidup sehari-hari untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup dengan pendekatan etika dan estetika. Budaya meliputi seluruh aspek kehidupan, bukan hanya kesenian. Tata cara pergaulan (komunikasi), bercocok tanam, mencari rezeki, pergaulan laki-perempuan, kepemimpinan, pengobatan dan penyembahan terhadap Tuhan adalah bagian dari budaya.

Agama (Ageming Aji) lahir untuk menyempurnakan kebudayaan yang ada dan ditengarai telah menyeleweng. Rasulullah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW, diutus Allah untuk menyempurnakan budaya Arab yang waktu itu mengalami kegelapan atau Jaman Jahiliyah.

Jadi, agama dan budaya harus berjalan beriringan, selaras menuju Yang Satu, demikian pendapat Sunan Kalijaga, yang disetujui oleh para wali, yakni dakwah dengan pendekatan budaya.


Islam Melebur Dalam Budaya Nusantara

Islam telah melebur kedalam budaya (Nusantara) dan Nusantara telah melebur dalam Islam. Kanjeng Sunan Drajat, yang fasih berbahasa Arab, menggunakan ungkapan bahasa Jawa tatkala berdakwah agar orang mau membayar zakat, infak, sedekah dan wakaf sesuai ajaran Islam.

Ungkapan Kanjeng Sunan Drajat terkenal sebagai tembang yang berbunyi: “Wenehono payung marang wong kang kodanan, wenehono teken wong kang kalunyon, wenehono pangan wong kang kaluwen lan wenehono sandhang marang wong kang kawudan”. Artinya, berilah payung kepada orang yang kehujanan, berilah tongkat kepada orang yang berjalan di tempat licin, berilah makan kepada orang yang kelaparan dan berilah pakaian kepada orang yang telanjang.

Yang sering turun hujan dan tanahnya licin adalah daerah Lamongan, Jawa Timur, tempat dakwah Sunan Drajat. Bukan Negeri Arab, yang tanahnya berupa padang pasir, dan jarang mendapat hujan. Sunan Drajat menguasai bahasa Arab, tetapi Ia menggunakan bahasa Jawa untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat (local setting).

Dakwah Islam perlu dilakukan sesuai tempat, saat dan tuntutan jamannya. Orang Jawa bilang: “Empan, papan lan njaman”. Kelak, pada saatnya atas kehendak Allah, menurut Sunan Kalijaga, peleburan Islam dan budaya Nusantara itu akan menjelma menjadi sila pertama dasar negara yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai bagian dari Pancasila. Namun, Sunan mengingatkan, Pancasila bukan sekedar untuk dihafalkan, diwacanakan atau diomongkan saja, tetapi harus diamalkan, pungkas Sunan Kalijaga.

(Sunan Kalijaga lalu minta Ki Purwadi melantun tembang kemudian disambut dengan tembang macapat dengan iringan gamelan: “Ngelmu iku kelakone kanthi laku”, artinya ilmu itu terlaksananya dengan amal. Tembang ini berasal dari Kitab Wedhatama karya Mangkunegara IV)

Pagelaran ketoprak itu merupakan persembahan Dompet Dhuafa sebagai lembaga filantropi Islam yang berkhidmat dalam pemberdayaan kaum dhuafa dengan pendekatan budaya untuk memaknai Harkitnas 2017. Acara ketoprak itu di awali dengan layanan pengobatan gratis untuk para seniman, servis HP dan motor gratis milik para seniman.

Dalam adegan terakhir dari ketoprak disisipkan peluncuran buku berjudul “Suluk Kidung Kawedar Sunan Kalijaga” karya Bambang Wiwoho, Jejaring Macapat Nusantara dan Asosiasi Penari Tradisional Indonesia.[]

(KBK-News/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: