“Zuhud bukan berarti kamu tidak boleh memiliki sesuatu, melainkan tidak sesuatu pun boleh memilikimu,”–Ali Ra.
Kehidupan dunia ini tak ubahnya seperti laut. Laut terlihat sangat luar biasa indah. Tapi yang indah, juga bisa mematikan. Gelombang laut yang begitu memukau, juga bisa membunuh. Demikian juga dengan gelombang lika-liku kehidupan. Air, substansi yang sama diperlukan untuk mempertahankan hidup, tapi juga sekaligus dapat mengakhiri hidup—kita bisa tenggelam. Dan laut yang sama—yang mengendalikan kapal—mengapung—dapat menghancurkan kapal-kapal yang tengah berlayar, hingga berkeping-keping.
Ya, kehidupan dunia ini persis seperti laut. Dan hati kita adalah kapalnya. Kita dapat menggunakan laut untuk kebutuhan hidup kita, sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir kita. Tapi laut tidak lain hanyalah sarana. Sarana bagi kita untuk mencari segala jenis makanan yang ada di laut.
Laut merupakan sarana perjalanan. Ini merupakan cara untuk mencari tujuan yang lebih tinggi. Laut hanya untuk kita lewati, tapi tidak untuk masuk di dalamnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika laut menjadi tujuan akhir kita—bukan hanya sarana. Kita pasti tenggelam.
Selama air laut tetap berada di luar kapal, kapal akan terus mengapung dan berada dalam kontrol. Tapi apa yang terjadi setelah air mulai masuk perlahan ke kapal? Apa yang terjadi ketika dunia tidak kita tempatkan di luar hati kita, ketika dunia tidak lagi berarti? Apa yang terjadi ketika dunia memasuki hati kita? Ini adalah pertanda bahwa kapal kehidupan kita tenggelam.
Ketika hati terpenjara dunia, dan kita menjadi budaknya. Ketika dunia—yang dulunya di bawah kendali kita—perlahan mulai mengendalikan kita. Ketika air laut masuk dan menyusul kapal, bukan lagi kapal yang memegang kendali, tapi air—yang juga akan menenggelamkan.
Untuk tetap bertahan, kita harus melihat dunia ini dengan cara yang persis sama, karena Allah Saw. telah memberitahu kita bahwa, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (Qs. Ali Imron:190)
Kita hidup di dunia, dan dunia ini sebenarnya dibuat untuk kita gunakan. Zuhud bukan berarti kita sama sekali tidak berinteraksi dengan dunia ini. Sebaliknya, Nabi Saw. bersabda,
Anas bin Malik Ra. berkata, “Ada tiga orang sahabat Nabi Saw. datang ke rumah isteri-isteri Nabi seraya bertanya tentang amal ibadah beliau. Ketika mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggap ibadah Nabi itu sedikit. Lalu mereka mengatakan, ‘Siapakah kita dibandingkan Rasul! Beliau sudah diampuni segala dosanya, baik sudah lewat maupun dosa yang akan datang. Maka salah seorang dari sahabat tersebut berkata, “Saya akan melaksanakan shalat sepanjang malam’. Yang lain mengatakan, ‘Saya akan berpuasa seumur hidup dan tidak berbuka’. Yang lain berkata, ‘Saya akan menjauhkan diri dari wanita dan tidak akan menikah’. Maka (ketika) Rasul mendatangi mereka, (beliau) bersabda, “Kaliankah yang mengatakan ini dan itu? Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah, akan tetapi aku (kadang) berpuasa dan berbuka, saya juga shalat dan saya juga menikah dengan wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, berarti ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari)
Nabi Saw. bahkan tidak menarik diri dari dunia. Beliau benar-benar memahami firman-Nya, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, jika mereka mengetahui.” (Qs. Al Ankabut: 64)
Ayat ini tidak berarti bahwa kita tidak dapat memiliki hal-hal duniawi tersebut. Banyak para sahabat yang kaya. Sebaliknya, ayat ini mendorong kita untuk melihat dan berinteraksi dengan dunia hanya untuk sekadar sarana. Dunia hanya kita letakkan di tangan—tidak dalam hati kita.
Ali menyatakan hal ini dengan indah, “Zuhud bukan berarti kamu tidak boleh memiliki sesuatu, melainkan tidak sesuatu pun boleh memilikimu,”
Seperti air laut memasuki perahu, saat itu berarti kita membiarkan dunia memasuki hati kita, kita akan tenggelam. Samudera tidak pernah dimaksudkan untuk memasuki perahu, tapi dimaksudkan hanya sebagai sarana yang harus tetap di luar. Dunia, juga, tidak pernah dimaksudkan untuk masuk ke dalam hati kita. Dunia hanya sebagai sarana yang tidak boleh masuk ke dalam hati atau mengendalikan kita. Inilah sebabnya mengapa Allah berulang kali menyebut dunia dalam Qur’an sebagai mata’a. Kata mata’a dapat diterjemahkan sebagai “sumber daya untuk kesenangan duniawi sementara.” Ini adalah sumber daya. Ini adalah alat. Ini adalah jalan—bukan tujuan.
Dan ini merupakan konsep Nabi dalam melihat dunia, “Apa hubungan saya dengan dunia ini? Saya di dunia ini seperti seorang musafir yang berhenti dan istirahat di bawah pohon untuk waktu yang singkat. Dan setelah istirahat, saya pun melanjutkan perjalanan dengan meninggalkan pohon di belakang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi)
Pertimbangkan sejenak metafora seorang musafir. Apa yang terjadi ketika Anda sedang bepergian atau Anda tahu bahwa Anda tinggal hanya bersifat sementara? Ketika Anda melewati kota untuk satu malam, bagaimana Anda akan melewati kota tersebut? Jika Anda tahu itu sementara, Anda akan bersedia tinggal di Hotel. Tapi apakah Anda ingin tinggal selamanya di sana? Mungkin tidak. Misalkan atasan Anda mengirim Anda ke sebuah kota baru untuk bekerja pada sebuah proyek yang terbatas. Misalkan dia tidak mengatakan dengan tepat kapan proyek akan berakhir, tetapi Anda tahu bahwa Anda bisa kembali ke rumah, setiap hari. Bagaimana Anda berada di kota itu? Apakah Anda akan berinvestasi dalam jumlah besar dan menghabiskan semua tabungan Anda untuk membeli berbagai aksesoris dunia yang mahal—rumah dan mobil? Kemungkinan besar tidak. Bahkan saat berbelanja, kemungkinan besar Anda hanya akan membeli sesuatu yang sekiranya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan selama berada dalam tugas sementara itu. Karena bos Anda bisa saja menghubungi Anda kembali, kapan saja.
Ini merupakan pola pikir seorang musafir. Nabi Saw. bersabda, “Demi Allah aku tidak takut dengan kemiskinan, tapi aku takut dunia akan melimpahi hidup kamu seperti orang-orang sebelum kamu, sehingga kamu bersaing untuk itu, karena mereka telah bersaing untuk itu, sehingga menghancurkanmu, karena itu pun yang telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasul tahu hakikat kehidupan ini. Dia mengerti apa artinya berada di dunia. Tanpa itu, dia akan tenggelam saat berlayar ke laut yang sama dengan laut kehidupan kita semua. Tapi kapalnya tahu dengan baik dari mana asalnya, dan ke mana ia pergi. Dia mengerti bahwa lautan yang sama berkilau di bawah sinar matahari, akan menjadi kuburan bagi kapal-kapal yang masuk ke kedalaman laut itu. Wallahu A’lam Bishawab.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email