Allah SWT berfirman;
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”[1]
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”[2]
Tak syak lagi bahwa hawa nafsu selalu mendorong manusia kepada kejahatan, kemalasan, pambangkangan terhadap nilai-nilai agama, dan hasrat untuk selalu berbuat dosa. Allah SWT berfirman;
بَلْ يُرِيدُ الإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ.
“Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.”[3]
Karena itu, hawa nafsu harus dilawan, dijinakkan, dan dikekang demi terpeliharanya kebaikan dan perbaikan.
Ciri khas hawa nafsu antara lain menipu diri, menutupi realitas, dan membuat manusia lupa terhadap aib dan kekurangannya sehingga hawa nafsu harus ditundukkan agar realitas jiwa dan diri manusia terlihat jelas sehingga segala aib dan kekurangannya terungkap.
Sebagian ulama[4] menjelaskan bahwa ada empat jalan untuk menyingkap berbagai aib dalam diri, dan sebagian di antaranya harus ditempuh oleh orang yang mata hatinya tidak bekerja dengan sempurna.
Allah SWT ketika menghendaki kebaikan pada hambaNya maka Dia membuat mata hatinya dapat melihat aib dan kekurangan dirinya. Orang yang sehat mata hatinya akan dapat melihat aib dan kekurangannya untuk kemudian berusaha mengatasinya. Tapi nyatanya kebanyakan manusia buta terhadap aib dirinya dan malah pandai melihat aib saudara dan sesamanya.
Empat jalan yang dianjurkan bagi manusia untuk dapat mengetahui aib dirinya itu ialah sebagai berikut;
Pertama, bersanding dengan orang yang dapat melihat aib diri manusia dan mengerti gangguan-gangguan yang tersembunyi, yaitu orang yang telah matang dalam tahdzib al-nafs (penyucian jiwa), untuk diikuti petunjuk-petunjuknya dalam mujahadah karena dia ibarat dokter bagi pasien. Sayangnya, orang yang demikian tergolong sangat langka di masa sekarang.
Kedua, bersahabat karib dengan orang yang tulus dan sangat taat kepada agama untuk dijadikan pengawas dan pengingat atas aib lahir dan batin, karena bisa jadi sahabat itu malah lebih mengetahui aib orang lain daripada aib dirinya, sebagaimana terjadi pada kebanyakan orang. Inilah yang dilakukan oleh para tokoh besar sehingga ada yang mengatakan, “Semoga Allah mengasihi orang yang memberitahukan kepadaku aib-aibku.”
Namun, lagi-lagi sayangnya, sahabat yang demikian juga langka. Kalaupun sahabat itu tulus dan tidaklah dengki dan tendensius, tapi kebanyakan cenderung berpura-pura tidak mengetahui aib rekannya. Terkadang, karena sedemikian sedemikian menyukai rekannya itu dia malah tidak menyadari aib rekannya.
Ketiga, mengetahui aib diri dengan pintar-pintar memanfaatkan apa yang terlontar dari lisan pembenci, karena pembenci cenderung mencari-cari kekurangan lawannya. Bukan tak mungkin, musuh yang demikian lebih bermanfaat daripada kawan yang menjilat.
Keempat, bermasyarakat agar apa yang terlihat tercela di tengah masyarakat dapat dia tinggalkan dan apa yang terpuji di mata dapat dia lakukan. Manusia cenderung tidak mengetahui aib dirinya tapi pandai melihat aib orang lain. Karena itu dia boleh melihat apa saja aib orang lain, tapi kemudian juga harus melihat dirinya apakah dia juga memiliki aib yang sama dengan mereka.
Mengenai kedahsyatan dan pentingnya berjihad melawan hawa nafsu, dalam sebuah hadis masyhur disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw melihat para sahabatnya pulang dari sebuah ekspedisi militer bersabda;
مرحباً بقوم قضوا الجهاد الأصغر، وبقي عليهم الجهاد الأكبر.
“Selamat datang kaum yang telah menunaikan jihad kecil, dan masih ada bagi mereka jihad besar.”
Sahabat lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jihad besar itu?” Beliau menjawab;
جهاد النفس.
“Jihad melawan hawa nafsu.”[5]
“Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
مَنْ ملك نفسه إذا رغب، وإذا رهب، وإذا اشتهى، وإذا غضب، وإذا رضي، حرّم الله جسده على النار.
“Barangsiapa dapat menguasai dirinya ketika dia berkeinginan, merasa takut, berhasrat kuat, marah ataupun senang, maka Allah mengharamkan raganya bagi neraka.”[6]
Referensi:
[1] QS. Al-Nazi’at [79]: 40 – 41.
[2] QS. Al-Ankabut [29]: 69.
[3] QS. Al-Qiyamah [75]: 5.
[4] Lihat al-Mahajjah, jilid 5, hal. 112 – 114, dikutip dari Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali.
[5] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 161 – 162, Bab 1 Jihad al-Nafs.
[6] Ibid.
(Safina-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email