“Tafakkur” (berpikir) dan “tadzakkur” (mengingat) merupakan bagian dari pendahuluan dalam suluk (perjalanan) menuju Allah SWT. Ada pendapat yang menyebut kedudukan tadzakkur berada di atas tafakkur dengan penjelasan bahwa tafakkur terjadi ketika kalbu terhijab oleh sifat-sifat nafs (hawa nafsu) sehingga seseorang lantas mengaktivasikan mata hati (basirah), sedangkan tadzakkur terjadi ketika hijab itu terangkat dan kalbu manusia terbebas dari belitan sifat-sifat nafs dan kembali kepada fitrah asal sehingga teringat kepada apa yang tercetak dalam fitrah berupa tauhid dan makrifat setelah sekian lama terlupakan akibat karat-karat yang menutupi kalbu.[1]
Mengenai pentingnya tafakkur dan tadzakkur ini Allah SWT berfirman;
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”[2]
Secara garis besar, tafakkur dan tadzakkur merupakan dua perkara yang berinteraksi secara mutual. Tafakkur memancing kedatangan tadzakkur karena dengan bertafakkur manusia akan teringat apa yang terlupakan akibat hijab hawa nafsu. Tadzakkur kemudian mendatangkan kesadaran (intibah), dan karena itu tadzakkurpun juga membawa manusia kepada tafakkur lebih jauh dan jauh.
Tadzakkur
Tadzakkur disebutkan dalam al-Quran al-Karim dalam banyak ayatnya, termasuk firman-firman Allah SWT;
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ …
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? ..”[3]
مَا لَكُم مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ شَفِيْع أَفَلاَ تَتَذَكَّرُون.
“Tidak ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah kamu tidak mengingat?”[4]
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”[5]
Tampak bahwa Al-Quran juga menyuruh manusia agar mengingat apa yang telah diikrarkan kepadanya di alam zarrah dan yang tercetak dalam fitrahnya, baik alam zarrah itu adalah alam fitrah itu sendiri maupun alam sebelum fitrah nan suci itu terbentuk. Keruhnya hawa nafsu membuat manusia lupa terhadap ikrar itu, tapi dapat mengingatnya lagi dengan kembali kepada fitrah dan menelisik apa yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, firman Allah SWT pada ayat pertama di antara tiga contoh ayat di atas, misalnya, berarti bahwa Allah SWT telah memberi manusia anugerah usia yang cukup untuk menggali dan menelisik apa yang terkandung dalam fitrah berupa kesadaran tauhid dan nilai-nilai makrifat lainnya.
Kata tadzakkur dalam al-Quran ada yang disusul dengan kata “inabah” (kembali), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
وَمَا يَتَذَكَّرُ إِلاَّ مَن يُنِيبُ.
“Dan tiadalah mengingat kecuali orang-orang yang kembali (kepada fitrah).”[6]
Dan ada pula yang disusul dengan kata “lubb” (akal), sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الاْلْبَابِ.
“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”[7]
Referensi:
[1] Syarh Manazil al-Sa’irin, karya Abdul Razzaq al-Kasyani, hal. 34.
[2] QS. Ali Imran [3]: 190 – 191.
[3] QS. Fathir [35]: 37.
[4] QS. Al-Sajdah [32]: 4.
[5] QS. Al-Baqarah [2]: 152.
[6] QS. Al-Mu’min [40]: 13.
[7] QS. Al-Ra’ad [13]: 19, Al-Zumar [39]: 9.
Tafakkur
Sesuai obyek yang direnungkan, tafakkur terbagi menjadi banyak kategori, antara lain sebagai berikut;
Bertafakkur atau berpikir dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat pada artikel bagian pertama;
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ…
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi…”[1]
1. Tafakkur demikian membawa manusia kepada makrifat dan tauhid sekaligus membuatnya mengingat tugas serta keharusan taat, beriman, dan selamat dari azab. Karena itu, ayat ini dilanjutkan dengan firman Allah;
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. * رَبَّنَا إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَار * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ ..
” (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.’”[2]
2. Berpikir mengenai anugerah nikmat Allah SWT.
3. Bertafakkur mengenai kandungan kitab suci Allah, atau mengenai munajat, doa, dan shalat. Tentang ini Rasulullah saw dalam wasiatnya kepada Abu Dzar al-Ghiffari ra bersabda;
يا أبا ذرّ ركعتان مقتصدتان في تفكّر خير من قيام ليلة والقلب ساه.
“Wahai Abu Dzar, dua rakaat shalat yang disertai dengan tafakkur (khusyuk) lebih baik daripada shalat malam dalam keadaan hati lalai.”[3]
4. Bertafakkur mengenai keadaan diri dan cara-cara menyehatkannya.
5. Bertafakkur mengenai hikmah dan pelajaran yang berpengaruh pada diri. Diriwayatkan dari Hasan al-Saiqal bahwa dia bertanya kepada Imam Jakfar al-Shadiq as mengenai apa yang diriwayatkan oleh banyak orang bahwa bertafakkur sesaat lebih baik daripada shalat malam. Dia bertanya; “Bertafakkur bagaimana?” Imam as memberi contoh dengan berkata;
: يمرّ بالخربة أو بالدار فيقول: أين ساكنوك، أين بانوك، مالكِ لا تتكلمين.
“Berjalan di antara puing-puing atau di rumah (yang ditinggal penghuninya) lalu berucap; ‘Mana para penghunimu? Mana para pendirimyu? Mengapa kalian tak ada yang berbicara?”[4]
Diriwayat bahwa Nabi Isa as ditanya mengenai siapa orang yang terbaik, dan diapun menjawab;
مَنْ كان منطقه ذكراً، وصمته فكراً، ونظره عبرةً.
“Yaitu orang ucapannya dzikir, diamnya keberpikiran, dan pandangannya (mencari) pelajaran.”[5]
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
كان أمير المؤمنين يقول: نبّه بالتفكّر قلبك، وجافِ عن الليل ساجداً، واتّقِ الله ربّك.
“Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib) pernah berkata; ‘Sadarkanlah kalbumu dengan tafakkur, bangunlah di malam hari untuk bersujud, dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.”[6]
Mengenai ayat-ayat pada bagian awal artikel ini terdapat dua riwayat dari Ibnu Umar dan Aisyah, isteri Nabi saw, bahwa suatu malam pada saat bersama Aisyah beliau bangun kemudian berwudhu lalu mendirikan shalat, membaca al-Quran, menangis, mengangkat kedua tangannya sembari mengucurkan air mata. Bilal kemudian datang untuk mengumandangkan azan shalat subuh. Bilal melihat beliau menangis sedemikian rupa sehingga bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu maupun yang datang kemudian?” Beliau menjawab;
يا بلال أفلا أكون عبداً شكوراً.
“Wahai Bilal, tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Beliau menambahkan;
مالي لا أبكي وقد أنزل الله في هذه الليلة: إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ …
“Mengapa aku tidak menangis, sedangkan pada malam ini Allah telah menurunkan (ayat); ’Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,…’”
Beliau juga bersabda;
ويل لمن قرأها ولم يتفكّر فيها.
“Celakalah orang yang membacanya tapi tidak berpikir tentangnya.” [7]
Referensi:
[1] QS. Ali Imran [3]: 190 – 191.
[2] QS. Ali Imran [3]: 191 – 193
[3] Bihar al-Anwar, jilid 77, hal. 82.
[4] Tafsir al-Burhan, jilid 1, hal. 331.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Tafsir al-Kabir, Fakhrur Razi, jilid 9, hal. 133 – 134.
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email