Pedang Padri (sumber: google image)
Keasyikan sabung ayam warga Pandai Sikat seolah terganggu. Haji Miskin, yang pernah tinggal di Mekah sesudah pendudukan Wahabi pada 1803 di Kota Hijaz, melarang para warga yang doyan menyabung ayam. Larangan Haji Miskin itu didukung seorang penghulu bernama Kuncir bergelar Datuk Batuah. Menurut Saleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007), judi sabung ayam bagi Haji Miskin jelas haram. Begitu juga mengunyah sirih, minum rokok dan tuak. Pewarisan berdasar garis pihak perempuan, atau dikenal matrilineal dalam kebudayaan Minangkabau, juga haram.
Sabung ayam sudah jadi adat di Sumatera Barat kala itu. Warga yang doyan sabung ayam tak menghiraukan larangan tersebut. Itu bikin Haji Miskin berang. Pada satu malam ia membakar balai yang biasa dipakai untuk sabung ayam. Ini memicu kemarahan Kaum Adat. Haji Miskin dikejar. Beruntung, ia berhasil mengamankan diri di Kota Lawas, dan mendapatkan perlindungan dari Tuanku Mensiangan atau dikenal Tuanku Pasaman, seorang panglima Kaum Padri. Padri adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syariat Islam.
Kaum Adat menolak pemaksaan oleh Haji Miskin dan pengikutnya. Mereka bersikeras mempertahankan adat. Mereka kesal pada Haji Miskin. Dari sanalah pecah perkelahian antara Kaum Adat dan simpatisan Haji Miskin. Apa yang diajarkan Haji Miskin itu kemudian meluas pengaruhnya. Apalagi setelah Haji Miskin bertemu Tuanku nan Renceh di Kamang.
Persekutuan untuk melawan Kaum Adat terbentuk. Setidaknya ada delapan ulama seperti Tuanku nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, dan Tuanku Kapau. Sebutan Tuanku, demikian Jeff Hadler dalam Sengketa Tiada Putus(2010), adalah gelar yang diberikan kepada ulama tingkat tinggi di Sumatera Barat. Sikap keras para Tuanku terhadap apa pun yang berbau adat ini membuat mereka dijuluki Harimau nan Salapan.
Sebelumnya mereka sempat bermusyawarah dengan Tuanku nan Tuo, orang yang semula mereka hormati, yang menyetujui gerakan memurnikan ajaran Islam di Minangkabau asalkan dengan cara-cara lunak. Menurut Tuanku nan Tuo, cara keras hanya melahirkan kekerasan baru. Akhirnya, Harimau nan Salapan memilih sikap Tuanku Mensiangan, yang juga sama-sama keras. Kekuatan kaum reformis dan tradisionalis ini menjurus pada Perang Padri, berlangsung antara 1803 hingga 1838.
Penghancuran Istana Kuno Pagaruyung
Mangaradja Onggang Parlindungan punya cerita menarik soal Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik dalam buku kontraversialnya, Tuanku Rao, Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak (kali pertama terbit pada 1964). Menurut Parlindungan, trio haji itu adalah mantan tentara Turki ketika Turki berperang dengan tentara Napoleon.
Di antara mereka bertiga, menurut Parlindungan, Haji Piobang menyandang pangkat tertinggi kolonel di kesatuan Janisari alias pasukan berkuda. Sementara Haji Sumanik adalah mayor pasukan artileri Turki, dan Haji Miskin tidak mencapai pangkat hingga perwira. Intinya, menurut Parlindungan, trio haji ini adalah ahli perang. Mereka punya kawan dari Sulu Filipina bernama Haji Datuk Onn, yang dalam ketentaraan Turki, adalah kapten bawahan Haji Piobang. Ketika bertugas di Arab Saudi, para haji ini ditahan dan menjadi murid dari orang-orang Saudi penganut mazhab Hambali dan pelopor gerakan Wahabi.
“Kira-kira di tahun 1800 ketiga haji ini pulang dari tanah suci menuju Minangkabau. Kepulangan ketiga haji tersebut bersama satu orang lain, [seorang] haji dari Sulu Filipina bernama haji datuk Onn, atas saran dari Abdulah Ibnu Saud penguasa Arab Saudi waktu itu yang beraliran Wahabi,” tulis Parlindungan. Di Minang inilah Haji Piobang membangun pasukan militer Padri.
Dalam bukunya, Parlindungan menyebut soal pembantaian yang dilakukan Kaum Padri terhadap Kerajaan Pagaruyung, istana kuno Minangkabau dan yang dianggap sumber budaya Melayu. Istana ini menjadi korban serangan Tuanku Pasaman dan orang-orang Batak Mandailing oleh serangan pasukan Tuanku Rao.
Kedua peristiwa ini lantas menjadi perdebatan antara Parlindungan dan Buya Hamka. Meski buku Parlindungan dianggap 80 persen bohong dan 20 persen meragukan oleh Hamka, dalam buku tandingan yang ditulis Hamka, Antara Fakta Dan Khayal “Tuanku Rao” (1974), soal pembantaian terhadap orang Mandailing dan Pagaruyung itu tidaklah disebut. Seakan pembantaian itu tak pernah ada.
Menurut Franz Wilhelm Junghuhn (naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman yang meninggal di Lembang, Bandung), seperti dikutip Bungaran Antonius Simanjuntak dalam Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (2006), 200 ribu orang dari suku Batak Mandailing dan Angkola jadi korban. Simanjuntak menyebut, “Tentara Padri menindas Tanah Batak dengan pedang dan membunuh rakyat yang tak mau masuk Islam.”
Tiga Fase Perang Padri
Perang Padri terbagi dalam tiga periode perubahan kekuatan. Pada 1803 hingga 1821, terjadi pertempuran sporadik antara kekuatan reformis dan tradisionalis, dengan semangat Kaum Padri mengumumkan jihad melawan kaum adat, membakar rumah-rumah gadang, dan membunuh pemimpin adat. Ini mengundang pemerintah kolonial Belanda untuk terlibat. Pada 1821, pemerintah kolonial menandatangani perjanjian dengan kaum tradisionalis dan mengirimkan sepasukan tentara ke perbukitan Minangkabau.
Periode kedua, antara 1821 hingga 1833, menyusul kemenangan atas Perang Jawa (1825-1830), tentara kolonial menjaga semangat moral mereka untuk berfokus pada Perang Padri dengan kekuatan tambahan dari kaum adat. Pada 1832, tentara kolonial mengalahkan Imam Bonjol, dan menundukkan Sumatera Barat ke dalam koloninya.
Periode ketiga, antara 1833 hingga 1838, kekuatan reformis bersatu dengan kaum adat matrilineal melawan pendudukan asing Belanda. Namun kekuatan mereka semakin lemah, Minangkabau berhasil ditundukkan, dan para pemimpin reformis dan adat tewas, serta Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Manado, Sulawesi Utara.
Peran Imam Bonjol dan Tiga Orang Haji
Dalam catatan Hadler, Tuanku Imam Bonjol adalah anak kampung dari lembah Alahan Panjang, ujung utara dataran tinggi Minangkabau, yang lahir pada 1772. Nama aslinya adalah Muhamad Sahab dan sewaktu muda dipanggil Peto Syarif. Ia adalah murid ayahnya sendiri, Khatib Bayanudin, dan bergabung dengan surau ayahnya sebagai seorang guru.
Sebagai anggota muda kaum ulama pada akhir 1790-an, Bonjol mendampingi patronnya ke pusat pembaruan Islam pimpinan Tuanku nan Tuo, seorang reformis moderat tetapi dikelilingi oleh kalangan yang bersikap keras mendesakkan penerapan hukum Islam yang lebih ketat. Tatkala ketiga haji itu datang dari Mekah, termasuk Haji Miskin, Bonjol terpikat pada seruan syariat.
“Haji Miskin, bersekutu dengan kalangan reformis yang kurang sabaran dalam lingkungan Tuanku nan Tuo, mendirikan kampung-kampung bertembok, menumbuhkan janggut, memakai jubah dan turban, menciptakan budaya Arab di dataran tinggi Sumatera Barat,” tulis Hadler, mengutip memoar Raffles. Kombinasi reformisme lokal dan pengaruh mirip-Wahabi inilah kemudian dikenal sebagai pergerakan Padri, tulis Hadler.
Pada 1815, misalnya, Kaum Padri membantai keluarga kerajaan Pagaruyung dekat Batusangkar. Mereka berbalik melawan Tuanku nan Tuo dan Syekh Jalaluddin, reformis-reformis moderat, dan menyebut kedua orang itu “Rahib Tuo dan Rajo Kafir.”
Menurut Saleh Putuhena, Haji Miskin dan Haji Piobang dan Haji Sumanik hendak membersihkan Minangkabau dari hal-hal non-Islami sebagaimana apa yang dilakukan Kaum Wahabi di Mekah. Namun, menurut Bertram Johannes Otto Schrieke dalam Pergolakan agama di Sumatera Barat (1973), sebelum Haji Miskin berangkat ke Mekah, gerakan memutihkan Islam di Minangkabau sudah berjalan. Schrieke melihat gerakan mereka tak seperti gerakan Wahabi karena di Minangkabau Haji Miskin dan pengikutnya membolehkan pemujaan atas Nabi Muhammad. Menurut Mardjani Martamin dalam Tuanku Imam Bonjol (1985), dari ketiga haji inilah, Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padri paling sohor, belajar tentang cara memperbaiki Islam di Minangkabau ala Arab Saudi.
“Satu-satunya gerakan pada abad 19 yang asal-usulnya secara meyakinkan dapat ditelusuri kepada Wahabisme adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatera, di bawah pimpinan Haji Miskin, yang pernah berada di Mekah ketika terjadi pendudukan Wahabi yang berlangsung sebentar pada 1803,” tulis Hamid Algar dalam Wahhabisme: Sebuah Tinjauan Kritis (2011) seperti dikutip Christian Dobbin dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 (1983).
Perang Padri dan kontroversi yang ditimbulkannya, demikian Hadler dalam bab penutup “Sengketa Tiada Putus”, adalah sendi yang di atasnya sejarah Minangkabau berkiprah di zaman kolonial.
(Tirto/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email